Ketika badai bertamu di pelataran tempatmu menanam masa lalu
Biarkan dia berpusar di sana
Tak perlu kau persilahkan duduk di beranda
Saat hujan menabuh keramaian di pintu pagar tempatmu melindungi bunga-bunga yang sedang mekar
Biarkan dia berorkestra di sana
Kau hanya perlu menyeduh segelas kopi
Lalu menikmati suguhannya dari serambi
Manakala sengatan matahari mengikuti kemanapun lebah-lebah sedang menari
Biarkan panggungnya adalah kenanga dan melati
Jangan kau usik dengan tegur atau sapa
Kau hanya perlu menajamkan kelopak mata
Saat nektar dan rasa manis hilir mudik dibawa
Jika kau merasa sunyi dari kejauhan mendatangi
Biarkan saja pintu dan jendelamu terbuka
Karena di setiap sunyi yang diterima dengan tangan terbuka
Ada terikut asa yang tidak lagi berahasia
Kau hanya perlu berdansa dengan pagi
Untuk mengingat seperti apa laiknya sebuah kehangatan
Kau hanya perlu berteman dengan ruang-ruang memori
Untuk melupakan sedih dan teruknya kenangan
Sungai Slamaran. Mendung berwarna pekat itu makin mendekat. Suara angin menderu-deru datang dari arah lautan dan mulai membuat pohon-pohon nyiur tinggi di pantai dan daratan bergoyang-goyang keras. Baju orang-orang yang berada di tempat penyeberangan itu berkibar-kibar. Kuda-kuda meringkik keras dengan suara bernada ketakutan. Gelombang muara yang biasanya tenang mendadak juga mulai ikut bergolak.
Arya Dahana berdiri. Dugaannya benar. Diiringi dengan hembusan angin luar biasa kencang yang menumbangkan beberapa pohon nyiur dan menerbangkan atap-atap nipah kedai-kedai kecil yang berada di situ, muncullah sosok tubuh besar berambut panjang awut-awutan. Di belakangnya nampak bersiaga belasan lelembut dengan berbagai macam rupa yang mengerikan.
Terdengar jerit ketakutan dari orang-orang yang menyaksikan penampakan tak biasa di hadapan mereka. Para lelembut itu memang sangat menakutkan. Wujud Banaspati, Wewe Gombel, Kuntilanak, Lampor, dan berbagai jenis lelembut, terlihat jelas dan ini siang hari!
Lelaki bercaping lebar itu membuka capingnya. Wajahnya nampak terkejut dengan kehadiran rombongan aneh itu. Dia yang juga memiliki kemampuan sihir terlihat gentar. Dia tahu sedang berhadapan dengan makhluk-makhluk istimewa dari Kerajaan Gaib Laut Utara.
Arya Dahana yang sudah menduga siapa kira-kira orang bercaping lebar itu tidak terkejut saat melihat wajah Madaharsa. Pemuda ini hanya tak habis pikir kenapa Madaharsa menjadi pimpinan regu keamanan para saudagar yang sedang menuju ke barat untuk berdagang.
Panglima Karimata menatap Madaharsa yang terlihat sangat tegang.
"Kau berani sekali menghalangi kami kisanak! Para cecunguk yang kau kalahkan tadi adalah orang-orang yang disewa oleh penduduk di sini untuk mencari persembahan buat kami. Dan kau mencoba menggagalkannya? Siapa sesungguhnya kau yang punya nyali sebesar ini melawan kami dari Kerajaan Laut Utara?"
Madaharsa tidak tahu berhadapan dengan siapa, tapi tahu bahwa orang di hadapannya bukan makhluk biasa. Lelaki yang pandai sekali membawa sikap itu membungkukkan badan.
"Aku mohon maaf kepada Paduka Permaisuri Laut Utara dan juga kepadamu wahai Panglima yang gagah. Aku tidak bermaksud membuat huru-hara di wilayah kekuasaan Istana Laut Utara. Aku hanya menjalankan tugasku menjaga rombongan ini. Maafkan aku." Meskipun tidak tahu siapa sosok besar di hadapannya ini tapi Madaharsa menebak bahwa sosok ini pastilah orang penting di Istana Laut Utara sehingga menyebutnya sebagai panglima.
Sosok itu tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang besar bergoyang-goyang. Dia sengaja menyisipkan sihir di dalam ketawanya untuk menunjukkan kelihaian. Orang-orang biasa yang mendengar suara ketawa ini langsung ciut semangatnya dengan telinga kesakitan dan jantung serasa ditusuk-tusuk. Beberapa anak-anak dan remaja bahkan secara berbarengan jatuh pingsan.
Madaharsa agak kebingungan bagaimana cara menghadapi sepasukan makhluk aneh ini. Tokoh luar biasa di depannya ini jelas sekali nampak angkuh dengan selalu memamerkan kekuatannya. Harus diakuinya, ilmu sihir tokoh ini luar biasa. Madaharsa sama sekali tidak bodoh. Tentu dia tidak akan mencari permusuhan yang tidak perlu. Apalagi dengan cita-citanya sekarang ini, lebih baik jika mencari sekutu sebanyak-banyaknya. Majapahit bukan lagi tempat yang tepat untuknya. Mungkin tak lama lagi kerajaan besar itu akan runtuh. Dan dia sedang mencari tempat yang tinggi untuk menyaksikan keruntuhan tersebut.
Sekali lagi Madaharsa membungkukkan tubuh di depan Panglima Karimata yang masih terus tertawa. Suara tawa penuh sihir itu tidak mempengaruhi Madaharsa. Tapi beberapa anak buahnya mulai terkena akibat. Mereka terlihat menyeringai kesakitan sambil memegangi dada. Wah gawat!
"Panglima yang gagah, sekali lagi aku mohon maaf. Sebagai wujud permohonan maafku, ijinkan aku sendiri yang akan membawakan persembahan yang dikehendaki Sang Permaisuri ."
Madaharsa bergerak. Tubuhnya menyambar 2 remaja yang tadi sempat diincar oleh Begal Pati.
Panglima Karimata. Berhenti tertawa. Orang di depannya ini berkepandaian tinggi. Dia yakin akan bisa mengalahkannya. Tapi Sang Permaisuri punya sebuah rencana besar. Dia sudah dipesan untuk tidak menimbulkan permusuhan terhadap orang-orang dunia persilatan daratan Jawa.
"Baiklah kisanak. Aku akan mengantarmu menghadap Paduka Permaisuri. Aku pikir kami membutuhkan orang-orang sepertimu. Bawalah 2 persembahan itu sebagai tanda maafmu. Kita pergi. Tapi aku akan memberi pelajaran sedikit kepada orang-orang yang telah berani menentang Istana Laut Utara ini."
Panglima Karimata kembali tertawa sambil mengerahkan sihirnya. Kali ini diikuti oleh rombongan pasukan aneh dan mengerikan di belakangnya. Akibatnya luar biasa. Guncangan yang ditimbulkan terhadap jantung dan jiwa orang-orang yang berada di situ mulai mengancam nyawa. Beberapa keluarga saudagar terlihat muntah darah. Anehnya serangan tawa sihir itu tidak menyerang Madaharsa dan pasukannya. Begitu pula orang-orang kampung setempat yang menonton dari tempat-tempat tersembunyi, mereka baik-baik saja.
Terdengar lengking tinggi dari balik kedai tempat orang-orang menonton sambil sembunyi. Lengking itu langsung membuyarkan suara tawa penuh sihir menakutkan dari Panglima Karimata dan pasukan lelembutnya. Para saudagar dan rombongannya lolos dari maut dan bernafas lega sambil masih memegangi dada mereka yang sangat kesakitan tadi.
Panglima Karimata kaget bukan main. Ada orang berkepandaian tinggi di sini! Dan orang itu menantangnya! Panglima yang berangasan itu mendelik marah. Melambaikan tangan memerintahkan makhluk-makhluk aneh di belakangnya mencari.
Rupanya hal itu tidak perlu dilakukan. Bayangan Arya Dahana berkelebat dan sekarang berdiri di hadapan mereka. Mukanya menunduk sehingga tertutupi oleh caping lebar. Hati pemuda ini marah bukan main. Marah kepada kesewenangan Panglima Karimata dan juga marah terhadap kepengecutan Madaharsa.
"Tidak seharusnya kalian berbuat sewenang-wenang kepada orang yang tidak bersalah dan sama sekali tidak bisa menandingi kalian. Sebagai tokoh berkepandaian tinggi mestinya kalian malu berusaha melukai orang-orang yang tidak mampu melawan!"
Panglima Karimata terperanjat. Dia sepertinya mengenali sosok yang masih belum memperlihatkan muka ini. Tapi dia harus berhati-hati. Orang yang bisa membuyarkan pengaruh sihirnya pasti bukan orang biasa. Panglima ini penasaran. Tapi dia juga ingin tahu seberapa besar niat Madaharsa terhadap Kerajaan Laut Utara.
"Kurang ajar! Kau berani ikut campur urusanku! Madaharsa, permohonan maafmu baru cukup jika kau memberi pelajaran cecunguk cilik ini!"
Tidak perlu diminta dua kali, setelah melepaskan dua remaja itu, Madaharsa mengebutkan lengannya dengan mengerahkan Bayu Lesus untuk memberi pelajaran kepada orang bercaping itu. Ini kesempatan untuk mengambil hati Kerajaan Laut Utara. Angin menderu keluar dari serangan Madaharsa. Semua orang mengira orang misterius itu akan tewas atau setidaknya terluka parah.
Desss! Desss! Gubrakkkkk….
Madaharsa terpelanting keras dan jatuh terduduk. Dadanya sedikit sesak. Gila! Orang yang hendak diberikannya pelajaran malah memberinya pelajaran.
Arya Dahana memang sengaja bertindak cukup keras terhadap Madaharsa. Dia tahu tokoh yang satu ini memang suka mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Panglima Karimata semakin penasaran. Kedua tangannya yang besar terayun ke depan. Kembali sebuah angin dahsyat menderu menerjang Arya Dahana yang masih dalam keadaan marah menyambut pukulan mematikan itu dengan Geni Sewindu.
Desss! Desss! Gubrakkkkk….
Benturan pukulan kedua kalinya dengan lawan yang berbeda terjadi. Tubuh Arya Dahana bergoyang sedikit. Sebaliknya, tubuh Panglima Karimata terjengkang ke belakang dan nyaris terjatuh jika dia tidak melakukan jungkir balik untuk mematahkan desakan hawa pukulan Arya Dahana.
Serentak pasukan menakutkan dari lelembut bergerak maju. Menyerang dengan kalang kabut ke arah Arya Dahana. Pemuda yang sedang marah ini tidak mau bermain-main. Seluruh kekuatan pukulan Geni Sewindu dikerahkan saat dia mendorong kedua telapak tangan ke arah pasukan lelembut yang menakutkan itu.
Tidak ada suara benturan apapun. Tapi kawanan lelembut itu seperti ngengat bertemu api. Berjatuhan dan bergeletakan di mana-mana. Hebatnya, para lelembut itu bangkit lagi dan dengan terhuyung-huyung kembali menyerbu Arya Dahana.
Arya Dahana terkejut. Barisan lelembut ini ternyata tidak bisa disapu oleh sekali pukulan Geni Sewindu. Pemuda ini lalu teringat sesuatu. Dulu pernah Ki Gerah Gendeng menyebutkan bahwa jika ingin tahu sebuah pukulan kanuragan sudah sampai pada tahap sempurna atau belum, maka cobalah pukulan itu pada kekuatan sihir, teluh atau guna-guna. Apabila sihir, teluh dan guna-guna itu buyar, maka ilmu pukulan itu sudah sempurna.
Selama ini Arya Dahana selalu mengandalkan Geni Sewindu untuk menangkal sihir. Ini saatnya mencoba 2 pukulan lainnya yang sudah dilatihnya hingga puncaknya di kepundan Semeru.
Ketika gelombang pertama pasukan lelembut itu tiba dan siap mencacah tubuhnya dengan kuku, taring dan segala macam serangan mematikan lainnya, Arya Dahana mendorongkan kedua tangannya yang perak berkilauan. Selarik cahaya menyilaukan menyambar gelombang pertama lelembut.
Tidak terdengar suara benturan atau ledakan apapun. Para lelembut yang tersapu larik cahaya dari pukulan Arya Dahana langsung lenyap menjadi debu.
Tapi rupanya yang namanya lelembut sama sekali tidak mengenal kapok. Gelombang berikutnya datang dan menyerang dengan membabi-buta disertai dengan jeritan, geraman dan suara-suara menyayat hati.
Arya Dahana kembali mendorongkan telapak tangan ke depan. Danu Cayapata yang berwarna kebiruan menyambut serangan para lelembut itu dengan telak.
Kali ini para lelembut itu tidak hancur menjadi debu namun lenyap menjadi bunga-bunga es yang beterbangan tertiup angin kemana-mana. Ki Gerah Gendeng benar. Arya Dahana juga lega. Ternyata kedua pukulan tertingginya telah sempurna.
Panglima Karimata dan Madaharsa yang sudah bisa berdiri lagi, memandang dengan tatapan tak percaya. Pasukan besar lelembut yang mengerikan itu hancur lebur oleh pukulan orang bercaping yang kini membuka capingnya dan menatap tajam keduanya dengan mata berkilat.
"Jangan pernah lagi meminta persembahan ataupun tumbal kepada penduduk di sini lagi. Jika itu masih kalian lakukan, aku akan datang memporak porandakan Istana Laut Utara!" suara menggelegar Arya Dahana yang disertai tenaga dalam itu sangat dingin dan mengancam.
Panglima Karimata tertegun. Astaga! Ini pemuda yang dulu juga pernah mengalahkannya di pesisir utara Gunung Raung. Pemuda yang mempunyai pukulan hebat dan telah melukainya. Padahal dia adalah bangsa siluman yang tidak mempan begitu saja dengan pukulan kanuragan.
Mata Madaharsa terbelalak lebar. Pemuda ini di mana-mana selalu mengganggu. Namun salah satu tokoh Delapan Penjuru Mata Angin yang masih tersisa ini juga tahu diri. Dia tidak akan menang melawan pemuda yang semakin sakti ini sekarang. Lebih baik dia beranjak dari sini. Bertepatan pula dengan lambaian tangan Panglima Karimata yang menggeram marah dan mengajaknya pergi.
Tubuh kedua tokoh itu berlari menuju pesisir Slamaran diikuti oleh belasan anak buah Madaharsa yang juga jerih setelah pimpinan mereka yang lihai bisa dikalahkan dan memilih melarikan diri.
Arya Dahana tidak mau mengejar karena merasa tidak ada gunanya sekarang. Dia akan mendengar nanti apakah ancaman yang sengaja dilemparkannya tadi membuat Permaisuri Laut Utara menimbang kembali mengenai persembahan yang dimintanya kepada penduduk di sini. Arya Dahana tahu ancamannya tadi adalah sebuah sikap bermusuhan. Tapi tidak ada cara lain untuk membuat Istana Laut Utara mengerti bahwa masih ada orang-orang di daratan Jawa yang bisa melawan jika mereka terus bertindak sewenang-wenang. Sekaligus juga pemuda ini ingin menumbuhkan kesadaran kepada penduduk kampung di wilayah ini bahwa permintaan kemakmuran tidak bisa ditukar dengan tumbal dan persembahan.
Sebelum pergi, Arya Dahana bergerak menyambar dua batang nyiur yang pucuknya telah patah terkena angin ribut saat kedatangan Panglima Karimata. Dihantamnya 2 pokok yang sudah mati itu menggunakan kedua telapak tangannya.
Satu pokok nyiur itu langsung terbakar hebat dengan api yang berkobar tinggi. Sedangkan satu pokok lagi beku seketika menjadi sebuah monumen es yang berkilauan diterpa sinar matahari.
Arya Dahana melompat tinggi ke pokok nyiur ketiga yang masih hidup. Di atas pucuknya pemuda ini berdiri dengan gagah dan berkata dengan disertai getaran tenaga dalam.
"Aku akan datang lagi ke tempat ini jika masih ada dari kalian yang mengorbankan nyawa manusia tak berdosa sebagai persembahan untuk ditukar dengan kekayaan yang kalian minta dari Permaisuri Laut Utara! Lihat baik-baik kedua pokok nyiur itu! Sebagai peringatan dariku jangan pernah lagi melakukan hal tercela itu lagi!"
Suara pemuda itu bergema menakutkan di sekitar Muara Slamaran. Membuat para pemilik kedai dan penduduk kampung merasakan kengerian yang teramat sangat. Pemuda sakti yang sanggup mengalahkan Panglima Karimata dari Istana Laut Utara itu tidak main-main.
Arya Dahana menjadi yakin melihat bagaimana mereka menatapnya dengan kekaguman yang disertai rasa ngeri. Mereka akan berpikir ulang seribu kali setiap melihat 2 pokok nyiur yang dijadikannya monumen peringatan itu. Pemuda itu lalu berkelebat pergi ke hulu Sungai Slamaran. Dia akan menyeberang dari sana. Perbatasan Cipamali tidak terlalu jauh lagi.
* *****