Ceruk malam menyisakan bias tak kentara
Dari cakrawala yang memudar di laut utara
Pada sebuah pantai yang landai
Bermainlah anak-anak badai
Di halaman lautan yang sempit
Dan telah ditanami bibit-bibit bunga prahara
Saat nanti perjamuan diadakan
Untuk merayakan peringatan
Telah sekian saka memanen banyak perkara
Hikayat-hikayat dibacakan
Dengan suara tersendat
Karena bab demi bab
Memunculkan pasal-pasal khianat
Kepada rahim ibunda yang telah melahirkannya
Dari seorang anak yang kehabisan ayat-ayat
Bagaimana cara mencintai alamnya
Kerumunan karang menjulang
Berusaha keras menjaga pesisir
Dari intaian petaka yang sengaja dilahirkan
Agar selalu muncul peringatan
Jangan pernah bermain-main dengan kerajaan
Sebesar lautan
Sungai Slamaran. Putri Anjani membuka mata. Tubuhnya terasa sangat sakit semua. Benturan pukulan dengan Arya Dahana telah melukainya dengan cukup parah. Selain kalah tenaga, pukulan pemuda itu memang sudah sangat sempurna. Bahkan Gora Waja miliknya tidak bisa menahan dahsyatnya pukulan pemuda yang telah ditetapkannya sebagai musuh nomor satu itu. Begitu juga ilmu baru yang didapatnya dari Ratu Laut Selatan, Pukulan Prahara Laut Selatan yang penuh dengan aura sihir, sama sekali tidak berpengaruh terhadap pemuda sialan itu.
Tapi dia ada di mana? Tempat tidur dan kamar ini begitu bagus dan mewah. Siapa yang telah membawanya ke sini? Hal terakhir yang diingat oleh Putri Anjani adalah dia sedang bersamadi memulihkan luka akibat pertarungannya dengan Arya Dahana. Meski memejamkan mata, dia tahu bahwa Arya Dahana melanjutkan pertarungan dengan seseorang yang punya kemampuan hebat karena kesiur angin dan hawa pukulan terasa sampai tempatnya bersamadi yang cukup jauh dari arena.
Saat itu akibat dari luka-lukanya, Putri Anjani yang nyaris pingsan hanya mendengar suara pertempuran, ledakan dahsyat, disusul lamat-lamat suara geraman penuh kemarahan, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan selanjutnya tidak ingat apa-apa lagi.
"Kau sudah bangun anak manis? Habiskan minuman yang ada di meja. Minuman itu akan cepat memulihkan tenagamu kembali." suara bening dan lembut mengejutkan Putri Anjani yang tidak mendengar langkah kaki memasuki kamar. Dia menoleh dan matanya langsung bertemu dengan sepasang mata dari seraut wajah yang luar biasa cantik, anggun, berwibawa, tapi dingin bukan main.
Putri Anjani melompat dari ranjang. Seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia tahu sedang berhadapan dengan seorang sakti yang punya daya linuwih sihir luar biasa.
"Kau tidak perlu tegang. Aku tidak akan meyakitimu. Aku bahkan akan membantumu menyelesaikan idu geni yang telah kau sumpahkan. Aku telah mendengar banyak hal tentang Lawa Agung yang merupakan serambi kerajaan kakakku sangat kewalahan menghadapi musuh-musuhnya. Aku akan membantu mereka melalui dirimu dan juga Panglimaku yang gagah perkasa."
Putri Anjani hanya bisa terpaku. Pantas saja dia tidak mendengar langkah kaki. Karena wanita yang punya kecantikan luar biasa di hadapannya ini memang tidak menapak lantai. Namun melayang dengan ringan seolah helaian kapas. Diam-diam Putri Anjani bergidik. Pertemuannya dengan Ratu Laut Selatan saja telah membuatnya takjub dan takut. Dan sekarang dia bertemu pula dengan adiknya. Eh, kalau mereka kakak beradik berarti….?
"Ya. Aku adalah Dewi Lanjar. Permaisuri Laut Utara. Kau sedang berada di Istana Laut Utara. Pulihkan tenagamu beberapa saat di sini. Aku akan melengkapi pukulan Prahara Laut Selatanmu dengan Prahara Laut Utara. Pukulanmu nanti akan sempurna dengan nama Pukulan Puncak Prahara. Kau tidak akan mudah dikalahkan walaupun oleh datuk persilatan nomor 1 di daratan Jawa."
Dewi Lanjar mengebutkan lengan bajunya. Sebuah pusaran angin yang kecil saja muncul di hadapan mereka. Namun Putri Anjani merasakan kekuatan dahsyat nyaris menghisap tubuhnya yang bergoyang-goyang bertahan sekuat tenaga.
Setelah Permaisuri Laut Utara itu mengebutkan lengan dan pusaran angin itu menghilang, Putri Anjani buru-buru berlutut.
"Terimakasih atas semua petunjuk Permaisuri. Aku akan melaksanakannya dengan sepenuh hati."
Dewi Lanjar tertawa perlahan. Namun makin lama makin keras. Kamar itu berguncang seolah sedang terjadi gempa besar. Putri Anjani terkejut. Tapi tetap duduk bersimpuh.
"Baiklah anak manis! Mulai besok aku akan mengajarkanmu ilmu Pukulan Prahara Laut Utara dan juga memberitahumu bagaimana cara menggabungkannya dengan Prahara Laut Selatan. Aku dan kakakku sepakat kalian dari Lawa Agung harus dibantu. Kami tidak ingin Ratu Sekar Kedaton dari Puncak Merapi beserta keturunannya menghalangi kalian lagi."
Suara tawa itu terus berkumandang. Membuat nyeri pendengaran Putri Anjani yang mesti mengerahkan segenap hawa sakti agar gendang telinganya tidak pecah. Bukan main! Sepertinya Permaisuri Laut Utara ini lebih pemarah dibanding kakaknya yang penguasa Laut Selatan.
-----
Arya Dahana berpamitan kepada orang tua penjaga Istana Blambangan. Dia akan melanjutkan perjalanan ke Galuh Pakuan untuk menemui Dewi Mulia Ratri. Gadis itu mungkin sedang disibukkan dengan memperkuat pasukan Galuh Pakuan. Bahkan barangkali juga berusaha keras mengumpulkan para tokoh sakti di tlatah Pasundan. Bantar Muncang telah jatuh. Galuh Pakuan tentu akan berusaha merebutnya kembali. Namun harus dengan perencanaan yang matang dan kekuatan yang cukup. Lawa Agung sama sekali tidak bisa diremehkan. Satu hal yang pasti, Galuh Pakuan akan kesulitan merobohkan pusat kekuatannya yang berada di Pulau Kabut. Sebuah pulau misterius yang sulit ditemukan sekaligus di bawah perlindungan Ratu Gaib yang ditakuti. Ratu Laut Selatan.
Pemuda itu akan memberikan dukungan moral kepada gadis yang dicintainya itu agar tak patah semangat. Meski jika diminta terus terang, Arya Dahana akan menolak apabila dilibatkan dalam perang. Kecuali itu demi alasan kemanusiaan.
Hadiah dari mendiang Raja Blambangan berupa Mustika Air benar-benar membuat semuanya sempurna bagi Arya Dahana. Belasan tahun sejak kecil pemuda ini menderita hebat dan setiap harinya berada dalam batas tipisnya hidup dan mati setelah menerima pukulan berhawa panas Aswangga dan jarum beracun berhawa dingin Madaharsa. Arya Dahana baru benar-benar sembuh setelah menelan Mustika Api Naga Merapi melalui pengorbanan hebat Dyah Puspita. Kedua hawa itu menyatu dalam tubuhnya sehingga pemuda itu kemudian kebal terhadap segala macam racun dan sihir.
Setelah kini menelan Mustika Air Naga Merapi, Arya Dahana mencapai batas kesempurnaan pada semua ilmu pukulan yang dipelajarinya. Batu Mustika Air itu membuat keseimbangan yang saling melengkapi antara hawa panas dari Amurti Arundaya dan hawa dingin Danu Cayapata. Karena pemuda ini juga telah mempelajari Geni Sewindu yang punya kelebihan menolak sihir, maka hawa panas di dalam tubuhnya jauh lebih besar dibanding hawa dingin. Setelah dilengkapi dengan menelan Mustika Air, maka hawa sakti di tubuh pemuda itu melebur secara sempurna dan seimbang antara hawa panas dan hawa dingin karena Mustika Air membuat hawa sakti yang bersifat dingin meningkat beberapa kali lipat. Pemuda itu sekarang menjadi pemuda sakti yang susah menemui tandingan.
Arya Dahana menggerakkan tubuh berjalan menuju perbatasan Cipamali. Kali ini dia memilih untuk melewati jalan biasa. Terkadang menumpang kereta saudagar yang baik hati atau berjalan kaki menyusuri keramaian banyak perdikan di Jawa yang subur dan makmur. Tak jarang pula pemuda itu melewati kota-kota di sepanjang pesisir utara yang sibuk oleh arus kehidupan para nelayan.
Banyak hal menarik yang dilihatnya di sepanjang jalan menyusuri pantai utara itu. Para pedagang Arab dan China mulai berdagang di beberapa tempat ramai di pesisir. Meskipun jumlah mereka masih sedikit tapi dari beberapa percakapan yang ditangkapnya di kedai makan atau penginapan, keturunan dari Bhre Wirabumi yang telah ditangkap dan dibawa ke Istana Barat Majapahit untuk diadili banyak yang melarikan diri ke pesisir utara dan membangun kehidupan di sini bersama para pedagang China dan Arab. Arya Dahana menduga mungkin mereka sedang menyusun kembali kekuatan.
Majapahit memang mulai melemah. Pemberontakan terjadi di sana sini. Wilayah kekuasaannya melepaskan diri satu demi satu. Semenjak Mahapatih Gajahmada tidak menjabat lagi dan Hayam Wuruk digantikan oleh anak menantunya, penurunan wibawa Majapahit semakin terasa. Wilayah-wilayah taklukan yang dulunya sangat segan dan tidak berani memberontak, mulai melakukan perlawanan. Ada yang dilakukan secara terang-terangan namun tak sedikit pula yang melakukan dengan cara diam-diam.
Arya Dahana menyadari bahwa zaman sepertinya sudah mulai bergeser. Meskipun begitu, roda kehidupan terus bergulir. Rakyat kecil umumnya tidak peduli sedang dalam pemerintahan siapa atau kerajaan mana. Bagi mereka, selama kebutuhan dapur tercukupi, maka siapapun akan mereka dukung. Namun jika penghidupan mereka sengsara dan anak istri tidak cukup makan serta kelaparan, maka lengan dan kepalan akan mereka pertaruhkan.
Arya Dahana memasuki sebuah kedai kecil di perkampungan nelayan. Bau ikan bakar yang menguar membuat perutnya berkeruyuk kencang. Di daerah pertemuan muara Laut Utara dan aliran Sungai Slamaran ini memang terkenal dengan penghasilan ikannya. Meskipun hanya sebuah perkampungan yang tidak terlalu besar namun para nelayannya terlihat semuanya makmur dan berkecukupan. Kedai-kedai kecil banyak menyediakan bakaran ikan yang menggoda selera di sepanjang jalan utama.
Semenjak dahulu desa makmur ini tidak pernah bertambah luas atau besar. Jumlah penduduknya juga hanya ratusan jiwa. Padahal daerah yang sangat terkenal sebagai lumbung ikan ini seharusnya memancing para pendatang untuk mengadu nasib dan peruntungan. Tapi itu tidak terjadi. Arya Dahana sudah beberapa kali melewati tempat ini. Keadaannya masih sama seperti dulu pertama kali dia lewat. Makmur tapi tidak berkembang. Aneh sebetulnya. Baru sekarang Arya Dahana menyadari keanehan itu.
Sambil menunggu pesanan Kerapunya yang sedang dibakar, Arya Dahana mengedarkan pandangan ke sekitar. Kedai ini kecil tapi bersih. Begitu juga kedai-kedai lain yang berjajar dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan. Ikan-ikan segar diletakkan di para-para samping kedai. Isi perutnya telah dibersihkan sehingga tidak akan cepat membusuk. Jika lewat 1 hari saja, maka para pemilik warung akan cepat-cepat mengasinkan ikan yang ada lalu menggantinya lagi dengan ikan segar. Begitu setiap hari.
Arya Dahana menduga kehidupan di daerah yang sebetulnya terpencil dan jauh dari kota meskipun dilewati jalan utama ini hidup karena lalu lintas perdagangan yang membawa hasil laut dan barang-barang selalu melintasi daerah ini bila hendak menuju ke daratan Jawa bagian barat, atau sebaliknya, tempat ini akan dilewati oleh para saudagar yang hendak membawa hasil bumi ke Jawa bagian timur.
Meskipun begitu, yang sedikit mengherankan bagi Arya Dahana adalah ada daerah sebelum perkampungan ini yang juga dilalui oleh jalan utama tapi tidak semaju desa ini. Begitu pula desa-desa setelah ini yang mengarah Sungai Cipamali kehidupannya cenderung biasa bahkan tergolong sederhana. Mungkin desa ini diberkati Sanghyang Widi. Arya Dahana membatin.
"Malam purnama ketiga sudah mendekat Kakang. Apakah para tetua sudah mempersiapkan segala ubarampe untuk sedekah laut?"
Terdengar suara seorang pria tambun yang sedang sibuk mengunyah kaki kepiting. Dia dan temannya sedang makan di beranda kedai di sebelahnya. Nampak jelas dari sini.
"Iya Adimas. Mungkin kita harus segera memberi tahu para pinisepuh mengenai hal ini. Maklum mereka semua sudah beranjak tua dan bisa saja lupa pada peristiwa ritual bulan purnama."
Seorang pria tinggi kurus menyahut dengan wajah sedikit kaget. Si pria tambun menggeleng-gelengkan kepala. Raut mukanya memunculkan kengerian yang bisa ditangkap oleh sudut mata Arya Dahana.
"Apakah kau pikir mereka kesulitan mendapatkan tumbal Adimas? Perjaka atau perawan lugu untuk persembahan mungkin sudah sulit didapat sekarang."
Pria kurus itu melanjutkan dengan suara berbisik agar hanya pria tambun itu saja yang mendengar. Tapi Arya Dahana bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Perjaka? Perawan? Persembahan?
"Mungkin saja Kakang. Orang-orang yang lewat termasuk saudagar dan pelajar mungkin sudah mengetahui semua perihal ini sehingga mereka yang membawa seorang perjaka atau perawan lugu pasti akan berputar lewat jalan lain." Pria tambun itu sedikit mengeluh.
"Iya. Aku juga heran kenapa syarat seberat itu masih harus ditambah bahwa perjaka atau perawan lugu itu tidak berasal dari kampung sini."
Wah, wah! Itu rupanya jawaban dari pertanyaan kenapa kampung ini tidak pernah membesar. Para pendatang ketakutan! Ada kegiatan rutin persembahan yang memerlukan tumbal dan itu tidak boleh dari orang setempat!
Ikan pesanannya sudah datang. Sambil makan, Arya Dahana bergulat dengan pikirannya. Perjaka dan perawan itu dipersembahkan untuk siapa? Apakah ada kekuatan magis dan mistis di sekitar sini? Dia sering mendengar orang tenggelam dan "diambil" oleh Laut Selatan. Tapi bukan dalam bentuk persembahan. Laut Selatan yang memilihnya sendiri. Atau tepatnya Ratu Laut Selatan yang memilih. Bukan sengaja dipersembahkan menjadi tumbal.
Tapi di sepanjang pesisir Laut Utara dia belum pernah mendengarnya. Arya Dahana yakin bahwa sama dengan Laut Selatan, Laut Utara ini pasti ada penguasanya. Tapi karena jarang sekali disebut dalam kisah-kisah para nelayan mengenai Ratu Laut Utara dan atau semacamnya, maka kisah mengenai penguasa Laut Utara tidak terdengar gaungnya.
Suara ketiga yang baru bergabung dalam percakapan bisik-bisik di kedai sebelah itu membuat Arya Dahana terperanjat. Seorang lelaki dengan pakaian mahal dan lagak perlente duduk di sebelah pria tambun dan lelaki kurus itu.
"Permaisuri Laut Utara akan murka jika sampai purnama kehabisan tubuhnya dan kita belum memberikan persembahan."
"Benar Raden. Kita tentu tak mau Sang Permaisuri mengutus lagi Panglima Karimata yang sebesar Genderuwo beserta pasukannya yang ganas mengobrak-abrik kampung kita dan mengambil salah satu dari anggota keluarga untuk dijadikan tumbal paksa."
Arya Dahana nyaris tersedak makanan ketika 2 nama itu disebutkan. Permaisuri Laut Utara. Panglima Karimata. Dua nama itu masih bergaung jelas di telinganya. Jadi mereka yang meminta tumbal?
Suara ramai derap kaki kuda dari kejauhan mendatangi tempat ini. Sepertinya rombongan besar saudagar hendak lewat atau mampir makan. Suara bisik-bisik itu membuat Arya Dahana mengerutkan kening.
"Ada rombongan besar dari kejauhan mau lewat! Segera hubungi salah satu Tetua dan minta supaya gerombolan Begal Pati mencegat mereka di Sungai Slamaran!"
"Baik Raden. Kami berdua akan ke rumah Tetua." Arya Dahana melihat dua sosok besar dan kecil itu berlari masuk perkampungan.
Sungai Slamaran tidak jauh dari sini. Sebuah sungai besar yang bermuara di Laut Utara. Orang-orang yang hendak melintasi sungai biasanya menaikkan kuda, kereta, atau barang-barang mereka ke kapal penyeberangan yang cukup banyak terdapat di muara tersebut. Ada tempat penyeberangan lain yang berada agak jauh lagi di sebelah hulu. Tapi kapal yang tersedia lebih kecil dan lebih sedikit sehingga umumnya para saudagar dan pedagang lebih memilih lewat muara.
Arya Dahana duduk di sebuah kedai minum di pinggir tempat penyeberangan. Pemuda ini penasaran dengan apa yang disebut sebagai Begal Pati. Dia menduga para begal inilah yang disewa oleh penduduk kampung ini untuk menculik perjaka atau perawan lugu yang ada dalam rombongan orang lewat.
Rombongan besar saudagar itu terlihat mendekat dan menghentikan kuda serta kereta di tempat penyeberangan. Beberapa perahu besar yang rupanya sudah dipesan terlebih dahulu telah bersandar menunggu. Para saudagar turun dari kereta. Dandanan yang wah dan muka berminyak mereka menghiasi tempat penyebrangan dengan banyak keluhan. Panas, gerah, seandainya turun hujan, dan sebagainya, ramai keluar dari mulut mereka.
Selain para saudagar kaya itu, beberapa orang lagi turun dari kereta. Nampaknya adalah istri dan anak-anak mereka. Ada yang masih kecil tapi banyak juga yang sudah remaja, gadis serta pemuda. Rombongan yang besar sekali itu dipimpin oleh saudagar berperut gendut dan seorang lagi yang terlihat seperti kepala regu keamanan. Seorang lelaki berperawakan sedang dengan caping lebar yang menutupi nyaris seluruh mukanya.
Arya Dahana mengerutkan kening. Sepertinya dia mengenali sosok itu. Pemuda ini melesakkan caping yang sama sehingga mukanya tidak terlihat jelas. Jika benar sosok itu orang yang ada dalam dugaannya, dia tidak mau berurusan dengannya. Orang itu berbahaya dengan segala macam intrik dan kepalsuannya. Selain berilmu sangat tinggi tentu saja.
Saat pemuatan barang, kereta dan kuda mulai dilakukan, terdengar teriakan nyaring dari kejauhan. Beberapa kuda dipacu dengan kencang menuju tempat itu. Para saudagar itu terperanjat. Semuanya berlindung di belakang lelaki bercaping lebar yang maju bersama belasan anak buahnya yang semua bertubuh kekar berotot. Arya Dahana melebarkan matanya. Pasukan keamanan itu terlihat sangat terlatih. Kembali terlintas sebuah pikiran dalam benak Arya Dahana.
Rombongan berkuda yang berteriak-teriak kencang itu tiba. Puluhan orang berwajah sangar dengan pedang teracung di tangan turun dari kuda lalu mendekati rombongan saudagar dengan pandangan mengancam.
Di pimpin oleh seorang lelaki setengah tua brewokan, rombongan orang-orang sangar itu mengepung belasan pasukan keamanan para saudagar.
"Namaku Begal Pati! Aku tidak akan merampok dan mengambil satupun harta benda kalian! Aku hanya ingin membawa gadis itu dan pemuda yang di sana!" Begal Pati menunjuk ke seorang gadis remaja yang memeluk ibunya dengan wajah ketakutan dan kepada seorang remaja pria yang pucat wajahnya seketika.
"Hmm, apakah kau pikir mampu melakukannya dengan paksa wahai begal rendahan! Cobalah maju lagi. Aku ingin tahu apakah kalian masih berhak menyandang julukan begal atau tidak!" Lelaki bercaping lebar itu maju dua langkah dan berdiri gagah menantang.
Begal Pati adalah pimpinan begal yang selama ini menghantui Sungai Slamaran. Umumnya para saudagar selalu memberikan upeti berupa koin perak atau emas agar tidak diganggu. Begal ini semakin merajalela semenjak pasukan Majapahit menarik regu-regu penjaga keamanan di beberapa titik yang dianggap terlalu jauh dari istana. Termasuk titik penyeberangan di Sungai Slamaran ini.
Rombongan ini juga yang selalu disewa oleh penduduk kampung sekitar Slamaran untuk menculik perjaka atau perawan yang akan dijadikan persembahan. Permaisuri Laut Utara memberikan syarat bahwa perjaka atau perawan yang dipersembahkan untuk Istana Gaib Laut Utara bukan merupakan penduduk asli daerah situ untuk mengurangi kemungkinan terjadinya gejolak dan pemberontakan. Selain tentu saja Istana Gaib Laut Utara tidak ingin manusia di sekitar kerajaan mereka jumlahnya makin habis. Perjaka dan perawan itu selanjutnya dijadikan prajurit, dayang-dayang atau hulubalang tergantung seberapa kuat bakat mereka.
Begal Pati yang sangat marah karena baru kali ini ada yang coba menantang mereka, memberi isyarat menyerang kepada puluhan anggotanya. Orang-orang berangasan itu berteriak-teriak sambil menerjang ke arah regu penjaga keamanan para saudagar.
Terjadilah pertempuran sengit namun nampak sekali tidak seimbang. Anggota Begal Pati adalah orang-orang kasar yang hanya mempunyai kemampuan kanuragan tingkat rendahan. Mudah saja bagi pasukan keamanan yang sangat terlatih itu membuat kocar-kacir orang-orang Begal Pati.
Begal Pati menggerung marah dan ikut menerjang maju. Tubuhnya yang tinggi besar mengayun-ayunkan sebilah golok berukuran besar. Kepandaiannya cukup tinggi. Beberapa orang anggota regu keamanan yang menghadapinya terlihat kewalahan. Lelaki bercaping lebar itu bergerak maju. Menyerang tanpa ampun Begal Pati yang langsung terdesak hebat. Mungkin beberapa jurus lagi Begal Pati akan menemui ajal atau setidaknya terluka parah.
Arya Dahana melihat dan berdiam. Dia tidak mau ikut campur urusan begal membegal ini. Tapi pemuda itu tetap siaga jika saja penculikan paksa itu akan terjadi. Para saudagar dan keluarganya pergi menjauh dari gelanggang pertempuran. Berlindung di kedai-kedai kecil yang para pemilik warungnya ikut menonton dengan wajah ketakutan.
Terdengar raungan kesakitan dari Begal Pati saat tubuhnya terlempar bergulingan di tanah. Dari mulutnya tersembur darah segar. Lelaki bercaping lebar itu rupanya tidak mau menurunkan tangan maut. Namun luka yang diderita Begal Pati cukup parah sehingga dia tergeletak tanpa bisa segera bangkit lagi.
Melihat pimpinannya dikalahkan dengan mudah dan telak, puluhan anggota Begal Pati yang nyaris semua juga sudah terluka, berhamburan menyelamatkan diri sambil membawa Begal Pati yang setengah pingsan tak mampu bergerak.
Para saudagar bersorak-sorak merayakan kemenangan pasukan keamanan yang mereka sewa mahal itu. Sorakan yang disambut oleh sambaran petir tidak jauh dari mereka. Disusul angin ribut yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda apa-apa. Mereka sedang berada di Muara Sungai, sehingga semua bisa melihat dengan jelas mendung gelap dan hitam disertai gelombang tinggi mendatangi muara dengan cepat.
Arya Dahana terkesiap. Ini mirip dengan tanda-tanda kedatangan tokoh siluman yang menyebut dirinya Panglima Karimata tempo hari.
* ****