Ceruk malam menyisakan bias tak kentara
Dari cakrawala yang memudar di laut utara
Permaisuri yang tertidur di dasar lautan
Terbangunkan oleh huru hara di pesisir
Ketika badai saling beradu mata
Menciptakan sekian banyak prahara
Dan melahirkan anak-anak perkara
Hutan-hutan yang sudah pula terjaga
Memeluk rapat dedaunan
Agar tak tertimbun oleh kabut
Yang bertamu tanpa mengetuk pintu
Menenggelamkan tanpa mengucap salam
Patahan-patahan kata dari peribahasa
Bergulung-gulung memaku kekosongan
Seolah sebuah kesunyian sedang bertiwikrama
Menjadi kegaduhan yang meraksasa
Ketika orang-orang menghentikan percakapan
Demi tak terhunjam oleh kericuhan
Istana Blambangan. Begitu suara Genderuwo yang mengaku bernama Panglima Karimata itu lenyap di udara, Arya Dahana mengalihkan pandangannya ke arah 3 tokoh Majapahit yang perlahan-lahan mendekati tempatnya berdiri.
"Serahkan 2 benda pusaka itu anak muda. Kami tidak ingin berperkara denganmu. Pergilah dengan damai. Maharaja Majapahit menginginkan pusaka itu. Kau sebagai bagian dari rakyat Majapahit mesti patuh terhadap titah beliau," Pangeran Turangga Shakti berkata.
Arya Dahana menatap pangeran Majapahit yang merupakan salah satu putera Maharaja Majapahit sebelumnya dari selir ke 15. Sehingga sebenarnya terhitung sebagai adik tiri dari Maharaja yang sekarang. Pangeran Turangga Shakti adalah keturunan raja yang semenjak kecil terjun di dunia persilatan. Dari sekian banyak tokoh silat yang menjadi gurunya, Ki Biantara adalah salah satu guru pertamanya. Namun guru yang menggemblengnya habis-habisan dan menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi adalah Ki Banyu Pethak. Seorang tokoh tua sakti yang menguasai pukulan Danu Cayapata. Karena itu Pangeran Turangga Shakti juga mewarisi ilmu pukulan langka itu.
Oleh sebab itu tadi, saat terjadi pertarungan antara Arya Dahana melawan Siluman Karimata yang mengaku sebagai Panglima Permaisuri Laut Utara, kemudian Arya Dahana menggunakan Pukulan Busur Bintang yang luar biasa dahsyatnya, Pangeran Turangga Shakti merasa jerih bukan main. Pukulan Busur Bintang Arya Dahana sudah demikian sempurna sehingga mampu membekukan gelombang dan juga memukul mundur Panglima Karimata yang setengah siluman itu.
Walaupun begitu, karena mengira Arya Dahana sudah kelelahan dan juga yakin terhadap kesaktian Ki Tunggal Jiwo dan Ki Biantara, Pangeran Turangga Shakti berani berhadapan dengan pemuda yang kini memandang kepadanya dengan mata berkilat.
"Aku tidak menyerahkan apa-apa kepada siapa-siapa. Pusaka ini milik Kerajaan Blambangan dan aku akan mengembalikan kepada pemiliknya. Majapahit tidak memilikiku. Siapapun yang berbicara atas nama Majapahit juga tidak berhak memerintahkan aku untuk berbuat sesuatu. Aku memerintah diriku sendiri!"
Arawinda terkejut mendengar Arya Dahana bersuara dengan nada keras luar biasa seperti itu di hadapan para tokoh Majapahit. Ki Tunggal Jiwo dan Ki Biantara saling pandang. Mereka berdua tahu persis bagaimana pemuda sakti di depan mereka ini tidak pernah memusuhi Majapahit. Bahkan cenderung membela saat terjadi peperangan antara Istana Timur dan Istana Barat. Jika tak ada pemuda ini mungkin jalannya pertempuran di Istana Timur waktu itu tidak akan bisa dimenangkan Istana Barat. Pemuda inilah yang menahan tokoh-tokoh sakti dari Lawa Agung.
Ki Biantara maju menengahi. Pendekar tua yang bijak ini juga tahu bahwa meskipun mereka bertiga melakukan pengeroyokan, belum tentu bisa mengalahkan pemuda luar biasa ini.
"Arya Dahana, aku tahu kau adalah pemuda yang sangat dekat sekali dengan muridku Dewi Mulia Ratri. Tentu kami tidak mungkin memaksamu menyerahkan kedua pusaka yang kau dapatkan secara benar itu. Hanya saja mungkin perlu kau pertimbangkan bahwa kehadiran 2 pusaka itu di Istana Blambangan akan kembali memunculkan pemberontakan demi pemberontakan yang kau tahu sendiri akibatnya hanya menyengsarakan rakyat kecil."
Ki Tunggal Jiwo menimpali.
"Ki Biantara benar anak muda. Ingat juga bagaimana anakku Dyah Puspita berkorban nyawa untukmu agar kau bisa mengabdikan dirimu kepada kerajaan yang dibelanya matian-matian selama bertahun-tahun."
Arya Dahana tersenyum. Amarahnya turun setelah mendengar kedua orang tua itu berbicara dengan cara yang santun dan lembut.
"Maafkan aku Ki Biantara dan Ki Tunggal Jiwo. Aku memahami kalian hanya sekedar menjalankan amanat Maharaja. Aku sangat menghargai itu. Tapi tentu akupun harus menyelesaikan amanatku untuk mengembalikan kedua pusaka ini ke Istana Blambangan. Setelah pusaka ini berada di Istana Blambangan, terserah kalian mau melakukan apa. Aku tidak akan menghalangi. Karena mencampuri urusan kerajaan adalah hal yang paling kuhindari."
Kembali Ki Biantara dan Ki Tunggal Jiwo saling tatap. Pemuda ini rupanya ikut memperebutkan 2 benda pusakan itu tidak untuk dirinya sendiri. Namun atas perintah Kerajaan Blambangan. Sama seperti mereka yang juga atas amanat Maharaja Majapahit. Mereka tidak mungkin merebut pusaka dari tangan pemuda yang mendapatkannya dengan cara yang benar. 2 tokoh Majapahit ini memutuskan mundur sementara.
"Pergilah selesaikan amanatmu. Tapi jangan salahkan Majapahit jika menurunkan pasukan terbaiknya untuk merebut pusaka dari Istana Blambangan nantinya."
Ki Biantara berkata lalu menggeser tubuhnya. Tidak lagi menghadang Arya Dahana. Hal itu diikuti oleh Ki Tunggal Jiwo. Namun Pangeran Turangga Shakti yang merasa punya wewenang lebih dibanding 2 tokoh itu tidak mau minggir. Kepalang basah. Malu juga jika sedemikian mudahnya mengalah.
"Kau boleh pergi setelah aku menjajal kemampuanmu!"
Pangeran Turangga Shakti menerjang Arya Dahana dan melancarkan pukulan Danu Cayapata yang dikuasainya.
Awalnya Arya Dahana terkejut melihat pangeran ini juga menguasai Danu Cayapata tapi tidak bisa berpikir lama karena angin pukulan itu sudah datang mengarah ke bagian tubuhnya.
Pemuda ini melompat mundur. Tidak mau beradu tangan karena sadar jika sampai pangeran ini tewas atau terluka, dia akan menjadi buronan Majapahit seumur hidupnya. Dan itu tidak menyenangkan sama sekali. Dia akan kehilangan kebebasan untuk pergi kemana saja karena terus diburu dan dikejar oleh pasukan Majapahit.
Sambil melompat lagi mengelak dari serangan berikutnya, Arya Dahana berseru kepada Arawinda. Sambil mengerahkan semua ilmu meringankan tubuh dan menghilang cepat dari pesisir pantai utara.
"Arawinda, aku pergi. Kita akan bertemu lagi di lain waktu. Terimakasih!"
Pangeran Turangga Shakti yang keras hati itu hendak mengejar. Tapi Ki Tunggal Jiwo memegang lengannya.
"Percuma Pangeran. Paduka tidak akan bisa mengejarnya. Pemuda itu entah mengapa sangat meningkat tinggi kemampuannya semenjak peristiwa Merapi."
Pangeran Turangga Shakti menurut. Ki Tunggal Jiwo adalah pucuk pimpinan Pasukan Sayap Sima. Jajaran elit pasukan Majapahit yang punya pengaruh besar sejak zaman Maharaja Hayam Wuruk, Mahapatih Gajahmada hingga Maharaja yang sekarang. Menentang Ki Tunggal Jiwo akan menimbulkan masalah baginya meski dia adalah seorang pangeran.
Arawinda mengangguk kepada Ki Biantara dan Ki Tunggal Jiwo lalu berkelebat lenyap dari pesisir yang tenang setelah tadi sempat hiruk pikuk oleh beberapa kali pertarungan tingkat tinggi. Dia tidak punya tujuan tertentu. Tugasnya menjaga keseimbangan yang diamanatkan gurunya Si Bungkuk Misteri terlaksana. Mungkin sebaiknya dia terus menyempurnakan Tarian Astadewi agar tingkatnya semakin tinggi. Arawinda bergidik bila mengingat Panglima Karimata. Ternyata laut utara juga menyimpan misterinya tersendiri.
Ki Biantara, Ki Tunggal Jiwo dan Pangeran Turangga Shakti, menggerakkan tubuh pergi. Kembali ke Pusat Kerajaan Majapahit untuk melaporkan kepada Maharaja atas kegagalan mereka mendapatkan 2 benda pusaka yang akhirnya kembali ke Istana Blambangan. Mereka akan menunggu titah Maharaja selanjutnya. Apakah diperintahkan untuk merebut dengan cara kekerasan atau merelakankannya begitu saja.
----
Arya Dahana sengaja melewati jalan-jalan hutan dan ngarai untuk menghindari perjumpaan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan yang pasti sedang mengincar kedua pusaka di tangannya. Dia enggan meladeni bukan karena takut tapi alangkah baiknya jika kedua pusaka ini cepat dikembalikan ke gudang pusaka Istana Blambangan. Setelah itu dia sudah punya rencana untuk pergi ke arah matahari terbenam. Janjinya kepada Dewi Mulia Ratri juga harus ditunaikan.
Hutan dan ngarai yang dilewatinya masih dalam tlatah Pegunungan Ijen yang masih satu jajaran dengan Gunung Raung yang menghebohkan itu. Teringat betapa banyaknya keanehan yang terjadi di gunung itu.
Satu hal yang mengherankan dan masih menjadi pikiran Arya Dahana adalah keberadaan tokoh-tokoh Lawa Agung, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni. Apakah mereka terkubur di perut Gunung Raung atau berhasil meloloskan diri? Seingatnya mereka lari memasuki lorong sebelah kanan ketika gua mulai runtuh. Tapi di mana mereka?
Arya Dahana merutuki hatinya sendiri. Jawabannya langsung berada di hadapannya. Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Aruna berdiri menghadangnya di tepian lereng Gunung Ijen.
Tanpa banyak bicara ketiganya langsung menyerang Arya Dahana habis-habisan. Mereka tahu pemuda ini sangat tangguh yang bahkan sampai bisa menahan pukulan beruntun yang dilepaskan oleh tokoh-tokoh setingkat Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, dan mereka sendiri.
Arya Dahana memanfaatkan kelincahan tubuhnya untuk coba menghindar dan sesekali balas menyerang. Dia sebenarnya tidak berseteru dengan Lawa Agung. Dia hanya menentang tindakan raja dan para tokohnya yang kelewat batas. Tapi sepertinya memang sudah menjadi takdirnya untuk selalu bertentangan dengan mereka.
Satu hal yang menjadi keheranan Arya Dahana adalah betapa Lawa Agung tidak pernah kehabisan tokoh-tokoh sakti meski Raja Iblis Nusakambangan dan para Hulubalang telah tewas, Nini Cucara ditawan Majapahit, dan Putri Anjani sekarang lenyap dibawa Panglima Karimata.
Dua wanita cantik luar biasa yang menyertai Panglima Amranutta ini sangat lihai. Mungkin hanya sedikit di bawah Dewi Mulia Ratri, Arawinda maupun Putri Anjani. Tapi jelas mereka jauh lebih tangguh dibanding Bimala Calya atau Ardi Brata. Kemampuan dua wanita ini sangat aneh. Ilmu-ilmu pukulan yang dimainkan juga bukan seperti pukulan yang biasa dikenal di dunia persilatan Tanah Jawa.
Bahkan jelas sekali jurus-jurus dan pukulan mereka berdua ini mengandung sihir yang juga aneh. Agak mirip dengan Panglima Karimata tapi dengan aura sihir yang berbeda. Arya Dahana menduga keras bahwa Putri Anila dan Putri Aruna ini termasuk pasukan terpilih Ratu Laut Selatan.
Terjadilah pertempuran hebat yang menghiasi fajar lereng Ijen. Matahari sudah mulai mengintip di balik cakrawala. Tapi hari sudah dimulai dengan angin pukulan menderu dan mematikan dari ketiga orang Lawa Agung yang mati-matian menyerang Arya Dahana. Panglima Amranutta yang paling tangguh di antara mereka terus berusaha melepaskan pukulan-pukulan berbahaya dan mematikan. Diikuti oleh Putri Anila dan Putri Aruna yang juga tak berhenti bergerak menyerang secara bergantian maupun bersamaan.
Bagaimanapun juga kemampuan Panglima Amranutta yang barangkali hanya kalah setingkat dari Panglima Kelelawar, ditambah kelihaian Putri Anila dan Putri Aruna, membuat Arya Dahana terdesak hebat. Pemuda ini belum membalas serangan dengan serangan. Hanya berusaha sebisa mungkin mengelak dan menangkis.
Permusuhan dengan Lawa Agung telah berlarut-larut. Jika sampai dia menjatuhkan tangan maut maka selanjutnya hidupnya tidak akan tenang. Mereka bertiga selain tokoh-tokoh Lawa Agung, namun juga pembantu terpercaya Ratu Laut Selatan. Dia tidak akan bisa damai berjalan atau bertualang di sepanjang pantai selatan jika salah satu dari mereka mati di tangannya.
Arya Dahana memutuskan melarikan diri adalah jalan terbaik. Tapi rupanya ketiga tokoh Lawa Agung itu tahu maksud pemuda itu sehingga melakukan pengepungan agar dia tidak bisa melarikan diri.
Diam-diam Arya Dahana mengeluh. Jika terus begini dia akan mati konyol. Pemuda ini memutuskan hal lain. Sambil mengerahkan seluruh tenaga yang dipunyai, Arya Dahana langsung memainkan puncak jurus dan pukulan Amurti Arundaya. Pukulan Bayangan Matahari yang telah dilatihnya secara sempurna di Gunung Semeru dilepaskannya ke arah Panglima Amranutta yang kontan melompat menjauh saking jerihnya. Seluruh tubuh pemuda itu tertutupi cahaya menyilaukan dan dari kedua tangannya keluar selarik besar cahaya terang yang menghantam gundukan tempatnya berdiri tadi.
Gundukan tanah tinggi itu terbuka lebar dan hanya menyisakan sebuah lubang besar menganga yang hangus hingga ke batu-batunya. Panglima Amranutta bergidik. Seandainya dia tidak cepat menghindar, tubuhnya hanya akan menjadi kerangka gosong.
Mengambil kesempatan saat Panglima Amranutta melompat jauh, Arya Dahana berbalik melepaskan pukulan Danu Cayapata ke arah kedua putri lihai pembantu Ratu Laut Selatan itu. Tubuhnya yang semula bercahaya menyilaukan berganti menjadi berwarna biru pekat dan hawa di sekitar arena pertempuran langsung berubah luar biasa dingin sampai-sampai kedua putri itu harus menjauh saking tidak tahannya dengan hawa membekukan yang terjadi. Arya Dahana mendorong kedua tangannya ke tempat Putri Anila dan Putri Aruna yang telah bersiap menyerang kembali.
Ledakan hebat terjadi saat pukulan Arya Dahana bertemu dengan tanah dan batu cadas. Tempat itu sedikit menggelap karena pasir, debu dan batu yang hancur berubah menjadi bunga-bunga salju yang pekat berjatuhan. Kali ini Putri Anila dan Putri Aruna yang bergidik. Pukulan itu sudah sangat sempurna sehingga semua yang terkena sentuhan hawa pukulan berubah seketika menjadi butiran salju beku.
Kedua pukulan yang dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya itu memang disengaja Arya Dahana untuk memaksa mereka menjauh dari arena pertarungan. Arya Dahana mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh dan berkelebat lenyap dari tempat itu.
Panglima Amranutta hanya menggeleng-gelengkan kepala karena maklum dia dan kedua putri itu tidak akan sanggup mengejar pemuda aneh yang sangat sakti itu. Mereka harus segera kembali ke Pulau Kabut. Ada sebuah rencana besar yang sedang disusun oleh Panglima Kelelawar. Mereka hanya punya waktu sedikit untuk ikut memperebutkan kedua pusaka sakti itu. Dan ternyata mereka harus pulang dengan tangan hampa.
Arya Dahana merasa lega saat mendengarkan dengan seksama ketiga lawan tangguh itu tidak mengejar. Jarak ke Istana Blambangan tidak terlalu jauh lagi. Mungkin tepat saat matahari berada di atas kepala, dia akan sampai di sana menyerahkan kedua pusaka.
Tepat seperti dugaannya, Arya Dahana memasuki gerbang istana yang tidak dijaga secara ketat saat cuaca baru saja menghangatkan bumi. Pemuda itu berjalan pelan melewati penjagaan yang membiarkannya lewat tanpa menanyakan apa-apa.
Pemuda itu terheran-heran dengan kesiagaan para pasukan penjaga istana ini. Namun kemudian tersadar Blambangan sedang kehilangan semua gairah kehidupan semenjak dikuasai oleh Majapahit. Tatap mata para penjaga tadi juga membayangkan rasa putus asa. Seolah menjaga istana sudah tak ada gunanya karena yang berkuasa saat ini bukan lagi junjungan Blambangan yang berdiam di istana yang sepi ini. Tapi seorang Kuasa Tumenggung dari Kerajaan Majapahit yang mendirikan istana sendiri agak jauh dari sini.
Seorang tua tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Arya Dahana. Orang tua yang sama yang dulu menemuinya. Arya Dahana tidak pernah tahu nama orang tua itu karena orang tua itu memang tidak memperkenalkan namanya. Tapi hebat juga dia tahu aku akan datang? Arya Dahana tersenyum mengingat betapa konyolnya pertemuan mereka dahulu.
"Anak muda, aku punya keyakinan besar kau akan berhasil menunaikan amanat dari mendiang Raja Menak Jinggo. Dan aku sudah mendengar kabar yang dihembuskan angin dan cerita burung-burung bahwa orang yang berhasil mendapatkan Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat adalah putra mendiang Arya Prabu. Aku gembira nak! Aku yakin mendiang Raja juga akan bahagia di alam sana!" seperti biasa, orang tua itu terus berbicara tanpa memberi kesempatan Arya Dahana untuk ikut berbicara.
Orang tua itu memberi isyarat agar Arya Dahana mengikutinya dari belakang. Mereka memasuki istana megah yang suram itu. Memasuki lorong-lorong besar yang berliku hingga akhirnya tiba di depan sebuah bangunan paling besar yang dulunya adalah tempat raja tinggal. Di depannya terdapat sebuah balairung indah berbentuk joglo yang diukir secara rumit oleh para seniman istana tempo dulu.
Orang tua itu membawa Arya Dahana memasuki istana yang sangat lengang. Tidak nampak ada dayang-dayang atau emban. Suasana sunyi sangat terasa. Orang tua itu sempat berbisik bahwa keturunan mendiang raja sekarang justru lebih senang berkelana di hutan bersama sepasukan pengawal pilihan. Semua urusan pemerintahan dikelola oleh Kuasa Tumenggung. Istana Blambangan hanya menjadi simbol dan pengingat sejarah bahwa kerajaan kecil namun kuat ini pernah ada.
Orang tua yang tak henti-hentinya bicara itu mengajak Arya Dahana memasuki sebuah ruangan yang di depannya mengepul asap dupa tebal di samping kanan kiri pintunya yang kokoh.
Begitu memasuki ruangan yang letaknya berada persis di sebelah peraduan mendiang raja, Arya Dahana langsung disergap oleh hawa dingin luar biasa yang mencekam. Buru-buru pemuda ini mengerahkan hawa sakti. Ruangan ini auranya sangat berbeda. Hawa magis sangat kuat terbaui di sini. Arya Dahana maklum. Blambangan adalah salah satu pusat segala magis dan sihir di Tanah Jawa. Semenjak dahulu negeri ini adalah negeri para datuk sihir, ahli teluh dan tokoh yang mahir melakukan jampi-jampi dan mantra. Arya Dahana tersenyum kecil. Tanah kelahirannya ini sangat istimewa. Meskipun sekarang di bawah taklukan Majapahit, namun ruangan ini seolah-olah mengatakan sebaliknya.
Orang tua itu bersimpuh di depan panggung kecil yang tertutup tirai di segala sisinya. Bibirnya komat-kamit membaca doa dan mantra. Setelah itu sambil menyembah, orang tua itu membuka tirai dengan gerakan hormat dan hati-hati.
Hawa dingin luar biasa kembali menguar di seisi ruangan. Arya Dahana sampai harus mengerahkan seluruh tenaga murninya melalui gerakan samadi Amurti Arundaya. Selain dingin, hawa ini seakan menyedot ruhnya untuk keluar. Sihir yang luar biasa kuat. Arya Dahana tidak berniat melawannya dengan Geni Sewindu. Apalagi sebetulnya dia sudah kebal dengan berbagai macam sihir dan racun. Namun tetap saja aura sihir mampu menyusup di sela-sela aliran darahnya.
Orang tua itu memberi tanda kepada Arya Dahana untuk mendekat dan mengeluarkan kedua pusaka. Salah satu tangannya memegang peti kecil yang terbuat dari emas hitam. Sedangkan tangannya yang lain menyentuh tutup peti yang besar. Bersiap membukanya.
Arya Dahana mengeluarkan kedua pusaka dari bungkus kain lusuh. Dia mengangguk saat orang tua itu menyuruhnya memegang peti kecil menggantikan dirinya. Orang tua itu berbisik sangat lirih.
"Pada saat aku memasukkan kedua pusaka itu ke dalam peti besar ini, di saat yang bersamaan kau harus memasukkan tanganmu ke dalam peti kecil itu dan mengambil apapun yang ada di dalamnya. Jangan ragu-ragu. Lakukan saja!" Orang tua itu memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.
Arya Dahana kembali mengangguk. Orang tua itu mengambil Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat dari tangan Arya Dahana. Dia memberi isyarat kepada Arya Dahana lewat hitungan ketiga mereka akan melakukannya bersama-sama sesuai pesannya tadi.
Untuk ketiga kalinya Arya Dahana mengangguk. Orang tua aneh itu mengedipkan mata sekali, dua kali, dan seketika itu juga memasukkan kedua pusaka ke dalam peti besar yang langsung juga ditutupnya kembali.
Di saat yang sama Arya Dahana yang sebetulnya ingin tertawa dengan semua rangkaian peristiwa ini meraih benda di dalam peti kecil.
Orang tua itu menghela nafas lega sambil mengusap bulir-bulir keringat sebesar kelereng yang mengaliri dahinya. Orang tua itu tersenyum. Arya Dahana ikut lega setelah ritual yang menegangkan ini selesai juga pada akhirnya.
"Apa yang ada dalam genggamanmu itu adalah janji dari mendiang raja jika kau berhasil mengembalikan Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat ke tempatnya, anak muda. Kau tidak akan bisa membuka genggaman tanganmu sehebat apapun kekuatanmu. Telanlah! Baru benda itu akan lepas dari genggamanmu."
Arya Dahana yang sekarang berkeringat deras seperti habis kehujanan. Benda kecil di dalam genggamannya ini seolah menghisap habis semua kekuatan dalam tubuhnya. Amurti Arundaya dalam tubuhnya menggelegak seperti kawah yang siap meledak. Sedangkan hawa sakti Danu Cayapata menusuk-nusuk semua lubang pori-porinya seolah berusaha masuk ke dalam hingga tulang-tulangnya.
Arya Dahana merasakan kesakitan yang luar biasa seperti dahulu saat dia belum menelan Mustika Api Naga Merapi. Rasa sakit yang setiap saat bisa membunuhnya. Arya Dahana menyesal tadi nyaris mentertawakan ritual suci ini. Akibatnya sekarang dia berada di gerbang kematian yang menyakitkan.
Meskipun sesungguhnya orang tua itu berkata keras dan tidak lagi berbisik lirih seperti tadi, tapi apa yang didengar oleh Arya Dahana hanya kalimat telanlah. Dengan sisa kekuatan terakhir yang dipunyai, tanpa ragu-ragu lagi pemuda ini mengarahkan genggaman tangan ke mulutnya.
Sungguh aneh, genggaman rapat yang tidak bisa dibuka meski dia sudah mengerahkan segenap tenaga tadi tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Arya Dahana merasakan sebuah benda kecil yang dingin meluncur masuk kerongkongannya.
Setelah benda itu tertelan, barulah Arya Dahana merasakan perlahan-lahan tenaganya pulih kembali. Sambil duduk bersila dalam sikap samadi Arya Dahana memejamkan mata. Dia terhanyut dalam dua hawa bertentangan yang sekarang berpusar di dalam tubuhnya. Panas luar biasa dan dingin tidak terkira. Tapi kedua hawa itu membuatnya merasa sangat nyaman dan hidup. Dalam samadinya Arya Dahana tersenyum.
Orang tua itu membiarkan Arya Dahana larut dalam samadinya. Dia tadi tahu bahwa pemuda itu nyaris mati setelah menggenggam Mustika Air Naga Merapi. Kekuatan Mustika Api menolak kedatangan Mustika Air. Tapi setelah Arya Dahana menelan Mustika Air itu, dua hawa yang bertentangan itu justru bersatu.
* ***