Chapter 12 - Bab 12

Lintasan purnama

Di garis langit yang menua

Kadangkala menjadi sebuah pertanda

Bahwa malam sedang memasarkan cahaya

Kepada siapa saja yang mau memandang

Dan tidak terus terpaku pada ruang-ruang lengang

Dari setiap harapan yang berkumandang

Apakah itu setinggi tiang bendera

Atau serendah rumput di bawah cemara

Tetap akan mengudara

Hingga berbaur dengan partikel senyap

Namun tak akan pernah melenyap

Pantai Utara Jawa. Arya Dahana dan Arawinda merasa pelarian mereka sangat lama. Apalagi suara gemuruh dari gua yang runtuh seolah mengejar dari belakang dan membuat kengerian luar biasa sehingga mendorong mereka berlari lebih cepat. Lorong gua ini seolah tak ada habisnya. Entah jalan keluar berada di mana dan kapan mereka bisa menemukannya.

Berlari cepat di perut bumi sangat berbeda dengan berlari di permukaan. Selihai-lihainya Arya Dahana dan Arawinda, tetap saja kelelahan menyergap mereka.

Suara sayup langkah kaki di belakang membuat Arya Dahana mengrenyitkan dahi.

"Ada yang di belakang kita?" pandang matanya bertanya kepada Arawinda yang terlihat sangat kelelahan. Arawinda hanya mengangguk mengiyakan. Gadis itu sedang sibuk menata nafasnya.

Arya Dahana memusatkan pendengaran. Langkah kaki itu tidak sendiri. Ada beberapa orang yang sedang mengejar mereka. Jaraknya masih cukup berjauhan. Tapi langkah itu juga tersaruk-saruk. Para pengejar itu disergap kelelahan yang sama. Bahkan beberapa orang kelihatannya juga berhenti.

Lalu terdengar suara cicit burung memasuki pendengaran Arya Dahana. Kembali dahinya berkerut. Itu bukan suara Kelelawar. Tapi burung Camar! Ini sudah dekat dengan lautan!

Arya Dahana meraih lengan Arawinda. Mereka melanjutkan langkah. Tidak lagi berlari karena para pengejar juga sedang letih setengah mati. Jika dihitung-hitung, mereka sebenarnya sudah berlari nyaris selama setengah hari.

Suara debur ombak dan ramai kepak sayap burung mengantarkan Arya Dahana dan Arawinda ke pintu keluar gua yang berada di sebuah ….tebing tinggi. Mulut gua ini berakhir di jajaran dinding tebing yang membujur panjang di sepanjang bibir lautan. Benar apa yang disebutkan di dalam peta, gua ini mempunyai lorong yang tembus hingga pantai paut utara.

Arya Dahana mengukur seberapa curam tebing dan jauhnya permukaan laut. Dia teringat dahulu saat masih bersama Dyah Puspita, membuat lekukan tangga di dinding tebing tegak lurus begini. Itu bisa saja dilakukannya. Tapi ada pilihan lain yang jauh lebih baik serta tidak menguras tenaga. Suara-suara langkah kaki dari belakang mulai sayup-sayup terdengar lagi.

Arya Dahana menyentuh lengan Arawinda lalu mengayunkan tubuhnya ke udara. Mereka sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuh, beberapa kali berjungkir balik untuk mematahkan dorongan, dan akhirnya terjun menembus air laut yang dingin.

Setelah berenang sebentar, Arya Dahana dan Arawinda sampai di sebuah pantai berpasir putih yang sangat di landai di pinggiran hutan yang sangat lebat. Mereka dengan takjub melihat Gunung Raung menjulang gagah di hadapan mereka. Tebing, pesisir, dan hutan itu, ternyata adalah bagian dari kaki gunung misterius itu di sebelah utara.

Keduanya memutuskan memulihkan diri dengan bersamadi di atas pasir hangat.. Sekalian juga mengeringkan baju yang basah di bawah matahari sore yang masih menyengat.

Senja mulai menyapa. Air laut hanya bergelombang kecil. Arya Dahana membuka mata. Meraih kain lusuh yang berisi kedua pusaka. Pedang itu tidak terlalu panjang namun permukaan bilah bajanya nampak berkilat keemasan diterpa cahaya. Terdapat tulisan berhuruf Cina di gagangnya. Begitu pula seruling kecil berlubang 5 yang berwarna tegas keperakan. Ada ukiran huruf Cina di bagian bawahnya.

"Kun Lun…Siauw Lim." Desis Arawinda di belakangnya. Gadis itu memandang dengan penuh selidik ke arah Arya Dahana.

"Kenapa kau ikut memperebutkan senjata pusaka itu Arya? Aku tahu selama ini kau bukan orang yang tertarik bertentangan dengan orang demi sebuah pusaka?"

Arya Dahana tersenyum. Merasa wajar gadis murid Si Bungkuk Misteri ini bertanya. Dia mempunyai tugas dari gurunya untuk menjaga keseimbangan.

"Aku mendapatkan amanat dari mendiang Raja Blambangan untuk mengembalikan kedua pusaka kerajaan Blambangan ini pada tempatnya. Itu saja."

Arawinda mengangguk. Dia sudah lama mendengar bahwa kedua pusaka itu telah dimiliki oleh Kerajaan Blambangan selama ratusan tahun.

"Jadi apa rencanamu? Pergi ke Istana Blambangan?" Arawinda bertanya lebih lanjut.

Arya Dahana menjawab dengan anggukan. Itu memang rencananya.

Meskipun senja telah jatuh dan petang mulai membayang, tapi pantai ini tidak diselimuti oleh kegelapan. Bulan purnama sudah menaiki tangga langit secara perlahan. Pesisir itu disirami oleh cahaya keemasan.

Terdengar desir halus saat sebuah bayangan menerjang Arya Dahana dengan pukulan mematikan. Pemuda itu kaget bukan kepalang. Dia masih terpesona oleh purnama sehingga sedikit kehilangan kewaspadaan. Tapi tentu tidak semudah itu menjatuhkan seorang pemuda sakti yang telah mencapai puncak kesempurnaan dalam menguasai dua ilmu dasar unsur alam. Arya Dahana menggerakkan tubuhnya mengelak dan melompat mundur. Penasaran juga dia ingin melihat orang yang menyerang tanpa peringatan dan langsung menggunakan pukulan mematikan yang menyasar nyawa.

Hmm, wanita bercadar merah ini lagi.

"Kenapa kau selalu mengincar kematianku kisanak? Sebagai tokoh yang mengerti unggah ungguh dunia persilatan kau tentu tahu bahwa menyerang tanpa peringatan adalah perbuatan pengecut." Arya Dahana memang sedikit marah dengan wanita berdarah dingin dan bertangan besi itu.

Wanita itu hanya mendengus. Kembali tubuhnya bergerak menyerang. Kali ini dia menggunakan pukulan yang pernah menghancurkan peti-peti di dalam gua dan mengangkat gumpalan racun hingga jauh ke atas. Angin menderu-deru seolah lautan sedang marah dan bersiap meluncurkan badainya yang terkuat. Dari kedua lengan wanita bercadar merah itu seakan lahir sebuah prahara luar biasa yang siap melumatkan apa yang dikehendakinya.

Arya Dahana bersiap menghadapi pukulan aneh yang belum dikenalnya ini. Sudah cukup banyak dia menjumpai tokoh-tokoh tingkat atas dunia persilatan di Pulau Jawa, tapi dia sama sekali tidak mengenali pukulan yang nggegirisi ini.

Arawinda hanya melihat dari jarak yang cukup jauh. Dia tidak khawatir dengan keselamatan Arya Dahana karena yakin pemuda itu sanggup menghadapi wanita bercadar merah yang sangat pemberang itu. Gadis ini hanya ingat bahwa yang mengikuti mereka melalui lorong kiri gua tidak hanya wanita itu seorang. Masih ada beberapa orang lagi yang dia yakini sudah ada di sekitar sini. Di mana mereka?

Pertanyaan Arawinda langsung terjawab. Dia melihat Ki Tunggal Jiwo, Ki Biantara, dan Pangeran Turangga Shakti berjalan perlahan mendekati arena pertempuran. Arawinda bersiaga. Jika sampai mereka melakukan pengeroyokan, dia juga akan turun tangan.

Pertarungan antara wanita bercadar merah melawan Arya Dahana terjadi dengan sengit. Wanita itu terlihat sangat bersungguh-sunguh menjatuhkan tangan maut terhadap Arya Dahana. Pukulan-pukulannya yang menimbulkan angin kencang dan tajam itu membuat pakaian Arya Dahana berkibar-kibar. Pemuda itu sementara masih mencoba bertahan untuk tidak balas menyerang. Dia hanya akan membuat wanita itu kelelahan.

Tapi setelah beberapa belas jurus dilalui, Arya Dahana mulai terdesak. Pukulan yang menimbulkan angin ribut itu luar biasa. Arawinda yang merasakan kesiur angin dari jauh saja bisa merasakan bahwa pukulan itu juga mengandung hawa magis yang tidak biasa. Ada sihir aneh yang terkandung di dalamnya.

Arya Dahana mulai menangkis dan membalas. Setelah merasakan ada hawa sihir dari pukulan mengerikan wanita pemarah ini, dia memutuskan menggunakan pukulan Geni Sewindu. Pukulan ini tidak sedahsyat Bayangan Matahari atau Busur Bintang, namun memiliki aura yang bisa memunahkan hawa sihir.

Benar saja. Gantian wanita itu yang terdesak. Arya Dahana memang tidak pernah mau menjatuhkan tangan maut di setiap pertarungan yang dilakoninya kecuali jika tidak dengan sangat terpaksa.

Wanita itu kalah tenaga meski ilmu anehnya itu tadi sempat membuat Arya Dahana sedikit kebingungan. Rasa bingung yang sebetulnya lebih banyak disebabkan oleh aura magis pada pukulan tersebut.

Melihat semua pukulannya sanggup dimentahkan oleh Arya Dahana, wanita itu menjerit nyaring penuh kemarahan dan gerakannya berubah lambat namun angin pukulan yang ditimbulkan jauh lebih berbahaya. Arya Dahana mengenali pukulan ini. Tubuhnya melompat jauh ke belakang.

"Putri Anjani…?!"

Tapi wanita bercadar yang memang benar adalah Putri Anjani tidak mau berbasa-basi. Pukulan Gora Waja tingkat tertinggi yang dimilikinya dihantamkan sekuatnya ke arah Arya Dahana. Putri Anjani sengaja melebarkan pukulan berbahaya itu sehingga tidak ada jalan menghindar bagi Arya Dahana. Sesungguhnya Pukulan Prahara Laut Selatan sedikit lebih berbahaya karena mengandung sihir yang bisa melemahkan nyali dan semangat lawan. Tapi Arya Dahana yang tidak mempan sihir dan racun, tentu sama sekali tidak terpengaruh. Karena itu Putri Anjani mengeluarkan pukulan Gora Waja yang mampu menghancurkan batu karang paling keras sekaligus bisa membuat tubuhnya sekeras baja dan tahan pukulan.

Pemuda ini mengeluh dalam hati. Putri Anjani berniat adu nyawa dengannya. Jelas dia tidak bisa menghindar. Arya Dahana menggerakkan kedua tangannya menangkis pukulan maut tersebut.

Blaaarrr! Blaaarrr!

Ledakan keras mengguncang pesisir. Pasir-pasir berhamburan terkena angin pukulan setelah terjadi benturan dahsyat antara Gora Waja dengan Danu Cayapata. Cadar merah itu terlepas saking kuatnya Putri Anjani terpelanting dan terguling-guling di pantai. Dari sudut mulut gadis itu mengalir darah segar.

Meski dadanya terasa sesak karena luka dalam, Putri Anjani bangkit kembali. Tubuhnya terhuyung-huyung menghampiri Arya Dahana. Dendamnya kepada pemuda yang sering menggagalkan rencananya ini sudah sampai ubun-ubun. Dia tidak melihat Gendewa Bernyawa di punggung Arya Dahana. Pemuda itu pasti telah menyembunyikannya. Amarahnya semakin tak terbendung. Dia atau pemuda itu yang harus mati malam ini!

Dukkk!

Lengan Putri Anjani bertemu dengan lengan Arawinda. Gadis itu menangkis pukulan Gora Waja yang hendak dilancarkan kepada Arya Dahana. Tubuh Arawinda bergetar sedangkan Putri Anjani terpelanting untuk kedua kalinya. Dia terduduk dan tidak sanggup lagi berdiri. Mulutnya memuntahkan darah segar.

Tiba-tiba cuaca berubah hebat. Laut utara yang semula tenang mendadak bergolak. Gelombang besar tanpa disangka-sangka mulai menghantam tebing dan pesisir. Angin yang pada mulanya hanya menghembus sepoi-sepoi berubah menjadi badai dahsyat. Anehnya badai dan gelombang sama sekali tidak mengarah kepada Putri Anjani yang sekarang duduk bersila mencoba memulihkan diri.

Angin kencang dan gelombang besar bergulung-gulung dan hanya menuju ke arah Arya Dahana dan Arawinda yang sedang berdiri berdampingan.

Arawinda berdesis.

"Sihir! Arya, ini sihir mematikan dari orang yang punya kemampuan luar biasa!"

Arya Dahana tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia sedang menyiapkan pukulan Geni Sewindu yang digabung dengan Danu Cayapata. Geni Sewindu untuk membuyarkan sihir dan Danu Cayapata untuk menangkal kekuatan gelombang besar yang akan menghantam.

Blaaarrr! Blaaarrr! Blaaarrr! Blaaarrr!

Pesisir laut utara kembali diramaikan oleh beberapa kali ledakan dahsyat. Angin ribut terhenti seketika terkena terjangan Geni Sewindu dan gelombang besar itu membeku menjadi gulungan es setelah bertemu dengan pukulan Danu Cayapata.

Arawinda hanya bisa terpaku. Arya Dahana sekarang punya kemampuan yang meningkat berkali lipat semenjak terakhir dia bertemu pada pertempuran besar di Istana Timur.

Terdengar geram dahsyat penuh kemarahan. Sesosok bayangan nampak berlari di atas lautan! Menuju pantai tempat orang-orang berada. Jantung Arawinda berdegup kencang. Orang yang mampu berlari di atas air adalah orang punya kemampuan tidak lumrah manusia. Jangan-jangan yang datang ini sejenis siluman!

Dugaan Arawinda benar. Sosok yang berlari di atas lautan dan sekarang berdiri di hadapan mereka memang bukan sosok yang lumrah manusia. Bertubuh hitam dan tinggi besar dengan rambut panjang awut-awutan. Sosok itu menggeram marah kesekian kalinya. Tanpa ba bi bu lagi mendorongkan tangannya yang besar ke arah Arya Dahana yang berdiri tak kurang dari 30 depa di depannya.

Pukulan luar biasa itu seakan membawa badai. Rambut dan pakaian Arya Dahana berkibar-kibar bahkan sebelum pukulan itu tiba.

Arya Dahana tahu bahwa lagi-lagi pukulan ini bercampur dengan hawa sihir. Tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu menyorongkan kedua tangan menyambut. Pukulan tingkat akhir Geni Sewindu menyambar dan bertemu dengan pukulan makhluk mirip Genderuwo itu.

Ledakan akibat bertemunya dua hawa pukulan kali ini lebih hebat lagi. Pasir berhamburan ke segala arah dan bukit kecil es dari gelombang yang beku akibat Danu Cayapata pecah berantakan.

Sosok tinggi besar itu jungkir balik beberapa kali untuk mematahkan hawa pukulan yang menghantam dadanya. Arya Dahana sendiri bergoyang-goyang seperti nyiur yang tertiup angin kencang.

Rupanya sosok mirip Genderuwo itu tidak kapok meski sebenarnya dia jelas kalah dalam adu pukulan tadi. Tubuh raksasanya memasang kuda-kuda yang kokoh lalu menghantamkan kedua lengan besarnya sambil berteriak keras.

Arya Dahana juga sudah bersiap. Dia merasakan angin pukulan ini tidak mengandung sihir dan murni ilmu kanuragan. Dikerahkan tenaga sepenuhnya saat pukulan Danu Cayapata yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dipergunakan untuk menahan pukulan maut si raksasa. Arya Dahana sengaja ingin segera menyudahi pertarungan ini. Dia tidak ingin berlama-lama di sini karena melihat gelagat 3 tokoh Majapahit itu sedang bersiap merebut 2 pusakan yang ada dalam gendongannya.

Puncak dari ledakan dahsyat dengan suara yang sangat menggelegar terjadi.

Blaaarrr! Blaaarrr! Blaaarrr! Blaaarrr!Blaaarrr!

Tubuh raksasa si Genderuwo terlempar ke belakang dan tercebur dengan menimbulkan suara keras di permukaan lautan. Air memercik tinggi. Arya Dahana terjajar mundur beberapa langkah. Tenaga si Genderuwo ternyata sangat luar biasa.

Si Genderuwo rupanya tahu bahwa dia kalah. Meski merasakan sakit yang tak terkira di bagian dadanya, raksasa ini berlari menyambar tubuh Putri Anjani lalu berbalik melarikan diri ke tengah lautan. Geraman dan suaranya terbawa oleh angin laut memasuki pendengaran orang-orang yang berada di pesisir itu.

"Aku tidak akan melupakan kejadian ini anak muda keparat! Aku Siluman Karimata, Panglima dari Yang Mulia Permaisuri Laut Utara, akan mencabik tubuhmu saat kita bertemu lagi nanti!!"

* **