Chapter 11 - Bab 11

Seandainya sunyi, mengajakmu bertatap muka

Di sebuah gua yang tidak berlampu

Dan kenangan yang tak bermasa lalu

Apakah kau bersedia memenuhinya

Untuk berbincang ringan tentang cahaya?

Mungkin kau akan menemukan sebuah rahasia

Yang selama ini terkubur

Dalam kegelapan yang kufur

Dan membuatmu menisankan masa silam

Di sebuah upacara tanpa pemakaman?

Semisal percakapan, meninggalkanmu seorang diri

Di sebuah tempat yang kehabisan kata-kata

Apakah kau lantas berdiam diri

Membiarkan separuh bibirmu

Ditenggelamkan rasa kelu?

Atau kau memilih berteriak

Selantang serigala alfa

Di antara celah purnama

Yang terbuka menganga

Pada rumah langit yang menabur warna hitam

Sebagai isyarat sempurna berlalunya masa silam?

Maka jadilah sajak dan puisi

Agar kau bisa bersaksi

Mengenai bait-bait yang tetap berkata

Meski mulut terkunci di dalam biara

Gua Telunjuk Dewa Raung. Gua yang kelihatannya tadi hanya memiliki mulut kecil ternyata setelah berada di dalam ruangannya yang bercahaya temaram sangat luas. Dindingnya yang hitam masih memantulkan sedikit cahaya yang bisa ditangkap dari luar. Atapnya berlangit-langit tinggi dengan batu-batu runcing bertonjolan ke arah bawah.

Terdapat 2 lorong yang terlihat gelap hitam di sebelah kiri dan kanan. 11 orang yang berhasil masuk ke dalam mengambil jarak berjauhan. Semua memasang sikap waspada. Karena tidak ada satupun yang tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Terlalu banyak hal tidak masuk akal di Telunjuk Dewa Raung ini.

Arawinda melihat Arya Dahana berada tak jauh darinya. Pemuda itu menyapa dengan tersenyum ringan ke arahnya. Gadis itu balas tersenyum. Dia tidak tahu apakah harus bercakap atau bagaimana. Dilihatnya semua berwajah tegang. Menunggu apalagi yang akan diperbuat oleh gunung misterius ini.

Ah suara gemuruh lagi? Arawinda mengeluh dalam hatinya. Apabila gunung ini mengempiskan perutnya selagi mereka masih berada di dalam, tak ayal lagi dunia persilatan akan kehilangan sebagian orang-orang terbaiknya. Sekaligus terkubur hidup-hidup tanpa bisa menyelamatkan diri lagi karena pintu gua tempat mereka masuk tadi mendadak saja tanpa didahului oleh gerakan apa-apa, tiba-tiba runtuh dan tertutup rapat.

Suasana gelap dan suara gemuruh yang semakin mendekat, membuat orang-orang sakti yang pemberani di dalam gua itu menahan nafas. Begitu suara gemuruh yang entah berasal dari mana dan sedang menggambarkan kejadian apa itu berhenti, ruang luas itu mendadak disinari cahaya yang berasal jauh dari atas. Arawinda mengira-ngira suara gemuruh yang baru saja terjadi adalah terlepasnya penutup lubang berdinding tegak lurus sejauh mungkin seribu depa di atas sana.

Dinding ini nampak sangat rata dan licin serta tidak memungkinkan untuk dipanjat sehebat apapun ilmu meringankan tubuh seseorang. Kembali semua orang terdiam tanpa memutuskan apapun. Pintu keluar yang tersedia hanya ada dua. Sebelah kanan dan sebelah kiri gua. Tapi tak satupun ada yang bergerak. Tidak ada satu petunjukpun yang mengatakan pusaka itu akan datang darimana dan dengan cara apa. Satu-satunya jalan hanya menunggu.

Terdengar lagi suara dari atas. Kali ini suara kesiur angin bertubi-tubi seperti ribuan benda sedang dijatuhkan. Tak lama setelah batu raksasa yang menutupi lubang di atas gua tergeser dan membuka, dari dinding-dinding tegak lurus kanan kiri meluncur ratusan peti berukuran kecil yang jatuh ke lantai gua.

Kontan saja semua tokoh yang berada di tengah gua berlompatan ke pinggir. Peti-peti yang jatuh itu terbuat dari besi sehingga sangat berbahaya jika terkena. Semua menunggu hingga peti terakhir jatuh dan melihat dengan mata kebingungan tumpukan peti yang membukit di hadapan mereka.

Seperti biasa, Datuk Rajo Bumi bukan orang yang sabar menunggu. Tokoh ini maju lalu mengambil salah satu peti dan berniat membukanya. Peti memang terbuka namun dari dalamnya keluar asap berwarna biru yang berbau menyengat.

Racun. Desis lirih Datuk Rajo Bumi sambil melompat mundur. Tokoh ini membatalkan niatnya untuk mengambil apa yang ada di dalam peti.

Mahesa Agni yang penasaran dan tidak mau kalah, melompat dan meraih satu peti yang berada di dekatnya. Berkaca pada kejadian pertama tadi, Mahesa Agni tidak membuka menggunakan tangan namun mengungkitnya memakai ujung tongkat kecilnya. Kembali suara berdesis tajam disertai asap berhamburan keluar dari peti. Asap yang keluar kali ini berwarna hijau namun baunya tetap sangat menyengat. Racun juga. Mahesa Agni membatalkan niatnya melongok ke dalam peti.

Racun yang belum diketahui apa itu menyebar perlahan di ruang gua. Semua mengerahkan hawa sakti di dalam tubuh agar racun itu tidak masuk melalui pernafasan. Arawinda sesungguhnya juga penasaran namun dia tidak mau melakukan apapun. Tugasnya hanya melihat dan mengawasi apa yang terjadi. Lagipula meski hanya 2 peti yang terbuka tapi hawa beracun mulai memenuhi gua ini.

Lagi-lagi Datuk Rajo Bumi tidak bisa menahan diri. Diayunkannya lengan ke arah peti yang sudah terbuka. Peti itu terbalik dan isinya terlempar keluar. Sebuah pedang sepanjang 2 depa yang berkilat saking tajamnya dan sebuah seruling kecil berwarna gading jatuh ke tanah. Tanpa ragu-ragu datuk sakti itu menyambar kedua benda itu dan memasukkan ke buntalan kain yang ada pada gendongannya.

Tapi rupanya ada yang lebih tak sabar lagi. Apalagi setelah melihat Datuk Rajo Bumi mendapatkan 2 benda yang kemungkinan adalah pusaka yang dicari. Wanita bercadar merah itu membuat beberapa gerakan yang membuat angin berkesiur kencang di dalam ruangan. Semua orang melompat mundur karena mereka semua mengira wanita hendak melancarkan sebuah pukulan dahsyat.

Dugaan yang tidak meleset karena wanita ini bergerak semakin cepat. Angin tidak lagi berkesiur namun menderu-deru keluar dari kedua lengan bajunya yang kedodoran. Semua orang yang berada di ruangan tidak ada yang berniat mencegah karena merekapun ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita misterius ini.

Wanita bercadar merah mengayunkan kedua tangannya ke depan. Terdengar bunyi ledakan seperti gunung meletus saat pukulan hebatnya memporak porandakan tumpukan peti dan menghancurkannya sekaligus.

Asap bukan lagi mendesis keluar dari peti namun sudah dalam wujud gumpalan-gumpalan besar dengan warna-warna aneh. Biru, hijau, merah, kuning, putih, dan hitam. Gumpalan asap beracun memenuhi ruangan gua. Semua orang menahan nafas mengendalikan hawa sakti untuk menolak racun. Tapi wanita bercadar merah tidak berhenti sampai di situ. Dia membuat gerakan seperti sedang menari. Tarian yang gemulai dan mempesona. Tapi angin kembali menderu keluar dari kedua lengannya. Gua itu seperti dilanda prahara. Gumpalan asap warna warni terhisap kuat ke dalam pusaran angin yang diciptakan pukulan wanita bercadar merah. Dalam satu gerakan pamungkas, wanita itu mendorong tangannya ke atas. Gumpalan asap beracun yang sudah menjadi satu terangkat ke atas dan berpusar-pusar di dekat lubang.

Semua orang melihat isi ratusan peti yang telah pecah berantakan itu dengan terpana. Di hadapan mereka tersaji pemandangan aneh dan tak masuk akal. Nampak ratusan pedang dan seruling yang serupa dengan yang diambil Datuk Rajo Bumi tadi.

Hamparan pedang dan seruling yang tidak bisa dibedakan karena benar-benar serupa itu membuat siapapun yang berada di ruangan itu terpaku. Mereka tidak tahu harus berbuat apa karena sama sekali tidak bisa membedakan mana yang pusaka asli dan mana yang bukan.

Sepertinya ini ujian terakhir yang diberikan oleh Gunung Raung. Senjata pusaka telah memunculkan wujudnya. Tapi dalam jumlah ratusan dan sudah pasti hanya 2 yang benar-benar senjata pusaka asli.

Arya Dahana meraba kantung bajunya. Kain lusuh ini yang bisa membedakan mana senjata pusaka yang asli. Tapi bagaimana caranya?

Kali ini Panglima Amranutta, Putri Aruna, dan Putri Anila yang maju mencoba peruntungan mereka. Ketiganya mengambil masing-masing satu pasang senjata lalu dengan gerakan bersamaan melemparkannya ke dinding gua. 3 pasang pedang dan seruling itu menancap ke dinding batu padas yang sangat keras itu cukup dalam. Tidak nampak ada kerusakan sedikitpun pada 3 pasang senjata tersebut meskipun telah bertemu dengan permukaan batu padas.

Arya Dahana memasukkan tangannya menyentuh kain lusuh dari Kerajaan Blambangan di dalam kantung baju. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Sebuah kilatan entah darimana menghunjam di kedalaman batinnya. Arya Dahana melepaskan tangan dari kain lusuh dan membuka matanya dengan kaget. Mengira 2 senjata pusaka yang asli melayang ke arahnya. Tapi tidak ada apapun yang terjadi.

Sementara semua orang, kecuali Arawinda yang masih berdiam diri, mulai memegang dan mengira-ngira mana senjata pusaka yang asli, Arya Dahana memejamkan mata. Tangannya kembali menyentuh kain lusuh di kantung bajunya. Pemuda ini memusatkan perhatian dan tenaga batin. Kilatan itu kembali datang seperti petir menyambar saat tengah malam buta. Arya Dahana mengerti sekarang.

Arya Dahana duduk bersila dengan sikap samadi. Kain lusuh ini menunjukkan mana pusaka yang asli tanpa dia harus membuka mata. Tapi benar-benar harus dengan sikap yang sesungguhnya seperti saat memohon kepada Sanghyang Widi.

Arawinda yang diam saja sedari tadi dan tidak ikut sibuk memegang benda pusaka berjumlah ratusan di lantai gua, justru tertarik dengan tingkah laku Arya Dahana. Pemuda itu malah duduk bersila memusatkan pikiran dan olah batin. Arawinda mulai menduga pemuda tu tahu apa yang harus dilakukannya.

Dilihatnya pemuda itu mengeluarkan sehelai kain lusuh dan terus memejamkan mata. Cukup lama. Bahkan sangat lama. Arawinda setengah mengira jangan-jangan pemuda itu terpengaruh racun dan sekarang mencoba memulihkan diri.

Arya Dahana menelusuri kilatan-kilatan yang sebentar-sebentar mendatangi batinnya. Masih terlalu banyak gelap yang dilihatnya dari mata batin. Kilatan itu hanya sanggup sebentar saja menerangi penglihatannya terhadap 2 pusaka asli itu. Arya Dahana meneruskan samadinya dan berusaha keras menutup pendengaran dari suara-suara denting pedang dan bunyi seruling yang terus dicoba oleh 9 orang dalam ruangan itu. Kecuali Arawinda.

Pemuda itu merasakan dirinya menghilang dan tenggelam di sebuah ruangan yang sama tempat dia dan sepuluh orang lainnya berada tapi bedanya ruangan ini luar biasa gelap. Meski berusaha melebarkan matanya, Arya Dahana sama sekali tidak melihat apa-apa. Pemuda itu terus mengerahkan ketajaman penglihatannya. Tubuh dan kepalanya berkeringat. Menetes-netes semakin deras seperti saat dia menyempurnakan Pukulan Bayangan Matahari di Puncak Semeru belum lama ini.

Lalu setitik sinar perlahan tapi pasti mendatangi dari kejauhan. Sinar itu makin lama makin besar dan terang. Ruangan itu menjadi sangat terang sekarang. Arya Dahana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aneh sekali. Di tengah ruangan itu sama sekali tidak terlihat lagi tumpukan pedang dan seruling berjumlah ratusan. Orang-orang juga sudah menghilang. Apa yang ada di ruangan itu hanya dirinya dan sepasang senjata pusaka yang sedang dicarinya. Sebilah pedang dan sebuah seruling tergeletak begitu saja di lantai gua tidak jauh di hadapannya.

Arya Dahana merasakan tubuhnya melayang dan meraih 2 pusaka itu. Tangannya bergetar luar biasa karena hawa yang keluar dari 2 pusaka itu melawannya dengan segenap kekuatan gaib yang entah darimana datangnya. Arya Dahana buru-buru membungkus 2 pusaka itu menggunakan kain lusuh di tanganya. Pemberontakan 2 pusaka itu berhenti seketika. Arya Dahana membuka matanya.

Arawinda yang terus memperhatikan Arya Dahana karena khawatir pemuda itu keracunan, hanya bisa ternganga saat melihat pemuda itu, masih dengan memejamkan mata, bangkit berdiri dan berjalan perlahan ke tengah ruangan di antara sembilan orang lainnya yang sedang gaduh mengaduk-aduk tumpukan pedang dan seruling. Pemuda itu dilihatnya meraih sebilah pedang dan sebuah seruling di antara tumpukan senjata.

Satu hal yang mengejutkan Arawinda adalah ketika pemuda itu terpelanting ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding gua. Saat pemuda itu bangkit kembali, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan belakang seolah sedang bertemput dengan sesuatu yang tidak terlihat. Arawinda sudah hendak bergerak maju untuk menolong saat sebuah keanehan kembali terjadi. Arya Dahana berusaha sekuatnya membungkus kedua senjata menggunakan kain lusuh yang ada di tangannya. Dan pergulatan yang tak kasat mata itu berhenti lalu Arya Dahana membuka matanya.

Mata Arya Dahana dan Arawinda saling bertemu. Pemuda itu menganggukkan kepala seakan memberi isyarat bahwa apa yang dicari telah ditemukan. Arawinda balas mengangguk. Dia paham sekarang apa yang terjadi tadi.

Keanehan yang mungkin adalah puncak keanehan dari semua rangkaian peristiwa aneh, terjadi secara tiba-tiba. Tumpukan senjata pusaka berjumlah ratusan di lantai gua tiba-tiba saja lenyap tak berbekas, begitu pula senjata-senjata yang sudah berada di tangan masing-masing orang yang sudah merasa yakin senjata di genggaman tangan mereka itu asli, menghilang begitu saja.

Semua orang terperanjat. Lalu semua mata berpaling ke arah Arya Dahana yang masih menggenggam kain lusuh dengan 2 pusaka di dalamnya. 2 pusaka itu terlihat menonjol dan tidak ikut lenyap!

Arya Dahana mengerti mereka sudah menyadari apa yang terjadi. Sambil memberi isyarat kepada Arawinda, tubuhnya berkelebat memasuki pintu gua terdekat dengannya di sebelah kiri ruangan gua. Arawinda mengikuti. Lorong gua itu ternyata tidak segelap yang dikira sehingga Arya Dahana dan Arawinda bisa berlari cepat meskipun tidak bisa mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuh karena lorong itu cukup sempit.

Setelah beberapa jeda mereka berlari lorong gua itu berakhir di sebuah ruangan gua lain yang jauh lebih luas dari ruangan pertama. Bahkan ruangan ini terang benderang seolah diterangi oleh cahaya seribu lampu. Dan ruangan ini juga punya 2 lorong gua di kanan dan kiri!

Belum sempat Arya Dahana memutuskan hendak masuk ke lorong yang mana, kesiur angin berhawa dingin menyambar tubuhnya dari 3 arah secara bersamaan.

"Arawinda, minggir!" Arya Dahana masih sempat berteriak kepada Arawinda yang bergegas melompat menjauh, pemuda ini lalu mengelak cepat dari 3 serangan beruntun yang dilancarkan oleh Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni dan Wanita bercadar merah.

Tiga pukulan itu luput dari sasaran namun angin pukulannya yang menghantam dinding gua menyebabkan suara keras saat dinding batu itu pecah berhamburan. Arya Dahana belum lagi sempat mengambil nafas ketika serangan berikutnya datang dari Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Aruna secara susul menyusul.

Arya Dahana kembali melakukan gerakan mengelak. Dia sangat menghindari beradu pukulan jika tidak sangat terpaksa. Dia bisa menduga akibatnya akan sangat hebat dan bisa meruntuhkan dinding gua. Dan itu berbahaya bagi mereka semua.

Ki Tunggal Jiwo, Ki Biantara dan Pangeran Turangga Shakti tidak ikut-ikutan menyerang. Alangkah buruknya pandangan orang nanti jika tokoh-tokoh aliran putih itu melakukan pengeroyokan bersama dengan datuk-datuk sesat semacam Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni dan Panglima dari Laut Selatan itu.

Arawinda yang patuh terhadap Arya Dahana tidak mau ikut campur ketika Arya Dahana kembali diserang secara bergelombang oleh Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni dan wanita bercadar merah yang terlihat bernafsu menjatuhkan tangan maut itu. Gadis ini hanya bersiap membantu jika saja Arya Dahana dalam bahaya.

Kali ini Arya Dahana tidak bisa mengelak begitu saja. Jangkauan pukulan ketiga orang sakti itu menutup celahnya untuk melompat menghindar. Mau tak mau dia menghindar dari serangan wanita bercadar merah namun beradu pukulan dengan Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni.

Lantai dan dinding gua bergetar hebat ketika tiga pukulan dahsyat saling beradu. Arya Dahana tetap berdiri tegak sementara tubuh Datuk Rajo Bumi bergetar hebat sedangkan Mahesa Agni terhuyung-huyung ke belakang. Sebuah pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa dan menunjukkan jika Arya Dahana unggul dari dua tokoh sakti itu. Pemuda itu sendiri terheran-heran dengan peningkatan hawa sakti yang dimilikinya. Dalam pikirannya mungkin ini menunjukkan tingkat kesempurnaan Pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang. Namun dia tetap tak percaya bisa sekaligus menahan dua pukulan tokoh-tokoh sakti itu dan tidak terpengaruh apa-apa.

Tapi pemuda dari Blambangan itu sama sekali tidak bisa berleha-leha. Kali ini 6 pukulan sekaligus datang dari segala arah. Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, wanita bercadar merah, Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Aruna, secara hampir bersamaan melepaskan pukulan tertingginya masing-masing. Semuanya tahu pemuda itu sangat sakti. Sekaligus juga ingin pemuda cepat bisa dikalahkan. 2 senjata pusaka itu sangat menggiurkan.

Merasakan tekanan angin pukulan yang sangat kuat mengarah ke tubuhnya dari segala arah, Arya Dahana mengambil keputusan cepat. Sambil mengerahkan segenap kekuatan dan hawa sakti, pemuda ini berpusar di tempatnya dan menyambut semua pukulan dengan Pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang sekaligus.

Suara gemuruh dahsyat mengguncang ruang gua yang sangat luas itu. Arawinda sampai harus memasang kuda-kuda agar tidak terpelanting jatuh. Benturan pukulan ketujuh orang itu menimbulkan akibat seperti gempa. Sebagian dinding gua mulai runtuh. Bahkan di beberapa bagian lantai gua, melesak ke dalam.

Arya Dahana sengaja melemparkan tubuhnya ke belakang untuk mematahkan dorongan keras karena benturan itu membuat dadanya sesak bukan main.

Keenam tokoh lawan Arya Dahana juga merasakan akibat yang tak jauh berbeda. Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, dan wanita bercadar merah jatuh terduduk dan langsung bersila agar cepat-cepat bisa memulihkan diri.

Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Aruna bahkan terpelanting jauh ke belakang menabrak dinding gua yang ikut bergetar karenanya.

Arawinda mengerahkan pukulan Aguru Bayanaka saat melihat tiga orang tokoh Majapahit mulai maju untuk menyerang Arya Dahana yang terlihat masih limbung. Benturan pukulan kedua kalinya menghajar dinding gua yang bergetar hebat. Reruntuhan juga semakin banyak. Bahkan atap dan dinding gua mulai terguncang. Sepertinya tak lama lagi gua itu akan runtuh.

Arawinda yang terguncang akibat benturan pukulan melawan tiga tokoh Majapahit itu tidak jadi bersila untuk memulihkan diri karena Arya Dahana menarik tangannya dan bergerak cepat masuk ke lorong sebelah kiri setelah sempat melihat goresan peta kain lusuh itu bertanda panah ke gua sebelah kiri.

Gua raksasa di perut Gunung Raung itu benar-benar runtuh! Semua orang tidak punya pilihan selain melarikan diri secara cepat melalui 2 lorong yang tersedia dan terdekat dengan mereka.

Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, Panglima Amranutta, Putri Anila, Putri Aruna, bersicepat memasuki lorong sebelah kanan. Sedangkan 3 tokoh Majapahit dan wanita bercadar merah melesat masuk ke lorong gua sebelah kiri.

*-*