Dalam diam, keheningan membaca dirinya sendiri
Mengeja sepi dan menuntun sunyi
Ke sebuah tempat yang disebut wilayah kehilangan
Dari berbagai macam percakapan
Dalam gaduh, udara berjatuhan
Luruh dalam perbincangan
Orang-orang yang membicarakan cuaca
Saling memutuskan untuk memilih pancaroba
Sebagai lawan bicara
Karena perubahan terkadang
Diperlukan untuk menciptakan ruang
Bagi menyalanya sepercik api
Pada kedinginan yang paling mencekam
Seperti kedatangan matahari
dari tempat yang sama setiap hari
namun selalu memberikan kehangatan berbeda
bagi pagi, siang, malam, dan siapa saja
Seperti tibanya hujan
dari sudut langit yang berbeda ketinggian
tapi selalu menyediakan seteguk rasa sejuk
bagi kerongkongan yang tersayat oleh berita-berita buruk
Telunjuk Dewa Raung. Air terjun yang tidak besar dan tidak terlalu tinggi itu jatuh ke sebuah ngarai sempit yang berlanjut ke aliran sungai kecil dengan kelerengan yang cukup landai. Sungai itu jernih dengan kanan kiri berdinding tebing terjal yang ditumbuhi oleh rapatnya pepohonan. Sekitar 200 meter ke hilir, tebing-tebing terjal itu menghilang digantikan dataran yang juga dipenuhi oleh pohon-pohon besar khas pegunungan Ijen.
Di tempat itu, aliran air sungai berkumpul menjadi sebuah danau kecil yang tenang dan sejuk. Danau yang ukurannya tak sampai sepersepuluh Ranu Kumbolo itu seperti sebuah taman surga yang damai. Bunga-bunga padma bermekaran, permukaan telaga seperti kaca, dan binatang-binatang kecil saling bercengkerama di setiap sudutnya.
Area sekitar air terjun itu terlihat mulai dipadati oleh manusia. Mereka rata-rata berdiri di atas tebing. Ada juga beberapa yang punya kemampuan kanuragan cukup tinggi tersebar di bawah. Di hadapan air terjun yang suara gemericik jatuhnya seolah sedang bernyanyi. Mengucapkan selamat datang kepada ratusan orang yang semua jantungnya berdebar-debar. Menunggu apa yang selanjutnya terjadi di air terjun itu.
Arawinda berada di sisi bukit sebelah kiri. Menyendiri dan menjauh dari orang-orang. Matanya beredar kesana kemari barangkali bisa menjumpai keberadaan orang-orang yang dikenalnya.
Ki Biantara ada di sisi tebing sebelah kanan. Di sampingnya nampak Ki Tunggal Jiwo dan seseorang yang tidak dikenalnya. Seorang lelaki muda yang berbaju ringkas namun jelas sekali terbuat dari bahan yang mahal. Arawinda menebak mungkin itu seorang Pangeran dari Majapahit.
Panglima Amranutta berada tidak jauh dari Arawinda. Gadis itu bisa mengenali dari jubah panjangnya yang menyentuh tanah. Di kanan kirinya berdiri 2 orang gadis cantik berpakaian serba hijau dengan tatapan mata setajam dan semisterius Hiu. Arawinda tidak mengenalnya. Tapi melihat dari cara berdirinya yang begitu ringan dan kokoh, 2 gadis itu pasti berkemampuan sangat tinggi. Tapi di mana Putri Anjani dan Panglima Kelelawar? Mereka tidak mungkin melewatkan kesempatan langka seperti ini.
Orang tua sakti dari Istana Timur itu ternyata juga ada di sini! Mata Arawinda melihat sesosok Mahesa Agni sedang berdiri di atas batu besar di tebing yang menjorok ke arah sungai. Hmm, perebutan benda pusaka ini pasti akan melahirkan banyak pertempuran hebat.
Ada 2 lagi sosok yang menarik perhatian Arawinda. Seorang wanita yang sengaja menutupi mukanya dengan sapu tangan warna merah di sudut yang agak tersembunyi dan seorang lelaki tua yang sedang berjongkok malas-malasan persis di atas air terjun. Wah! Datuk Rajo Bumi juga sudah menampakkan diri!
Semenjak berlatih Tarian Astadewi, kemampuan penglihatan dan pendengaran Arawinda setajam mata dan telinga Elang. Dari sudut yang nyaris tak terlihat, nampak sesosok tubuh lelaki yang sangat dikenalnya dengan baik. Arya Dahana rupanya juga ada di sini.
Arawinda berhitung. Di mana titik keseimbangan berada. Mereka pasti akan memperebutkan 2 benda pusaka itu atas kepentingan sendiri atau kerajaan. Akan tetapi latar belakang dari masing-masing orang tentu bisa dipilah putih atau hitam. Dia mungkin hanya perlu mewaspadai kehadiran Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni, Panglima Amranutta, dan 2 gadis cantik di samping kanan kirinya.
Majapahit ada di area abu-abu. Bila Maharaja memaksakan kehendaknya maka Ki Tunggal Jiwo, Ki Biantara dan pangeran itu pasti akan berbuat apa saja agar kehendak Maharaja bisa terlaksana.
Arawinda tidak mengkhawatirkan Arya Dahana sama sekali. Pemuda itu entah mengapa berada di sini, tapi Arawinda yakin dia tidak punya maksud buruk sama sekali. Sosok wanita dengan sapu tangan menutupi muka itu menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Arawinda. Wanita itu kelihatan sekali punya kemampuan sangat tinggi jika dilihat dari caranya berdiri di tepian air terjun tak jauh dari Datuk Rajo Bumi.
Suara gemuruh lamat-lamat terdengar dari atas gunung. Arawinda mengerutkan keningnya. Tidak yakin apa yang sedang memasuki pendengarannya. Namun suara gemuruh makin lama makin keras. Arawinda melihat langit di atas puncak Raung untuk memastikan cuaca di sana. Tadi saat ditinggalkannya, cuaca sangat cerah dan tidak berawan. Dan memang cuaca masih tetap sama seperti tadi. Cerah tanpa sedikitpun ada mendung hitam.
Didahului oleh air terjun yang keruh secara tiba-tiba, gemuruh itu menampakkan wujudnya secara luar biasa. Banjir bandang yang sangat besar dengan membawa batu-batu besar menerjang air terjun Telunjuk Dewa Raung.
Air terjun yang semula hanya bergemericik kecil tiba-tiba saja menjelma menjadi air terjun raksasa yang menumpahkan air dalam jumlah yang sangat banyak. Kontan saja orang-orang yang berada di sepanjang aliran sungai dengan harapan menjadi yang terdepan dalam perebutan pusaka, menjadi kalang kabut tidak karuan. Sebagian berhasil menyelamatkan diri dengan berpegangan pada akar-akar pohon di sepanjang tebing kanan kiri sungai. Namun sebagian lainnya tak kuasa menghadapi terjangan air bah yang menggulung tubuh mereka seperti mainan.
Danau yang semula tidak terlalu luas dan merupakan tempat paling tenang di dunia kini menjadi semacam genangan kuburan raksasa dari puluhan mayat yang terapung-apung di atasnya.
Langit di atas Puncak Raung tetap terlihat bersih. Arawinda memastikannya lagi dengan pikiran masgul. Jadi air bah ini kiriman dari mana?
Secepat datangnya, secepat itu pula air bah itu surut. Air terjun kembali mengecil dan sungai di bawahnya juga kembali mengalir dengan tenang. Arawinda sedikit bergidik. Tanda-tanda gaib sudah dimulai dengan dahsyat. Air bah yang mematikan menyapu sebagian pemburu pusaka. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. Arawinda merasa dia harus jauh lebih bersiaga daripada tadi.
Suara gemuruh kembali terdengar. Mulanya pelan namun lama kelamaan semakin keras. Tanah terguncang dahsyat. Arawinda sampai harus berpegangan pada suluran akar di samping agar tidak terpelanting. Ilmu meringankan tubuh bisa membantu tapi tetap saja guncangan itu membuat tubuh bergoyang-goyang hebat.
Orang-orang yang masih dalam jumlah puluhan, banyak yang terpelanting kesana kemari seperti daun kering tertiup angin. Apabila diperhatikan, sesungguhnya peristiwa gempa aneh itu hanya berada dalam jalur air terjun, sungai, dan danau.
Arawinda bisa melihat dengan jelas bumi terbelah menciptakan lubang lebar dan dalam yang menelan sisa air dan apa saja yang ada di permukaan air terjun, sungai, dan danau. Mata gadis ini terbelalak. Dalam hitungan tak berapa jeda, lubang itu menutup kembali diiringi suara gemuruh yang tak kalah dahsyat dengan saat membukanya. Air keruh, gelondongan kayu, batu-batu, dan mayat-mayat yang mengapung, semuanya lenyap ditelan bumi.
Melihat sebuah gua yang terbuka di belakang bekas air terjun yang tadinya sama sekali tidak terlihat, orang-orang melupakan rasa takutnya. Berduyun-duyun orang menghampiri dan berdiri di depannya meski masih ragu untuk mulai memasukinya karena terdengar suara air mengalir dari atas. Bukan air bah sebab aliran itu terdengar sangat wajar.
Suara gemuruh hilang digantikan oleh kedatangan air jernih dari hulu yang kembali mengisi sungai dan air terjun. Namun air yang jatuh dari ketinggian itu nampak aneh dan berbeda. Arawinda tidak yakin itu apa. Namun setelah ada beberapa tokoh persilatan yang mencoba mengulurkan pedang dan tombak di bawah limpasan air itu barulah Arawinda mengerti. Air itu setajam pedang dan ujung tombak karena jelas sekali terdengar suara tring tring dan percikan api ketika bertemu dengan permukaan pedang dan tombak para tokoh persilatan yang coba-coba itu.
Air aneh dan mengerikan itu total menutupi pintu gua yang tadi sempat terlihat di belakang air terjun. Keanehan selanjutnya yang tak masuk akal adalah ketika air itu menyentuh permukaan tanah, kemudian berubah kembali menjadi air biasa. Mengaliri sungai menuju danau kering yang perlahan-lahan mulai terisi kembali.
Tidak ada lagi yang berani mencoba. Air terjun ini menjadi jebakan maut yang sangat berbahaya bagi siapapun yang hendak menerobos masuk. Semua saling menunggu. Apa lagi yang terjadi setelah beberapa peristiwa mengejutkan dan tak masuk nalar tadi.
Sebuah bayangan berkelebat. Datuk Rajo Bumi berdiri di depan air terjun itu sambil mengrenyitkan dahi sebentar. Datuk sakti ini lalu mendorongkan kedua lengan ke depan. Tirai air yang rapat dan berbahaya itu terbuka terkena pukulan tenaga dahsyat Datuk Rajo Bumi. Namun sepertinya air aneh itu juga punya kekuatan tersendiri. Tak sampai beberapa jeda, tirai air itu telah menutup kembali. Datuk sakti itu mengerutkan kembali dahinya.
Semua orang berdebar-debar. Mereka rata-rata mengenal siapa tokoh tua yang berani mendekat dan mencoba peruntungan di depan air terjun Telunjuk Dewa Raung yang sedang dalam keadaan berbahaya. Datuk Rajo Bumi mendorong lagi menggunakan nyaris seluruh tenaganya. Pintu aneh terbuka kembali. Air menyibak dengan cepat. Datuk Rajo Bumi tidak mau menunggu lama. Tubuhnya berkelebat dan lenyap masuk ke dalam gua.
Orang-orang semua terperanjat. Pintu air yang terbuka itu hanya terbuka sebentar. Tepat ketika tubuh tokoh sakti itu masuk ke dalam pintu itu telah menutup kembali. Seorang pria tinggi besar yang yakin dengan kemampuan tenaga dalamnya melakukan hal yang sama. Kedua lengannya yang kekar meluncurkan sebuah pukulan yang menimbulkan kesiur angin dahsyat. Pintu air itu tidak terbuka seperti tadi. Hanya memunculkan sebuah lubang kecil yang barangkali hanya cukup untuk memasukkan kepalan tangan.
Tokoh itu menggeram marah. Kali ini dia mengerahkan tenaga sepenuh yang dia punya. Berhasil. Pintu air terbuka. Diayunkannya tubuh besarnya melesat ke dalam. Orang-orang yang sebelumnya kagum tokoh itu bisa menyamai kemampuan Datuk Rajo Bumi, terhenyak diam saat tubuh besar itu terbelah menjadi dua! Pintu itu tertutup kembali dengan kecepatan luar biasa. Hawa sakti orang itu tidak cukup kuat untuk membuka pintu air cukup lama.
Dengan pandang mata ngeri, orang-orang melihat sebelah tubuh tokoh itu jatuh di luar lalu dihanyutkan aliran sungai, sedangkan sebelahnya lagi tidak terlihat karena ada di dalam.
Beberapa sosok tubuh melompat dari atas tebing dengan gerakan yang sangat ringan. Panglima Amranutta, Putri Anila, dan Putri Anila, berdiri di hadapan air terjun. Ketiganya bersama-sama mengerahkan tenaga dan mendorong tirai air itu agar terbuka. Lubang pintu yang dibuat oleh gabungan tenaga itu lebarnya tetap sama namun waktu terbukanya cukup lama sehingga ketika pintu itu tertutup kembali, 3 tubuh tokoh dari Lawa Agung telah lenyap memasuki gua.
Kali ini Mahesa Agni mencoba gilirannya. Tokoh sakti luar biasa ini membuka pintu itu dengan tenaga dalamnya yang tak terukur lagi tingginya. Diikuti bayangan tubuhnya yang segera lenyap ke dalam gua.
Tokoh-tokoh Majapahit sudah ada di sana begitu bayangan Mahesa Agni sudah tak nampak. Sama seperti rombongan Lawa Agung, Ki Tunggal Jiwo, Ki Biantara, dan pangeran kerajaan yang berjuluk Pangeran Turangga Shakti, bersama-sama menghantam air terjun untuk membuka pintu. Tubuh ketiganya lenyap dari tempat itu bersamaan dengan menutupnya pintu air ajaib itu.
Seorang wanita dengan pakaian pertapa ada di depan air terjun. Orang-orang langsung menyangsikan wanita itu punya kemampuan seperti para tokoh yang sudah memasuki gua sebelumnya. Tapi orang-orang itu kecelik saat wanita misterius itu mendorong tangannya dan melenggang masuk melalui pintu yang terbuka cukup lama. Salah satu tokoh persilatan melihat sebuah kesempatan baik karena pintu itu terbuka cukup lama. Saat tubuh wanita itu sudah sepenuhnya di dalam, dia melompat dengan kecepatan mengagumkan ke pintu yang masih terbuka.
Orang-orang yang menyaksikan hanya bisa menghela nafas panjang saat tubuh tokoh itu kembali terpenggal seperti yang telah terjadi sebelumnya. Hanya saja kali ini tokoh yang nekat ini terpenggal di bagian leher. Tubuhnya terbanting ke belakang tanpa kepala.
Tidak ada satupun yang berani coba-coba lagi. Rupanya Telunjuk Dewa Raung punya cara sendiri untuk memilah dan memilih orang-orang yang boleh masuk ke dalam guanya. Orang-orang itu harus punya kesaktian tingkat tinggi dan tenaga dalam yang hebat agar bisa membuka pintu dan mempunyai cukup waktu untuk masuk sebelum pintu itu bertindak sebagai pedang yang luar biasa tajam memenggal apa saja yang melewatinya.
Arawinda menunggu hingga Arya Dahana mengibaskan lengan bajunya dan melesat masuk ke dalam, baru dia melakukan hal yang sama. Tubuh pemuda dan gadis itu lenyap di hadapan mata orang-orang yang terkagum-kagum menyaksikan 2 orang muda berhasil masuk ke dalam dengan begitu mudahnya.
Tidak ada lagi yang menyusul setelah mereka berdua. Orang-orang kini hanya menunggu di luar dan mengira-ngira apa yang terjadi di dalam gua penuh rahasia itu.
**********