Pada gelombang yang menari-nari
di lautan yang masih saja membanjirkan karang
angin berjanji untuk diam
semua sudah cukup
hanya dengan kekuatan purnama
maka pasang tak akan menyurut
kecuali bila terjadi hal-hal luput
seperti saat gunung memulai kekacauan
perebutan seruling dan pedang
pusaka Blambangan
Lereng Raung. Arawinda melemaskan otot-otot tubuhnya sebagai pemanasan memulai Tarian Astadewi. Tiga bulan terakhir gadis ini terus berlatih ilmu pukulan yang cukup aneh namun nggegirisi. Perempuan Setengah Dewa tak ada hentinya memberikan petunjuk. Pagi, siang, dan malam, Arawinda terus diperintahnya untuk berlatih tarian. Waktunya tak lama lagi. Gadis ini harus sudah siap sebelum dia pergi.
Pagi ini tiga hari sebelum waktu tibanya kemunculan dua pusaka. Arawinda sedang bersamadi untuk menghimpun hawa murni yang mengalir melalui kedatangan matahari. Menurut Perempuan Setengah Dewa, waktu paling tepat untuk bersamadi ada tiga, yaitu pagi hari tepat saat terbitnya matahari, sore ketika tenggelamnya matahari, dan tengah malam saat dunia sedang berada pada puncak sepi.
Selama tiga bulan terakhir, Arawinda terus mempelajari Tarian Astadewi. Kemajuan yang didapatnya sangat pesat. Gurunya punya cara-cara yang hebat dalam mengajar. Selain Arawinda sendiri adalah murid yang sangat berbakat dan punya kemauan keras untuk belajar.
Di balik semak, dua pasang mata melihat ke arah Arawinda dengan tatapan cabul. Gadis yang sedang bersamadi itu memang nampak luar biasa manis. Bersila menghadap matahari membuat titik-titik keringat menjatuhi kening dan pipinya seperti aliran embun di dahan yang baru saja dibelai matahari pagi.
Arawinda bukannya tidak tahu ada 2 orang yang sedang bersembunyi di balik semak belukar tidak jauh dari tempatnya bersamadi. Namun dia membiarkannya. Selama orang-orang itu tidak mengganggu dia akan mengabaikannya. Arawinda melanjutkan samadi.
Namun dasar orang-orang bodoh yang kekurangan akal dan pengetahuan, 2 begal itu sama sekali tidak menyadari bahwa gadis yang berani sendirian di tempat sangat terpencil ini tentu bukanlah orang sembarangan. 2 begal yang dulu merupakan anggota Begal Garahan dan setelah kematian para pemimpinnya berpencar mencari kehidupan sendiri-sendiri. Masih tetap dengan cara membegal.
Keduanya keluar dari tempat persembunyian karena tidak tahan lagi melihat gadis manis yang hanya seorang diri itu seperti tidak menyadari kalau mereka ada. Kali ini mereka berniat membegal tubuh gadis manis itu.
Arawinda membuka mata. Di hadapannya berdiri 2 orang kasar bertubuh kekar yang tertawa-tawa mesum. Gadis itu tahu bahwa dia berhadapan dengan 2 orang yang biasa berbuat semena-mena terhadap orang lain. Arawainda tak mau melayani percakapan dengan mereka yang pasti tidak karuan. Dikibaskannya kedua lengan dengan salah satu gerakan Astadewi. Kedua orang yang memang bermaksud menganggu itu tak ayal terpelanting hebat ke belakang tanpa bisa mereka cegah lagi. Tubuh mereka babak belur menghantam batu dan pohon.
Masih untung bagi mereka karena Arawinda memang tidak berniat membunuh. Hanya mau membuat kapok orang-orang bebal itu. Tanpa perlu dikomando lagi, kedua begal yang langsung kuncup nyalinya itu lari tunggang langgang dengan kaki terpincang-pincang.
"Arawinda muridku. Ini sudah waktunya." terdengar bisikan lirih memasuki telinga Arawinda.
Bisikan itu membawa tubuh Arawinda berkelebat ke Puncak Acalapati. Titik tertinggi Gunung Raung. Gurunya itu sering menghabiskan waktunya di sana selama 3 bulan terakhir ini. Menunggu waktu yang menurutnya akan dikabarkan sendiri oleh matahari.
Sungguh menakjubkan melihat tubuh langsing itu berlompatan di antara batu dan tanah berpasir yang sangat sempit di Puncak Acalapati. Sebelah kiri adalah jurang dalam menganga, sedangkan di bagian kanan adalah kawah yang terlihat menggelegak jauh di bawah. Arawinda sampai tepat ketika tubuh Perempuan Setengah Dewa terguling dalam keadaan masih bersamadi. Arawinda hendak mengerahkan tenaga untuk menyambar tubuh itu. Namun bisikan terakhir yang bersamaan dengan lepasnya nyawa gurunya itu terlebih dahulu menyambar pendengaran Arawinda.
"Jangan muridku. Ini memang yang aku inginkan…"
Arawinda menahan larinya. Melihat dengan jelas tubuh nenek yang sudah berusia sangat tua itu melayang dengan ringan di udara. Disambut oleh jilatan api besar dari kawah Gunung Raung yang nampak menggelegak lebih dari biasanya seolah menyambut kedatangan tamunya dengan suka cita.
Arawinda termenung di atas kawah Puncak Acalapati. Nenek sakti itu memilih menguburkan dirinya di dalam api kawah Gunung Raung pastilah punya alasan tersendiri. Dia tidak boleh meratapinya. Dia harus menatap jauh ke depan. Tugasnya sangat berat. Menjaga keseimbangan berarti menjadi perpanjangan tangan dari dewa-dewa. Banyak iblis yang akan mengincar keteguhan dan menguji kekuatannya. Arawinda bersyukur mendapatkan tambahan bekal berupa Tarian Astadewi yang luar biasa.
Saatnya turun ke Telunjuk Dewa Raung. Ini ujian pertamanya.
----
Arya Dahana memandang dari kejauhan sosok Gunung Raung yang menjulang tinggi dan gagah. Dia lahir di kaki gunung yang semenjak dahulu kala adalah kawasan yang penuh dengan rahasia tak terungkapkan. Dia teringat makam ayahnya ada di lereng sana. Dia tidak akan singgah untuk melakukan tapa dan doa-doa di pusaranya. Amanat yang sangat berat ada di pundaknya. Raja Blambangan yang telah mangkat memilihnya untuk mengambil kembali 2 pusaka yang raib secara gaib seratus tahun yang lalu. Tugas yang bukan main-main. Itu sama saja dia akan berhadapan dengan seisi dunia persilatan tanah Jawa. Dan mungkin juga dari tempat lainnya.
Teringat betapa dahulu perebutan Mustika Api juga melibatkan para tokoh yang berasal dari Negeri China dan juga Kali. Begitu pula saat terjadi perebutan kitab sihir sakti Ranu Kumbolo dan kericuhan di Pantai Ngobaran ketika saling berebut Gendewa Bernyawa.
Arya Dahana merasa kali ini tidak akan banyak perbedaan. Kedua pusaka ini pasti punya kemampuan istimewa. Entah bagi kemampuan seseorang seperti Mustika Api dan Kitab Ranu Kumbolo, atau kelebihan bagi sebuah pertempuran besar-besaran seperti Gendewa Bernyawa.
Memperoleh Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat bukanlah pekerjaan mudah. Arya Dahana teringat pesan orang tua dari Blambangan yang menitipkan pesan dari Raja Blambangan kepada dirinya. Diraihnya kain lusuh bergambar pedang dan seruling itu dari kantongnya. Mungkin inilah hal penting yang tidak dimiliki orang lain.
Hanya kain lusuh inilah yang bisa membedakan mana pusaka yang asli dan mana yang bukan. Arya Dahana yakin dan percaya bahwa pusaka-pusaka penting dan bertuah memang memiliki keanehan masing-masing. Ratusan Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat akan muncul secara bersamaan dan hanya 1 yang asli? Arya Dahana menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan pendengarannya yang terlatih, Arya Dahana mendengar keramaian mendatangi kaki gunung ini. Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia tidak mau berurusan dengan siapa-siapa. Keramaian biasanya menimbulkan kegaduhan. Entah karena salah paham atau memang oleh sebab bentrokan kepentingan.
Tak lama memang terdengar suara orang-orang berlarian mendekat. Jalur menuju Telunjuk Dewa Raung yang berada di pinggang gunung ada beberapa. Namun yang biasa dipakai orang adalah jalur ini. Karena cukup landai dan tidak terlalu banyak bahaya dari para begal. Di jalur ini ada beberapa pos yang dijaga oleh prajurit Majapahit untuk mengamankan jalan. Semenjak Blambangan berhasil ditundukkan dan dengan mangkatnya Raja Menak Jinggo, muncul gerombolan yang sesungguhnya bukan begal atau perampok biasa.
Para begal ini memilih sasaran dan tidak semua dijadikan korban. Hanya orang kaya dan para saudagar Majapahit saja yang diincar oleh mereka. Para begal itu sengaja menyamun orang-orang Majapahit untuk mengacaukan situasi dan untuk menunjukkan kepada Istana Majapahit bahwa wilayah Blambangan tidak sepenuhnya bisa dikuasai secara mutlak.
Gerakan itu lebih bersifat menimbulkan gangguan karena bagaimanapun kekuatan untuk membangkitkan sebuah pemberontakan tidaklah cukup. Memerlukan pasukan dengan jumlah raksasa dan tokoh-tokoh yang mampu menandingi kelihaian tokoh-tokoh Sayap Sima. Bahkan sebesar Kerajaan Galuh Pakuan saja sangat menahan diri untuk tidak melakukan perang terbuka dengan Majapahit meski dendam kesumat yang ditimbulkan oleh peristiwa Bubat lukanya masih terbuka menganga.
Suara-suara itu akhirnya memunculkan orang-orangnya. Melihat dari dandanan dan perawakannya, orang-orang itu adalah orang dunia persilatan. Rombongan pertama yang datang ke tlatah Gunung Raung untuk ikut serta mencoba peruntungan mereka.
Tak berapa lama kemudian rombongan lain juga melewati jalan itu. Disusul rombongan-rombongan lain lagi. Arya Dahana yang bersembunyi di dahan pohon besar sama sekali tidak mengenali rombongan-rombongan yang lewat. Tidak ada satupun tokoh besar yang terlihat dan Arya Dahana yakin mereka pasti akan datang tapi lewat jalan lain. Jalan yang tidak akan dilalui oleh orang kebanyakan.
Arya Dahana sudah hendak beranjak dari tempatnya bersembunyi saat satu rombongan berikutnya terlihat di ujung matanya. Majapahit! Sayap Sima! Dalam jumlah besar rombongan pasukan terpilih itu dengan rapi dan tertib menyusur jalan kecil menuju Telunjuk Dewa Raung. Arya Dahana memusatkan penglihatannya. Tidak nampak pucuk pimpinan pasukan itu yang merupakan tokoh kelas atas dunia persilatan.
Tidak ada Ki Tunggal Jiwo, Panglima Narendra maupun yang lain. Maesa Amuk dan Bledug Awu-awu sudah tewas saat pertempuran besar melawan Istana Timur. Madaharsa yang saat itu terluka entah sekarang berada di mana.
Satu hal besar yang menjadi pertanyaan di benak Arya Dahana adalah untuk apa Majapahit sampai harus mengirimkan pasukan Sayap Sima ke Gunung Raung? Karena jika melihat dari jumlahnya serta menilik pemimpin pasukan yang bila dilihat dari seragamnya adalah seorang panglima, gerakan mereka ini tergolong bukan main-main. Mereka seolah sedang menghadapi sebuah perang atau hendak memadamkan pemberontakan.
Benak Arya Dahana sampai pada 1 kesimpulan. Para petinggi dan bahkan mungkin Maharaja Majapahit merasa bahwa 2 benda pusaka itu adalah sesuatu yang sangat penting didapatkan dan harus dikuasai Majapahit. 2 pusaka yang dikenal sebagai milik Kerajaan Blambangan jika diperoleh kembali oleh Blambangan maka itu bisa membangkitkan semangat rakyatnya untuk bersatu dan memberontak terhadap kekuasaan Majapahit. Masuk akal.
Arya Dahana tidak mau berpikir lebih jauh lagi. Pada saatnya nanti semua akan terbuka dengan sendirinya. Tapi dia yakin bahwa pasukan besar yang datang ini tentulah mengawal para pimpinan tertinggi Sayap Sima yang pasti mati-matian berusaha mendapatkan 2 benda pusaka itu atas perintah Maharaja sendiri.
Tubuh pemuda itu seperti siluman. Lenyap dari tempatnya bersembunyi. Mengambil jalan lain yang jauh lebih sukar agar tidak berjumpa dengan siapapun di jalan. Telunjuk Dewa Raung tentu sudah mulai diramaikan kedatangan orang-orang. Dia akan mencari tempat paling tidak terlihat untuk mengamati sekaligus bertindak ketika 2 pusaka itu muncul kembali dengan segala kegaibannya.
*********