Chapter 8 - Bab 8

Saat kabut menuruni lereng gunung

menuju daratan hutan

yang sedang melepas kepergian matahari

dengan melambaikan kedinginan

dari permukaan dedaunan,

pada suatu petang

ketika suara-suara malam

mulai kehilangan konsonan,

maka orkestra dibuka

dengan musik tiada duanya.

Saat garis pantai meredup

dan cakrawala memudar

dengan sendirinya

tanpa sedikitpun aba-aba,

datanglah gelombang

yang mendidihkan buih putih

mencapai pesisir, lalu menyapa

para nelayan yang melempar jala

di bibir lautan, yang tak pernah

kehabisan cinta

Saat kota memadamkan hatinya

dengan menyalakan lampu

di ruang-ruang tunggu

menemani orang-orang yang hendak berangkat

menemui apa saja

yang bisa menjadikannya jatuh cinta,

maka waktu

telah menjalankan tugasnya

secara paripurna

Puncak Semeru. Arya Dahana mengulangi beberapa gerakan yang diajarkan dalam lukisan di daun lontar yang dulu diberikan oleh Ki Banyu Pethak. Gerakan yang sangat rumit dan membutuhkan ketekunan tingkat tinggi. Selain itu, sesuai petunjuk tertulis, dia harus melakukan semua itu selepas dinihari pada saat udara sedang berada di puncak dingin.

Hal lain lagi, dia tidak boleh mengerahkan hawa panas di tubuhnya dengan ilmu pukulan lain seperti Bayangan Matahari misalnya. Karena inti dari penyempurnaan Danu Cayapata adalah mengalahkan dingin menggunakan dingin.

Beberapa hari pertama, Arya Dahana nyaris pingsan karena hampir tidak kuat menahan dingin yang menyerang hingga sungsum tulang. Setelah beberapa hari berikutnya, dia sudah mulai bisa menahan serangan dingin itu menggunakan Pukulan Busur Bintang yang berhawa sangat dingin juga.

Entah mendapatkan ide dari mana, siang hari tepat saat matahari berada di pucuk kepala, pemuda ini menuruni kawah puncak Semeru hingga ke bibirnya yang menggelegakkan magma. Arya Dahana berpikir, jika untuk mencapai kesempurnaan pukulan berhawa dingin dia harus berlatih di tempat dan suasana yang sangat dingin, maka begitu pula sebaliknya.

Karena itu, tanpa ragu-ragu Arya Dahana mulai menyempurnakan ilmu pukulan Bayangan Matahari di tempat paling dekat dengan kawah Gunung Semeru. Tempat yang sangat berbahaya karena dia harus menuruni tebing curam untuk sampai ke tempat yang sedikit landai di bibir kawah.

Sesuai dengan petunjuk dalam daun lontar itu juga, Arya Dahana tidak diperbolehkan memakan daging dan ikan selama latihan. Karena itu dia setiap pagi dan sore harus menuruni puncak berburu buah-buahan hutan.

Begitulah Arya Dahana melewati waktunya hingga pada saatnya nanti menjalankan amanah mendiang Raja Blambangan untuk mendapatkan kembali senjata-senjata pusakanya.

Pemuda yang semula berencana pergi ke tlatah Pasundan ini menunda niatnya. Dia yakin Lawa Agung tidak akan menyerang Galuh Pakuan dalam waktu dekat. Mereka menderita kekalahan telak dan banyak kehilangan orang-orang terbaik sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk kembali mengumpulkan kekuatan sebelum sanggup lagi melakukan penyerangan.

Memang ada desakan rindu untuk bertemu Dewi Mulia Ratri, namun hal itu ditahannya sekuat tenaga karena bagaimanapun amanat dari mendiang Raja Blambangan adalah amanat dari tanah kelahirannya.

Selain itu ada sedikit dugaan di pikiran Arya Dahana bahwa Dewi Mulia Ratri juga tidak akan melewatkan kesempatan untuk mencoba peruntungan memperebutkan kedua senjata pusaka tersebut. Galuh Pakuan juga sedang menggalang kekuatan agar bisa bertahan dari serangan musuh dan juga untuk merebut kembali benteng Bantar Muncang dari tangan Lawa Agung.

Masuk akal jika mereka juga akan berusaha mendapatkan kedua pusaka dahsyat yang akan menambah kekuatan.

Meskipun tidak tahu persis sampai sejauh apa kekuatan Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat, namun Arya Dahana bisa menduga bahwa kedua senjata itu pasti adalah senjata sakti yang bukan sembarangan senjata.

Dan Arya Dahana tidak salah. Kedua benda pusaka itu sesungguhnya adalah senjata kuno yang berasal dari dinasti kekaisaran kedua Cina! Saat itu dinasti Zhou adalah dinasti yang punya peradaban tinggi. Sastra dan silat berkembang sangat pesat di zaman dinasti kedua itu.

Karya-karya para pujangga, filsuf, dan empu pembuat senjata mencapai salah satu titik tertinggi. Pedang Tujuh Langit adalah pedang yang ditempa dari baja langka yang hanya ditemukan sedikit di gurun Gobi dan tidak ada di tempat lain di dunia. Empu pembuatnya adalah seorang toshu sakti dari pegunungan Kun Lun. Mungkin karena bahan dasarnya terbuat dari unsur panas dan kering padang pasir, pedang sakti ini memiliki hawa yang sangat panas dan menghanguskan.

Pedang yang sudah mengalami ribuan pertarungan ini diwariskan secara turun temurun di kuil Kun Lun sebelum menghilang secara misterius dan akhirnya diketahui berada di gudang senjata pusaka kekaisaran Zhou.

Sedangkan Seruling Tujuh Malaikat dibuat oleh biksu biara Siauw Lim. Terbuat dari gading Gajah Salju yang hanya terdapat di sudut terdingin Cina bagian utara. Seruling ini awalnya dibuat sebagai pusaka Siauw Lim untuk bermain musik yang mengiringi samadi tingkat tinggi mereka. Selain itu juga dipergunakan sebagai senjata saat memainkan silat Siauw Lim yang sakti.

Pada saat penyerbuan kuil Siauw Lim oleh pasukan kekaisaran, seruling pusaka ini termasuk salah satu benda pusaka yang ikut dijarah.

Kedua pusaka ini kemudian dicuri oleh seorang tokoh sesat sakti yang sulit dicari tandingannya sebelum akhirnya jatuh ke tangan seorang pedagang besar yang punya armada kapal untuk berdagang keliling dunia.

Raja Blambangan mendapatkan kedua pusaka ini dengan cara menukarnya dengan emas dan perak dalam jumlah besar saat kapal besar pedagang itu singgah di pelabuhan Blambangan.

Bersama dengan Tulup Ki Baru Klitik, Gada Wesi Kuning, dan Mustika Air Naga Merapi, Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat menjadi benda-benda pusaka penting Kerajaan Blambangan.

Entah oleh sebab apa, dua pusaka terakhir raib secara gaib saat kerajaan sedang melakukan ritual pemujaan di lereng Gunung Raung. Peristiwa itu terjadi beberapa ratus tahun sebelumnya saat sedang terjadi kehebohan munculnya Mustika Air yang dibawa oleh Naga Merapi.

Barangkali memang ada kaitannya. Raja Blambangan berhasil memperoleh mustika yang sangat berharga itu melalui tokoh saktinya yang bernama Menak Kuncara. Seorang tokoh digdaya yang menguasai pukulan Danu Cayapata sekaligus penguasa sihir luar biasa.

Raibnya kedua pusaka itu membuat kegaduhan Blambangan. Menak Kuncara yang saat itu ikut dalam upacara mengatakan bahwa kedua pusaka yang raib itu tidak bisa disatukan dengan Mustika Naga Merapi. Salah satunya pasti akan menghilang secara misterius. Apalagi bila dikaitkan secara gaib, Gunung Raung masih punya hubungan yang sangat erat dengan Gunung Merapi.

Naga Merapi tidak terima jika mustika ajaib yang dikeluarkannya 200 tahun sekali dimiliki oleh orang sama yang juga memiliki pusaka yang bukan berasal dari tanah Jawa. Itulah mengapa kedua pusaka dari negeri Cina itu raib secara gaib setelah Raja Blambangan juga mendapatkan Mustika Air Naga Merapi.

Menak Kuncara yang merupakan tokoh sidik paningal memberikan nasihat kepada Raja Blambangan bahwa kedua pusaka kerajaan Blambangan itu akan kembali seratus tahun kemudian di tempat yang sama saat raib secara gaib.

Purnama mati kedua saka depan tepat seratus tahun seperti yang diramalkan oleh Menak Kuncara.

-----

Arya Dahana mencoba gerakan terakhir yang dipelajarinya dari daun lontar yang diberikan Ki Banyu Pethak.

Dinihari ini, luar biasa dingin. Bahkan kabut yang biasa turun sama sekali tidak nampak. Saat udara menjadi terlalu dingin, kabut tidak akan sempat terbentuk. Permukaan dedaunan dipenuhi bunga-bunga es dari embun yang membeku. Bagi orang biasa, suhu sedingin ini adalah kematian.

Namun Arya Dahana bukan orang biasa. Pemuda ini menguasai secara sempurna ilmu langka Geni Sewindu dan juga Pukulan Bayangan Matahari selain Danu Cayapata yang sedang dilatihnya sekarang.

Lengan pemuda itu memutih menyerupai permukaan salju. Satu hal yang sangat berubah dan menunjukkan betapa ilmu itu telah sampai pada kesempurnaannya adalah matanya yang semuanya berubah putih. Tanpa sedikitpun kornea berwarna hitam. Pemuda itu seolah menjelma menjadi manusia jadi-jadian yang menggiriskan.

Arya Dahana mengayunkan lengan ke sebuah batu besar yang tidak nampak seberapa besarnya karena tertutup oleh salju beku.

Dessssss…

Tidak terdengar suara keras. Hanya benturan pelan yang bahkan tidak menimbulkan salju beku itu berhamburan. Arya Dahana sedikit terheran. Dihampirinya batu itu dan disentuhnya dengan lembut.

Batu itu sama sekali sudah tidak nampak wujudnya sama sekali. Hancur menjadi salju. Arya Dahana terbelalak. Ilmu ini sangat mengerikan. Batu gunung sebesar dan sekeras itu hancur tanpa meninggalkan serpihan. Hanya butiran lembut menyerupai salju yang menutupi sebelumnya.

Sesuai dengan petunjuk yang ada di daun lontar, Danu Cayapata telah sempurna jika sudah bisa meluluhkan batu menjadi salju dan membuat butiran hujan menjadi senjata mematikan.

Tinggal menunggu hujan turun untuk membuktikan.

Besok dia akan melihat seberapa sempurna Pukulan Matahari. Dia akan turun ke bibir kawah Semeru untuk membuktikan hasil latihannya selama dua bulan terakhir ini. Purnama mati kedua tidak lama lagi. Dia tidak boleh terlambat datang, atau amanat Raja Blambangan tidak akan tersampaikan.

Arya Dahana menyudahi latihannya. Duduk bersila, bersamadi dengan tenang. Hawa dingin luar biasa puncak Semeru sama sekali tidak terasa baginya. Dingin akan mengalahkan dingin sudah berhasil dipelajarinya. Rasanya ingin berterimakasih kepada Ki Banyu Pethak namun orang tua aneh itu tentu saja tak ketahuan di mana rimbanya.

Hingga matahari mulai menampakkan diri, Arya Dahana masih larut dalam semedi. Namun telinganya yang tajam masih bisa mendengar desir halus orang berkepandaian tinggi sedang mendaki puncak tempatnya berada. Pemuda itu membuka matanya dan seperti kilat melenting ke udara saat hawa pukulan dahsyat menghantam ke arahnya.

Batu tempatnya bersila hancur berkeping-keping menjadi pecahan-pecahan es.

Ki Banyu Pethak berdiri cengengesan di depannya sambil mempersiapkan serangan selanjutnya. Belum sempat Arya Dahana berteriak mencegah, satu larik pukulan lebar berwarna kebiruan menghantam tubuhnya yang baru mendarat di tanah.

Arya Dahana ngedumel dalam hati. Kakek yang aneh. Menguji tapi menyerang dengan tingkat pukulan tertinggi. Namun pemuda ini tidak bisa berlama-lama berpikir. Pukulan itu terlalu lebar dan terlalu cepat untuk untuk dihindari. Terpaksa pemuda ini menyorongkan lengan. Menangkis pukulan Busur Bintang Ki Banyu Pethak menggunakan pukulan Busur Bintang miliknya sendiri.

Deesss…Dessss…Blaaaaaarrrrrr!!

Terdengar ledakan keras dan menggetarkan puncak Semeru saat dua pukulan yang sama beradu.

Tubuh Ki Banyu Pethak seperti layang-layang putus. Terlempar jauh dan akhirnya jatuh terguling-guling. Sementara tubuh Arya Dahana bergoyang-goyang seperti pohon tertiup angin yang agak kencang.

Arya Dahana melompat jauh menyambar tubuh Ki Banyu Pethak yang jika tidak dihentikan akan terjerumus masuk dalam bibir kawah yang kedalamannya ratusan meter.

Alangkah kagetnya Arya Dahana saat merasakan tubuh tua itu dingin bukan main. Segera saja dibaringkannya tubuh Ki Banyu Pethak ke tanah agar bisa diperiksa nadinya.

Namun orang tua sakti yang sempat kehilangan kesadarannya sebentar tadi sudah kembali siuman dan bergerak lemah berusaha duduk bersila. Arya Dahana membantunya.

"Kau…kau berhasil anak muda. Itu tadi tingkat tertinggi Danu Cayapata. Aku ikut senang….huukkk!" kakek sakti itu muntah darah lalu pingsan untuk kedua kalinya.

Arya Dahana menggaruk kepalanya. Orang tua aneh. Sudah terluka parah tapi masih sempat memuji-muji. Arya Dahana menyesal tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya. Namun jika tidak, tentu posisinya pasti terbalik sekarang.

Arya Dahana meletakkan kedua telapak tangannya ke punggung Ki Banyu Pethak. Menyalurkan hawa murni untuk mengobati luka dalam si kakek. Cukup lama dia melakukan itu karena lukanya ternyata sangat parah. Benturan tadi sangat luar biasa bagi si Kakek.

Barulah setelah mendekati tengah hari, Ki Banyu Pethak siuman. Meskipun rasa sakit akibat pukulan sudah jauh berkurang namun tubuhnya belum pulih dan terlalu banyak kehilangan kekuatan. Tokoh tua itu berusaha keras untuk duduk bersila dan memberi isyarat kepada Arya Dahana. Suaranya sangat lemah tapi terdengar jelas di telinga pemuda itu.

"Apa yang telah kau lakukan untuk menyempurnakan ilmu pukulan Bayangan Matahari di tepi kawah itu sudah tepat anak muda. Hari ini adalah hari terpanas di bulan ini. Saat yang tepat bagimu untuk memuncaki penyempurnaan ilmu tersebut. Lakukanlah. Tinggalkan aku. Aku bisa menyembuhkan diriku sendiri sekarang."

Arya Dahana menatap matahari yang sekarang nyaris berada di atas kepala mereka. Cuaca memang sangat panas. Jauh lebih panas dari kemarin-kemarin. Orang tua itu ada benarnya. Ini saatnya. 3 hari lagi peristiwa maha dahsyat akan terjadi lagi. Kemunculan Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat yang akan mengundang kehadiran ratusan tokoh lihai dunia persilatan. Dia harus sudah menyelesaikan tujuannya di sini. Paling tidak, besok dia sudah harus melalui perjalanan menuju Gunung Raung. Bila tak ingin tergesa-gesa.

Arya Dahana meninggalkan si kakek yang tenggelam dalam samadinya. Dengan lincah pemuda ini menuruni lereng kawah. Saat tiba di bibir kawah, tanpa membuang waktu lagi Arya Dahana mulai berlatih pukulan Bayangan Matahari.

Ini tepat tengah hari. Meskipun berada di puncak gunung, namun cuaca sangat cerah. Matahari mengirimkan panasnya yang menyengat tanpa ragu. Angin juga berhenti bergerak sehingga hawa yang panas dan gerah melingkupi seluruh puncak Semeru.

Arya Dahana memusatkan hawa murni di kedua lengannya. Pukulan Bayangan Matahari adalah ilmu pukulan jarak jauh yang sangat mematikan dan disalurkan melalui lengan tangan. Semakin besar seseorang memiliki hawa sakti di tubuhnya, maka pukulan dahsyat ini akan semakin mematikan. Pada saat mencapai kesempurnaan, tidak hanya kedua lengan yang terbungkus sinar keperakan, namun seluruh tubuhnya akan dilingkupi oleh sinar yang menyilaukan ini.

Dan itulah yang terjadi saat ini. Tubuh pemuda itu diselimuti oleh sinar keperakan. Arya Dahana mengayunkan kedua lengan.

Blaaaarrrr!

Terdengar ledakan luar biasa keras ketika hawa pukulan keperakan yang keluar dari kedua lengan Arya Dahana bertemu dengan jilatan api dan magma kawah di bawah. Jarak dari bibir kawah hingga magma yang menggelegak di permukaannya tidak kurang dari 30 meter. Pukulan itu mengakibatkan magma muncrat ke segala arah. Sebuah gerakan lain yang tak diduga dilakukan oleh Arya Dahana.

Cessssss…cesssss!

Magma yang muncrat ke segala arah itu langsung bertemu dengan pukulan Busur Bintang Arya Dahana. Cairan yang bersuhu panas luar biasa itu berbunyi seperti tungku yang disiram air. Tidak hanya padam. Namun menimbulkan hujan salju yang berjatuhan ke dalam kawah.

Arya Dahana tersenyum. Dia tidak tahu persis seberapa sempurnanya pukulan Bayangan Matahari yang dicapainya saat ini. Namun dia sangat yakin dengan kemajuan pukulan Busur Bintangnya. Percikan magma itu berhawa panas luar biasa dan dia sanggup merubahnya menjadi bunga-bunga salju.

Rasanya sudah cukup!

Perjalanan menuju Gunung Raung tidak terlalu jauh namun tugas yang diamanatkan kepada dirinya sama sekali tidak ringan. Arya Dahana duduk bersamadi sejenak. Menyerap sekuat-kuatnya hawa panas menyengat dari kawah dan jerangan matahari di atas kepala.

Setelah dirasa cukup, pemuda itu menaiki bibir kawah. Ki Banyu Pethak sudah tidak ada lagi di tempatnya. Orang tua aneh itu rupanya telah pergi.

-----

Di Istana Pulau Kabut, Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta, dan Putri Anjani duduk bersila dengan takzim di bangunan istana kecil yang pintunya dibuka lebar-lebar menghadap samudera.

Wangi melati menguar sekencang-kencangnya. Malam ini purnama akan tiba pada puncaknya. Panglima Kelelawar sengaja melakukan pemujaan pemanggilan tepat saat purnama. Ratu Laut Selatan tidak bisa sembarangan diminta datang kecuali dengan syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi. Siapapun yang meminta. Bahkan meski itu adalah orang-orang terdekatnya.

Ketiga orang itu melakukan samadi dengan tekun. Samudra tidak jauh di hadapan mereka. Debur ombak sama sekali tak terdengar. Permukaan lautan setenang kaca. Cahaya kemilau keperakan dari pantulan cahaya rembulan nampak begitu memukau. Seolah laut terbuat dari ceceran batu manikam.

Angin bertiup dengan halus. Mengelus gelung rambut dua panglima sakti itu dan membuat kibar kecil pada gerai rambut Putri Anjani. Gadis dari laut utara ini diam-diam menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Baru kali ini dirinya terlibat dalam ritual mistis sehening ini. Dulu dia banyak melakukan hal aneh saat mempelajari Ilmu Sihir Tanah Seberang. Tapi itu ritual kanuragan. Sedangkan sekarang, adalah sebuah ritual pemanggilan legenda luar biasa Sang Ratu Laut Selatan yang sangat kesohor kesaktian maupun kemisteriusannya.

Jantung Putri Anjani seakan berhenti berdetak ketika dari kejauhan terdengar ringkik kuda. Ringkik yang panjang dan bergema berulang-ulang di suasana yang sangat sunyi. Istana Pulau Kabut sama sekali tidak punya kuda. Jadi suara itu pastilah berasal dari tempat lain.

Disusul kemudian dengan derap laju kereta! Putri Anjani semakin tercengang. Lagi-lagi sebuah benda yang tak ada di seputaran Pulau Kabut.

Lalu nampak sekali samar kemunculan bayangan hitam di atas permukaan laut yang tenang. Bayangan itu melaju dengan kencang seolah laut adalah jalan bebas hambatan. Tak sampai sekejap mata, bayangan-bayangan hitam itu sudah sampai di pinggiran pantai tepat di hadapan mereka.

Putri Anjani ternganga. Nampak 3 buah kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda besar dan gagah berhenti di depan istana kecil tempat pemujaan ini. Tengkuk putri lihai murid Datuk Sakti Rajo Bumi itu merinding. Ini memang peristiwa gaib. Mana mungkin ada kuda dan keretanya muncul dari dalam lautan? Gila! Tak bisa dinalar!

Rasa takjub Putri Anjani semakin menjadi-jadi tatkala dari dalam kereta kencana itu kemudian muncul berturut-turut para wanita cantik yang berbaju serba hijau. Wanita-wanita cantik itu membentuk barisan hingga tangga istana pemujaan.

Semua wanita itu menundukkan muka saat pintu kereta kencana yang paling mewah dan berada di tengah terbuka. Sepasang gadis yang kecantikannya luar biasa turun dari kereta kemudian mengangsurkan tangan untuk menyambut sepasang lengan putih mulus menuruni tangga kereta.

Begitu sepasang kaki jenjang itu menapak ke tanah, secara serentak para wanita cantik itu berlutut menyampaikan sembah sujud. Demikian pula Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta. Awalnya Putri Anjani tidak tahu harus berbuat apa tapi tatapan mata Panglima Kelelawar yang sempat memberikan isyarat sebelum bersembah sujud tadi membawanya ke sembah yang sama.

"Kalian semua! Duduklah!" Suara itu perlahan saja. Namun ketajamannya mengiris-iris udara.

Barisan wanita di luar istana pemujaan telah tegak berdiri dengan rapi. Tak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta, dan Putri Anjani duduk kembali. Mata Putri Anjani langsung bertemu dengan sepasang mata indah luar biasa dengan tatapan tajam membius. Ratu Laut Selatan sedang memandanginya dengan seksama.

Gadis dari laut utara ini gelagapan. Merasakan tatapan itu begitu tajam menusuk-nusuk pikirannya. Dikerahkannya tenaga batin untuk bertahan, namun ribuan jarum kecil seakan telah menyusup ke aliran darahnya. Luar biasa menyakitkan!

Namun Putri Anjani bukanlah gadis sembarangan. Tingkat ilmunya bahkan tidak kalah dengan Panglima Amranutta. Dia adalah murid satu-satunya Datuk Rajo Bumi. Datuk di dunia persilatan yang jarang menemui tandingan. Kali ini tenaga batin yang dikerahkan disertai pula dengan Ilmu Sihir Tanah Seberang.

Kedua tatap mata saling bertemu. Ratu Laut Selatan mengerutkan kening sejenak. Kelihatan terkejut. Dilambaikan sebelah lengannya ke arah Putri Anjani. Angin dingin berkesiur tipis menyambar Putri Anjani. Gadis dari laut utara itu tidak mau mengelak. Selain tidak tahu seberapa cepat dia bisa melakukannya, juga karena dirinya penasaran dengan tingkat ilmu ratu gaib itu. Putri Anjani mengebutkan lengan bajunya.

Dessss!

Terdengar benturan lirih namun akibatnya Putri Anjani terpelanting dari tempat duduknya. Meski tidak terluka sedikitpun namun sekarang Putri Anjani sangat yakin, Ratu Laut Selatan itu ternyata juga mempunyai ilmu kanuragan yang luar biasa. Bergegas putri dari laut utara ini bangkit lalu bersimpuh dan menghaturkan sembah.

"Hihihi….kau sangat tangguh gadis cantik. Dan aku melihat letupan bara dendam di kedalaman matamu. Aku akan mengajarimu satu ilmu pukulan langka Istana Laut Selatan. Perhatikan, ini adalah pukulan Prahara Laut Selatan!"

Sang Ratu melangkah keluar istana sembari memutar-mutar kedua lengannya. Bibirnya komat-kamit membaca mantra.

Lautan yang semula tenang dengan permukaan sebening kaca tiba-tiba bergolak luar biasa. Gelombang bergulung-gulung tinggi dari arah tengah samudera menuju tempat mereka semua berdiri. Langit di atas terlihat sangat gelap. Badai berupa angin puting beliung menarik air laut ke atas membentuk sebuah pemandangan luar biasa menakjubkan sekaligus mengerikan.

Putri Anjani memandangi dengan hati ngeri. Badai dahsyat dan gelombang raksasa itu bergerak cepat ke arah mereka. Sehebat-hebatnya seorang ahli silat, tak akan ada yang sanggup melawan kekuatan alam sedahsyat itu!

Tidak hanya Putri Anjani yang gentar dengan kedatangan badai dan gelombang hasil ciptaan ilmu Ratu Laut Selatan. Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta juga tak kalah jerihnya. Jika sampai gelombang dan badai itu sampai ke Pulau Kabut, dalam hitungan kejap saja semuanya akan lenyap terhapus dari muka bumi.

Begitu gelombang setinggi 2 kali pokok nyiur dan badai yang disertai puting beliung akan menghantam dan meluluh lantakkan Pulau Kabut, Ratu Laut Selatan menghentikan gerakan lengannya.

Mendadak saja seperti munculnya, gelombang dan badai tiba-tiba berhenti. Cuaca kembali cerah. Menampakkan bulan utuh yang ikut menyaksikan betapa dahsyatnya ilmu sang ratu gaib.

Panglima Kelelawar dan kedua orang lainnya menghela nafas lega. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mencegah malapetaka yang sudah di ujung hidung itu.

"Ha ha ha, gadis cantik! Kamu sudah menyaksikan kedahsyatan Ilmu Pukulan Prahara Laut Selatan. Apakah kamu mau mempelajarinya?" Sang Ratu tertawa lirih sambil berpaling ke arah Putri Anjani.

Yang ditanya tidak lagi berkata-kata. Putri Anjani menjatuhkan diri berlutut sambil berbisik terimakasih berulangkali.

"Hanya saja, ada syarat yang harus kamu penuhi. Ada ritual yang mesti kamu jalani. Suatu saat kelak kamu tidak lagi bisa terhindar dari kematian, maka aku akan menjemputmu untuk kujadikan pengawalku dalam keabadian. Kamu sanggup?"

Tanpa berpikir panjang Putri Anjani mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta saling pandang. Tentu saja. Putri Anjani seorang perempuan. Ratu Laut Selatan selalu memilih seorang perempuan terlebih dahulu untuk jabatan-jabatan tinggi dan ketika ingin menurunkan ilmu kesaktian.

"Dan untuk kalian berdua, panglima-panglimaku yang gagah perkasa. Aku tahu apa maksud kalian mengundangku datang. Kalian kewalahan menghadapi musuh-musuh Lawa Agung. Aku akan membantu kalian dengan tambahan kekuatan dua pengawal pribadiku ini. Putri Anila dan Putri Aruna."

Panglima Kelelawar mengangguk takzim. Dia tahu persis kemampuan kedua pengawal khusus Sang Ratu. Tidak jauh berada di bawah kemampuannya. Dua-duanya akan menjadi pengganti yang sepadan setelah kematian Raja Iblis dan para hulubalang.