Chapter 7 - Bab 7

Dunia sama sekali tak pernah berduka

Ketika harus menerima penguburan siapa saja

Di tanah-tanahnya

Karena selalu ada kamboja

Yang mengurusi wewangian

Dan bunga bakung

Yang merangkai setiap peristiwa murung

Ke dalam fragmen-fragmen mendung

Dunia akan tampak berduka atas sebab-sebabnya

Ketika pedang saling tebas,

Peluru dan mesiu saling rampas

Melewati batas-batas kemampuan para penyintas

Peperangan, kelaparan, huru-hara, dan bencana

Adalah ayat-ayat kematian

Yang ditulis dengan tinta merah sejarah

Sebagai bab-bab pemusnahan

Dibacakan ketika gundukan tanah masih basah

Dan diumumkan dalam doa-doa yang sebagiannya adalah rasa gelisah

Buku-buku tentang kecemasan

akan kematian

menguasai rak-rak perpustakaan

dipinjamkan bagi siapa saja

yang ingin mengetahui

bukan diberikan kepada siapa saja

sebagai alasan melarikan diri

dari takdir yang akan selalu mengakhiri

setiap perjalanan menuju ruang-ruang sunyi

Puncak Gunung Raung. Arawinda menurunkan tubuh Perempuan Setengah Dewa yang tak sadarkan diri dalam gendongannya. Semalaman gadis ini terus berlari dan berjalan. Sebelum pingsan, nenek renta yang sakti itu sempat membisikkan kata Gunung Raung.

Dan di sinilah mereka. Di puncak Gunung Raung yang dingin dan hening. Kabut yang beraura misterius memadati hutan yang belum tersentuh peradaban. Suara-suara yang terdengar barangkali hanyalah bisikan lelembut, atau geraman lirih harimau yang kehilangan mangsanya.

Arawinda memeriksa detak nadi nenek tua itu. Sangat lemah. Gadis ini tidak panik. Didudukkannya si nenek lalu melalui tangannya Arawinda mulai menyalurkan tenaga murni. Hawa hangat yang meresap perlahan membuat nenek itu tersadar tak lama kemudian.

"Sudah nduk. Sudah cukup. Aku bisa memulihkan diriku sendiri. Terimakasih."

Arawinda melepaskan telapak tangannya. Tubuhnya sekarang yang melemas. Dia juga kelelahan bertempur sehingga penyaluran tenaga murni tadi semakin menguras tenaganya.

Perempuan Setengah Dewa menutup matanya dalam keadaan bersila. Bersamadi. Walaupun sudah teramat sangat tua, namun dia adalah datuk sakti yang sulit dicari tandingan. Menyembuhkan diri dari rasa lelah dan luka dalam bisa dilakukannya sendiri dengan cepat.

Arawinda berbuat hal yang sama. Hanyut dalam heningnya samadi. Merasakan hawa panas berputar-putar menyusuri aliran darahnya. Menikmati puncak ketenangan jiwa.

Puncak Raung yang sudah sepi semakin sepi. Bahkan anginpun enggan bergerak sama sekali. Mungkin inilah yang disebut kuburan tanpa orang mati.

Menjelang pagi, barulah Perempuan Setengah Dewa membuka mata. Berdiri dengan tubuh segar dan luka dalam yang sudah tersembuhkan. Nenek ini memandangi Arawinda yang masih tenggelam dalam samadinya yang panjang. Tersenyum samar lalu menggerakkan tubuh lenyap dari tempat itu.

Arawinda sama sekali tidak sadar bahwa nenek tua itu sudah tidak ada pada tempatnya. Bisa dibayangkan betapa sempurnanya ilmu meringankan tubuh si nenek. Gadis itu baru tahu setelah membuka mata dan menyadari si nenek telah pergi.

Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa. Menunggu? Siapa tahu nenek sakti itu memang telah benar-benar pergi. Pergi? Takutnya si nenek datang lagi. Arawinda memutuskan akan menunggu beberapa saat. Dia tidak mau menghabiskan malam di sini. Selain hawanya sangat dingin, puncak gunung ini sepertinya banyak menyimpan misteri.

Tanpa diduga, seperti juga perginya, Perempuan Setengah Dewa tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Tersenyum sambil mengangsurkan buah pisang dan mangga hutan. Arawinda balik tersenyum. Perutnya memang lapar sekali.

Setelah saling berdiam beberapa saat, Perempuan Setengah Dewa menatap tajam Arawinda yang baru menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Nduk, cah ayu. Sebelum aku mati, dan itu tidak lama lagi, maukah kau mewarisi ilmu-ilmuku? Aku tidak punya murid selama ini, dan sepertinya kamu berjodoh untuk menjadi muridku."

Arawinda bengong untuk beberapa saat. Nenek sakti ini ingin mengambilnya murid begitu saja? Gadis ini bingung. Dia tidak punya siapa-siapa. Tidak punya tujuan hidup yang menentu. Hanya menjalankan perintah gurunya terdahulu Si Bungkuk Misteri. Berusaha sekerasnya menjaga keseimbangan di manapun dia berada.

Arawinda bersimpuh di depan Perempuan Setengah Dewa. Sebuah keputusan sudah ada di kepalanya.

"Aku bersedia Guru. Terimakasih telah memilihku."

Nenek sakti itu menggerakkan tangannya. Tubuh Arawinda terangkat bangkit dari simpuhnya tanpa bisa dicegah.

"Waktuku tidak lama muridku. Aku hanya akan menurunkan sedikit ilmu pukulan. Dan itu yang paling pilihan. Aku tahu kau pernah menjadi murid si bungkuk mantan suamiku. Oleh karena itu, aku hanya akan mengajarimu ilmu yang bisa menandingi dan melengkapi Aguru Bayanaka. Aku akan mengajarimu sebuah tarian. Tarian mematikan yang dinamakan Tarian Astadewi atau Tarian Dewi Sakti."

Arawinda terperangah. Aahh, jadi nenek ini mantan istri Si Bungkuk Misteri. Pantas saja begitu lihai dan sakti! Dan apa itu tadi? Tarian?

Perempuan Setengah Dewa tersenyum tipis melihat Arawinda ternganga.

"Perhatikan ini!"

Nenek tua itu kemudian mulai menari. Ya, betul-betul menari. Tarian yang sangat indah mempesona. Gemulai seperti tari serimpi namun terkadang menghentak seperti rampak. Namun tarian itu semakin lama semakin menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan. Pepohonan raksasa di sekeliling mereka berguncang seperti terkena gempa sekaligus dihantam badai.

Daun dan serasah di lantai hutan terangkat seperti digulung angin puting beliung. Berkumpul dan berputar-putar di udara. Lantai hutan menjadi sangat bersih. Dan lalu, nenek itu menyentakkan tangannya dalam sebuah puncak gerakan tarian. Daun-daun yang bergulung di atas itu kemudian meluncur kemana-mana sesuai dengan sentakan tangannya.

Arawinda terbelalak! Daun-daun itu seperti ujung pedang yang tajam! Menancap di batang-batang pohon dan tanah. Menimbulkan sebuah pemandangan yang aneh dan mengerikan. Ilmu pukulan yang luar biasa!

Perempuan Setengah Dewa menghentikan tariannya.

"Kita akan tinggal di sini sekurangnya tiga bulan. Sampai aku mati di antara rentang masa itu. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya menarikan Tarian Astadewi. Ini ilmu langka nduk. Mungkin akulah orang terakhir yang menguasainya setelah ratusan tahun yang lalu mulai diciptakan oleh kakek guru si bungkuk. Jangan lupa, setelah aku mati, tolong jangan kuburkan aku. Buang mayatku di kawah Raung. Aku ingin tulang-tulangku menjadi bagian dari magma."

Meski kalimat terakhir membuat Arawinda tercengang, namun gadis ini begitu gembira, mengangguk-angguk mengiyakan. Jangankan tiga bulan, bertahun-tahun pun di sini akan sangat menyenangkan bila setiap hari bisa menari seperti tadi.

"Tepat saat kau menyelesaikan pelajaranmu, aku mungkin sudah tak ada di dunia ini. Aku hanya ingin berpesan kepadamu nduk, bersiaplah kau menjadi tuan rumah dari satu lagi kejadian langka setelah Ranu Kumbolo, Gunung Merapi, dan Pantai Ngobaran. Aku sengaja membawamu ke sini karena di Gunung Raung inilah beberapa purnama lagi akan diburu oleh para pendekar persilatan dari segala penjuru."

Arawinda memandang gurunya dengan tatapan tak mengerti.

"Iya nduk. Beberapa purnama lagi, kau turunlah ke lereng gunung ini. Carilah gua yang bernama Telunjuk Dewa Raung. Di sana akan ada kemunculan 2 senjata maha dahsyat. Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat. Jagalah agar jangan sampai 2 senjata tersebut jatuh ke tangan orang yang salah."

-----

Arya Dahana menghentikan larinya. Sebelum melakukan perjalanan panjang menuju Galuh Pakuan ada baiknya dia singgah ke puncak Semeru. Sesuai petunjuk Ki Banyu Pethak, dia bisa menyempurnakan ilmu pukulan Danu Cayapata di puncak gunung tertinggi pulau Jawa tersebut.

Teringat Gunung Semeru, Arya Dahana tersenyum pahit. Banyak sekali kenangannya bersama Dyah Puspita di sana. Gadis itu sangat luar biasa. Setiap tahun selama sepuluh tahun terus mencarinya karena memegang amanahnya kepada Arya Prabu. Ranu Kumbolo! Danau itulah yang mempertemukannya lagi dengan gadis itu. Kembali Arya Dahana tersenyum. Tidak lagi pahit. Banyak hal manis yang mereka jalani bersama-sama dulu. Untuk apa meratapinya dengan cara pahit.

Setelah turun dari Semeru nanti, aku akan singgah ke Gua Danu Cayapata. Aku akan menengok Puspa di sana! Arya Dahana terus menggali semangatnya yang luruh setelah terlibat dalam peperangan demi peperangan yang menghancurkan hatinya.

Pemuda ini terus berjalan sambil melamun. Dia menemukan kebahagiaan tersendiri dalam setiap lamunan yang dia gambar. Seolah dunia sesungguhnya ada di sana. Sementara yang ada di sini, tak lebih dari titik-titik persinggahan fana.

Di hadapannya menjulang tinggi Gunung Semeru. Sekarang sudah hampir senja. Arya Dahana tidak merasa harus terburu-buru sampai ke puncak. Dia akan menikmati perjalanan ini. Seorang diri. Sambil mengenang Dyah Puspita.

Arya Dahana memutuskan berhenti di lereng Gunung Semeru. Pemuda ini juga teringat kepada Sima Lodra. Harimau raksasa itu pasti juga merindukan gunung ini. Di sinilah harimau itu dibesarkan oleh Ki Gerah Gendeng. Orang tua aneh yang merawatnya semenjak kecil setelah mendapatkan harimau itu sebagai 'hadiah' dari Ratu Laut Selatan.

Harimau putih perkasa yang sangat setia kepada tuannya. Arya Dahana nyaris selalu tergelak bila ingat Sima Lodra. Banyak hal lucu dibalik kegarangan dan keperkasaannya.

Di mana sekarang harimau sakti itu? Kemungkinan besar sedang bersama Ayu Wulan karena Ardi Brata dan Bimala Calya beberapa hari lalu ada Istana Timur ikut bertempur dan harimau itu tak nampak di sana.

Arya Dahana yang terus berputar dengan lamunannya tersadar. Suara auman di kejauhan itu suara harimau! Pemuda itu mencoba menajamkan pendengarannya. Benar itu harimau! Tapi Arya Dahana langsung kecewa. Itu bukan auman Sima Lodra. Sama garangnya. Sama nggegirisinya tapi itu bukan Sima Lodra. Arya Dahana meredam lagi rasa kecewanya.

Namun tak lama Arya Dahana akhirnya tersenyum kecut. Dia sepertinya memang butuh teman. Sima Lodra adalah salah satunya. Pemuda itu tahu Sima Lodra sedang mengawal Ayu Wulan kemana-mana sesuai dengan perintahnya. Tapi itu tadi bukan auman harimau biasa. Pemuda ini mengerutkan keningnya. Teringat sesuatu.

Ya. Sima Lodra memang punya saingan setara. Si harimau hitam legam peliharaan Datuk Rajo Bumi. Mungkin saja tadi auman si harimau hitam. Itu artinya Datuk Rajo Bumi sedang berada di tlatah hutan Semeru juga. Mungkin sedang menyembuhkan luka yang dideritanya akibat pukulan Perempuan Setengah Dewa.

Lamunan Arya Dahana kembali ke Sima Lodra. Bukankah Ayu Wulan yang selalu ditemani Sima Lodra sedang ada di Galuh Pakuan? Bersama-sama dengan Bimala Calya dan Ardi Brata? Lalu bagaimana mereka berdua bisa datang dan ikut berperang bersama Majapahit menaklukkan Istana Timur?

Ayu Wulan dan Sima Lodra kemana? Apakah masih di Galuh Pakuan atau…..?

Lamunan pemuda itu terputus seketika saat telinganya yang tajam mendengar ranting patah akibat terinjak sebuah langkah yang mengendap-endap di kerimbunan hutan. Arya Dahana menggerakkan tubuhnya. Lenyap dari tempat itu.

Bayangan yang mengikuti itu menghembuskan nafas kecewa. Tadi dia sudah sangat berhati-hati. Tapi pemuda itu memang benar-benar sakti. Bisa tahu ada yang menguntitnya dari hanya kesalahan langkahnya menginjak ranting kering secara sangat perlahan tadi.

Begitu melihat Arya Dahana tak nampak lagi, bayangan itu keluar. Seorang tua tinggi kurus menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak Arya Prabu itu terlalu sakti. Tidak mungkin dia bisa menemukannya lagi tanpa pemuda itu menghendaki.

Dan itulah yang terjadi. Tiba-tiba saja pemuda itu telah berdiri di hadapannya dengan tatapan menyelidik.

"Kisanak kenapa mengikutiku?" Tatapan pemuda itu membuat orang tua berjanggut pendek yang sudah hendak pergi itu jerih. Suaranya sedikit gugup saat menjawab pertanyaan Arya Dahana.

"Eh, ma…maaf anak muda. Aku hanya ingin menyampaikan amanat dari mendiang junjunganku," sambil masih dengan kegugupannya orang tua itu meraih sesuatu dari kantong dalam bajunya.

Arya Dahana mengerutkan kening setelah menyambut benda yang diangsurkan dan melihat selembar kain lusuh yang hanya berisi lukisan sepasang senjata.

"Apa ini kisanak? Siapa junjunganmu? Dan untuk maksud apa ini semua?"

Orang tua itu mengajak Arya Dahana duduk di sebuah banir pohon besar.

"Begini anak muda. Junjunganku adalah mendiang Paduka Raja Menak Jinggo. Kau tahu bukan? Raja Blambangan yang gagah perkasa. Beliau menitipkan sebuah pesan sebelum meninggal kepadaku. Aku harus menyampaikan kain ini kepada keturunan Arya Prabu."

Orang tua itu berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya.

"Setelah menyusuri jejak Arya Prabu akhirnya aku mengetahui bahwa keturunannya hanya kamu seorang. Aku mencarimu kemana-mana. Namun keberadaanmu sulit ditemukan."

Orang tua itu menghela nafas panjang.

"Amanat ini sangat berat anak muda. Apakah kau sanggup melakukannya?"

Arya Dahana menatap orang tua itu dengan penuh tanda tanya. Dalam hati, sesungguhnya pemuda itu geli. Kapan orang tua ini akan bercerita mengenai amanatnya apa?

"Mendiang Paduka Raja menyampaikan amanat kepadamu untuk menyelamatkan dua buah pusaka milik Blambangan yang menghilang secara gaib dahulu kala saat kerajaan Blambangan baru babad alas. Kedua pusaka itu merupakan dua dari 5 pusaka penting kerajaan Blambangan."

Orang tua itu melihat Arya Dahana melongo di hadapannya.

"Tugasmu cukup berat anak muda. Mengembalikan kedua pusaka itu ke istana Blambangan. Akan tetapi mendiang Paduka Raja juga menjanjikan satu hal luar biasa sebagai imbalan jerih payahmu."

Arya Dahana semakin melongo. Orang tua itu nampak sedikit kesal.

"Apakah kau paham apa yang aku katakan anak muda?!"

Arya Dahana menggeleng. Orang tua itu tambah kesal. Sudah panjang sekali dia bercerita. Nafasnya saja sudah agak sesak. Anak muda kurang ajar!

"Bagian mana yang kau tidak paham? Apakah aku harus mengulang dari awal lagi?!" nampak sekali muka orang tua itu merah padam.

Arya Dahana tertawa geli. Namun secepat itu pula dihentikannya. Pemuda itu kasihan melihat muka si orang tua berubah ungu saking kesalnya.

"Kisanak sedari tadi bercerita panjang lebar dan berputar-putar. Aku sudah paham diberi amanat oleh mendiang Paduka Raja Blambangan. Tapi kisanak belum sampai-sampai juga ke nama pusakanya apa? Terus aku harus mencari di mana?"

Orang tua itu gantian melongo. Ah, anak muda ini benar. Dia saja yang punya kebiasaan memanjang-manjangkan urusan. Orang tua itu akhirnya tertawa terkekeh-kekeh.

"Begini anak muda. Dua pusaka itu bernama Pedang Tujuh Langit dan Seruling Tujuh Malaikat. Kau akan bisa menemui kemunculannya pada Bulan Mati Kedua di saka depan. Dan bukan hanya kau tentunya yang akan menanti kemunculannya. Seisi dunia persilatan pasti akan berduyun-duyun pergi ke lereng Raung yang disebut Telunjuk Dewa Raung. Di gua yang berada di sanalah diramalkan kedua pusaka itu akan muncul kembali setelah raib secara gaib."

Arya Dahana mengangguk-angguk.

"Jadi aku harus berebut dengan banyak orang untuk mendapatkan pusaka itu kisanak? Baiklah. Karena itu sudah menjadi amanat dari mendiang Paduka Raja, aku akan melakukannya."

Orang tua itu melanjutkan.

"Ada satu rahasia yang mesti kau camkan anak muda. Tidak banyak yang tahu mengenai rahasia ini. Mereka semua pasti mengira bahwa gua Telunjuk Dewa Raung yang berada di belakang air terjun itu sebuah gua yang buntu. Sebenarnya tidak. Gua itu menembus perut Gunung Raung dan tembus hingga pesisir laut utara. Ingat ini baik-baik. Siapa tahu pada waktunya nanti kau memerlukan rute pelarian."

Arya Dahana kembali manggut-manggut.

"Satu saja pertanyaanku kisanak. Kenapa mendiang Paduka Raja Blambangan menugaskan ini kepadaku? Apakah kau tahu alasannya?"

"Aku sama sekali tidak tahu alasannya anak muda. Maaf."

"Lalu? Gambar di kain lusuh ini untuk apa kisanak?" Arya Dahana menyodorkan lembaran kain lusuh yang bergambar sebilah pedang dan sebatang seruling.

Orang tua itu menukas dengan cepat," ini rahasia berikutnya anak muda. Kemunculan kedua benda pusaka itu nanti akan dibarengi juga dengan kemunculan benda-benda tiruannya. Ratusan jumlahnya. Di tempat yang sama. Nah, untuk mengetahui pusaka mana yang asli adalah dengan cara membungkusnya dengan kain lusuh yang kau pegang. Selanjutnya aku juga tak paham."

Hmm, sebuah teka-teki lagi. Arya Dahana langsung teringat betapa rumitnya memperoleh mustika Naga Api beberapa masa yang lalu.

Akhirnya orang tua itu berpamit pergi dan memberikan pesan sekali lagi agar setelah mendapatkan dua pusaka itu, Arya Dahana pergi ke Istana Blambangan dan meletakkan sendiri keduanya di ruang pusaka.

Arya Dahana mengiyakan sambil memperhatikan orang tua itu lenyap dari pandangan.

Satu tujuan hidup lagi. Arya Dahana tersenyum. Pemuda itu senang jika mempunyai tujuan hidup yang baru. Kakinya melangkah mendaki Semeru. Dengan adanya tugas seperti ini, dia tidak bisa berleha-leha. Menyempurnakan Danu Cayapata tidak bisa lagi ditunda.

-----

Perahu besar dan mewah itu membelah ombak laut selatan. Cuaca cukup buruk, tapi perahu itu meluncur dengan tenang. Di dalam, duduk melingkar rombongan petinggi kerajaan Lawa Agung.

Panglima Kelelawar bersandar pada kursi tinggi. Panglima Amranutta duduk terpekur memejamkan mata. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara di seberang meja, Putri Anjani tampak hanyut dalam pikirannya.

Suasana hening itu berlangsung sejak perahu meninggalkan pelabuhan Bantar Muncang menuju Pulau Kabut. Semua tokoh Lawa Agung ditambah Putri Anjani nampak masih terpukul dengan kekalahan mereka.

Siapa yang menyangka Majapahit bisa memenangkan sebuah pertempuran yang seharusnya mengubur mereka dalam kekalahan. Rencana yang telah dipersiapkan dengan matang, pasukan besar, persekutuan dengan orang-orang hebat di dunia persilatan, ternyata belum cukup bagi mereka untuk menjatuhkan kerajaan besar itu.

Semua gara-gara si pemuda sialan itu! Hati Putri Anjani menyala jika teringat Arya Dahana. Sakit hatinya terhadap pemuda itu sekarang menyamai dendamnya kepada Majapahit. Seandainya pemuda itu cepat menyerahkan Gendewa Bernyawa, seandainya pemuda itu tidak menghalangi saat dia menggunakan Gendewa Bernyawa, seandainya pemuda itu pergi dan tidak merebut Gendewa Bernyawa lagi. Betul-betul pemuda sialan!

"Raja Iblis mati, Nini Cucara ditawan, dan banyak pasukan terpilih kita tewas. Kita nyaris kehilangan separuh kekuatan. Panglima Amranutta, bagaimana menurutmu? Apakah kita perlu meminta bantu Ibunda Ratu?" Panglima Kelelawar bertanya kepada Panglima Amranutta. Yang ditanya menggelengkan kepala.

"Tidak Paduka. Itu sama sekali tidak bijaksana. Kalau sampai Ibunda Ratu mengerahkan seluruh kekuatannya, para penguasa gaib daratan tanah Jawa pasti tidak akan tinggal diam. Paduka tahu, penguasa gaib daratan juga punya kekuatan yang tidak kalah dengan Ibunda Ratu."

Panglima Kelelawar merenung. Benar. Ratu Laut Selatan memang punya kuasa menakutkan. Tapi itu sebatas di lautan sampai di daerah pesisir selatan. Daratan dan gunung-gunung di tanah Jawa juga memiliki tokoh-tokoh gaib yang tidak kalah digdaya dengan Sang Ratu. Mungkin dirinya dan Panglima Amranutta saja yang perlu memohon tambahan ilmu sehingga bisa mengimbangi tokoh-tokoh lawan.

Nenek tua renta itu sangat sakti. Bahkan tokoh setingkat Datuk Rajo Bumi saja bisa dikalahkannya. Belum lagi tokoh-tokoh Sayap Sima dan Galuh Pakuan. Dan tentu saja si pemuda tengil yang beberapa kali telah mengalahkannya, Arya Dahana. Sesampainya di Pulau Kabut, dia akan meminta petunjuk kepada Ratu Laut Selatan untuk meningkatkan ilmunya.

Mata Raja Lawa Agung ini bertemu dengan pandangan Putri Anjani yang terlihat berapi. Hmm, Putri Anjani juga layak untuk dipertahankan sebagai sekutu. Dan siapa tahu Ibunda Ratu juga berkenan menurunkan sedikit ilmu kepadanya agar Lawa Agung semakin kuat.

Selain itu dia harus bisa menahan diri untuk tidak secara terburu-buru menyerang Galuh Pakuan. Dia harus benar-benar yakin bahwa kekuatannya sudah cukup. Dan itu akan banyak dipengaruhi oleh keberadaan tokoh-tokoh persilatan di pihak Lawa Agung.

Panglima Kelelawar membatin. Di mana lagi dia harus mencari tokoh-tokoh silat tinggi yang mau bergabung dengan Lawa Agung. Dia harus mempunyai rencana. Sepertinya sayembara atau semacamnya. Sesampainya di Pulau Kabut semua ini akan dibicarakannya bersama Panglima Amranutta dan Putri Anjani. Tinggal mereka yang tersisa.