Ketika istana-istana berperang
Atas nama raja
Yang terkadang sekaligus menjadi dewa
Bahkan tak jarang dianggap sebagai Tuhan kedua;
Pedang dan tombak lantas kehilangan mata
Mencabik pembuluh darah
Merobek penghulu jantung
Orang-orang yang memakai ikat kepala
Bertuliskan; kami adalah abdi raja
Mati kami tanpa aksara
Mati kami tanpa pusara
Mati kami tanpa tanda tanya
Bahkan mungkin saja mati kami tanpa surga
Istana Timur. Dalam situasi yang sangat tegang dan bersiaga penuh bagi kedua pihak, semua orang menunggu apa yang akan terjadi setelah Putri Anjani menjeritkan perintah dari atas atap tertinggi istana. Dan sekarang berdiri gagah sambil mementang sebuah gendewa.
Ki Tunggal Jiwo dan beberapa tokoh tingkat tinggi Sayap Sima menyadari situasi sangat berbahaya bagi mereka. Itu Gendewa Bernyawa!
"Siapkan benteng tameeeennnggg!"
Ki Tunggal Jiwo memberikan aba-aba. Serentak seluruh pasukan Majapahit melaksanakan perintah pimpinan tertinggi Sayap Sima. Dengan gerakan yang terlatih, seluruh pasukan masing-masing memegang tameng dan saling merapat sehingga terbentuklah sebuah benteng yang tersusun dari ribuan tameng.
Para panglima Sayap Sima juga telah membimbing Maharaja menjauh dari gelanggang dan melindunginya dengan puluhan tameng terbaik. Ki Tunggal Jiwo, Bledug Awu-awu, Ki Biantara dan Perempuan Setengah Dewa berdiri berjajar di depan Maharaja. Menunggu dengan jantung berdebar. Merekapun sudah bersiap-siap. Nenek renta yang sakti luar biasa itupun terlihat sedikit gentar.
Meskipun dengan jantung bergemuruh, Arya Dahana berusaha tetap tenang. Pemuda ini telah menyiapkan diri sepenuhnya dengan pukulan Busur Bintang sekaligus Bayangan Matahari. Seperti dulu, dia akan mencoba menciptakan tameng dari tanah yang dibekukan oleh kekuatan es apabila anak-anak panah berapi mematikan dari Gendewa Bernyawa dilepaskan.
Panglima Kelelawar dan semua tokoh Lawa Agung menyaksikan ini semua dengan harapan yang sangat tinggi. Pasukan Majapahit bisa ditaklukkan hari ini!
Putri Anjani menarik tali busur Gendewa Bernyawa. Semenjak berlatih sedemikian keras dan kini dilengkapi pula dengan kemampuan Sihir Tanah Seberang, kekuatannya berlipat-lipat setelah menggenggam gendewa sakti itu. Berbeda sekali dengan saat pertama kalinya dia memperoleh Gendewa Bernyawa.
Suara kesiur dingin terlepas ke udara saat Putri Anjani melepaskan tali busur. Pemandangan yang ajaib dan luar biasa terlihat saat ratusan anak panah berapi berhamburan menerjang ke arah pasukan Majapahit. Seperti bernyawa saja, anak-anak panah itu bersiutan menuju bagian-bagian mematikan dari seluruh pasukan.
Arya Dahana bertindak. Dihentakkannya kedua tangan ke tanah di depannya. Pemuda itu mengeluarkan pukulan Busur Bintang tingkat tertinggi untuk menciptakan sebuah pemandangan yang lebih menakjubkan lagi. Sebidang besar tanah terangkat ke udara dalam keadaan beku. Berturut-turut Arya Dahana melakukan hal yang sama.
Terdengar suara-suara api terkena air ketika ratusan anak panah itu runtuh setelah menghantam dinding aneh yang dibuat Arya Dahana.
Putri Anjani melengking sekeras elang murka melihat kejadian ini.
"Arya Dahana! Kau keparat! Hentikan membela mereka! Tidakkah kau ingat ayahmu mati di tangan Sayap Sima!"
Arya Dahana tidak mau menyahuti teriakan Putri Anjani. Sebagian besar tokoh Sayap Sima tercengang! Terutama Ki Tunggal Jiwo. Jadi prajurit yang secara ajaib menahan anak-anak panah berapi itu Arya Dahana? Ki Tunggal Jiwo menahan nafas. Pikirannya kembali melayang kepada putrinya yang telah tiada. Namun tokoh tua ini berusaha keras menahan diri. Pemuda ini melindungi mereka. Alangkah konyolnya jika dia sekarang menyerang Arya Dahana karena teringat kenangan akan Dyah Puspita.
Putri Anjani yang sedang dalam gelora kemarahan luar biasa melihat serangannya digagalkan Arya Dahana, kali ini menyerang dengan membabi buta.
Berkali-kali busur pusaka itu dipentangnya. Tak pelak lagi, ribuan anak panah berapi meluncur susul menyusul mengarah pasukan Majapahit.
Arya Dahana tidak tinggal diam. Berkat aliran hawa sakti Mustika Naga Api yang mengalir bersama darahnya, pemuda ini berkali-kali pula menghantamkan tangannya ke tanah menciptakan perisai-perisai ajaib berupa bidang-bidang tanah yang telah beku.
Ribuan anak panah mematikan itu langsung padam dan runtuh ke tanah begitu mengenai dinding-dinding tanah beku.
Putri Anjani menjerit-jerit seperti orang gila melihat semua upayanya digagalkan Arya Dahana. Matanya melotot merah, wajahnya berubah keunguan, urat-urat di dahinya bertonjolan seolah hendak meledak. Putri laut utara itu putus asa dan nyaris gila.
Jeda beberapa saat yang membuat Putri Anjani lengah dimanfaatkan secepat kilat oleh Arya Dahana. Tubuhnya berkelebat melompat ke atap di mana Putri Anjani masih termangu hampir menangis. Tangannya terulur merampas Gendewa Bernyawa.
"Awasss Putri!" terdengar teriakan Panglima Kelelawar memperingatkan. Putri Anjani terperanjat dan tersadar.
Bagaimanapun, Putri Anjani bukan seorang yang mudah ditaklukkan begitu saja. Teriakan Panglima Kelelawar dan kesiur angin pukulan Arya Dahana menyadarkan murid Datuk Rajo Bumi. Sebelum tangan pemuda itu sempat menyentuh gendewa di tangannya, Putri Anjani melompat ke belakang dengan tergesa-gesa.
Arya Dahana tidak mau berhenti. Kemampuan Putri Anjani meningkat beberapa tingkat setelah memegang Gendewa Bernyawa sehingga lompatan terburu-buru itupun sudah membuat upaya Arya Dahana luput.
Pemuda sakti itu tidak mau membuang waktu. Apalagi sudut matanya sempat menangkap dua bayangan melesat ke arahnya. Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta berniat menyerangnya.
Dengan mengerahkan pukulan Busur Bintang di tangan kiri dan pukulan Bayangan Matahari di tangan kanan, pemuda itu melepaskan pukulan dahsyat untuk mengalihkan perhatian Putri Anjani.
Putri Anjani yang masih terhuyung menjerit kencang merasakan dua hawa pukulan luar biasa panas dan sangat dingin mengarah lengan dan pundaknya. Putri laut utara itu mengerahkan Gora Waja sekuatnya melindungi tubuh.
Kesempatan itu dipergunakan Arya Dahana sebaik-baiknya. Tepat sebelum dua pukulan Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta tiba, dia mengurungkan pukulannya ke arah pundak dan lengan Putri Anjani. Lengannya berputar melepas angin pukulan menyerimpung kaki gadis itu.
Kontan Putri Anjani yang posisinya masih belum tegak, kembali terhuyung-huyung. Arya Dahana menyambar gendewa di tangan Putri Anjani setelah sebelumnya melepas pukulan ringan ke siku lengan kanan.
Putri Anjani menjerit kecil saat merasakan sikunya kesemutan. Terperangah dan diikuti amarah yang meluap-luap saat menyadari Gendewa Bernyawa sudah berpindah tangan.
Arya Dahana memang berhasil merampas senjata pusaka itu dari Putri Anjani, namun bersamaan juga dengan datangnya serangan dari Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta. Angin pukulan kedua panglima laut selatan itu begitu dahsyat. Mereka memang berniat melakukan serangan mematikan. Selain mencoba menyelamatkan agar Gendewa Bernyawa tidak berhasil direbut, juga memang berharap bisa membunuh musuh berat yang sangat lihai itu.
Arya Dahana sebisanya menahan pukulan itu dengan menangkis serangan Panglima Kelelawar sembari mengerahkan pukulan Busur Bintang.
Namun karena fokusnya terpecah dengan perebutan Gendewa Bernyawa, tetap saja pemuda itu terserempet pukulan Panglima Amranutta di dada kirinya. Sekaligus juga benturan hebat dengan pukulan Bayangan Matahari Panglima Kelelawar.
Arya Dahana terpelanting dari atap dalam kondisi terluka. Sebuah bayangan menyambar tubuhnya yang hendak menghantam tanah dengan keras. Arya Dahana melepaskan diri dari pelukan orang yang telah menolongnya. Memandangnya penuh ucapan terimakasih.
"Terimakasih Arawinda."
Arawinda mengangguk. Pemuda itu terluka. Duduk bersila memejamkan mata berusaha mengobati luka dalamnya setelah menyarungkan Gendewa Bernyawa di balik punggungnya.
Terdengar teriakan peperangan saat tiga sosok tubuh berlompatan menerjang ke arah Arya Dahana yang masih duduk diam. Putri Anjani, Panglima Kelelawar, dan Panglima Amranutta menyerang Arya Dahana dengan serempak. Jelas sekali bahwa pukulan yang dilayangkan adalah pukulan kematian.
"Pengecut!" terdengar geraman marah disusul tiga sosok tubuh yang juga berkelebat menyambut tiga penyerang tersebut.
Nenek renta sakti itulah yang menggeram sambil menghantam Panglima Kelelawar dengan tongkat bututnya. Ki Tunggal Jiwo menghadang serangan Panglima Amranutta, dan Arawinda sendiri menyambut Putri Anjani.
Kembali tercipta gelanggang pertempuran baru. Namun kali ini hanya sebatas enam tokoh itu saja yang bertempur. Semua pasukan masih berdiam diri menunggu perintah panglima masing-masing.
Dan para panglima memang menahan diri untuk tidak memberikan perintah menyerang. Kesempatan ini dipergunakan oleh masing-masing pihak untuk menyelamatkan yang terluka dan menyingkirkan tumpukan jenazah kawan-kawannya.
Raja Iblis Nusakambangan ternyata tewas akibat luka parah yang dideritanya. Begitu pula Maesa Amuk yang akhirnya tewas akibat pukulan Putri Anjani. Mahesa Agni yang tidak terluka nampak berdiri di samping Bhre Wirabumi. Berjaga-jaga sambil menilai situasi.
Madaharsa tidak kelihatan di mana-mana. Tokoh sesat Sayap Sima yang terluka parah akibat pukulan Mahesa Agni itu menghilang. Tidak bisa dipastikan apakah masih hidup atau mati karena tumpukan mayat yang begitu tinggi.
Pertempuran yang terjadi sekarang cukup berimbang. Perempuan Setengah Dewa menemukan lagi lawan setanding setelah Datuk Rajo Bumi tadi pagi. Panglima Kelelawar adalah murid langsung Ratu Laut Selatan. Tentulah ilmunya sulit diukur lagi.
Pertarungan antara Putri Anjani melawan Arawinda juga berlangsung seimbang. Kekuatan tidak lumrah yang didapatnya dari Gendewa Bernyawa sudah hilang semenjak gendewa itu berhasil direbut Arya Dahana.
Begitu pula pertempuran antara Ki Tunggal Jiwo yang berhadapan dengan Panglima Amranutta. Setelah beberapa jurus berlalu, nampak jika kekuatan dan kemampuan dua tokoh itu setara.
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah secara dramatis. Mendung bergumpal-gumpal seperti diarak menuju langit di atas Istana Timur. Lalu satu dua petir menyambar diikuti oleh petir-petir lainnya secara sambung menyambung. Anehnya petir itu hanya mengarah ke posisi pasukan Majapahit.
Tak ayal pasukan yang tetap siaga penuh itu kelabakan dan kocar-kacir. Memang tak satupun yang lari meninggalkan gelanggang. Hanya saja formasi pasukan menjadi berantakan. Jika hal ini terjadi terus, tidak tertutup kemungkinan pasukan Majapahit akan mengalami kehancuran saat terjadinya serangan pasukan Istana Timur.
Bledug Awu-awu yang terus berada di samping Maharaja, maju ke depan. Mata batinnya yang awas melihat bahwa ini ulah sihir tingkat tinggi. Dia tidak melihat Nini Cucara ada di mana. Namun tokoh sihir Majapahit ini yakin siapa lagi yang punya kemampuan sihir luar biasa jika bukan Nini Cucara.
Tokoh Sayap Sima itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Tiba-tiba saja angin kencang luar biasa bertiup dari arah barat. Menuju gumpalan besar awan hitam yang sekarang terus menerus mengeluarkan kilat dan petir menyerang posisi pasukan Majapahit. Angin kencang hasil sihir Bledug Awu-awu nampaknya berusaha mengusir mendung hitam pergi.
Bledug Awu-awu terperanjat bukan main. Angin kencang hasil sihirnya mental. Tak kuasa mendorong mendung hitam itu menjauh. Alhasil semakin berantakan saja formasi pasukan Majapahit karena kilat dan petir itu membuat kekacauan besar. Bledug Awu-awu mengerahkan segenap sihirnya untuk menambah kekuatan angin. Tapi lagi-lagi sama sekali tidak berpengaruh apa-apa.
Ini tidak mungkin perbuatan Nini Cucara! Dia tahu kemampuan ahli sihir Lawa Agung itu. Ini harus dicari ke sumbernya. Jika tidak, pasukan Majapahit akan makin kocar-kacir. Dan mereka akan dalam kondisi yang sangat berbahaya.
Bledug Awu-awu membisikkan sesuatu di telinga Panglima Narendra yang manggut-manggut mengerti kemudian memerintahkan beberapa pengawal Sayap Sima dengan kemampuan tinggi untuk menyebar sekeliling istana mencari sumber sihir mengerikan itu. Bledug Awu-awu ikut dalam rombongan itu.
Arya Dahana yang sebelumnya pasrah bersamadi untuk memulihkan luka dalam yang dideritanya tersadar. Pemuda ini membuka mata untuk mendapati sebuah pertempuran sengit terjadi di depannya. Nampak sekali bahwa tiga orang yang membelakanginya bertempur dengan niatan melindungi dirinya.
Nenek tua sakti, Ki Tunggal Jiwo dan Arawinda, menahan gempuran dahsyat Putri Anjani, Panglima Kelelawar dan Panglima Amranutta. Hmm, jadi ketiga orang itulah yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk memulihkan diri tadi. Pemuda ini bangkit berdiri dan melihat lagi sebuah kekacauan yang lebih besar tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Rupanya setelah melihat posisi dan formasi pasukan Majapahit berantakan dihantam oleh kilat dan petir buatan seorang ahli sihir sakti, panglima Istana Timur memerintahkan pasukannya untuk menyerang.
Terjadilah pertempuran yang aneh dan tidak masuk akal! Para prajurit Majapahit mencoba bertahan dan balas menyerang namun dengan formasi yang berantakan karena berkali-kali sambaran kilat dan petir mengacaukan formasi mereka. Tak pelak akhirnya pasukan Istana Timur dengan leluasa menguasai pertempuran dan membunuhi musuhnya dengan mudah.
Pertempuran memang tidak melibatkan tokoh sekelas Mahesa Agni dan Ki Biantara karena masing-masing melindungi junjungannya. Mahesa Agni selalu berdiri di samping Bhre Wirabumi dan Ki Biantara selalu mendampingi Maharaja Majapahit.
Namun akibat sihir yang luar biasa itu pertempuran antar prajurit menjadi sangat tidak seimbang. Arya Dahana yang melihat itu menggerakkan tubuhnya. Sambil mengerahkan ajian Geni Sewindu yang telah sempurna dikuasainya, pemuda ini mengarahkan pukulannya ke mendung tebal mengerikan yang tak henti-hentinya mengirim kilat dan petir ke arah pasukan Majapahit.
Blaaarrr! Blaaarrr! Blaaarrr!
Terdengar beberapa kali ledakan keras saat pukulan Geni Sewindu Arya Dahana membuyarkan mendung-mendung pekat hasil sihir. Langit menjadi bersih dari kilat dan petir. Pertempuran kembali normal. Pasukan Majapahit dan Istana Timur saling gempur tanpa ada campur tangan sihir lagi.
Di sebuah tempat di sudut halaman belakang istana, dua orang wanita tua saling pandang. Sihir mereka buyar begitu saja! Entah siapa yang melakukannya tapi sihir gabungan yang sangat kuat itu hancur berantakan.
Siapapun itu pasti orangnya punya kekuatan yang tak bisa diremehkan. Nini Cucara dan Nyi Genduk Roban bersepakat lewat pandangan mata. Mereka harus pergi sebelum ketahuan.
Namun terlambat! Beberapa orang berkepandaian tinggi telah mengepung mereka. Nyi Genduk Roban memucat. Mereka berdua adalah ahli sihir yang tidak mempunyai kemampuan kanuragan. Jika harus bertempur tentu mereka tidak akan bisa berbuat banyak. Orang-orang yang mengepung mereka adalah regu pengawal Sayap Sima tingkat tinggi yang tentu saja tidak bisa mereka tandingi sama sekali. Sihir! Mereka akan melawan dengan sihir.
Nyi Genduk Roban merapal mantera. Begitu pula Nini Cucara. Namun seseorang menyeruak di antara para pengepung. Astaga! Bledug Awu-awu!
Nyi Genduk Roban menghela nafas panjang. Tentu sihir tidak akan banyak gunanya sekarang.
"Jangan tatap mata mereka! Tangkap sekarang!" Bledug Awu-awu memberi perintah.
Nyi Genduk Roban sudah menetapkan hatinya untuk tak mau tertangkap begitu saja. Diluncurkannya sebuah sihir yang bisa memunculkan binatang jadi-jadian berupa harimau raksasa. Para pengepung mundur dan ragu-ragu melihat seekor harimau besar bersikap mengancam di hadapan mereka.
Bledug Awu-awu yang tidak mau gagal menangkap dedengkot sihir musuh merapal mantra. Seekor harimau lain yang tidak kalah besar tiba-tiba muncul dan langsung menyerang harimau ciptaan Nyi Genduk Roban.
Saat para pengepung hendak maju, kembali mereka dikejutkan dengan kemunculan lain dari binatang jadi-jadian yang menghalangi mereka maju. Seekor ular naga menghadang dengan api yang berkobar-kobar dari mulutnya.
Bledug Awu-awu kembali bertindak. Seekor ular naga yang sama besarnya mendadak muncul dan langsung menyerang ular naga ciptaan Nini Cucara.
"Aku akan menahan mereka! Cepat tangkap! Hidup atau mati!"
Terlihat jelas dalam adu lihai ilmu sihir yang terjadi, Bledug Awu-awu terdesak hebat. Bagaimana tidak? Dia dikeroyok oleh dua dedengkot sihir yang tingkatnya sama dengan dirinya. Bledug Awu-awu jatuh terduduk. Dari wajah dan lehernya mengalir deras keringat sebiji-biji jagung. Pertarungan ilmu sihir sesungguhnya sama dengan adu kanuragan. Hanya saja ilmu sihir lebih pada kekuatan olah batin. Akibatnya akan sama saja. Siapa yang kalah akan terluka atau bahkan tewas.
Bersamaan dengan majunya para pengawal Sayap Sima menyerang Nini Cucara dan Nyi Genduk Roban, tubuh Bledug Awu-awu tergelimpang. Wajahnya membiru dengan nafas yang sangat memburu. Binatang sihirnya pun lenyap dari pandangan.
Sedangkan Nini Cucara dan Nyi Genduk Roban hanya tampak kelelahan kehabisan tenaga. Mudah saja bagi para pengawal untuk menotok aliran darah di tubuh mereka. Nini Cucara dan Nyi Genduk Roban akhirnya tertangkap. Namun dengan pengorbanan Bledug Awu-awu yang ternyata telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Kembali ke gelanggang pertempuran. Mungkin karena terlalu kelelahan di usianya yang sudah sangat tua, Perempuan Setengah Dewa mulai terdesak. Panglima Kelelawar terus menyerang dengan keanehan ilmu-ilmu laut selatan. Raja Lawa Agung ini sengaja tidak mengeluarkan pukulan andalan Bayangan Matahari. Dia tahu nenek sakti ini adalah salah satu datuk yang hafal enam pukulan unsur bumi.
Tidak jauh dari situ. Pertarungan Arawinda melawan Putri Anjani semakin sengit saja. Gora Waja beradu dengan Aguru Bayanaka. Dua pukulan tingkat tertinggi beradu. Satunya di tangan amarah dan satu lagi di tangan kesarehan.
Perlahan namun pasti, Putri Anjani mulai terdesak. Nafsu amarahnya yang sangat menggelegak justru melemahkan ilmu pukulannya. Sebaliknya, sesuai ajaran Si Bungkuk Misteri, Arawinda bertempur tidak didasari pada amarah. Namun lebih banyak karena ingin berperan dalam menjaga keseimbangan. Dan itu menambah kekuatan hawa murni di tubuhnya.
Di satu gelanggang lagi, pertarungan sangat seimbang terjadi antara Ki Tunggal Jiwo dan Panglima Amranutta. Sama-sama punya pengalaman tempur. Kekuatan tenaga yang setara. Dan keduanya memiliki ilmu pukulan tingkat tinggi yang luar biasa. Sampai puluhan jurus berlalu tidak ada satupun yang mampu mendesak yang lain.
Sedangkan pertempuran antar pasukan semakin berkobar dengan pihak Istana Timur terdesak hebat. Selain kalah jumlah, Istana Timur juga kalah kemampuan. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap kekuatan. Tak akan lama lagi Istana Timur akan runtuh dalam kekalahan.
Bhre Wirabumi terlihat masgul. Semua cita-citanya dipertaruhkan hari ini. Dan nampaknya dia harus merelakan semuanya pergi. Awalnya Raja Istana Timur ini begitu yakin dengan bantuan Persekutuan dan juga Lawa Agung. Namun ternyata Majapahit punya nama besar dengan selalu memperoleh bantuan orang-orang hebat saat kesulitan. Bhre Wirabumi menghela nafas panjang.
Selintas pikiran menghampiri benak raja yang sudah nyaris putus asa ini. Dibisikkannya beberapa kalimat pendek ke telinga Mahesa Agni. Tokoh sakti Istana Timur itu mengangguk. Tubuhnya berkelebat lenyap menuju belakang istana. Tidak ada satupun yang memperhatikan hal ini. Kecuali Arya Dahana.
Pemuda sakti yang setelah membuyarkan mendung sihir hanya berdiri termangu di sudut halaman balairung ini tidak melakukan apa-apa. Dia hanya memperhatikan sekitar jika ada hal-hal janggal yang kiranya mengganggu pertempuran yang adil. Selain melihat betapa seimbangnya pertempuran tokoh-tokoh luar biasa tak jauh dari tempatnya, pemuda ini juga selalu menyinggahkan pandangan ke tempat Bhre Wirabumi dan Maharaja yang berdiri di tempatnya masing-masing.
Oleh karena itu ketika matanya menangkap Bhre Wirabumi membisikkan sesuatu ke telinga Mahesa Agni lantas tokoh sakti itu secepat itu menghilang, Arya Dahana menangkap gelagat yang tidak benar. Ada sesuatu yang direncanakan oleh Raja Istana Timur dan itu pasti sesuatu yang berbahaya.
Karena bagaimanapun juga, kenyataannya Istana Timur sedang di ambang kekalahan. Tokoh-tokoh pentingnya bermatian, terluka dan melarikan diri. Hanya tinggal pihak Lawa Agung saja yang bertahan.
Arya Dahana yang merasa penasaran menggerakkan tubuhnya. Berkelebat di antara remah-remah petang yang mulai berjatuhan. Menyelinap di antara bangunan dan kemudian sampai di tempat yang paling tepat posisinya untuk memperhatikan semua sisi pertempuran.
Firasatnya benar. Terlihat ada keributan di bagian belakang balairung tempat Maharaja berdiri dikawal oleh pasukan Sayap Sima yang dipimpin oleh Ki Biantara. Sepasukan orang persilatan yang terlihat masih segar dan belum bertempur, menyerang dengan hebat sisi belakang tersebut. Sepasukan orang yang bila melihat dari pakaiannya seperti gerombolan pengemis. Namun rata-rata punya kepandaian yang tidak rendah. Dipimpin oleh seorang tua aneh yang berbaju mewah namun penuh tambalan dan terlihat sangat lihai.
Tentu saja para pengawal Sayap Sima tidak tinggal diam. Serangan dari belakang ini terlihat cukup berbahaya. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa rombongan yang baru datang adalah perkumpulan Pengemis Tongkat Perak yang terkenal rahasia itu.
Syarat dari Hantu Berjubah kepada Bhre Wirabumi agar perkumpulan ikut membantu Istana Timur adalah bahwa mereka baru akan terjun ke pertempuran jika hampir mendekati usai dan ada kesempatan membunuh Maharaja. Hantu Berjubah sendiri yang akan melakukannya.
Dan Mahesa Agni mengatakan demikian tadi. Sehingga berbondong-bondonglah mereka menyerbu dari belakang untuk membunuh Maharaja. Hantu Berjubah dan anak buahnya selama ini bersembunyi di lorong rahasia bawah tanah. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di luar. Tidak tahu bahwa justru Istana Timur yang sedang terdesak dan tinggal menunggu kekalahan.
Siasat Bhre Wirabumi berhasil. Perkumpulan Pengemis Tongkat Perak yang dipimpin langsung Hantu Berjubah mampu membuat porak poranda pasukan pengawal Sayap Sima. Mahesa Agni sendiri langsung menyerang Ki Biantara. Mahesa Agni tahu bahwa Ki Biantara yang memiliki ilmu paling tinggi di antara para pengawal Sayap Sima dan bisa menghalangi Hantu Berjubah melaksanakan rencananya.
Tentu saja Ki Biantara melayani serangan Mahesa Agni untuk melindungi Maharaja. Sementara pasukan pengawal Sayap Sima menahan serangan para pengemis lihai itu.
Arya Dahana bisa melihat bahwa Hantu Berjubah masih terlalu tangguh bagi para pengawal Maharaja yang tersisa. Apalagi semua anak buahnya ikut memuluskan langkahnya semakin mendekati Maharaja.
Ki Biantara berteriak memanggil Ki Tunggal Jiwo melihat nyawa Maharaja dalam ancaman besar. Dia sendiri kerepotan menahan serangan Mahesa Agni yang memiliki ilmu lebih tinggi darinya.
Ki Tunggal Jiwo yang sedang mati-matian bertempur melawan Panglima Amranutta melihat situasi genting. Tubuhnya hendak melompat gelanggang pertempuran menuju arah Maharaja yang tinggal sendirian dan menunggu turunnya tangan maut Hantu Berjubah.
Namun Panglima Amranutta tidak memberinya kesempatan sama sekali. Panglima kedua Laut Selatan ini terus menggempur Ki Tunggal Jiwo dengan serangan-serangan berbahaya.
Perempuan Setengah Dewa dan Arawinda juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Maharaja. Mereka disibukkan oleh ganasnya serangan Panglima Kelelawar dan Putri Anjani.
Hantu Berjubah mengangkat tongkat emasnya. Matanya yang penuh dendam berkilat-kilat saat mengayunkan tongkat mematikan itu ke tubuh Maharaja. Dendam lama itu akan tuntas sekarang! Hantu Berjubah menyeringai.
Desss….dessss….brukkkkk!
Lengan Hantu Berjubah terpental keras saat sepersekian jeda lagi akan berhasil membunuh Maharaja Majapahit. Tongkat terlepas dari tangannya akibat benturan keras dengan lengan Arya Dahana yang datang menyelamatkan Maharaja.
Hantu Berjubah mendelik marah. Pemuda kurang ajar! Dihantamkannya sebuah pukulan mematikan ke arah kepala Arya Dahana dengan kekuatan penuh.
Arya Dahana mengrenyitkan keningnya. Tokoh satu ini termasuk pembunuh berdarah dingin! Tidak segan membunuh meskipun sebenarnya bisa hanya dengan melukai. Arya Dahana menyaksikan sedari tadi betapa entengnya ketua pengemis itu membunuhi orang.
Orang seperti inilah yang harus diberi pelajaran!
Tangan Arya Dahana terulur ke depan menyambut serangan Hantu Berjubah. Pemuda ini sekaligus mengerahkan Busur Bintang dan Bayangan Matahari tingkat tertinggi yang dimilikinya.
Kembali benturan kekuatan terjadi. Akibatnya tidak lagi seperti tadi. Tubuh Hantu Berjubah melayang jauh untuk kemudian terjatuh. Tak berdaya lagi. Dari semua lubang telinga, hidung dan mulut mengucur darah segar. Ketua pengemis yang jumawa itu tewas seketika dalam kondisi mengenaskan.
Arya Dahana mengibaskan kedua lengannya beberapa kali. Sebagian anggota perkumpulan Pengemis Tongkat Perak terpelanting kesana kemari dalam keadaan luka dalam atau patah tulang. Sisanya tanpa menunggu perintah berhamburan melarikan diri setelah menyaksikan pemimpin tertinggi mereka mati.
Ki Biantara bisa bernafas lega. Sekarang dia bisa berkonsentrasi penuh menghadapi lawan yang lebih lihai darinya ini. Namun Mahesa Agni sudah kehilangan hasrat setelah melihat rencananya gagal total. Tokoh Sakti Istana Timur ini menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari tempat pertarungan.
Ki Biantara tidak berniat mengejarnya. Keselamatan Maharaja jauh lebih penting meskipun serbuan para pengemis sudah bisa diatasi. Masih sempat dilihatnya pemuda sakti itu telah berlari pergi.
Terdengar sorak sorai membahana yang mengguncang Istana Timur. Pasukan Majapahit telah sepenuhnya bisa menguasai keadaan. Pasukan Istana Timur telah ditaklukkan. Semua sudut istana dipenuhi oleh para prajurit Majapahit. Tawanan-tawanan dari prajurit Istana Timur yang menyerah digiring ke tengah lapangan.
Mahesa Agni tidak terlihat lagi batang hidungnya. Menghilang entah kemana. Bhre Wirabumi berhasil ditangkap oleh Panglima Narendra dan diamankan dengan penjagaan ketat.
Arya Dahana mendekat lagi ke gelanggang pertempuran yang tersisa.
Perempuan Setengah Dewa terhuyung-huyung langkahnya. Rasa lelah yang luar biasa membuatnya tak berdaya ketika sebuah pukulan Panglima Kelelawar berhasil menghantam pundaknya.
Merasa bisa menaklukkan nenek renta yang sakti luar biasa yang bisa menjadi penghalangnya ke depan nanti, Panglima Kelelawar menyusulkan sebuah pukulan pamungkas yang mematikan mengarah kepala Perempuan Setengah Dewa.
Dessss!
Tubuh Panglima Kelelawar bergoyang-goyang dalam adu tenaga. Arawinda menangkis pukulannya. Gadis itu sendiri terpelanting ke belakang dan cepat melakukan jungkir balik sehingga tak terjatuh. Keduanya tidak terluka. Namun Perempuan Setengah Dewa jatuh terduduk sambil memegangi pundaknya. Nenek sakti itu terluka cukup parah. Buru-buru Arawinda memegangi lengannya.
Putri Anjani yang kalap tetap menerjang Arawinda yang berusaha menolong Perempuan Setengah Dewa. Beruntun pukulan Gora Waja dihantamkannya ke tubuh dan kepala Arawinda. Tidak ada waktu mengelak maupun menangkis karena disibukkan menolong, Arawinda hanya tertegun pasrah dan coba mengerahkan tenaga sekuatnya untuk menahan pukulan mematikan itu.
Dukkk! Dukkk! Bressssss!
Tubuh Putri Anjani terbanting bergulingan saat tangannya yang sudah mendekati kepala Arawinda bertemu lengan Arya Dahana. Gadis yang sedang luar biasa kalap ini memekik dan mengumpat-umpat kasar. Namun yang keluar dari mulutnya adalah semburan darah segar. Putri Anjani terluka cukup parah. Arya Dahana tadi memang cukup banyak mengerahkan tenaga saat menangkis pukulannya. Pemuda itu marah bukan main melihat tindakan pengecut putri laut utara itu.
Tubuh Panglima Kelelawar berkelebat. Menghantam Ki Tunggal Jiwo dengan pukulan Bayangan Matahari. Ki Tunggal Jiwo melompat mundur karena tahu betapa berbahayanya pukulan itu. Panglima Kelelawar menyentuh pundak Panglima Amranutta.
"Kita pergi!" tubuhnya kembali berkelebat menyambar Putri Anjani yang belum bisa bangkit berdiri. Melarikan diri secepatnya dengan berloncatan di atap-atap bangunan istana dan lenyap di kegelapan yang mulai merambah bumi. Di belakangnya Panglima Amranutta mengikuti.
Pasukan Lawa Agung yang melihat pimpinannya pergi ikut berhamburan melarikan diri. Hanya separuh saja yang tersisa dari hampir seratusan yang datang membantu Istana Timur.
"Bawa aku pergi dari sini nduk." Terdengar lirih bisikan Perempuan Setengah Dewa kepada Arawinda yang masih memapahnya. Arawinda mengangguk. Setelah menganggukkan kepala kepada Arya Dahana, gadis itu melesat pergi sambil membopong tubuh Perempuan Setengah Dewa yang kehabisan tenaga.
Arya Dahana membalas anggukan Arawinda dan ikut melesat pergi. Ke arah barat. Tugasnya sudah selesai di sini. Saatnya memenuhi janji kepada Dewi Mulia Ratri.
Ki Tunggal Jiwo sama sekali tidak berniat mencegah pemuda itu lagi. Jiwa tuanya sudah pasrah atas kematian putrinya, Dyah Puspita. Memang sudah garisnya menemui Sanghyang Widi dengan lantaran pemuda itu.
Tugasnya masih banyak tersisa di sini. Peperangan di Istana Timur ini menyisakan banyak kematian, reruntuhan, dan kekacauan.
******