Seorang wanita terluka
Bersumpah atas nama api
Kepada langit dia berkata;
Dendamku adalah kemarahan Dewa Kali. Kesumatku berwarna merah. Sewarna darah. Seperti senja yang kau hadirkan sesaat sebelum malam. Itu artinya aku menuju kegelapan.
Seorang wanita memegang gendewa
Sebuah busur yang dipilin dengan tali
Dari mimpi yang terputus berkali-kali
Kepada bumi dia berkata;
Hatiku adalah batu. Mataku adalah sembilu. Syaraf-syarafku setegang kepundan lava. Seperti gunung yang terjepit sebelum mendapat jalan keluarnya. Itu artinya aku gulungan gempa.
Seorang wanita melesatkan anak panah kala sandyakala
Ratusan dan tak terbilang
Mengarah mata, jantung dan kuda
Kepada angin dia berkata;
Aku menumpang sayap-sayap petaka. Jeritanmu adalah tawaku. Bergelimpanganmu adalah bahagiaku. Seperti kurusetra yang tak mau mengumpulkan mayat-mayat peperangan. Aku adalah kematian.
Istana Timur. Pagi berkidung lamban. Tidak ada embun bergelantungan di daun seperti biasa. Angin seolah berhenti. Langit di timur jauh terlihat murung. Barangkali bumi bersiap untuk berduka lagi. Sebuah peperangan besar kembali akan terjadi.
Namun persiapan perayaan berjalan seperti tidak ada apa-apa. Orang-orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Para prajurit jaga telah berganti dari malam sebelumnya. Para peladen dan pelayan makanan berkutat di dapur dengan segala masakan berjumlah besar. Perayaan ini tergolong perayaan raksasa. Makanan harus cukup. Tidak boleh kurang. Ini perintah langsung dari paduka Raja Bhre Wirabumi.
Arya Dahana sengaja mencuri waktu mandi pagi-pagi di pancuran belakang istana. Dia merasa kusut. Selalu begini jika dia akan terlibat sebuah pertempuran besar-besaran. Seperti ketika dulu perang Blambangan, perebutan Mustika Api, dan perang Bubat. Sebelumnya hatinya selalu tercekat. Peperangan sama sekali tidak mendatangkan kegembiraan baginya. Di dalam hati, Arya Dahana berharap perang kali ini tidak terjadi.
Tapi begitu melihat para prajurit jaga terdiri dari orang-orang dunia persilatan yang rata-rata berkepandaian tinggi, hati pemuda ini langsung luruh ke tanah. Perang pasti akan terjadi.
Sang Maharaja Majapahit belum nampak di balairung. Singgasana mewah itu masih kosong. Banyak orang sudah berkumpul di sana. Terutama para pasukan pengawal Sayap Sima. Bahkan Ki Tunggal Jiwo sendiri sudah berdiri di sudut balairung. Matanya tajam menyelidik kesana kemari. Pendekar tua itu sama sekali tidak kehilangan kewaspadaannya. Sejak ayam mulai berkokok tadi pagi, anak buahnya menyisir setiap bangunan dan pelataran. Termasuk lapangan yang akan dipergunakan untuk perayaan siang ini.
Tidak ada yang mencurigakan, begitu lapor anak buahnya. Tapi Ki Tunggal Jiwo bukan orang bodoh. Tokoh tua yang sangat berpengalaman ini tahu ada sesuatu yang tidak beres. Oleh karena itu dia memerintahkan semua anak buahnya agar selalu pada tingkat kewaspadaan tertinggi.
Rencananya sebelum perayaan dilakukan secara resmi di lapangan, Maharaja dan Bhre Wirabumi akan bersantap pagi terlebih dahulu di balairung istana. Ki Tunggal Jiwo membawa serta koki dan tabib istana serta memerintahkan mereka untuk memeriksa semua masakan yang akan dihidangkan nanti. Bisa saja masakan itu dibubuhi racun, sehingga Ki Tunggal Jiwo juga membawa beberapa orang pencicip khusus istana. Mereka akan mencicipi semua hidangan yang siap disantap oleh Maharaja. Betapa telitinya Ki Tunggal Jiwo mengenai hal ini.
Suara tambur mulai ditabuh perlahan-lahan. Itu adalah pertanda Sang Maharaja turun dari tempatnya menginap menuju balairung. Bhre Wirabumi terlihat berdiri untuk bersiap menyambut junjungan besar Majapahit itu. Putrinya selalu setia di sampingnya. Mendampingi sang ayahanda dalam setiap pertemuan dengan Maharaja. Memang begitulah adat istiadat istana. Lekat dengan segala tata cara yang kental dengan pengabdian.
Arya Dahana yang kali ini menempatkan dirinya di sudut lapangan terdekat dengan panggung besar perayaan, melihat dengan matanya yang tajam, menyaksikan dayang di belakang putri Bhre Wirabumi bukan lagi Putri Anjani. Namun seorang wanita separuh baya kurus kecil namun nampak masih lincah. Wajahnya tidak terlihat jelas karena wanita itu selalu menunduk. Kemana gerangan Putri Anjani? Arya Dahana mengira-ngira kapan waktu dimulainya serangan terhadap rombongan Maharaja. Tidak mungkin sekarang. Para pengawal sedang awas-awasnya. Barangkali nanti saat upacara sedang gaduh-gaduhnya.
Setelah perjamuan pagi, dimulailah upacara perayaan yang besar itu. Diiringi bunyi tambur berkumandang membahana, Maharaja Majapahit melangkah keluar balairung menuju panggung di lapangan upacara. Para pengawal Sayap Sima berdiri di sekitar Sang Maharaja. Rapat. Tidak ada sedikitpun celah untuk melakukan serangan. Arya Dahana menghela nafas sedikit lega. Sekaligus juga dag dig dug. Dia telah mengamati dengan teliti. Panggung besar upacara itu disusun sedemikian rupa sehingga tempat duduk diatur berjauhan. Sepertinya suatu kesengajaan agar terbuka kesempatan untuk melakukan serangan terhadap Sang Maharaja.
Pemuda ini menggeser tempatnya berdiri tanpa menimbulkan kecurigaan. Berpindah di sudut panggung bagian belakang. Sangat leluasa untuk mengamati keadaan. Bahkan suatu tindakan jika diperlukan.
Brung...brung…brung…
Suara tambur menguar di udara yang mampat oleh panas sinar matahari. Sang Maharaja perlahan menaiki panggung dengan agung. Diiringi oleh Ki Tunggal Jiwo di sebelahnya. Bhre Wirabumi, cukup mengherankan, berjalan agak jauh di belakang. Arya Dahana tercekat hatinya.
Benar saja firasat pemuda ini. Mendadak suara tambur berubah seketika. Bunyinya memberikan isyarat seperti jika sebuah peperangan terjadi. Pasukan penjaga istana menyerbu dari belakang, kanan dan kiri ke arah pengawal Sayap Sima. Para peladen dan pelayan yang bersimpuh menunggu untuk mengatur makanan yang datang, melompat berdiri sembari menghunus senjata masing-masing. Menyerang dengan cepat ke arah rombongan Maharaja dari depan.
Ki Tunggal Jiwo melesat seperti kilat di depan Sang Maharaja. Diikuti beberapa panglima Sayap Sima. Menghadapi para penyerang yang terdiri dari pasukan Persekutuan Gugat. Beberapa bayangan lalu berkelebat ke arah Ki Tunggal Jiwo dan kawan-kawan.
Terjadilah pertempuran yang mirip dengan kedatangan rombongan besar ngengat mengerubuti lampu. Paduka Maharaja dikelilingi secara rapat dan ketat oleh setidaknya 6 orang pengawal tingkat tinggi Sayap Sima. Termasuk salah satunya Ki Tunggal Jiwo yang sekaligus memberikan komando kepada pasukan.
Pertempuran pecah dengan sengit. Banyak para penyerang terdepan yang bertumbangan. Tewas maupun terluka.
Kemampuan para pengawal Sayap Sima benar-benar diuji kali ini. Gelombang penyerbu seolah tak habis-habis. Ki Tunggal Jiwo sendiri langsung dikerubuti oleh setidaknya tiga orang berkemampuan tinggi dari Persekutuan.
Tapi para pengeroyok itu menemui batunya. Ki Tunggal Jiwo adalah satu dari sedikit tokoh nomor satu dunia persilatan. Lelaki tua yang punya pengalaman bertempur segudang itu tidak akan mudah ditaklukkan. Apalagi jika hanya oleh keroyokan tokoh-tokoh silat yang masih beberapa tingkat di bawahnya.
Sebentar saja para pengeroyok Ki Tunggal Jiwo kewalahan melayani amukan Ki Tunggal Jiwo yang tidak mau membuang waktu karena tahu situasinya sangat berbahaya bagi junjungannya.
Karena itu tanpa membuang waktu lagi Ki Tunggal Jiwo melabrak lawan-lawannya dengan kemampuan terbaiknya. Tak perlu menunggu lama bagi Ki Tunggal Jiwo untuk menumbangkan ketiganya dengan pukulan Braja Musti. Dua di antaranya langsung tewas dengan kepala pecah dan seorang lagi tak bisa bangkit lagi karena terluka parah di bagian dada.
Tubuh tua namun tangguh itu segera melesat ke hadapan Maharaja yang sedang mundur-mundur sambil dikelilingi oleh beberapa panglima Sayap Sima. Bledug Awu-awu terlihat mengangkat tongkatnya ke udara di belakang Maharaja. Sebuah cahaya kebiruan nampak melingkupi sosok Maharaja. Cahaya magis yang dibuat oleh Bledug Awu-awu untuk melindungi Sang Maharaja dari serangan sihir.
Pertempuran semakin sengit ketika dari bangunan utama mendadak mengalir seperti air bah pasukan Persekutuan. Putri Anjani yang melihat serangan mendadak mereka terhadap rombongan Maharaja tidak segera berhasil, memberi perintah membuka pintu rahasia tempat persembunyian sebagian besar pasukan Persekutuan.
Pasukan Persekutuan yang menyerbu kali ini adalah orang-orang terpilih dari dunia persilatan. Rata-rata punya kemampuan yang tangguh dengan kepandaian tinggi. Sebentar saja pasukan Sayap Sima yang ada menjadi kewalahan.
Melihat situasi semakin tidak menguntungkan bagi pihaknya, Ki Tunggal Jiwo mengambil suar dari pinggangnya.
Wuuussssss…wussssss
Dua cahaya kebiruan meledak di udara. Tak sampai sepersekian jeda terdengar suara ratusan derap kaki kuda memasuki gerbang yang terbuka karena tidak sempat ditutup oleh pasukan Istana Timur. Beberapa regu pasukan Sayap Sima menguasai gerbang itu sejak mulai pecah pertempuran. Ki Tunggal Jiwo memerintahkan pasukannya melakukan itu supaya kedatangan bala bantuan tidak terhambat.
Pasukan yang baru datang langsung menghambur membantu pasukan Sayap Sima yang mulai terdesak hebat. Sang Maharaja sendiri terkurung di antara beberapa panglima Sayap Sima yang melindunginya dan sedang bertempur mati-matian melawan pasukan Persekutuan.
Bala bantuan yang baru datang berjumlah besar dan dipimpin langsung oleh Panglima Narendra. Madaharsa juga terlihat di antaranya. Keseimbangan pertempuran langsung berubah. Kali ini pihak Istana Timur yang terdesak.
Melihat situasi mulai terkendali, Ki Tunggal Jiwo cepat-cepat menggandeng Sang Maharaja menuju tempat aman di luar kancah pertempuran. Tapi upayanya dihadang oleh beberapa orang yang berdiri mengancam di hadapannya.
Putri Anjani, Mahesa Agni, Datuk Rajo Bumi, berjajar di sana sambil bersiap menyerang. Ki Tunggal Jiwo terkesiap. Kali ini lawan yang menghadang orang-orang nomor satu dunia persilatan. Pimpinan Sayap Sima ini menegang seluruh urat syaraf tubuhnya. Ini adalah pertarungan hidup dan mati. Satu saja sudah merupakan lawan yang luar biasa berat. Apalagi jika ketiganya maju bersama.
Ki Tunggal Jiwo sedikit menarik nafas lega saat Maesa Amuk dan Madaharsa berkelebat datang dan berdiri di sampingnya. Setidaknya sekarang tiga lawan tiga.
Putri Anjani yang tidak mau membuang waktu, mengambil inisiatif serangan. Tubuhnya yang mungil menerjang Maesa Amuk. Seluruh tubuhnya mengeras karena Putri Anjani langsung mengerahkan Gora Waja. Lagipula putri laut utara ini paham betul kemampuan Maesa Amuk. Dia dulu pernah mengalahkannya. Dia yakin akan bisa mengalahkannya lagi. Terjadilah pertarungan yang dahsyat antara dua orang yang sama-sama mengandalkan ilmu ketahanan tubuhnya.
Melihat Putri Anjani sudah menerjang maju, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni juga ikut menyerang. Datuk Rajo Bumi memilih Ki Tunggal Jiwo yang memiliki ilmu tertinggi di antara lawan-lawannya. Dulu datuk sakti ini juga pernah beradu ilmu dengan Ki Tunggal Jiwo dan hampir mengalahkannya. Melihat datuk aneh ini menerjang ke arahnya tanpa basa-basi lagi, Ki Tunggal Jiwo menyambut serangan Datuk Rajo Bumi dengan tidak kalah dahsyatnya.
Madaharsa dan Mahesa Agni belum memulai pertarungan. Keduanya seperti mengukur kemampuan lawan dengan saling menatap tajam. Namun diam-diam Madaharsa yang licik sudah menyiapkan pukulan kejutan Bayu Lesus. Menunggu saat yang paling tepat bila orang tua di depannya ini lengah.
Tapi Mahesa Agni bukan tokoh kemarin sore yang mudah dikejutkan dengan segala tipu muslihat. Setelah mengukur sampai di mana kelihaian orang bermata licik itu, Mahesa Agni membuka serangan. Tubuhnya melesat ke depan mengirim pukulan mematikan. Madaharsa yang sudah bersiap tidak mau kalah. Setelah menghindar dari serangan pertama Mahesa Agni, tokoh Sayap Sima ini balas menyerang. Pertarungan dari dua tokoh tingkat tinggi ini akhirnya berlangsung dengan sengit.
Istana Timur benar-benar riuh dengan suara teriakan, keluh kesakitan, angin-angin pukulan, dan juga denting senjata tajam beradu kencang. Pertempuran terjadi hampir di semua tempat. Prajurit kerajaan kedua istana saling gempur. Tokoh-tokoh Persekutuan dan Istana Timur beradu nyawa dengan tokoh-tokoh Sayap Sima. Semua pihak telah menerjunkan diri dalam pertempuran.
Belum nampak di arena kemunculan dari pasukan Lawa Agung dan juga tokoh-tokohnya. Panglima Kelelawar memang menunggu tanda dari Putri Anjani untuk ikut terjun dalam pertempuran.
Putri Anjani sengaja mengulur waktu untuk mendatangkan bala bantuan dari Lawa Agung. Situasi masih berimbang sekarang. Lagipula Putri Anjani harus yakin terlebih dahulu bahwa Majapahit tidak menyimpan pasukan yang lain. Ini adu strategi.
Seperti sudah diduga, pertarungan antara Datuk Rajo Bumi dan Ki Tunggal Jiwo berlangsung ketat dan dahsyat. Kedua tokoh saling berjual beli pukulan. Meski pada akhirnya setelah lewat dua puluh jurus Ki Tunggal Jiwa nampak mulai terdesak namun pertarungan belum menunjukkan tanda-tanda pihak mana yang akan kalah.
Sementara di gelanggang lain, kembali Maesa Amuk terdesak oleh gempuran Putri Anjani. Semenjak mempelajari Ilmu Sihir Tanah Seberang, kemampuan Putri Anjani meningkat dengan pesat. Pukulan Gora Waja juga telah nyaris sempurna. Tingkat Putri Anjani saat ini lebih tinggi dari Maesa Amuk sehingga tidak heran jika sekarang tokoh Majapahit itu terdesak hebat.
Demikian pula keadaan Madaharsa. Walaupun Hidung Belang Pesisir Barat ini mempunyai pukulan Bayu Lesus yang merupakan salah satu ilmu langka unsur bumi, namun yang dihadapi adalah dedengkot dunia persilatan tua yang juga mempunyai pukulan unsur bumi lainnya, yaitu Amurti Arundaya. Pukulan Bayangan Matahari yang mengandung unsur panas luar biasa.
Hanya tinggal beberapa orang saja di dunia ini yang menguasai pukulan-pukulan luar biasa dari enam unsur bumi.
Bayu Lesus adalah inti dari pukulan angin yang saat ini hanya ada di tangan Si Bungkuk Misteri dan Madaharsa. Amurti Arundaya yang dimiliki oleh Si Bungkuk Misteri, Mahesa Agni, dan Arya Dahana. Danu Cayapata yang dikuasai oleh Si Bungkuk Misteri, Ki Banyu Pethak, dan Arya Dahana.
Gora Waja yang tinggal berada di tangan Si Bungkuk Misteri, Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani. Gempa Pralaya yang mengandung kekuatan bumi mungkin hanya tinggal dikuasai oleh Si Bungkuk Misteri dan Dewi Mulia Ratri. Dan yang terakhir Aguru Bayanaka sebagai unsur kayu yang barangkali hanya tersisa di Si Bungkuk Misteri dan Arawinda.
Keenam pukulan yang diambil dari intisari unsur alam itu tidak sembarangan bisa dikuasai oleh orang biasa. Harus mempunyai bakat dan kekuatan yang luar biasa agar bisa menguasainya.
Madaharsa sudah mulai kelelahan. Dia yang tidak ingin berlama-lama bertarung sudah bersiap untuk melepaskan pukulan pamungkas Bayu Lesus. Terdengar gemuruh dahsyat yang menyambar dari lengannya saat pukulan itu dilepaskan ke arah Mahesa Agni.
Tokoh penting Istana Timur ini tidak mau dipecundangi begitu saja. Disambutnya pukulan mengerikan itu dengan Amurti Arundaya.
Ledakan dahsyat mengikuti pertemuan dua pukulan. Madaharsa terpental jauh sambil jatuh terduduk memegangi dadanya yang sesak. Dia kalah tenaga. Sementara Mahesa Agni tubuhnya hanya bergoyang-goyang seperti pohon tertiup angin. Jelas sekali dalam pertarungan ini Madaharsa telah kalah telak!
Kubu Majapahit agak terjepit sekarang dengan robohnya Madaharsa. Apalagi kemudian terdengar teriakan nyaring dari gelanggang pertarungan antara Maesa Amuk melawan Putri Anjani. Tokoh berangasan Sayap Sima itu terlihat tergeletak di tanah dengan darah mengalir deras dari mulut, hidung dan telinga. Maesa Amuk pingsan dan terluka parah.
Ki Tunggal Jiwo yang juga terdesak oleh serangan-serangan Datuk Rajo Bumi menyadari bahwa situasinya menjadi sangat berbahaya bagi Majapahit. Kembali diraihnya suar dari pinggang dan dilepaskan ke udara.
Berbarengan dengan ledakan suar terdengar suara sorak sorai membahana dari luar pintu gerbang. Ribuan pasukan Majapahit membanjir masuk dipimpin oleh Ki Biantara. Ketua padepokan Segoro Langit itu didampingi oleh seorang nenek yang sangat renta. Mungkin saking tuanya nenek itu terlihat berjalan terhuyung-huyung dan hanya dibantu tongkat kayu yang juga sudah nampak tua. Nenek renta itu terlihat melihat ke kanan dan kiri lalu secara tiba-tiba tanpa bisa diikuti pandangan mata biasa, melesat secara luar biasa ke gelanggang pertarungan antara Ki Tunggal Jiwo melawan Datuk Rajo Bumi. Tongkat kayunya diulurkan menghantam datuk sesat itu.
Datuk Rajo Bumi melompat jauh ke belakang. Angin pukulan dari tongkat nenek tua renta itu terasa sangat panas menerjang dadanya. Luar biasa! Nenek ini bukan orang sembarangan!
Sambil mengerutkan kening menduga-duga, Datuk Rajo kembali harus berlompatan menghindari serangan si nenek yang jauh lebih dahsyat dibanding Ki Tunggal Jiwo. Astaga! Siapa pula nenek ini?
Begitu si nenek renta mengambil alih musuhnya, Ki Tunggal Jiwo yang juga bertanya-tanya siapa gerangan nenek sakti ini langsung saja menggempur Putri Anjani yang setelah berhasil merobohkan Maesa Amuk kini sedang sibuk membunuhi para pengawal Sayap Sima yang sedang melindungi Maharaja.
Untunglah si nenek renta sakti itu datang dan mengambil alih pertarungan dengan Datuk Rajo Bumi sehingga Ki Tunggal Jiwo bisa segera bertindak menghadapi Putri Anjani dan menyelamatkan Maharaja yang saat ini tinggal dilindungi oleh empat orang pengawal tingkat tinggi dari Sayap Sima.
Putri Anjani menggerutu panjang pendek begitu Ki Tunggal Jiwo melabraknya habis-habisan. Hampir saja dia sampai pada titik akhir perlindungan Maharaja. Tapi kini orang tua tangguh ini menghadangnya.
Tentu saja Ki Tunggal Jiwo lebih lihai dibanding Maesa Amuk yang dikalahkannya tadi. Putri Anjani harus berkonsentrasi penuh. Yang dihadapinya adalah orang nomor satu Sayap Sima yang sanggup menandingi gurunya ratusan jurus.
Ingatan pada gurunya membuat Putri Anjani melirik Datuk Rajo Bumi. Hah? Gurunya itu sedang bertarung mati-matian melawan seorang nenek tua renta yang luar biasa lihai dan terlihat mampu menandingi kemampuan gurunya. Duh! Majapahit tidak pernah kekurangan orang sakti.
Ki Biantara yang merupakan bala bantuan terakhir Majapahit bersama ribuan pasukan menerjunkan diri ke pertempuran dengan menyerbu ke arah Mahesa Agni yang juga sedang mengarah ke tempat Maharaja namun dihadapi oleh beberapa orang panglima Sayap Sima yang tentu saja sangat kewalahan menghadapinya.
Namun begitu Ki Biantara terjun ke gelanggang menyerang Mahesa Agni, para panglima yang tinggal menunggu waktu bertumbangan seperti mendapatkan angin baru. Mereka tetap bertempur mengeroyok Mahesa Agni karena tahu bahwa sekelas Ki Biantara pun memerlukan bantuan menghadapi tokoh sakti Istana Timur itu.
Keseimbangan pertempuran kembali berubah. Keadaan sekarang berimbang. Namun di pertempuran antar prajurit terlihat Istana Timur sekarang terdesak hebat. Bala bantuan ribuan pasukan yang dibawa Ki Biantara benar-benar merubah keadaan. Pasukan Istana Timur bukan lagi menjadi penyerang. Namun kini hanya bisa bertahan.
Sambil terus saling serang dengan Ki Tunggal Jiwo, Putri Anjani masih sempat menilai keadaan. Jika terus dibiarkan, pasukan Istana Timur akan dibantai habis.
Putri dari laut utara ini mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya dan melengking nyaring hingga suaranya seolah membelah angkasa dibarengi dengan suar merah yang dilepaskannya. Itu tanda bagi Lawa Agung dan pasukannya untuk bergerak.
Tak perlu menunggu lama, pasukan Lawa Agung yang sebelumnya berada di Hutan Larangan namun sudah berpindah melalui lorong rahasia dan sedari tadi bersiap di ruang bawah tanah istana, menyerbu masuk gelanggang pertempuran.
Pasukan yang dibawa Panglima Kelelawar tidaklah banyak. Namun semuanya adalah pasukan pilihan. Termasuk juga dengan keberadaan tokoh-tokoh lihai Panglima Amranutta, Nini Cucara, dan Raja Iblis Nusakambangan.
Kontan saja para prajurit Majapahit kocar-kacir diserbu oleh tokoh-tokoh sakti itu. Formasi tempur yang kokoh sebentar saja berantakan digempur oleh para tokoh Lawa Agung. Sebentar saja puluhan pasukan Majapahit tewas bergelimpangan seperti ngengat bertemu api.
Dari kejauhan, Arya Dahana yang masih terus berpura-pura menjadi prajurit Istana Timur dan ikut bertempur namun tidak dilakukannya dengan sungguh-sungguh, melihat situasi dengan hati cemas.
Kali ini Majapahit kalah kekuatan karena kemunculan pasukan Lawa Agung. Nenek renta yang sakti itu masih bertarung dengan seimbang melawan Datuk Rajo Bumi. Putri Anjani masih bisa ditahan oleh Ki Tunggal Jiwo. Mahesa Agni sementara masih bisa diimbangi oleh Ki Biantara yang dibantu beberapa murid tertuanya.
Nini Cucara yang mulanya juga membuat porak poranda pasukan Majapahit dengan sihir laut selatannya, sudah dihadapi oleh Bledug Awu-awu dengan sihir tingkat tingginya.
Namun Panglima Kelelawar, Raja Iblis Nusakambangan, dan Panglima Amranutta sama sekali belum berjumpa dengan lawan yang sepadan sehingga mereka bertiga dengan seenaknya membunuhi pasukan Majapahit seperti orang sedang mencabuti rumput.
Arya Dahana yang melihat ini semua sudah berniat hendak terjun ke pertempuran namun terhenti niatnya ketika terdengar suara gaduh dari belakang pasukan Istana Timur. Sebuah bayangan melesat kesana kemari melumpuhkan pasukan dengan totokan, pukulan dan tendangan. Mata Arya Dahana menyipit untuk memastikan. Arawinda!
Gadis manis murid Si Bungkuk Misteri itu bergabung dalam pertempuran tapi sama sekali tidak berniat membunuh. Terlihat sekali bahwa tujuannya adalah mendekat ke gelanggang di mana orang-orang Lawa Agung berada. Disusul kemudian dengan dua bayangan lagi yang juga mengikutinya.
Hmm, Bimala Calya dan Ardi Brata. Arya Dahana tersenyum senang. Bala bantuan yang lumayan untuk Majapahit.
Begitu mendekati gelanggang, Arawinda langsung menyerang orang Lawa Agung yang terdekat. Panglima Amranutta. Panglima kedua dari laut selatan itu segera menyambut serangan dengan waspada karena melihat pukulan Arawinda sangat berisi dan membahayakan.
Sementara itu Ardi Brata dan Bimala Calya bahu membahu menghadapi Raja Iblis Nusakambangan yang dengan senyum mengejek menyambut kedua muda-mudi itu dengan pukulan-pukulan mematikan.
Arya Dahana melompat jauh mundur dari serangan para prajurit Majapahit yang sedari tadi mengeroyoknya namun benar-benar kebingungan karena "prajurit" Istana Timur itu hanya mengelak kesana kemari tanpa balas menyerang sedikitpun.
Pemuda itu sengaja mendekati arah Panglima Kelelawar yang semakin merangsek maju menuju posisi Maharaja. Entah apa maksudnya tapi Arya Dahana tidak akan membiarkan Raja Lawa Agung itu berbuat semena-mena. Dia tidak dalam misi membela siapa-siapa di sini. Dia hanya ingin menyelesaikan hutang piutang dengan Putri Anjani. Tidak lebih. Namun jika ada perbuatan sewenang-wenang terjadi di depannya, dia tidak akan membiarkannya. Dari pihak manapun juga.
Arya Dahana terus mendekati posisi Panglima Kelelawar yang juga semakin dekat ke arah Maharaja. Arya Dahana yang berbaju prajurit Istana Timur tentu saja terus diserang oleh para pengawal Sayap Sima yang melihatnya sebagai ancaman sebagaimana Panglima Kelelawar yang saat ini dikeroyok oleh beberapa orang pengawal berkepandaian tinggi.
Hari semakin sore. Pertempuran belum ada tanda-tanda berhenti. Setelah tokoh-tokoh Lawa Agung menemukan lawan, pertempuran antar pasukan kembali dipegang oleh Majapahit. Pasukan Istana Timur terus terdesak hebat.
Putri Anjani sangat cemas melihat situasi yang tidak lagi menguntungkan pihaknya. Strateginya buyar karena kedatangan beberapa orang yang tidak diduganya. Si nenek renta sakti yang bisa mengimbangi gurunya, Arawinda yang entah kenapa malah membela Majapahit, dan Gendewa Bernyawa yang tidak berada di tangannya.
Teringat Gendewa Bernyawa, Putri Anjani kesal bukan kepalang kepada Arya Dahana. Di mana pemuda sial itu?
Tapi Putri Anjani tak bisa berlama-lama bermain dengan pikirannya. Serangan-serangan Ki Tunggal Jiwo membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi. Lengah sedikit saja, dia bisa jadi pecundang yang celaka.
"Aaaahhhh! Duuuhhh! Nenek setan!" terdengar teriak mengaduh kesakitan diikuti umpatan dari tengah-tengah gelanggang.
Datuk Rajo Bumi terhuyung-huyung memegangi bahunya yang terlihat sengkleh. Sebuah pukulan tongkat nenek sakti tadi mampir di bahunya dengan telak. Meskipun datuk sesat itu sudah coba menahan dengan tenaga dalam, tetap saja bahunya terluka. Nenek renta bau tanah itu betul-betul sakti!
Datuk Rajo Bumi tahu kalau dia melanjutkan pertarungan dengan nenek sakti itu kemungkinan besar dia akan kalah atau terluka makin parah. Sambil menggeram penuh amarah datuk sesat itu berkelebat lenyap dari tempatnya. Pergi dari tempat ini untuk memulihkan diri.
Putri Anjani tercekat batinnya. Gurunya pergi meninggalkan dirinya yang sebetulnya sudah di atas angin dan mendesak Ki Tunggal Jiwo dengan hebat. Tapi gadis ini maklum akan keanehan sifat gurunya yang angin-anginan. Dia tidak bisa berharap lebih.
Hal penting yang perlu dipikirkannya sekarang adalah bagaimana memenangkan pertempuran hari ini yang masih berkecamuk dengan serunya. Sambil terus mendesak Ki Tunggal Jiwo, Putri Anjani mulai menilai situasi.
Mahesa Agni memang bisa mengatasi kelihaian Ki Biantara. Bahkan beberapa kali pukulannya telah mengenai tubuh pendekar tangguh itu. Namun Ki Biantara tetap bertahan dengan luka-lukanya.
Ki Biantara bisa sedikit bernafas lega ketika menyaksikan Datuk Rajo Bumi telah dikalahkan oleh nenek gurunya, Perempuan Setengah Dewa. Ya, nenek tua renta namun sakti bukan main itu adalah nenek guru dari Ki Biantara. Seorang tokoh lama yang dulu pernah malang melintang di dunia persilatan sebagai saingan Si Bungkuk Misteri. Bahkan sesungguhnya nenek berjuluk Perempuan Setengah Dewa itu adalah mantan istri Si Bungkuk Misteri.
Nenek sakti itu melesat seperti kilat membantu cucu muridnya yang kewalahan melayani Mahesa Agni.
"Kau pergilah lindungi Maharaja! Biar aku yang urus pengkhianat sesat ini," Perempuan Setengah Dewa memberi perintah sembari terus menyerbu Mahesa Agni yang terkaget-kaget dengan kedahsyatan serangan si nenek tua.
Ki Biantara hanya mengangguk patuh. Tubuhnya berkelebat menuju Maharaja yang saat ini dikelilingi oleh pengawal Sayap Sima yang tersisa. Sebagian besar telah ditumbangkan oleh Panglima Kelelawar.
Putri Anjani mengeluh dalam hati. Mahesa Agni memang sakti. Tapi ilmunya yang setara dengan Datuk Rajo Bumi tidak akan mungkin bisa menandingi si nenek luar biasa yang telah mengalahkan gurunya. Kembali Putri Anjani teringat pada Gendewa Bernyawa. Senjata ampuh yang bisa sangat membantunya mengalahkan musuh-musuhnya dalam jumlah besar sekaligus bisa meningkatkan tenaga murni yang dia punyai. Arya Dahana sialan!
Di sudut halaman istana, pertarungan antara Arawinda dan Panglima Amranutta semakin seru. Gadis yang mendapatkan amanat berat dari Si Bungkuk Misteri ini sudah memainkan jurus-jurus Aguru Bayanaka. Lawan yang dihadapinya terlalu berat jika hanya menggunakan pukulan biasa. Panglima Amranutta adalah panglima kedua dari kerajaan Laut Selatan. Ilmunya hanya kalah sedikit dibanding Panglima Kelelawar. Oleh karena itu meskipun sudah mewarisi pukulan Aguru Bayanaka yang nyaris sempurna, tetap saja Arawinda kalah tenaga dan pengalaman. Gadis dari lembah Mangkubumi ini perlahan-lahan mulai terdesak.
Sementara itu meski dikeroyok oleh dua orang, Raja Iblis Nusakambangan tidak bergeming sedikitpun. Bahkan berkat pengalamannya yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, pelan tapi pasti Raja Iblis itu berhasil mendesak Bimala Calya dan Ardi Brata. Kedua muda-mudi itu hanya bertahan sebisanya dari gempuran ganas si Raja Iblis.
Arya Dahana merasa sudah saatnya turun tangan. Tubuhnya melesat seperti kilat ke arah Raja Iblis Nusakambangan yang tersentak kaget bukan kepalang saat satu prajurit Istana Timur menerjangnya dengan dahsyat. Apa-apaan ini? Apakah prajurit ini tidak tahu bahwa aku adalah sekutu mereka! Tapi, alangkah lihainya prajurit biasa ini!
Raja Iblis Nusakambangan tidak sempat lagi berpikir banyak. Serangan prajurit itu tidak boleh dianggap main-main. Sebentar saja dia terdesak hebat.
Ardi Brata dan Bimala Calya yang sebelumnya juga terheran-heran melihat prajurit berseragam Istana Timur dengan menggunakan tutup muka menyerang Raja Iblis Nusakambangan, kemudian mundur dari pertempuran dan membantu yang lainnya karena ternyata prajurit rendahan itu mampu mendesak hebat si Raja Iblis.
Arya Dahana segera ingin menyudahi pertarungan ini karena dilihatnya semakin banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Jika orang-orang Lawa Agung ini bisa segera ditaklukkan, Arya Dahana yakin pertempuran ini akan selesai dengan sendirinya. Kekuatan terbesar pihak Istana Timur ada pada orang-orang Lawa Agung sekarang setelah Datuk Rajo Bumi pergi. Sesederhana itu.
Arya Dahana mengibaskan kedua lengannya yang bercahaya keperakan. Raja Iblis Nusakambangan yang masih tidak percaya seorang prajurit biasa bisa mengimbanginya, mengerahkan segenap tenaga untuk menjatuhkan prajurit biasa itu.
"Blaaarrr! Blaaarr!"
Terdengar ledakan keras saat kedua lengan bertemu. Raja Iblis Nusakambangan terpelanting jatuh bergulingan. Dari lubang hidung dan telinganya mengalir darah segar. Raja Iblis itu berusaha bangkit. Namun tulang selangkanya terasa sakit sekali dan tanpa bisa dicegah lagi mulutnya memuntahkan darah segar. Raja Nusakambangan terguling pingsan dengan luka dalam yang sangat parah.
"Arya Dahana!"
Putri Anjani berdiri di hadapan Arya Dahana sambil bertolak pinggang. Matanya merah menyala. Dia tadi sempat memperhatikan situasi pertempuran dan tanpa sengaja melihat Raja Iblis dijatuhkan oleh seseorang tak dikenal dengan baju seragam prajurit Istana Timur dengan menggunakan pukulan yang tak asing baginya, memutuskan meninggalkan lawannya dan berkelebat cepat ke hadapan prajurit aneh itu.
Arya Dahana tercekat hatinya. Duh, ini dia.
"Penuhi janjimu sekarang atau kuanggap kau sebagai lelaki yang suka menjilat lidah sendiri!"
"Aku tidak akan mengingkari janjiku. Bukankah kau tidak sedang terancam bahaya? Dan aku belum harus menyelamatkan nyawamu?"
Putri Anjani mendelik. Hatinya berkobar-kobar. Namun sebelum keluar lagi kata-kata yang lebih kasar, Putri Laut Utara ini mendadak punya sekelebat pikiran yang menurutnya sangat menguntungkan.
"Baiklah! Kalau begitu serahkan Gendewa Bernyawa itu kepadaku!"
Arya Dahana menjawab tegas,"tidak! Janjiku adalah melindungimu dari bahaya. Tidak untuk menyerahkan Gendewa Bernyawa."
Muka Putri Anjani makin merah padam. Kurang ajar pemuda ini!
"Baiklah! Jika kau menyerahkan Gendewa Bernyawa itu kepadaku, janjimu aku anggap lunas!" suara Putri Anjani melengking tinggi tanpa bisa lagi dikendalikan.
Arya Dahana termangu. Dia akan terbebas dari kutukan janji gila ini. Tapi senjata pusaka yang mematikan itu akan sangat berbahaya di tangan Putri Anjani. Luar biasa berbahaya!
Selintas pikiran kemudian memasuki benak Arya Dahana. Hmm, aku akan mengorbankan diriku jangan sampai hal itu terjadi. Toh dia tidak berjanji untuk tidak menghalangi.
"Aku pegang kata-katamu Putri. Aku tidak terikat lagi dengan janji itu," Arya Dahana meraih Gendewa Bernyawa dari balik punggungnya dan menyerahkannya kepada Putri Anjani yang langsung mengiyakan. Matanya berbinar. Pemuda bodoh! Dengan gendewa itu aku bisa memenangkan pertempuran ini!
Begitu Gendewa Bernyawa berada di tangannya, Putri Anjani melompat tinggi ke atas atap tertinggi istana.
"Istana Timur! Munduuurrrr!" perintahnya disertai tenaga dalam yang tinggi sehingga di semua gelanggang pertempuran bisa mendengar dengan jelas jeritan itu.
Tanpa banyak membantah, semua pasukan Istana Timur berlarian mundur ke arah bangunan utama. Diikuti oleh tokoh-tokoh persekutuan dan juga Lawa Agung. Pertempuran langsung terhenti dengan masing-masing pihak berada di dua sisi yang berlawanan.
*****