Chapter 4 - Bab 4

Bunga-bunga peperangan adalah luka

Dipupuk oleh nyawa yang tertumpah

Disirami asin keringat

Mekar dalam bentuk kematian

Wanginya yang begitu anyir

Dikeringkan matahari

Meninggalkan noda tak terhapus

Dalam sejarah yang ditulis menggunakan darah

Airmata menjadi biasa

Karena tidak lagi terasa pedih

Lubang-lubang tak sempat digali

Rerumputan mati diganti tubuh-tubuh mati

Orang-orang yang hidup tak sempat berdoa

Gendewa dan panah berkejaran mencari lubang di dada

Menghidupkan kembali bunga-bunga

Mekar dalam bentuk kematian

Hutan Larangan. Di sebelah selatan Istana Timur ada sebuah wilayah hutan yang disebut Hutan Larangan. Jarang orang-orang berani pergi kesana. Terlalu wingit. Katanya hutan itu adalah tempat para makhluk tak kasat mata bertempat tinggal.

Namun di pagi yang mendung itu, beberapa orang terlihat duduk melingkar di sekitar api kecil. Seorang laki-laki tinggi gagah dengan pakaian serba hitam, seorang berpakaian seragam panglima kerajaan dan seorang pria separuh baya brewokan yang terlihat sangar ada di antaranya.

Panglima Kelelewar dan pasukannya rupanya telah tiba di wilayah Istana Timur. Mereka sengaja menghabiskan malam di Hutan Larangan ini untuk menghindari perjumpaan dengan orang-orang.

Tidak banyak pasukan yang dibawanya. Mungkin hanya sekitar 90 orang saja. Tapi tentu saja menjadi pasukan yang sangat berbahaya karena dipimpin langsung oleh Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta dan Raja Iblis Nusakambangan sendiri. Nini Cucara juga ikut serta dalam rombongan ini. Tokoh-tokoh Majapahit mempunyai banyak ahli sihir. Panglima Kelelawar tidak mau kecolongan.

Panglima Kelelawar ingin menuntaskan janjinya kepada Putri Anjani untuk membantu rencana pemberontakan Istana Timur. Timbal baliknya tentu saja adalah Persekutuan Pesisir Gugat akan balik membantu mereka saat nanti melakukan penyerbuan besar-besaran ke Galuh Pakuan. Timbal balik yang menguntungkan. Lawa Agung butuh bantuan karena Galuh Pakuan bukan kerajaan yang bisa diremehkan begitu saja.

Tadi malam mereka bermalam di hutan mengerikan ini. Tentu saja Panglima Kelelewar sama sekali tidak takut. Dia adalah murid langsung Ratu Laut Selatan yang merupakan ratu dari segala lelembut di wilayah selatan.

Sebuah keuntungan mereka bermalam di Hutan Larangan. Tidak ada telik sandi yang disebar di hutan ini. Jadi mereka aman. Kedatangan mereka sama sekali tidak diketahui oleh pasukan Majapahit.

Panglima Kelelawar menaksir. Istana Barat memperketat penjagaan dari semua sisi. Maharaja sendiri yang datang. Tentu mereka tidak boleh lengah. Permusuhan Istana Barat dan Timur memang tidak terlihat di permukaan. Tapi itu seperti api dalam sekam. Suatu ketika pasti meledak menjadi nyala api yang luar biasa besar. Dan sepertinya besok adalah hari di mana semuanya mulai menyala.

Panglima Kelelawar hanya sedikit mengkhawatirkan keamanan benteng Bantar Muncang yang baru saja direbutnya. Raja ini memang meninggalkan penjagaan kuat dengan dipimpin para hulubalang tangguhnya yang tersisa. Tapi tetap saja kekhawatiran itu tertinggal di hatinya. Besok, begitu perang dimulai, dia akan mengerahkan kekuatan yang dibawanya untuk cepat-cepat menghabisi orang-orang Majapahit. Setelah itu dia bersama Panglima Amranutta harus buru-buru kembali ke Bantar Muncang. Biarlah Raja Iblis Nusakambangan dan Nini Cucara saja yang tinggal membantu Putri Anjani jika peperangan terjadi berlarut-larut.

Sekarang saatnya mengatur strategi. Pagi ini dia akan menemui Putri Anjani. Perayaan peringatan adalah esok hari. Pasti putri yang lihai dan licik itu sudah mengatur sekian banyak rencana.

Dia akan pergi seorang diri. Hutan ini daerah paling aman untuk melancarkan serangan. Tidak terlalu jauh dari Istana Timur. Serangan kejutan yang mematikan.

Setelah berunding sejenak dengan para pembantunya. Panglima Kelelawar menggerakkan tubuhnya menuju Istana Timur. Raja Lawa Agung ini sangat sakti. Ilmunya luar biasa tinggi. Ilmu meringankan tubuhnya sudah sempurna. Jadi dia sama sekali tidak cemas akan terlihat orang saat bertandang ke dalam istana.

Tubuhnya yang tinggi besar tidak menghalangi gerakannya yang seperti bayangan. Menyelinap seperti kabut. Melompati pagar benteng istana yang hampir setinggi pohon kelapa. Panglima Kelelawar berhenti sejenak di ujung atap. Telinganya yang terlatih menangkap pembicaraan beberapa prajurit yang sedang berpatroli.

"Aku tidak mengerti sama sekali. Besok adalah perayaan besar-besaran hari peringatan Istana Timur. Tapi gudang-gudang senjata diperintahkan untuk dikosongkan. Semua prajurit lengkap dipersenjatai. Disuruh bersembunyi. Apakah kita akan berperang kisanak?"

"Aku mendengarnya juga seperti itu Kakang. Kita semua sedang siaga perang. Besok pada saatnya kita akan diberitahu."

Panglima Kelelawar tercekat! Begitu buruknyakah jalur komando pasukan Istana Timur ini? Sampai-sampai prajurit di garda terdepan saja masih mempertanyakan perintah. Wah, ini gawat! Sekutu yang ini tidak bisa diandalkan. Di mana Putri Anjani ya?

Panglima sakti ini kembali menyelinap dan bergerak lincah dari atap ke atap. Sebelum akhirnya matanya menangkap gerakan lain yang tidak kalah gesitnya di ujung atap istana sebelah sana. Panglima Kelelawar menajamkan penglihatannya. Tapi bayangan itu seperti kilat sudah lenyap.

Hmmm, orang berilmu sangat tinggi, desis Panglima Kelelawar. Kalau dia berada di pihak mereka itu keuntungan, tapi kalau di pihak musuh maka akan menjadi lawan yang berat. Rasanya aku pernah mengenal sosok itu, pikir Panglima Kelelawar menduga-duga.

Karena tidak menemukan apa yang dicarinya dalam benak, Panglima ini memutuskan untuk membuntuti. Tubuhnya berkelebat lenyap ke arah bayangan yang dilihatnya menghilang di bangunan belakang. Bangunan itu mempunyai cerobong asap besar. Pasti itu dapur istana. Orang itu tadi pasti menyelinap di sana. Banyak tempat untuk bersembunyi di dapur istana. Termasuk jika harus menyaru sebagai pelayan atau tukang masak.

Panglima Kelelawar melayang turun. Ini tempat mencuci segala perabotan. Sepi. Tapi tak lama didengarnya langkah-langkah kaki. Seorang pelayan datang membawa tumpukan cawan kotor untuk dicuci. Tanpa ba bi bu Panglima Kelelawar menotok leher pelayan yang langsung saja pingsan. Dibawanya tubuh lemas itu ke sebuah ruangan tempat penyimpanan barang-barang yang sudah tidak terpakai.

Bergegas Raja Lawa Agung ini mengenakan baju luar si pelayan. Diikatnya tubuh si pelayan ke kaki meja besar dan disumpalnya mulut pelayan itu menggunakan kain. Pelayan itu akan pingsan setengah harian.

Panglima Kelelawar berjalan menuju ruangan dapur istana. Ruangan itu sangat besar. Perlengkapan memasak memenuhi ruangan. Di sebelahnya terdapat ruangan yang lebih besar lagi. Tungku-tungku tempat memasak berjajar di situ. Kerumunan orang terlihat ramai. Ada yang hilir mudik membawa kayu api. Ada yang mengaduk makanan berkuah di sebuah panci keramik yang besar. Ada juga beberapa penjaga di setiap sudut ruangan dan pintu.

Tidak ada yang mencurigai ketika Raja Lawa Agung ini berpura-pura sibuk dengan menenteng seikat kayu api. Memberikannya kepada petugas tungku lalu berlalu lagi untuk mengambil seikat lagi.

Sembari menyamar sebagai pembawa kayu api, mata Panglima Kelelawar terus mengawasi dan mendengarkan. Dia ingin menilai keadaaan selengkap-lengkapnya sebelum mengambil keputusan harus bagaimana.

Tujuannya memang menemui Putri Anjani. Tapi jika ternyata keadaan sangat tidak menguntungkan, dia akan menundanya. Paling penting besok dia akan memerintahkan semua anak buahnya bersiap menyerang jika terjadi perang. Dia hanya ingin menunjukkan kepada persekutuan mengenai andilnya dalam perang ini. Selanjutnya dia akan menagih hal yang sama saat berperang dengan Galuh Pakuan nanti.

Ada satu hal yang menarik perhatian Panglima Kelelawar. Orang-orang yang bertugas di dapur ini terlihat begitu kikuk dalam melaksanakan tugas memasak. Memang ada beberapa orang yang terlihat ahli masak. Tapi yang lainnya sama sekali tidak. Termasuk juga para tukang cuci, tukang kayu api dan tukang tungku. Semua nampak tidak biasa melakukan pekerjaannya. Canggung.

Mata Panglima Kelelawar yang tajam akhirnya menyadari. Sebagian besar orang-orang di dapur ini bukan orang-orang biasa. Langkah kaki mereka begitu ringan. Gerak-geriknya sangat cekatan. Hmm, mereka ini orang-orang dunia persilatan.

Pantas saja tidak ada yang mencurigainya. Mungkin dipikir dia termasuk salah satu dari mereka yang ditugaskan untuk menyamar. Panglima Kelelawar yakin ini semua strategi dari Putri Anjani. Memang cerdik.

Kembali sudut mata Panglima Kelelawar melihat bayangan orang sakti yang tadi sempat dilihatnya berkelebatan di atap istana. Juga berpakaian pelayan. Kalau melihat dari seragamnya bukan pelayan dapur. Tapi peladen. Raja sakti ini meremas ujung kayu perlahan. Serpihan kayu tajam itu disentilnya menggunakan tenaga dalam. Menyambar punggung orang yang dicurigainya.

Orang itu tidak berusaha menghindar. Sedikit mengibas ujung lengan. Pecahan kayu itu pecah berantakan menjadi debu. Orang-orang tidak menyadari bahwa ada sebuah pertarungan sedang berlangsung di dapur. Pertarungan tingkat tinggi dan hanya tokoh-tokoh dengan kemampuan tingkat tertentu saja yang sanggup melakukannya.

Panglima Kelelawar hanya tersenyum. Dia tahu orang itu memang lihai. Tapi tak disangkanya setinggi itu. Raja ini penasaran. Tapi dia tidak ingin mencari permusuhan yang tidak perlu. Lawa Agung banyak memerlukan bantuan orang-orang sakti. Siapa tahu orang ini bisa diajaknya bekerja sama.

Panglima Kelelawar berjalan cepat menghampiri orang itu. Dia ingin melihat mukanya dengan jelas. Orang itu berjalan menjauh. Panglima Kelelawar mempercepat langkahnya. Orang itu berbuat sama. Masuk ke ruangan depan dapur yaitu ruangan persiapan saji. Raja Lawa Agung ini mengibaskan lengannya ke depan. Selarik angin menderu mengarah kedua kaki orang misterius itu.

Orang itu menggerakkan tubuhnya ke samping. Melesat melewati pintu yang terbuka dan menghilang dengan cepat. Panglima Kelelawar mengurungkan niatnya untuk mengejar. Penyamarannya bisa terbuka. Orang-orang di situ juga sudah mulai keheranan terhadap apa yang dilakukan oleh Panglima Kelelawar dan orang misterius itu.

Panglima Kelelawar masih sempat melihat muka orang itu sekilas. Hatinya tercekat. Ini adalah musuh berat. Orang yang dulu sanggup mengalahkannya. Pemuda tengil yang pernah melukainya di Perang Bubat. Gawat.

Jangan-jangan kehadiran pemuda itu untuk memata-matai Istana Timur. Bukankah dia dekat dengan orang-orang Galuh Pakuan? Dia harus cepat menemui Putri Anjani.

Panglima Kelelawar melepaskan baju penyamaran. Menuju ruang depan istana tanpa basa-basi lagi. Seorang penjaga mencegatnya di depan balairung.

"Berhenti! Kisanak siapa? Dilarang mendekati wilayah ini kecuali orang-orang dalam atau tamu kehormatan."

Panglima Kelelawar mengibaskan lengan. Penjaga itu terpelanting keras.

Suara ribut-ribut itu menarik perhatian para penjaga lainnya. Beberapa orang berlari mendatangi. Bersiap menyerang tamu yang tak dikenal ini.

Panglima Kelelawar dikepung. Tapi tidak ada yang berani menyerangnya. Para penjaga itu tahu bahwa orang ini sangat sakti. Mereka menunggu komando. Tidak mau mati konyol tentu saja.

"Tunggu!" sebuah bayangan datang dengan cepat. Putri Anjani.

Panglima Kelelawar menarik nafas lega. Untung tadi dia tidak menjatuhkan tangan maut. Padahal biasanya dia orang yang berhati pendek. Cepat saja menghilangkan nyawa orang yang tidak disukainya.

Putri Anjani memberi hormat.

"Paduka Panglima selamat datang di Istana Timur. Aku tidak tahu Paduka akan datang dengan cara begini. Seharusnya Paduka mengirim utusan atau telik sandi."

Panglima Kelelawar mengangguk.

"Aku tidak bisa memberi tahumu mengenai kedatanganku. Aku harus datang secara berahasia. Aku dan pasukanku adalah unsur kejutan dalam sebuah peperangan. Oleh karena itu aku datang sendiri untuk tahu apa rencanamu."

Putri Anjani tertawa renyah. Gadis ini memberi isyarat agar Panglima Kelelawar mengikutinya ke dalam. Putri Anjani membawa sang raja ke ruang pertemuan rahasia. Dia akan menyampaikan semua rencananya di sana. Bhre Wirabumi dan gurunya ada di dalam sana mematangkan rencana.

Panglima Kelelawar tidak heran ketika Putri Anjani membawanya memasuki sebuah lorong berliku yang seolah tidak ada ujungnya dengan penuh jebakan di sana-sini. Ini wajar untuk sebuah istana besar. Istananya juga memiliki beberapa tempat rahasia yang bahkan jauh lebih rumit lagi. Sebagian malah menembus bawah lautan.

Begitu sampai di ruangan tempat pertemuan. Bhre Wirabumi berdiri menyambut raja dari laut selatan itu dengan hormat. Ini adalah sekutu yang hebat. Dia tidak boleh mengecewakannya.

"Selamat datang di istanaku Yang Mulia Raja. Aku sangat senang Yang Mulia bersedia datang membantuku dalam pergerakan besar ini. Aku akan melakukan hal yang sama bagi Yang Mulia sebagai balas jasa."

Panglima Kelelawar mengangguk. Dingin tapi hormat. Pandangannya menyapu ruangan. Memandangi Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni. Dua orang tangguh yang sanggup menyaingi kelihaiannya.

Mereka lalu duduk melingkari meja pertemuan. Putri Anjani menjelaskan semua rencananya. Panglima Kelelawar mendengarnya dengan tekun. Rupanya pemimpin persekutuan ini sudah mempersiapkan segalanya dengan rapi dan terencana. Pantas saja di dapur istana tadi dia banyak menemukan orang-orang berilmu tinggi.

"Baiklah Putri. Aku memahami rencanamu. Aku mendukungnya. Itu rencana yang bagus dan rapi. Aku sendiri bersama pasukanku akan menjadi unsur kejutan seperti yang aku katakan tadi."

Panglima Kelelawar melanjutkan.

"Pasukanku akan tetap bermarkas di hutan larangan. Begitu gerakan dimulai, kami akan masuk untuk mengejutkan pasukan Majapahit sekaligus melihat situasi karena aku menduga mereka akan mengepung Istana Timur dari segala sisi. Panglima-panglima Majapahit bukan orang-orang bodoh yang mudah masuk dalam perangkap."

Semua yang mendengarkan kagum dengan kejelian raja aneh ini. Merekapun sebenarnya sudah menduga akan hal tersebut. Namun tentu saja tidak tahu persis apa yang sebenarnya dipersiapkan oleh pasukan Majapahit.

"Dengan tanda apa aku harus memberitahu Paduka Panglima bila saatnya tiba?" Putri Anjani bertanya gamblang.

"Lepaskan suar berwarna merah ke angkasa. Dalam sekejap kami akan tiba membantu kalian," Panglima Kelelawar menjawab lugas.

Putri Anjani mengangguk. Semua rencana sudah matang. Orang-orang persekutuan telah disebar di antara para pelayan, peladen dan prajurit jaga istana. Besok adalah puncak acara sekaligus saat yang paling menentukan. Putri Anjani berdebar. Seandainya Gendewa Bernyawa masih di tangannya tentu semua akan lebih mudah.

Di mana Arya Dahana sekarang berada? Pemuda itu pasti menepati janjinya tentang hutang nyawa. Dia pasti datang. Tapi di mana? Dengan cara apa?

Jika pemuda itu berhasil ditemuinya sekarang, dia akan meminta Gendewa Bernyawa itu. Huh! Pemuda itu terlalu sakti untuk dipaksa dengan kekerasan.

Pertemuan diakhiri dengan sekali lagi membeberkan semua rencana sampai sekecil-kecilnya.

Panglima Kelelawar mohon diri. Putri Anjani mengantarnya hingga ke pintu keluar rahasia yang lain. Ternyata lorong keluar ini lebih jauh lagi! Dan menembus sampai ke Hutan Larangan!

Panglima Kelelawar takjub. Begitu pula Putri Anjani yang baru tahu bahwa pintu keluar lain ini sampai di sebuah hutan.

"Putri, kita harus lebih berhati-hati. Aku tadi melihat pemuda sakti yang dulu bersamamu itu ada di antara para peladen istana. Aku sempat hendak mengejar dan menangkapnya tapi dia keburu menghilang."

Panglima Kelelawar sempat memberitahu informasi penting itu kepada Putri Anjani sebelum keluar dari pintu rahasia.

Putri Anjani terbelalak. Jadi Arya Dahana malah sudah ada di dalam istana ini?

-----

Arya Dahana membenahi baju peladennya yang agak kusut setelah dia tergesa-gesa melarikan diri dari serangan Panglima Kelelawar tadi. Kenapa dia kurang berhati-hati sampai raja sakti itu bisa mengenalinya?

Pemuda ini menambahkan ikat kepala agar tidak mudah dikenali. Dia harus tetap berada dalam istana ini untuk menuntaskan misinya melindungi Putri Anjani.

Selanjutnya pemuda ini keluar dari persembunyiannya di belakang ruang hajat istana. Membaur kembali bersama para peladen lainnya.

Kali ini dia lebih waspada. Begitu dilihatnya ada orang yang memperhatikannya lama-lama, dia segera menyelinap pergi. Arya Dahana memutar otak bagaimana caranya dia tidak menarik perhatian. Dia tahu bahwa sebagian besar dari pelayan dan peladen adalah orang-orang dari dunia persilatan. Entah darimana. Mereka bukan pelayan dan peladen yang sesungguhnya.

Arya Dahana melirik sekeliling saat dia membawa satu baki penuh jajanan untuk esok hari dan menyimpannya di ruangan khusus dapur istana. Matanya menangkap seorang prajurit yang berjaga di ruangan dalam istana. Itu sepertinya juga bukan prajurit biasa. Pemuda ini tersenyum senang. Rupanya menyamar jadi prajurit tidak akan menimbulkan banyak perhatian karena tidak harus mondar-mandir kesana kemari. Dia menemukan jalan!

Seorang prajurit yang sedang terkantuk-kantuk kelelahan karena berdiri lama sementara teman lainnya sedang berpatroli di ruangan lainnya tiba-tiba dikejutkan dengan kegelapan yang tiba-tiba menyelubungi matanya.

Dia tertidur. Dilumpuhkan dengan totokan Arya Dahana. Tidak terasa ketika badannya dipapah Arya Dahana ke sebuah ruangan kecil tempat istirahat para dayang dan abdi dalem. Disembunyikan. Tentu saja setelah Arya Dahana mempreteli semua baju prajuritnya.

Sekarang Arya Dahana yakin tidak akan begitu mudah ketahuan. Seragam prajurit istana bagian dalam cukup ringkas namun nampak misterius. Termasuk sebuah saputangan yang dipakai menutupi leher, mulut dan hidung. Mungkin karena mereka prajurit penjaga pilihan sehingga seragamnya terlihat berbeda.

Pemuda ini berdiri menggantikan penjaga yang telah dia lumpuhkan. Dari tempat Arya Dahana berdiri, sangat leluasa untuk melihat sekitar istana. Pemuda ini juga sudah mempelajari bagaimana pergerakan dan pergantian antar prajurit jaga dari satu pos ke pos lainnya. Sehingga lebih mudah baginya menyesuaikan diri.

Saatnya berganti pos jaga. Arya Dahana dengan tegap berpindah ke pos berikutnya. Tidak di dalam istana lagi tapi dari tempat ini malah semua terlihat dengan lebih jelas karena ada di atas.

Istana ini sangat luas. Bangunannya banyak dan besar-besar. Ratusan penjaga bersliweran di mana-mana. Arya Dahana memperhatikan bahwa sebagian besar para penjaga di dalam istana ini terlihat tangguh. Langkah kaki mereka sangat ringan. Hanya saja tinggi badan para penjaga itu tidak terlalu seragam. Ada yang tinggi sekali. Ada yang pendek sekali. Bahkan ada yang sangat cebol.

Awalnya Arya Dahana geli kenapa ada prajurit yang begitu pendek tubuhnya. Namun kemudian pemuda itu menyadari sesuatu. Mereka ini orang-orang yang juga sedang menyamar. Pemuda ini harus mengakui betapa cerdiknya si pengatur rencana. Dia yakin semua ini dikendalikan oleh Putri Anjani. Orang-orang yang menyamar menjadi penjaga itu pastilah anggota persekutuan yang dipimpin Putri Anjani. Tapi di mana gadis itu?

Arya Dahana mengira-ngira besok seperti apa upacara perayaan diadakan ketika dia berganti tempat lagi berjaga di depan balairung istana. Di depan balairung terdapat sebuah lapangan besar yang sudah dihias dengan umbul-umbul dan panggung upacara. Lapangan itu dihias dengan sangat mewah. Orang-orang masih belum selesai mempersiapkan semuanya. Sekarangpun dilihatnya masih sibuk bekerja.

Arya Dahana meneliti dengan matanya setiap sudut lapangan yang luas sekali itu. Jauh lebih luas dibandingkan Lapangan Bubat sekalipun. Pemuda ini sedih sekali saat berpikir besok akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di sini. Semoga itu tidak terjadi, Arya Dahana membatin dengan miris.

Dia teringat betapa gemparnya peperangan Bubat dulu. Kacau, berantakan dan mengharu biru. Teringat betapa gagahnya para prajurit Galuh Pakuan dalam mempertahankan harga diri. Terutama sang Maharaja dan Putrinya yang cantik jelita. Arya Dahana merinding begitu membayangkan saat itu langit dan cuaca berubah penuh amarah saat pertempuran usai. Pemuda ini membayangkan juga seperti apa cuaca esok hari. Pastilah akan mendung dan murung.

Satu hal yang menjadi pertanyaan secara terus menerus di benak Arya Dahana adalah di manakah semua tokoh-tokoh sakti penyokong Istana Timur berada. Belum nampak satupun yang dikenal oleh Arya Dahana. Di mana mereka menyembunyikan diri?

Sore ini Maharaja Majapahit direncanakan tiba di Istana Timur. Sekarang sudah menjelang tengah hari. Arya Dahana melihat betapa sibuknya orang-orang bersiap-siap. Para dayang dan abdi dalem terbirit-birit kesana kemari mempersiapkan segala sesuatunya. Suasana begitu gaduh dan mencekam. Akan terjadi suatu peristiwa besar. Arya Dahana bisa merasakan semuanya dari hawa yang melingkupi istana ini.

Seruan dari komandan pasukan penjaga istana memutuskan lamunan Arya Dahana. Semua pasukan penjaga agar bersiap. Sang Maharaja akan segera tiba. Tidak lama lagi. Arya Dahana yang sekarang kebagian tugas jaga di sudut istana melihat orang-orang berlarian membentuk barisan. Di depan istana berdiri beberapa orang penting. Salah satunya adalah Bhre Wirabumi. Arya Dahana menduga begitu saat melihat pakaian kebesarannya yang wah.

Seorang pria kecil dan gagah berdiri di sampingnya. Berpakaian panglima. Di sebelahnya lagi terlihat seorang putri cantik jelita yang diiringi seorang dayang di belakangnya. Itu pasti putri Raja Istana Timur pikir Arya Dahana.

Suara tambur terdengar sayup-sayup di kejauhan. Terbawa oleh angin yang bertiup pelan. Terdengar begitu gagah dan menyeramkan. Bukan bunyi tambur peperangan namun tetap saja yang mendengar jantungnya ikut berdegup kencang.

Suara sayup tambur itu semakin mendekat. Pasukan penjaga istana berjajar rapi. Arya Dahana masih di tempat jaganya semula. Dari sini semua nampak jelas. Arya Dahana berdebar. Jangan-jangan peristiwa besar terjadi hari ini. Apakah mungkin perang terbuka dilakukan sore hari? Rasanya sedikit tidak masuk akal.

"Pasukaaaaannn bersiaaaappppp…. beri hormat!"

Suara lantang komandan pasukan penjaga istana berkumandang. Suara tambur semakin bergemuruh. Pasukan penjaga di luar istana berbaris panjang dan mengangkat tombak di depan dada. Dari ujung jalan terlihat rombongan pasukan berkuda datang mengawal kedatangan Maharaja dari kerajaan paling terkenal dalam sejarah. Pasukan pengawal berkuda di depan kemudian menyisih mengambil tempat di kanan kiri gerbang istana.

Regu pengawal yang berjalan kaki berlari membentuk barisan di dalam istana. Berdiri di depan dan belakang para pasukan penjaga Istana Timur. Arya Dahana berdecak kagum. Pasukan pengawal Majapahit itu begitu sigap. Mereka sengaja berdiri di depan dan belakang penjaga istana timur untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.

Berbeda sekali tingkat kesigapan antara pasukan Istana Barat dan Istana Timur. Arya Dahana yakin jika pertempuran dilakukan antar pasukan saja tanpa campur tangan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, pasukan Istana Timur tidak akan lama bisa dilibas.

Sebelum iring-iringan kereta kencana Maharaja memasuki gerbang istana. Berkelebatanlah bayangan orang-orang Sayap Sima ke dalam istana. Tidak membentuk barisan namun menyebar di sekeliling istana. Puluhan orang berseragam hitam dan emas itu menempati sudut-sudut istana dengan waspada. Kembali Arya Dahana berdecak kagum.

Akhirnya, iring-iringan kereta kebesaran itu tiba. Memasuki gerbang istana dengan anggun dan gagah. Ada tiga kereta kencana. Paling depan dan belakang lebih kecil dibandingkan yang di tengah. Ketiga kereta kencana itu berhenti di halaman istana. Sepasukan kecil pengawal berkuda di belakang tetap tegak di atas kudanya. Berjaga-jaga.

Beberapa orang turun dari kereta pertama dan ketiga. Para panglima kerajaan dan tokoh-tokoh pimpinan Sayap Sima. Ki Tunggal Jiwo ada di antaranya. Mereka berjajar rapi sejajar dengan pintu kereta kencana di tengah yang masih tertutup. Bhre Wirabumi berlari kecil ke depan pintu kereta. Berlutut dan menyembah terlebih dahulu sebelum membuka pintu kereta dengan takzim.

Sang Maharaja turun dengan gagah. Mahkotanya berkilauan ditimpa sinar matahari sore. Berdiri di pintu kereta sejenak. Tatap matanya yang berwibawa menyapu sekeliling. Semua orang sedang berlutut. Suasana khidmat dan hening. Sang Maharaja bertepuk tangan dengan lembut. Semua serentak berdiri. Tetap dalam sikap hormat.

Maharaja Majapahit melangkah perlahan menyusuri jalanan berbatu rapi menuju balairung istana. Bhre Wirabumi mengikuti dari belakang sambil menundukkan muka. Arya Dahana sembari menunduk melihat pasukan Sayap Sima tetap bersiaga penuh. Ki Tunggal Jiwo berjalan persis di belakang Maharaja. Matanya berkeliaran kemana-mana. Sangat waspada.

Apabila dihitung berdasarkan jumlah, pasukan pengawal Maharaja tidaklah sangat banyak. Namun semua yang hadir mengawal adalah orang-orang pilihan Sayap Sima. Dari semua pimpinannya, Arya Dahana hanya melihat Ki Tunggal Jiwo dan Bledug Awu-awu yang hadir di sini.

Tidak mengherankan sebetulnya. Selain Ki Tunggal Jiwo adalah seorang yang sakti, juga karena Arya Dahana yakin tokoh-tokoh tingkat tinggi lainnya disebar di sekeliling Istana Timur.

Sang Maharaja Wirakramawardana sampai di undakan istana. Sebelum memasuki balairung utama, raja ini memberi isyarat pendek kepada Bhre Wirabumi untuk mendekat. Raja Istana Timur itu mendekatkan telinga kepada Maharaja yang berbisik kepadanya. Mengangguk-angguk lalu memanggil putrinya untuk memperkenalkannya secara resmi sesuai adat istiadat kerajaan.

Arya Dahana membelalakkan matanya lebar-lebar. Dayang yang berada di belakang putri Bhre Wirabumi memang masih bersimpuh dalam-dalam. Namun Arya Dahana mengenali dengan pasti bahwa dayang itu adalah Putri Anjani! Ini berbahaya! Arya Dahana bersiaga.

Arya Dahana tidak mau terjadi penyerangan secara licik terhadap Maharaja. Jika itu terjadi dalam peperangan terbuka, dia tidak akan keberatan dan tidak akan membela siapa-siapa. Tapi apabila itu terjadi karena tipu daya dan kecurangan, maka dia akan turun tangan. Seluruh urat syaraf Arya Dahana menegang.

Di lain pihak, Putri Anjani juga mengalami hal yang sama. Seluruh syaraf di tubuhnya bersiaga. Jika ada kesempatan baik membunuh Maharaja maka itu akan dilakukannya. Gadis ini teringat dengan kematian ayahnya di tangan orang-orang Majapahit. Dia dengan idu geninya. Putri Anjani memusatkan perhatian. Menunggu kesempatan.

Tapi urat syarafnya mengendur dengan cepat. Putri Anjani melihat Ki Tunggal Jiwo berdiri tidak jauh dari Sang Maharaja. Dengan kemampuan sesakti tokoh tua itu, mudah saja baginya menangkal serangan secepat apapun dari Putri Anjani. Gadis itu segera mengurungkan niatnya. Dari jauh Arya Dahana yang melihat gelagat itu, menghela nafas lega.

Sang Maharaja meneruskan langkah setelah menyapa yang hadir. Menuju singgasana khusus yang memang hanya disediakan untuknya. Sampai Sang Maharaja duduk, semua orang di balairung tetap berlutut.

Begitu Maharaja duduk di singgasana, semua lalu duduk bersila. Bhre Wirabumi duduk di singgasana yang lebih kecil di samping Sang Maharaja.

Arya Dahana terus memandangi dengan seksama. Matanya tak pernah lepas mengawasi gerak-gerik Putri Anjani. Gadis itu bersimpuh tak jauh dari putri Bhre Wirabumi. Tidak terlalu jauh dari Maharaja.

Pemuda ini memberi isyarat kepada prajurit penjaga istana yang lebih dekat darinya ke arah balairung untuk bertukar tempat. Awalnya prajurit itu mengrenyitkan dahi bertanya-tanya. Namun akhirnya bersedia juga setelah Arya Dahana memperlihatkan tanda pangkatnya yang lebih tinggi.

Dari tempatnya yang baru, Arya Dahana bisa lebih teliti mengamati semua orang. Pemuda ini tetap memusatkan perhatian kepada Putri Anjani. Gadis yang berubah total semenjak mengeluarkan idu geni itu sangat berbahaya. Selain berilmu sangat tinggi, tekad hatinya yang diselimuti dendam berlebihan kepada Majapahit, bisa membuatnya melakukan tindakan yang di luar nalar.

Putri Anjani duduk bersimpuh dengan tenang. Dia bisa mendinginkan hatinya sekarang. Sekali dia bertindak ceroboh, semua rencana bisa hancur berantakan. Gadis ini tahu bahwa pengawalan Maharaja yang tipis ini bukanlah yang sebenarnya. Pasti banyak tokoh-tokoh sakti Majapahit yang sengaja menyembunyikan diri namun tetap dengan misi melindungi Sang Maharaja.

Malam nanti setelah acara perjamuan kerajaan, dia harus menemui gurunya dan beberapa orang persekutuan di ruang rahasia. Menyempurnakan semua rencana. Terutama karena hari ini sudah bisa berhitung dan menimbang-nimbang kekuatan. Dia akan menyuruh beberapa orang yang berkepandaian tinggi untuk menyelidiki di mana saja pasukan Sayap Sima bersembunyi.

Putri Anjani jauh lebih tenang lagi sekarang. Hanya satu hal yang masih membebani pikirannya. Di mana Arya Dahana berada. Pemuda itu adalah salah satu kunci baginya. Gendewa Bernyawa ada padanya. Dia harus bisa mengambilnya. Entah dengan cara apa. Kalau perlu dia akan menyerahkan tubuhnya supaya gendewa sakti itu bisa didapatkannya kembali.

****