Bagiku, kau adalah pemenang
Atas hati yang mungkin terbuang
Akan kasih yang tak kau bawa pulang
Tentangmu kukuh dan tak mau hilang
Sudah hampir dua puluh menit aku menunggu, aku kembali melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun yang kutunggu tak kunjung datang. Aku kembali membaringkan tubuh di atas rumput menghadap laut yang tidak begitu cerah, sedikit mendung. Sama seperti yang sedang aku rasakan, gelap dan sunyi. Tidak ada lagi pelangi yang membuat hidup ini berwarna. Sayap yang dulu membawaku terbang, kau patahkan saat aku hampir meraih bintang. Mungkin memang aku keliru, kau memanglah bintang yang semestinya berada di semesta. Sedangkan aku, hanyalah ilalang yang selalu terhempas angin, hanya bisa memandangimu dari kejauhan, tanpa pernah bisa mendapatkan.
Sejurus kemudian, aku terjaga. Tiba-tiba saja Ia sudah berada di sebelahku. Dengan segera, aku bergegas untuk duduk, namun masih dengan pandangan yang mengarah ke tepian laut.
"Bil?" Dira memulai.
"Hmm" Balasku.
Tapi Ia kembali diam, suasana kembali hening untuk beberapa saat. Kemudian aku merubah posisi duduk yang kini menghadap ke arahnya. Dengan sedikit rasa tak sabar, tiba-tiba saja aku bicara tanpa di pinta.
"Dir, ada apa sebenarnya?" tegasku memastikan. Dira masih diam, tiba-tiba Ia menggenggam jemariku. Aku tertegun. Tidak, ini berbeda, genggaman ini bukanlah genggaman yang dulu aku dapatkan darimu. Ini hambar, dingin. Ada sesuatu dibalik genggaman ini, sesuatu yang tersembunyi. Seperti ingin melepaskan, persis saat aku melihat matanya, seolah masih mencari waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang ingin Ia utarakan.
Karena tak sepatah katapun aku mendengar jawaban darinya, rasa gemas dan kesal bercampur membuatku seketika kembali bertanya dengan nada yang di naungi sedikit emosi.
"Dira?"
,.,.,.,
Tangerang, 2018 ( Dira )
Perihal status sosial
Sejak kita dilahirkan ke dunia, kita tidak bisa memilih akan dilahirkan dari keluarga mana. Miskinkah atau mungkin menjadi kaya. Jelas, itu urusan Tuhan. Aku hanya belajar berusaha menyetarakan diri dari segala lingkungan. Aku bersyukur, Tuhan telah memilihku untuk lahir dan di besarkan dari keluarga yang berada. Memang, tidak sulit untuk dapat mewujudkan segala kebutuhanku, persis seperti apa yang orang-orang tahu tentang kehidupanku di luar rumah. Tapi pada kenyataannya, apa yang aku butuhkan tidak berarti akan menjadi apa yang aku inginkan. Orang-orang tidak pernah tahu yang sebenarnya. Seluruh hidupku adalah kendali atas orang tuaku, termasuk masa depanku. Akan dengan siapa aku hidup setelah dengan orang tuaku.
Bil, jujur, aku tidak pernah tahu soal itu. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti hatimu, menyinggung takdir Tuhan yang telah digariskan padamu. Inilah alasan aku menolak ketika kau meminta dikenalkan pada keluargaku. Latar belakangmu, keluargamu, adalah orang-orang yang sangat baik, aku selalu senang menghabiskan waktu di rumahmu bersama keluargamu. Hingga saat itu, hari kelulusan kita tiba. Ia datang bersama keluarganya. Papa menyuruhku untuk berkenalan dengannya, kemudian aku melakukannya. Lalu tiba-tiba, sesuatu menghantamku, sangat keras. Tepat mengenai alam bawah sadarku.
"Dira, ini adalah calon suami dan mertuamu. Nak Randi ini seorang polisi, keluarganya orang terpandang."
Aku tercengang, tubuhku mematung, tak bisa bergerak. Ada sesuatu menancap tepat di ulu hati. Lantas namamu seperti berlarian di kepalaku. Lagi dan lagi, selalu saja kehendak papa yang berdiri atas kehidupanku. Seolah-olah tidak pernah memikirkan perasaanku, anak perempuan satu-satunya. Tanpa perlu pikir panjang, aku kadung percaya, karena aku tahu betul, papa tidak pernah main-main dengan perkataannya. Aku menoleh ke arah Ibu, meminta pembelaan. Tapi sia-sia, Ibu hanya mengangguk, mengisyaratkan agar tidak membantah.
Ya Tuhan, inikah yang disebut harga diri keluarga? Seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan, lalu di jual pada orang lain begitu saja. Maaf, karena aku merasa seperti daging mentah yang dijual untuk dimatangkan di tangan orang lain atas nama keluargaku, lebih tepatnya papa kandungku sendiri. Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin dilahirkan dari keluarga yang berada. Aku hanya ingin punya kehendak sepenuhnya atas hidupku sendiri, meskipun dengan keluarga yang sederhana, bahkan miskin pun aku tidak akan keberatan.
Kemudian, namamu hadir kembali di pikiranku. Abil, satu-satunya orang yang bisa menolongku. Tapi apa yang harus aku katakan padanya, mengatakan agar Abil dan keluarganya harus segera menjadi orang kaya, atau minimal menjadi seorang polisi seperti Randi, agar bisa di terima papaku? Tidak, itu akan menyinggungnya, ini hanya perihal status sosial. Lantas, akan aku curahkan pada siapa persoalanku ini.
Aku hanya bisa berharap, suatu saat kau dapat mengerti.
Tertanda : Dira Sugandi
,.,.,.,
"Bil." Ia mengatur nafasnya. "Harusnya aku tidak pernah memulai ini denganmu, tidak membiarkanmu masuk jauh ke dalam hidupku." Ia berhenti, seperti menahan sesuatu di kelopak matanya.
"Tapi Dir..." Suaraku tertahan. Aku masih menerka-nerka, akan ke arah mana pembicaraan ini bermuara.
"..., Aku tetap tidak bisa meneruskan hubungan kita. Papa dan keluargaku tidak akan pernah bisa menerimamu. Papa sudah memilihnya, Ia seorang polisi. Satu tahun lagi setelah urusan kuliahku selesai." kini, gelombang di kelopak matanya tak sanggup lagi Ia tahan. Lalu melepaskan genggaman tangannya.
"..., sreeet." Ada sesuatu yang menancap, menembus dadaku. Perih, seperti terhunus ujung belati secara perlahan. Aku kehilangan suara, tubuhku serasa membeku. Dira adalah perempuan yang sangat kucintai, meskipun sebenarnya Ia telah pergi satu bulan belakangan ini. Dan akhirnya aku semakin hancur, setelah tahu yang sebenarnya. Persoalan status sosial yang sama sekali tidak pernah Ia bicarakan padaku selama ini. Bodohnya, aku tidak pernah terpikirkan soal itu. Bahkan, aku mengira alasan kau ingin menemuiku adalah untuk sekedar menjelaskan lalu memperbaiki hubungan kita. Sayangnya, aku telah dihancurkan oleh harapanku sendiri. Tapi tetap saja, Dira adalah salah satu bagian terpenting dalam hidupku. Meskipun sore ini, kenyataan yang keluar dari mulutnya telah meluluh lantakkan seluruh harapanku terhadapnya.
"Bil, maafkan aku. Aku lebih memilih keluargaku. Keluargaku bukanlah hal yang dapat aku tukar dengan apa pun, termasuk denganmu. Dira kembali menjelaskan. Ia mencoba untuk terlihat kuat, atau mungkin memang biasa saja. Aku pikir, memang Dira sudah mempersiapkan semua ini sejak lama.
"maaf, aku harus pergi Bil." Kemudian Ia melangkah tanpa menunggu balasan apa pun dariku.
"Dira.." aku mencoba menahan kepergiannya. Tapi suaraku parau, seolah hilang terhempas angin. Tubuhku ingin mengejarnya, dan memohon agar Ia tetap tinggal, tapi tidak kulakukan. Seperti ada yang menahanku untuk tidak mengejarnya, meskipun aku sangat ingin memperbaiki semuanya. Tapi ini sudah berakhir, inilah kenyataan yang sebenarnya. Dugaanku benar, Ia sudah mendapatkan lelaki yang mempunyai apa yang tidak aku punya. Meski mengatasnamakan papa dan keluarganya.
Lagi dan lagi, kau menghempaskan semua yang aku punya, membuatku tak berdaya. Ada getir dibalik ucapanmu, membuatku tenggelam bersama kapal yang telah karam. Diterjang ombak, menggulung semua harapan yang selama ini aku langitkan. Dadaku terasa sesak, sulit untuk bernafas. Akan sangat melelahkan untuk dapat berenang kembali ke tepian.
"Aku sadar, kita adalah kata yang tetap menjadi harapan, tanpa pernah menjadi kenyataan, hanya berakhir menjadi kenangan. Dan ternyata, aku telah salah mencintai orang yang tak mungkin. Ada batas di antara kita, batas antara kesederhanaan dengan kemewahan."
,.,.,.,
,.,.,.,
Telah pergi, lahirkan sepi
Tanpa alasan, menemani sunyi
Kulangkahkan kaki, tanpa tujuan
Juga kegelapan, iringi pijakan
Biarlah jadi kenangan
Meski kan selamanya
Tolong pergi dari pikiranku
Jangan kembali, meski hanya sekali
Biarlah aku sendiri
Tanpa kekasih
(Jangan kembali)