Tak mampu menyambutmu untuk pulang
Merelakan jadi kata yang enggan
Meski kembali tak kuharapkan
Waktu berlalu begitu cepat. Dari kesepuluh lagu yang Abil terima dari Bagas tiga hari lalu, masih ada satu lagu yang belum Abil hafal betul. I Don't Wanna Miss A Think, milik Aerosmith. Ia hanya punya waktu sekitar tiga jam lagi untuk segera menghafalnya. Sebenarnya, Abil masih tidak percaya, kalau Ia akan tampil, meskipun bukan di panggung yang besar, hanya sekadar pengisi acara di sebuah kafetaria saja. Rasa bangga karena sudah di percaya Endah dan Bagas tak dapat Ia sembunyikan. Ia sangat berterima kasih akan hal itu. Dalam hatinya, Abil berjanji tidak akan mengecewakan kepercayaan mereka, akan membuktikan dengan sangat keras bahwa mereka memang tidak salah sudah memilihnya. Hingga pada putaran lagu kali keempat, akhirnya Abil menghafalnya. Keyakinanlah yang membuatnya berhasil. Tapi Abil tahu, ini baru permulaan, Ia sama sekali belum memulainya. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, kemudian Abil segera bergegas dengan sigap membungkus gitar kesayangannya ke dalam case hitam yang kepalang lusuh. Lalu beranjak menuju tempat yang di dalamnya ada salah satu mimpi yang selama ini Ia wujudkan.
"Demi waktu, aku selalu menunggu masa di mana penyesalan telah mencintaimu akan lenyap. Dan bangga karena kau pernah menjadi alasan aku tersenyum saat hendak dan usai terlelap."
Sesampainya di sebuah Cafe, satu pesan dari Bagas Ia dapatkan dari ponsel yang Ia lihat, sesaat setelah sepeda motornya terparkir. "Meja nomor tujuh." Rasa canggung tak dapat Abil sembunyikan, setelah melihat keadaan sekitar. Beberapa pasangan hampir memenuhi tempat Ia akan membuat pengalaman hebat pertamanya, pada malam minggu yang terasa kelabu, dengan kemeja hijau yang sedikit Ia lipatkan di bagian pergelangan tangannya, Abil beranjak menuju meja nomor tujuh. Nahas, pikirannya kembali melayang di pertengahan jalan. Abil mengingatnya kembali, salah satu hal yang dulu Ia dan Dira suka, menonton live music bersama, meski terkadang harus ada sedikit paksaan agar Abil bersedia. Genggaman jemarinya tak pernah terlepas, kepala yang selalu Ia sandarkan tepat di bahu kiri Abil, membuatnya mencium wangi rambut yang tergerai sedikit melewati bahu. Lalu, sesekali Abil mengecupnya penuh cinta, tanpa pernah mempedulikan orang-orang di sekitarnya. "Abil." Seseorang memanggilnya. Seketika Abil terjaga dari ingatan itu. Ia kemudian mencari letak suara itu berasal. Dari kejauhan, Ia melihat Endah melambaikan tangannya, kali ini Ia tahu kalau perempuan itu yang telah memanggilnya tadi. Kemudian Abil menerobos riuh beberapa pasangan yang saling mengutarakan rasa sayang terhadap satu sama lain. Membuat Abil kembali terpaksa mengingat apa yang sudah Ia lakukan bersamanya. Beberapa detik kemudian, Ia tiba di sana, menyalami semua orang yang ada di meja nomor tujuh, kecuali Bagas. "mana bang Bagas?" bisik Abil pada Endah.
"Tuh dari tadi masih sibuk sendiri." Balas Endah sembari menunjuk ke salah satu tempat tak jauh dari tempatnya duduk.
"Bil, bentar lagi gua beres!" Bagas mengacungkan tangan setelah melihat kedatangan Abil. Memang sedari tadi Ia masih sibuk mempersiapkan semua alat yang akan digunakan mereka untuk tampil. Tidak hanya sebagai seorang gitaris, Bagas juga adalah leader yang paling bertanggung jawab dari yang lain, ketika mendapat panggilan untuk menjadi pengisi acara seperti sekarang ini. Begitu juga dengan semua alat yang akan mereka gunakan, Bagas sendiri yang memilikinya.
Saat Abil ingin mengeluarkan gitar dari case nya, Bagas tiba menyeringai. "gimana Bil, aman?"
"Aman bang." balasnya.
Sementara Akbar, Nanda, dan Dafa, sudah berada di posisinya masing-masing, tak lama setelah Bagas menginstruksikannya. "Siap-siap Bil, lima belas menit lagi!" ujar Bagas penuh semangat.
Setelah Abil menoleh dan tersenyum ke arah Endah, lalu Ia beranjak sembari membawa gitar coklat kusam yang sudah Ia keluarkan dari pembungkusnya. Langkahnya tergontai rasa canggung hebat, menjadi penyebab tubuhnya seketika mengeluarkan keringat dingin. Tepat di bagian kursi paling depan, Abil kembali melihat ke arah meja nomor tujuh, yang kini hanya tinggal Endah seorang. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya, berharap dapat sedikit meredakan rasa canggung itu.
"santai saja Bil, lu pasti bisa!" Dari balik satu set drum minimalisnya, Dafa mencoba menenangkan Abil yang sedari tadi tak dapat menyembunyikan kegugupannya.
"iya Bil, santai saja!" Akbar dan Nanda menyambar, sembari bergantian meneguk air berwarna hitam pekat yang terlihat dari dalam satu botol plastik.
"masih ada waktu lima menit." Bagas menambahkan. Kemudian menempelkan selembar kertas bertuliskan sepuluh lagu yang akan mereka bawakan. Tepat di dekat kedua kaki Abil.
Setelah jack gitar kesayangannya terpasang pada salah satu lubang mixer di belakangnya, menurunkan middle yang terlalu keras, lalu mencobanya dengan satu dua kunci sampai terdengar pas. Beberapa menit kemudian, Bagas mengedipkan matanya ke arah Abil dan yang lainnya, Nanda mulai menekan beberapa tuts piano, Ia sudah paham dengan kode yang leadernya berikan. Kemudian Akbar dengan Bassnya mengikuti, di susul Dafa yang langsung menabuh drumnya perlahan. Satu intro lagu dari Coldplay yang berjudul The Scientiest mulai di mainkan, yang kemudian di susul suara serak Abil yang sedikit bergetar karena rasa canggung. Seketika, pandangan orang-orang di sekitar tertuju pada Abil, membuat suaranya semakin terdengar bergetar sampai di ujung lagu yang Ia nyanyikan. Abil semakin gugup saat beberapa penonton yang hampir semuanya berpasangan seolah menertawakan dan mengejeknya. Kecuali Endah, justru perempuan itu menepuk tangannya sangat keras, di temani senyuman yang Ia simpulkan ke arah Abil.
Bagas terlihat sedikit kecewa, kemudian menawarkan air berwarna hitam pekat dalam botol plastik yang tadi Abil lihat. "Air apa ini bang?" bisik Abil, sembari mencium bau kurang sedap yang keluar dari air itu.
"anggur, biar lu lebih pede." Balas Bagas.
Mendengar itu, sontak Abil menolaknya secara halus. Meskipun Abil bukanlah orang yang taat beribadah, tapi Ia sama sekali tidak pernah membiarkan air seperti itu masuk ke dalam tenggorokannya. Ia tahu kalau air itu memabukkan, meski Ia tidak pernah mencobanya.
Bagas memakluminya, kemudian menggantinya dengan botol yang berisi air putih. Vokalis barunya ini memang orang yang baik. Meskipun ini hanya sekadar minuman, bukan narkoba, tapi Bagas sadar, kalau apa yang sudah sering Ia lakukan memang tidak benar.
"Semangat Bil!" dari tempat duduknya, Endah sedikit berteriak. Sontak saja gemuruh beberapa orang di sana menimpalnya sedikit mengejek. "cie-ciee."
Abil tersenyum, lalu kembali menarik nafas dan memejamkan matanya setelah melihat lagu kedua yang akan Ia bawakan dari kertas di dekat kedua kakinya itu. Don't look back in anger dari Oasis. Kali ini, Ia yang memulainya, kemudian di susul yang lainnya. Entah dari mana kekuatan itu tiba-tiba saja datang padanya, sulit di mengerti. Bahkan seketika, rasa canggung itu lenyap. Penonton yang tadi meremehkannya, kini ikut bernyanyi terbawa suasana. Masih dengan mata terpejam, hati kecilnya sangat berterima kasih pada Endah, perempuan yang selalu mendukungnya dalam hal apa pun. Riuh tepuk tangan penonton terdengar sesaat setelah lagu itu selesai di mainkan. Bagas, Akbar, Nanda dan Dafa tersenyum melihat Abil sudah berhasil mengalahkan kegugupannya. Hingga pada lagu ke lima, Ia berhasil menyanyikannya dengan cukup sempurna, dan membuat semua penontonnya merasa terhibur. Sejenak mereka beristirahat, Abil meminta diri untuk ke toilet ingin segera membuang hajatnya.
,.,.,.,
Dari tempat parkir, Randi melihat jam tangannya, "sudah pukul setengah sembilan, sepertinya kita agak sedikit terlambat." Ujarnya sembari membukakan pintu untuk Dira.
"tidak apa-apa, toh kita masih sempat." Balas Dira.
Setelah keluar dari mobil yang sudah terparkir rapi, kemudian mereka berjalan setengah berlari, menghindari cipratan gerimis, berharap tidak membasahi pakaiannya. Setelah tiba di dalam kafetaria, Randi menengadah ke arah sekitarnya, mencari tempat duduk yang masih kosong. Meski hampir semuanya terisi penuh, Randi melihat ada dua meja yang masih kosong, nomor sebelas dan nomor empat. "mau duduk di mana?" tanya Randi.
"di mana saja, terserah." Balas Dira, pandangannya masih terfokus pada layar ponselnya.
Dira membuntutinya dari belakang, setelah Randi memutuskan untuk duduk di meja nomor sebelas, lalu segera memesan makanan.
"Ini dia band yang aku bilang tempo hari ke kamu." Jelas Randi sembari menoleh ke arah tempat live music. "Kamu mau request lagu enggak?" lanjutnya
"Enggak deh, nanti saja."
"baiklah, biar aku saja." Kemudian Randi menghampiri mereka. "mas, saya mau request lagu dari Ed Sheeran, Perfect. Tapi tolong nanti sebutkan nama Dira, lagu ini saya khususkan untuk Dia, dari Randi. Bisa kan mas?" pinta Randi lalu memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam kotak yang ada di dekat mereka.
"Bisa bang, terima kasih." Bagas menyanggupinya.
Sejurus kemudian, Abil tiba, lalu kembali memegang gitar coklat kesayangannya, siap menyanyikan sisa lagu yang akan Ia bawakan.
"Bil, ada yang request lagu Perfect dari Ed Sheeran, katanya lagu ini buat seorang perempuan. Sebelum lu nyanyi, sebutin dulu nama Dia. Aduh Gua lupa, siapa sih namanya tadi?" Bagas berusaha mengingatnya.
"Dira." Akbar menyambar.
"Oh iya Dira." Potong Bagas. "sama nama Randi yang request nya!" lanjutnya.
.."degg." Nama itu, seketika membuat Abil tertegun, hampir membuatnya berhenti berkedip. "tuh orangnya." Bagas menunjuk meja nomor sebelas.
Sesegera mungkin Abil memastikan. Ia melihat seorang lelaki yang juga tepat melihat lurus ke arah tempat Abil duduk, seperti sedang menunggu sesuatu, di temani seorang perempuan yang duduk berhadapan dengan lelaki itu, membelakangi Abil. "mungkin aku terlalu berlebihan, nama itu tidak hanya ada satu di dunia ini. Hanya sebuah kebetulan saja." Pikir Abil meyakinkan dirinya sendiri.
"udah siap belum Bil?" Bagas memastikan.
"siap bang."
Beberapa detik kemudian, Abil memulai. "Permisi semuanya, lagu yang akan saya bawakan ini, dari seorang lelaki yang sangat mencintai perempuannya, sangat menyayanginya. Ia khususkan untuk seorang perempuan bernama, ...Dira."
Sontak Dira kaget mendengar namanya di sebut di khalayak. Sesegera mungkin Ia menoleh ke arah suara yang sudah menyebutkan namanya. "Abil," Dira tercengang.
..."dari Ra..ndi." tiba-tiba saja suara Abil terbata, setelah melihat seorang perempuan menoleh ke arahnya. "Dira, benar saja, dugaanku tidak salah. Ini memang Dira yang pernah aku kenal, Dira yang pernah mengatakan cinta seutuhnya, sekaligus menjadi penyebab dalamnya nestapa ini melanda, Dira yang pernah berada di sampingku dan bersandar di bahuku saat menonton live music bersama.
Dir, aku hanya ingin dapat melupakanmu, lebih tepatnya mengikhlaskanmu. Tapi kenapa, kenapa harus kembali dipertemukan dengan cara yang seperti ini. Saat aku hampir berhasil membuka hati untuk orang lain, orang yang akan mencintaiku apa adanya. Tiba-tiba kau datang kembali, menghancurkan semua yang sudah berusaha kubangun dengan susah payah."
"Abil, apakah ini yang dinamakan takdir? Mempertemukan dua hati yang sedang berjuang saling melepaskan, berjuang untuk kembali membuka hati yang sudah tertutup, bahkan hampir selamanya. Andai kau tahu, bahwa kau masih menjadi isi dalam doaku. Tapi ternyata, takdir yang menjawabnya, aku pasrah. Jalan kita berbeda dengan apa yang sudah Tuhan gariskan. Sekali lagi tolong, maafkan aku." Tanpa Dira sadari, air matanya berhasil jatuh dari pelupuknya, mengaliri lekuk lembut pipinya, bergerak bebas hingga terjatuh ke lantai.
Randi yang melihat Dira menjatuhkan air matanya, merasa kebingungan. "Mungkinkah Dira senang karena aku sudah memesankan lagu yang di khususkan untuknya? Tapi aku tidak sebodoh itu, aku tahu ini bukanlah air mata bahagia, ini air mata kesedihan, bahkan sangat. Tapi apa penyebabnya, apa mungkin yang sudah aku lakukan ini salah? Tapi aku hanya ingin menunjukkannya, menunjukkan kalau aku sangat serius terhadapnya."
"Sementara Endah, hanya terdiam setelah melihat kejadian ini, seolah dapat merasakan apa yang sedang Abil rasakan. Ia sudah jauh berbeda dari yang dulu, menjadi lebih penyabar dan tidak lagi memaksakan kehendaknya terhadap Abil. Tentang Dira, Endah sudah tahu betul tentang siapa Dia. Tubuhnya seketika tidak tahan ingin memeluk Abil, agar dapat sedikit meringankan beban yang di rasakannya, tapi hati kecilnya tidak berkenan, karena takut mempermalukan Abil di depan khalayak ramai."
Suasana kini menjadi hening, Bagas, Akbar, Nanda dan Dafa benar-benar merasa kebingungan melihat Abil yang sedari tadi hanya mematung. "Bil, lu kenapa?"
..."hah?" Abil terjaga. "tidak, aku harus terlihat kuat. Aku harus bisa membuktikan kalau aku bisa tanpanya. Meskipun tidak dengan kenyataannya." Benak Abil
"ayo bang mulai!" ujarnya lirih.
Bagas dan yang lainnya memulai. Hingga pada pertengahan lagu, suara Abil terbata, Ia memang sedang tidak baik-baik saja, suaranya bergetar hebat, parau seperti akan menghilang, bahkan hampir membuat air pesakitan itu terjatuh. Abil bukanlah lelaki yang kuat, kalau harus melawan ingatan tentangnya. Sekuat apa pun pertahanan yang sudah Ia bangun, tetap saja akan berakhir runtuh, jika penyebabnya adalah Dia. Penonton tetap bertepuk tangan, meskipun lagu yang seharusnya dinyanyikan dengan rasa bahagia, justru malah sebaliknya, sedih seperti telah ditinggalkan seseorang untuk selamanya. Bahkan, ada beberapa penonton yang merasa terharu karena terbawa suasana penghayatan begitu dalam dari Abil, yang padahal memang itu kenyataannya, tidak di buat-buat. Abil sudah tidak dapat menahannya, lalu bergegas meminta diri untuk sejenak kembali beristirahat.
Tiba-tiba. "Bang, boleh minta minuman tadi?" pinta Abil datar.
Bagas tercengang mendengarnya, meskipun Ia baru mengenal Abil, tapi Bagas sudah dapat menerawang kalau Abil adalah orang baik. Jauh dari minuman keras apalagi narkoba. "toh barusan Ia menolaknya." Gumamnya. Tapi ada hal yang aneh kali ini, tiba-tiba saja Abil memintanya, apa penyebabnya. Bagas hanya menurutinya, kemudian menjulurkan botol plastik itu. Bagas semakin tercengang, saat melihat vokalis barunya itu meneguk minuman itu tanpa pikir panjang, hanya dengan satu tarikan nafas, Abil meneguknya sampai kering. Bagas sudah hafal betul dengan rasa minuman itu, bisa di katakan sangat pahit, apalagi untuk orang yang baru pertama mencobanya. Tapi Ia seperti melihat Abil sedang meneguk air putih, biasa saja tanpa sedikit pun terasa pahit. "kalau enggak suka jangan di paksain Bil!" tegur Bagas setelah melihat mata dan raut wajah Abil seketika memerah.
"Tidak apa-apa bang, boleh sekalian minta rokoknya?"
Bukan saja Bagas yang merasa tercengang, tapi Akbar, Nanda dan Dafa juga terheran-heran. Disusul Nanda menjulurkan satu bungkus rokok yang sudah diambil beberapa batang. Tidak begitu jauh dari mereka, Endah melihat kejadian tidak biasa malam ini. "sejak kapan Abil merokok?" gumamnya.
"ini bukan Abil yang aku kenal." Gundah Dira, masih dengan sembab di wajahnya. Dari dulu, Ia tidak pernah melihat Abil menjadi seperti ini. Merokok, bahkan di depan umum. Sekilas, Dira melihat air yang tadi Abil teguk, Ia begitu yakin kalau itu bukan air biasa, dari warna yang Ia lihat, meskipun dari botol air mineral biasa.
Sementara, Abil yang malam ini menjadi pusat perhatian, merasa seperti sedang dikendalikan. Kebiasaan yang tidak biasa Ia lakukan. Tak lama setelah meminumnya, efek air itu mulai bereaksi membuat kepalanya seperti baru saja terbentur. Tapi apa pun itu, entah kenapa Abil merasa sangat lebih berani dari sebelumnya, lebih percaya diri berbicara di khalayak ramai. Bahkan mempersilahkan siapa saja yang ingin ikut bernyanyi bersamanya, atau hanya sekadar memesan lagu yang akan dibawakan. Layaknya para vokalis band terkenal yang sedang menggelar konser besar, Abil memaparkan filosofi setiap lagu dengan lantang sesaat sebelum menyanyikannya. Ini di luar dugaan, di luar rencana yang sudah Bagas dan yang lainnya rencanakan. Termasuk saat membawakan lagu "Sheila on seven" berjudul "Yang terlewatkan," pinta salah satu penonton. Dengan khidmat, Ia menyanyikannya cukup sempurna, tanpa sedetik pun menoleh ke arah Dira yang masih terpekur karena kejadian malam ini. Sesaat setelah itu, kemudian Dira memutuskan untuk segera pergi. Karena Ia sadar, dirinyalah yang menyebabkan suasana menjadi keruh. "Lebih baik kita pulang saja!" ucapnya lusuh.
Randi hanya terdiam, hanya bisa mengamini. Beberapa saat kemudian, mereka beranjak dari kafetaria itu. Namun Randi benar-benar masih kebingungan, tentang penyebab Dira menangis.