Jika bermimpi dapat terwujud sembari tertidur. Lantas mengapa tidak juga dilakukan sembari berjalan?
"Bil, gua mau besok kita bawain minimal dua lagu ciptaan Lo! Terserah Lo yang mana aja. Bisa kan?" Bagas menutup teleponnya.
Entah kenapa, bulan Desember selalu tergenang derasnya hujan yang dingin. Seolah menjelma badai, menerjang kelamnya tahun yang tidak lama lagi akan terlewati, menjembatani awal tahun yang diharapkan dapat lebih cerah dari tahun-tahun sebelumnya. "tidak, jangan sekarang. Besok pagi aku ada pekerjaan, aku tidak ingin kembali terlambat seperti sebelum-sebelumnya." Abil mengurungkan niatnya untuk kembali melakukan ritual dini harinya. Tidak seperti biasanya, dinginnya hujan malam ini, tidak dapat membuat Abil tergoda untuk mengambil apa yang ada di bawah kasurnya itu. Karena pagi-pagi sekali, Ia harus segera berada di rumah Bagas, untuk sekadar persiapan menjadi pengisi acara di sebuah pesta pernikahan, tidak begitu jauh dari rumah Dafa. Sedikit demi sedikit, mimpi-mimpi Abil dapat terealisasikan. Dua bulan belakangan ini, Ia dan bandnya bisa dikatakan laku keras dalam kategori sebagai musisi lokal di daerahnya, terutama di acara wedding dan di Cafe. Bahkan, beberapa lagu yang Ia ciptakan sendiri, sudah direkam menjadi satu album perdananya. Meskipun tidak dinaungi label musik ternama, hanya sekadar recording rumahan milik salah satu teman Bagas. Tapi baginya, ini sudah lebih dari cukup. Sebuah pencapaian yang membukakan jalan untuk dapat berdamai dengan masa lalunya. Karena dari ketujuh lagu yang Ia tulis, hampir sepenuhnya tentang perempuan itu. Untuk itu, Abil menganggap seperti sedang membuang sampah pada tempatnya. Ia bahkan sama sekali tidak memedulikan perihal lagu-lagunya akan laku atau pun tidak di pasaran. Yang terpenting, Abil dapat menuangkan apa yang menjadi mimpinya. Tak jarang pula, Abil menyanyikannya di beberapa Cafe yang sering Ia isi hampir setiap malam. Hingga saat ini, Abil semakin percaya akan apa yang Barasuara pernah katakan, "patah hati bisa menjadi royalti." Abil mengamini jika pernyataan itu benar adanya, telah dibuktikan oleh dirinya sendiri. Berawal dari patah hati, kemudian mencurahkan keretakan hatinya pada secarik kertas. Bukan tanpa alasan, Abil lebih percaya dan memilih menulisnya daripada harus mencurahkannya pada seseorang, yang terkadang bukannya menjadi pendengar yang baik, justru malah mengajak beradu nasib, seolah yang dirasakannya lebih berat dari yang Abil rasakan. Lebih jelasnya, orang yang hatinya sedang patah, cukup hanya ingin didengarkan saja, tidak perlu harus ikut merasakan. Apalagi merendahkan perasaan.
"jika Desember menjadi bulan penutup akan tahun yang kelam, maka Januari akan aku jadikan sebagai bulan pembuka untuk dapat mewujudkan segala pencapaian."
Manusia sering kali luput dari tujuan hidup itu sendiri. Selalu mencari bahkan membangga-banggakan hal yang sebenarnya bersifat fana, seolah-olah tidak akan pernah mati, beranggapan kekal selamanya. Keterkaitan masalah dan tekanan dalam hidup, selalu dijadikan penyebab pudarnya keyakinan. Sedang kebahagiaan, dianggap sebagai alasan karena telah melakukan kebaikan. Kita keliru, terlalu berambisi mencari jati diri yang seharusnya tidak sekadar hanya dicari, melainkan sepatutnya juga kita rasakan dalam hati. Seperlunya saja, karena tujuan hidup yang sebenarnya adalah mati.
,.,.,.,
"kamu mau main di acara wedding temannya Akbar yah?"
"Iya, mulai jam sembilan pagi."
"Aku mau lihat kamu nyanyi, boleh aku ke sana?"
"Boleh!"
Pagi ini, Endah memang senggang. Jadwal rutin kuliah paginya sudah Ia mundurkan ke jam tiga sore. Bagas yang belum lama ini mengetahui kalau Abil adalah laki-laki pujaan hati Endah sedari dulu, selalu berusaha memberikan jalan agar adik kelasnya itu dapat lebih dekat dengan vokalisnya. Termasuk memberikan informasi ketika mereka akan tampil di mana saja dan kapan saja, salah satu ungkapan terima kasihnya karena sudah diperkenalkan dengan Abil pada waktu yang tepat, sampai mau bergabung bersama band yang Ia dirikan sampai saat ini.
Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak menghentikan langkah untuk tetap mengejarnya. Andai kata Abil dilahirkan bukan untukku di kemudian hari, aku sama sekali tidak akan menyesal karena telah menjatuhkan hati pada orang yang ternyata bukan takdirku. Setidaknya aku sudah berusaha menjadi perempuan yang pantas untuknya, termasuk berdoa agar dapat di satukan.
"Semangat Bil!" Endah kembali mengirim pesan sesaat sebelum menutupnya.
Abil hanya tersenyum melihat pesan terakhir dari perempuan yang tidak pernah melepas kerudungnya itu saat di luar. Ucapan pesan terima kasihnya Ia urungkan kembali, lantaran harus segera bergegas ke tempat tujuan. Melihat kegigihan Endah yang ingin mendapatkan hatinya, membuat Ia tergugah sekaligus merasa sangat bersalah, karena tak dapat membalas perasaannya kembali. Hujan di bulan Desember ini menandakan telah kuyupnya tubuh lelaki yang kau anggap sempurna. Anggapanmu terhadapku jelas salah, bahkan aku merasa tak pantas untukmu. Terima kasih, karena kau masih tetap memilihku, setelah dengan lapang dada mengesampingkan segala kekurangan yang menyelimuti ragaku. Tetapi, keburukan yang telah aku lakukan berbicara lain, aku teramat mafhum terkait itu. Bukannya aku ingin berbohong, hanya saja, kebaikanmu seolah melarangku untuk mengatakan perihal itu padamu. Karena sebab inilah, semua tentangnya masih tak dapat kuhapus dari ingatan. Tubuhku telah basah diguyur hujan, dan untuk mengeringkannya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Nanti sore, aku mau bicara, di tempat biasa!"
Endah membaca pesan itu setelah beranjak dari tempat Ia menonton Abil dan bandnya tampil. "Abil mau bicara?" gumamnya.
"selesai jam kuliah, aku langsung ke sana." Balas Endah.
Sekitar pukul empat sore, Abil sudah sampai di tempat tujuan, pesisir pantai. Ia kembali membakar sebatang rokok tepat di bawah pohon di sekitar pantai. Di susul setengah jam berikutnya, Endah pun tiba.
Bagaimanapun aku harus tegas, ini menyangkut perasaan seseorang yang harus aku balas. Setidaknya ada perasaan yang aku coba jaga, meskipun kenyataannya telah berbohong pada diriku sendiri. Terkadang, yang terbaik pada awalnya memang sulit untuk dapat kita terima. Dan pilihan kita adalah mencobanya. Ya, aku akan mencoba untuk mencintainya, sekaligus mencoba membuktikan istilah bisa karena terbiasa. Perihal ini, aku akan mencoba lebih terbuka dari sebelumnya. Agar tidak ada lagi penyesalan dan keraguan terhadapku, atas apa yang akan aku katakan nantinya. Tentang keburukanku selama ini yang tidak diketahui siapapun, termasuk apa yang sudah pernah aku lakukan dengannya. Aku pun siap kalau-kalau Endah berubah pikiran setelah mendengarnya. Ini perbuatanku, apapun konsekuensinya harus aku terima.
,.,.,.,