Pertemuan adalah pintu dari sebuah perpisahan
"Tidak akan aku ketuk pintu itu, jika pertemuan tak ubahnya adalah pintu sebuah perpisahan."
"Nanti sore aku jemput, aku butuh bicara!" Randi mengirimkan pesan ke kontak yang Ia namai 'calon istri' dengan love biru tepat di ujungnya.
"Iya aku tunggu." Dua menit kemudian, Dira membalas.
Diluar dugaan, tidak sampai satu tahun untuk Dira dapat membuka hatinya kembali. Bukan karena semata-mata Abil mudah untuk di lupakan, melainkan karena lelaki ini begitu meyakinkannya, dan layak di berikan kesempatan. Dira pun sudah memantapkan hatinya, menyatakan siap di persunting setelah urusan kuliahnya rampung, yang hanya tinggal beberapa bulan lagi. Bahkan, keluarga mereka sudah menetapkan untuk menggelar acara tepat pada bulan April, bulan kelahiran Dira. Meskipun tanggal dan harinya masih perlu dibicarakan.
Siang itu, Dira mengeluarkan buku catatannya dari laci lemari di kamarnya, lalu mencurahkan apa yang Ia sedang rasakan dengan tinta biru yang Ia torehkan di secarik kertas dalam buku kecil itu.
"Ketetapan terkait risalah perjalanan setiap manusia memang tak terduga. Aku percaya, garis tangan Tuhan selalu berperan di setiap kemelut permasalahan hamba-hamba-Nya. Tiga tahun lalu, aku di pertemukan dengan lelaki yang kuharap adalah jodohku, tetapi Tuhan berkata lain, mungkin itu adalah sebuah pelajaran agar kita menjadi lebih baik lagi kedepannya. Karena sejatinya, manusia hanya dapat menjalankan apa yang telah di tetapkan-Nya.
Apa kabar kamu Bil?
Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf. Jujur, sekarang aku sadar, bukan kamu yang tak pantas untukku. Justru sebaliknya, akulah yang tak pantas untukmu. Terima kasih untuk kenangan yang kini membuatku menjadi lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan kehidupan. Terima kasih karena telah memberikan pelajaran berharga tentang kesetaraan sosial. Terima kasih telah mengajarkanku cara mencintai dengan apa adanya, teguhnya kesetiaan, dan pentingnya menjadi diri sendiri. Kau tahu, sedikitpun tak ada niat untuk melupakanmu. Justru akan aku jadikan cerita pengantar tidur untuk anak cucuku kelak, bahwa dunia ini tidak pernah kekurangan stok lelaki yang tulus sepertimu. Hati kecilku juga berharap agar kau pun tidak melupakannya. Akan aku ceritakan tentang Khalid bin Walid yang tidak berpedang, melainkan bergitar, versi paling terbaru di jamannya. Oh iya Bil, aku akan menikah tepat pada bulan kelahiranku, aku yakin kamu masih ingat pada bulan kelahiranku. Kurang lebih empat bulan lagi Bil. Bil, aku berharap kamu hadir di acara pernikahanku, tapi aku tak tahu cara yang paling baik untuk memberitahumu, atau sekadar memberikan surat undangan. Satu lagi, aku juga berharap kamu datang tidak sendiri, ajaklah pasanganmu, semoga juga Dia calon istrimu. Bahkan sekarang aku sedang membayangkannya, pemandangan itu akan membuatku merasa senang jika itu terjadi, sekaligus lega. Karena kamu telah menemukannya, dan pastinya lebih baik dariku. Aku percaya pilihanmu adalah yang terbaik. Lalu kita berfoto bersama dengan senyum yang merekah. Aku janji, foto itu akan aku letakkan di ruang tamu, atau bila perlu di dalam kamarku, agar aku dapat melihatnya setiap saat. Foto tentang sebuah perpisahan yang berujung manis.
,.,.,.,
"Diraa...! Ada Randi."
"Iya Bu bentar lagi, Sepuluh menit!"
Tepat di ruang tamu, Dira melihat seorang Papa dan calon Papa sedang asyik mengobrol di teras rumah. Tinggal beberapa langkah lagi Dira sampai di sana, secara tak sengaja menguping pembicaraan mereka. Samar-samar Ia mendengar kata "polisi, negara, tugas, lalu menikah, dan terakhir Intan Jaya." "Mungkin saja aku salah dengar." Pikirnya.
Dira kemudian melihat raut wajah Papanya yang terlihat serius dan seperti sangat cemas.
"sudah siap?" tanya Randi tersenyum
"..i-iya."
Setelah berpamitan, kemudian mereka membenamkan tubuhnya dilahap mobil sedan berwarna putih terang, sejurus kemudian menghilang.
Tidak seperti biasanya, kali ini Randi memutuskan untuk tidak membawa Dira pergi ke kafetaria. Ia begitu mafhum terkait perihal itu, kegaduhan selalu hadir saat sore hari tiba. Dan menurutnya, pantai adalah pilihan terbaik. Setidaknya hanya ada suara debur ombak dan semrawut angin yang berlalu lalang.
"Kamu duluan saja, aku mau beli minum dulu!" seru Randi sesaat setelah turun dari mobil.
Sebenarnya Dira agak tercengang dengan Randi, "tumben banget Ia lebih memilih pergi ke pantai." Gundahnya.
Tak lama berselang, Randi datang sembari menjinjing kresek hitam yang berisi dua botol air minum dan beberapa makanan ringan.
Melihat Dira duduk di atas pasir tak beralaskan apapun, dengan sigap Randi mencopot sandalnya, lalu di gunakan sebagai alas agar Dira merasa lebih nyaman untuk duduk di atas pasir.
"Terima kasih."
Randi membalasnya hanya dengan senyuman sembari menganggukan kepala.
"oh iya, kamu mau ngomong apa?"
"Minum dulu!" Randi menjulurkan satu botol air mineral yang telah Ia buka tutupnya. "Kamu tahu enggak OPM sama KKB?" lanjutnya.
"Iya, hanya sekadar tahu, tidak lebih dari itu. Tapi apa hubungannya?" Jiwa reporter Dira tiba-tiba menyeruak
"Enggak mungkin kamu lupa kalau aku ini seorang polisi, aparat Negara."
"Serius, aku benar-benar tidak paham dengan apa yang kamu katakan." Dira mengernyitkan dahinya.
"aku di tugaskan untuk pergi ke Papua, daerah Intan Jaya. Akhir bulan ini aku berangkat." Tegas pria kekar berambut cepak
"loh, kan sebentar lagi kita mau menikah?"
"enggak lama kok, cuman tiga bulan. Maret aku sudah ada disini lagi."
Dira hanya bisa terdiam, tidak tahu lagi harus mengatakan apa. "ohh jadi begini kalau punya pasangan seorang polisi, mau tidak mau tetap harus siap di tinggalkan kapan saja." Benaknya menggerutu.
"Kita ke sini bukan buat sedih-sedihan loh." Randi memecah hening.
Dira tetap tak menggubris.
"sepertinya ini terakhir kita ketemu. Minggu ini aku akan sangat sibuk, harus banyak persiapan sebelum berangkat." Lanjut Randi.
"Iya tidak apa-apa, aku doakan semoga tugas kamu lancar." Dira sadar, tidak ada pilihan lain selain pasrah. Tapi entah kenapa, hati kecilnya tidak bisa menerima, seolah ingin melarang calon suaminya agar tidak jadi pergi.
"Ayolah, aku mau hari ini kita senang-senang!" pinta Randi
Kemudian Dira menyanggupinya. Mereka memilih menghabiskan waktu dengan berjalan menyusuri pesisir pantai, berfoto, dan tak hentinya obrolan yang lebih di dominasi Randi. Hingga tak terasa sudah hampir dua jam mereka di sana.
"pulang yuk, bentar lagi mau Maghrib!"
"Sebentar lagi, lima menit saja. Aku masih mau di sini sama kamu!" Randi tetap kukuh
"Lima menit yah?"
"Iya sayang." Untuk pertama kalinya Randi memanggil Dira dengan panggilan sayang.
Lalu tiba-tiba saja lengan Dira melingkar di bagian perut Randi. Dan itu spontan, seperti ada yang menggerakkan tubuhnya untuk memeluk tubuh pria itu dari belakang. Sangat erat.
Pertemuan sore ini betul-betul berkesan, berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pria ini telah berhasil membuat Dira menjatuhkan hati untuk kedua kalinya.
Kurang lebih dua puluh menit, mereka sudah sampai di depan rumah Pak Gandi, Papa Dira
"kamu enggak mau masuk dulu?" tanya Dira
"Lain kali saja." Jawab Randi.
Beberapa detik lagi tangan Dira meraih pintu mobil, Randi memanggilnya. "Dira.., aku mencintaimu. Jaga diri baik-baik!" Kemudian Dira menoleh, di susul Randi mencium kening calon istrinya tanpa memintanya terlebih dahulu.
Hening sejenak..
"Aku juga." Dira pun mengamini, lalu beranjak dari mobil itu.
Seusai mandi, Dira masih terbesit tentang apa yang di katakan Randi tadi sore. OPM, KKB, Intan Jaya. Dengan segera Ia mencari informasi perihal itu di internet. Tak lama kemudian, Ia menemukan artikel yang berisi tentang kelompok separatis di Papua.
"This is war!"
Jalan Terjal Perdamaian Papua
"karena merasa terdiskriminasi oleh NKRI, sekelompok orang Papua mendirikan organisasi separatis yang bernama OPM ( Organisasi Papua Merdeka ). Terhitung sejak tahun 1961, ketegangan antara Indonesia dan Papua semakin tak terelakkan. Khususnya Papua bagian barat. Pemerintahan Indonesia seperti sudah kehabisan cara untuk menanggulangi permasalahan yang tak kunjung reda. Meskipun beberapa kali dikemas secara dialog yang sehat, tetapi tetap saja pada akhirnya buntu. Yang padahal, jika di tarik lagi ke belakang, sejarah mengatakan jelas-jelas tanah Papua masih termasuk wilayah Indonesia bagian timur. Bekas jajahan Belanda yang kemudian diakui oleh Dunia secara konkrit dan dengan kesepakatan bersama, bahwa Papua adalah salah satu provinsi yang berada di NKRI. Tapi sayangnya, orang-orang Papua tidak mau tahu tentang perkara itu. Terlarut kadung sakit hati, lantas lebih memilih mengibarkan bendera berlambang bintang kejora ketimbang bendera merah putih. Lalu pada awal tahun 1965, pemerintah Indonesia mulai menggencarkan operasi militer di tanah Papua. Untuk itu, sekelompok orang yang anti Indonesia menyatakan bahwa tidak ada lagi kata ampun bagi siapa saja yang ikut campur terkait agresi mereka. Sudah puluhan nyawa melayang, tak terkecuali para TNI dan Polri yang telah gugur membela NKRI. Hingga sampai saat ini, perdamaian seolah mustahil terealisasikan antara Papua dan Indonesia. Justru kian memanas."
Tiba-tiba, Dira terbelalak, ingat kembali raut cemas air muka Papanya tadi petang. Cemasnya Pak Gandi bukan tanpa alasan, dan Dira yakin alasannya tak lain adalah takut kemungkinan terburuk itu terjadi, seperti apa yang baru saja Dira baca di internet. Karena mungkin, Papanya sudah mengetahui hal ini sejak lama, jauh sebelum anak perempuan satu-satunya ini tahu.
,.,.,.,
Relung merenung, hasratku kian termurung
Lelahku tersiratkan, tentangmu di dalam pikiran
Resah langkahku tergontai, sendu semakin berderai
Bayangmu selalu terkenang, walaupun tak pernah kuundang
Aku tetap tak beranjak, meskipun kutahu kau telah berjarak
Selain dengan masa lalu, perdamaian dengan diriku sendiri menjadi sebuah keharusan menyelesaikannya secara tuntas. Ketika patah hati melanda, menjelma dorongan yang memaksaku agar sesegera mungkin menemukan jalan pintas untuk menyebrangi lautan sendu, meng-analogikan tanpa harus mengarunginya. Lalu kemudian mencari makna hidup dalam diriku sendiri, termasuk mencari jawaban untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini.
Pagi itu, Abil mengeluarkan sepeda motor dari rumahnya, setelah mencuci muka kusam yang merindukan pulasnya tertidur tiga hari belakangan ini. Dan tentu saja, opsi terbaiknya tidak lain adalah pantai. Hangatnya mentari di pagi buta ini, seolah menampar raut wajahnya. Topi keranjang yang Ia kenakan, sama sekali tidak berpengaruh untuk itu. Tentang tiga fase kehidupan yang bersarang di dalam benaknya, benar-benar membentur alam sadar liarnya. Di mulai dari patah hati yang terus menghujam tak hentinya, beberapa tahun. Puncak klimaksnya berpatah hati tepat di tahun kemarin, setelah mengetahui bahwa perempuan itu sudah dapat memulainya lagi dengan pria lain. Sementara Abil, masih saja tidak beranjak, walaupun Ia tahu perempuan yang Ia harapkan telah berjarak. Salah satunya terkait status sosial, latar belakang keluarga yang jauh dari kata sempurna, masih tak bisa Ia terima. Bahkan, Abil sempat menyalahkan peran Tuhan, karena Ia tidak dapat memilih status kehidupan yang Ia inginkan, agar bisa di terima oleh siapa pun dan di mana pun. Hingga pada suatu saat, Ia menyerah dan tak kuasa lagi menahan alasan yang Ia telan. Lalu akhirnya, Abil menjamah kehidupan gelap melalui musik yang Ia gandrungi. Ya, ini fase kedua, yang kemudian membuat masalahnya kian membesar. Abil terjerumus lingkaran narkoba yang Ia anggap akan membuatnya melupakan rasa patah hatinya. Justru, Ia semakin tenggelam di dua fase itu, keinginan akan hal itu merangkap menjadi kebutuhan penting di dunianya. Untuk dapat melewati kedua fase itu, mau tidak mau Ia harus menemukan jawaban mengapa dan ada apa Ia di lahirkan. Di fase ketiga ini, Abil betul-betul harus bertaruh dengan kehidupannya sendiri. Bahkan, sampai sekarang Ia masih kebingungan akan mencarinya di mana. Ketiga fase ini, semuanya sama-sama sulit untuk dapat di lewati Abil. Terutama, tentang Ia harus mencari jawaban perihal hidupnya. Tapi sayangnya, untuk dapat menemukan jawaban itu, fase pertama dan kedua adalah jembatan terkait pencariannya. Sedangkan, kalau Abil ingin melalui kedua poin itu dengan tuntas, Ia harus terlebih dahulu menemukan jawaban dari pertanyaan hidupnya. Selalu saja berputar-putar seperti itu. Tentang poin pertama, patah hati. Untuk menyelesaikannya, Ia tetap harus menyentuh poin kedua. Meskipun sebenarnya itu tidak menyembuhkan, tapi pikirannya tidak lagi mempunyai pilihan selain itu. Kedua poin itu adalah jalan pertama untuk sementara ini, setidaknya Abil harus dapat melewati keduanya dengan tuntas, meskipun itu tidak menjamin Ia akan dengan mudah mendapatkan jawaban yang Ia cari selama ini. Tapi dengan begitu, Ia seperti telah melangkahkan kaki melewati dua anak tangga pertama dari kesekian tangga yang akan Ia tempuh sampai pada puncak akhir, yang entah akan ada berapa puluh atau ratus, bahkan ribu tangga lagi yang membentang di hadapannya. Keterkaitan ketiga fase itu bagaikan sebuah lingkaran, terus berputar dan hampir mustahil untuk dapat menemukan elemen ujung atau akhirnya. Dan untuk menemukan jawaban dari kehidupannya, Abil seolah harus mencari letak persis dari ujung sebuah bola. Sesekali, bahkan sering kali Abil menyerah, dan berasumsi solusi terbaiknya adalah menghilang dari dunia ini, mati.
Kurang lebih lima belas menit Abil berada di sana, pikirannya kembali melayang, setelah dua butir obat terlarang itu masuk ke dalam perutnya. Hampir tidak berkedip, tatapannya lurus mendongak ke langit yang terbias fajar mentari. Lagi dan lagi, Abil bertanya pada dirinya sendiri terkait alasan Ia hidup, lantas tak sengaja pikirannya tersugesti obat-obatan haram yang kerap Ia konsumsi. Dengan begitu, keyakinannya perihal menemukan jawaban itu akan semakin mudah, karena pikiran abnormalnya dapat melayang ke mana saja.
Titik balik takdir dalam sebuah permainan kehidupan yang fana, memanipulasi sebuah kenyataan yang di kemas melalui sebuah pencapaian. Justru, hakikatnya sebuah pencapaian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal dari akhir kehidupan yang sejatinya tidak akan berakhir. Terkadang, manusia terlalu sibuk berlari dan mengejar, hingga lupa bahwa sebenarnya Ia tidak sedikitpun mengetahui apa yang seharusnya di kejar. Lalu pada akhirnya, hadir sang letih di dalam tubuh-tubuh ringkih yang kerap bersedih. Memang tak baik, jika kita hanya berdiam diri. Tapi setidaknya, kita harus terlebih dahulu mengetahui bahwa di depan sana adalah jalan buntu, sama sekali tidak dapat di lewati, dan terpaksa harus kembali mengulangnya dari garis awal, jika kita tetap berniat untuk melanjutkan perjalanan. Itupun kalau tekad yang kita miliki masih berbentuk bulat, tidak lonjong, segitiga, bahkan segiempat.
Dari dalam kantong celana jeans yang Abil kenakan, sebuah notifikasi membuat ponselnya sesekali bergetar. Tapi Ia sama sekali tak menggubrisnya, "ah apalagi kalau bukan sms dari operator pinjol," pikirnya. Tiba-tiba saja, Abil terbesit, "mungkin saja itu bang Bagas, tapi kan malam ini malam Kamis, tidak ada kegiatan apapun." Karena masih penasaran, akhirnya Ia mengeluarkannya sembari berniat untuk mendengarkan musik dari ponselnya.
"kamu baik-baik saja kan Bil? Aku dengar, belum lama ini kamu di rawat di Rumah Sakit?"
Ternyata pesan itu bukan dari operator kartu perdana atau pinjol seperti yang di pikirkan Abil, melainkan dari dua belas digit nomor yang tidak Ia kenali.
"ini siapa yah?" sesegera mungkin Abil melayangkan pesan balasan.
"ini aku Endah."
Melihat itu, Abil terbelalak. Karena sudah sebulan lebih Ia tidak berinteraksi dengan perempuan itu. Belum sempat Abil membalas pesan, perempuan itu kembali mengirim pesan.
"Kamu enggak lupa kan sama aku? Ini nomor baruku."
"aku pikir kamu masih kecewa." Setelah membaca pesan, Abil kemudian membalas.
"tumben kamu pagi-pagi begini sudah bangun?" Endah mencoba mencairkan suasana. "jangan bilang kalau sekarang kamu di tempat biasa?"
"lebih tepatnya aku belum tidur." Abil mulai merasa rileks. "lagi-lagi kamu benar, aku memang sedang di tempat biasa."
"Yasudah, aku sekarang ke sana!" Endah menutup pesannya.
Sebelum Endah sampai di sana, Abil seolah telah mempersiapkan beberapa jawaban yang akan Ia katakan pada perempuan itu. Bukan tanpa alasan, Ia mafhum bahwasanya Endah akan datang layaknya seorang reporter yang memburu narasumbernya, tentu akan ada banyak pertanyaan yang akan Endah lemparkan tanpa ampun. "ah tidak apa, yang penting Dia sudah mau menemui aku kembali."
"Pada sang waktu aku menorehkan tinta kelam, dalam takdir kehidupan yang aku telan. Aku kembali mencabik catatan perjalanan di masa lampau, mengingatnya begitu parau, lantas berharap untuk memperbaiki masa depan yang terlihat suram, dan berambisi membuat semua orang menjadi terpukau. Maaf, keluhku masih berupa takdir yang telah Tuhan gariskan. Dan maaf, mungkin saja aku telah membuat-Nya cemburu dengan terlalu yakin pada logika. Tuhan, tolong hentikan pikiranku tentang keyakinan bahwa aku dapat bahagia tanpa harus ada campur tangan-Mu. Dan jika tidak ada lagi pilihan, aku menerima kalau hidupku yang akan Engkau hentikan."
Kurang lebih selama dua jam mereka bicara. Abil sendiri cukup tenang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Endah lontarkan. Tapi lagi-lagi, Ia beralasan sepenuhnya karena musik. Meskipun perempuan itu agak merasa ragu dengan apa yang di katakan Abil, tapi setidaknya Ia akan memulai untuk mencobanya kembali. Lantas mengatakan, "Penyesalanmu bukanlah apa yang kamu lakukan, tetapi apa yang tidak kamu lakukan. So, make yesterday's mistake become today's truth."
"Yap, i wanna try again."
Hingga akhirnya, percakapan mereka bermuara pada perasaan yang sedari dulu tak pernah sampai. Kemudian Endah menyanggupinya, setelah mengetahui kekurangan pada diri Abil. Sekaligus akan siap mendampingi lelaki ini agar bisa kembali hidup dengan normal. Bahkan, Endah tidak begitu menekankan agar Abil mengatakan cinta, atau memang ingin memilikinya.
"Apakah di sudut hatimu masih ada ruang? Kalau ada, aku akan kembali pulang. Kalau tidak ada, tolong biarkan aku pergi dan menghilang."
,.,.,.,