Ada dua alasan kita bisa mengakhiri masa kelam. Berakhir karena bosan, dan mati karena bosan menunggu bosan.
Kemungkinan terbaiknya, aku bisa mencintainya tanpa harus terpaksa. Dan kemungkinan terburuknya adalah, Dia tetap mencintaiku tapi tidak dapat menerima apa yang aku katakan sejujurnya, masa laluku. Pada intinya, aku tidak ingin terbunuh rasa bersalah karena kejujuran.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Endah
Aku hembuskan asap terakhir yang telah kubuang puntung rokoknya. "aku mau jujur!"
"Bil jangan bercanda, apalagi yang tidak aku ketahui tentang kamu?" balasnya yakin.
Bagai diterjang ombak, tiba-tiba saja keberanianku hilang. Awalnya aku ingin mengatakan tentang Dira, tapi apa yang baru saja Endah katakan, membuatku harus mengganti topik pembicaraan. Belum sempat aku menjawab, Endah kembali melontarkan pertanyaan.
"Kamu pemabuk? Ah, rasanya kamu tidak perlu susah-susah mengatakannya. Aku sudah tahu itu. Toh, aku selalu percaya kalau manusia memang perlu tersesat agar bisa menemukan jalan yang baru."
Entah dari mana kalimat terakhir itu Ia dapatkan, sampai membuatku rasanya tidak perlu lagi mengatakan perihal aku pemakai, meskipun sebenarnya hanya alkohol yang Endah tahu dariku.
"aku mau mencobanya!" suaraku tertekan
Tanpa harus panjang lebar menjelaskan, Endah sudah mafhum betul apa yang baru saja aku katakan. Di luar dugaan, Ia terkekeh kecut kemudian berdiri dari duduknya. Tanpa melihat ke arahku, perempuan ini kembali bicara dengan datar. "Aku tidak mau kalau hanya ragamu saja yang aku miliki, tapi hatimu tidak sama sekali. Masa lalu kamu bagaimana?"
Aku tersentak, perempuan yang ada di hadapanku ini telah berubah. Ia bukan lagi Endah yang dulu aku kenal. Yang pernah ingin memilikiku tanpa peduli seburuk apapun masa laluku. Tapi hari ini, pertanyaannya seolah ancaman yang mengharuskanku membuka mulut perihal Dira.
Hening sejenak.
"Jawab Bil!" Ia kembali mendesak
Aku menghela nafas yang terasa semakin berat. Baiklah, ini memang waktunya. "apa yang akan kamu lakukan, ketika sepatu kesayanganmu rusak. Menggantinya atau memperbaikinya?"
Endah yang tadinya memunggungiku, kini berbalik menghadap ke arahku. "selagi masih bisa diperbaiki, kenapa tidak?" Ia tetap pada pendiriannya
"aku adalah sepatu itu."
"apalagi yang membuatmu rusak selain alkohol?"
Kali ini aku yang berdiri. "Masa laluku, Dira."
Perempuan ini memang cerdas, tak perlu gamblang menjelaskan, dengan mudahnya Ia mengerti isyarat yang aku katakan. "lebih tepatnya kalian sama-sama rusak." Dengusnya.
Bagai sebuah antrean, beban kejujuran yang baru saja keluar dari kepalaku, justru diakuisisi rasa bersalah yang kini menghantam pikiran. Tepat di belakangnya, aku melihat punggung lengannya sedikit basah. Aku menengadah ke arah wajahnya, ingin memastikan. Benar saja, Endah menangis. Ah, apa yang harus aku lakukan? Apalagi yang harus aku katakan? Bukankah kejujuran memang selalu di anjurkan? Aku tahu, aku memang salah, bahkan sangat. Sudah melakukan perbuatan yang melewati batas normal. Tapi setidaknya, aku tidak berbohong akan hal itu.
"apa aku masih layak untuk diperbaiki?" tiba-tiba saja aku melayangkan pertanyaan yang tidak seharusnya aku katakan di saat seperti ini. Aku memang payah, penglihatanku perihal cuaca hati seorang perempuan sama sekali tidak bisa diandalkan. Aku buta.
Perasaanku semakin tak karuan, Ia tidak menjawab, hanya isak yang kini berlalu lalang di telingaku.
"Endah, aku minta maaf!"
Lagi-lagi, tidak ada jawaban. Justru Ia malah bergegas, terbirit ke arah sepeda motornya. Tidak sedetik pun menoleh ke arahku. Untuk kedua kalinya, tempat ini menjadi saksi getirnya perasaanku ketika ditinggalkan oleh orang terdekat. Sama-sama tanpa kejelasan.
Benar saja dugaanku, tidak ada kemungkinan terbaik di sini, hanya ada kemungkinan terburuk yang kini menggelayuti pikiranku. Aku terpekur bersandar di bawah pohon butun yang cukup rindang, hingga langit ditelan gulita
,.,.,.,
,.,.,.,
Terulang kembali, langkahku terhenti
Semuanya telah berakhir, tak mungkin kembali
Kini aku sendiri lagi, berputar seperti mentari
Tak ada manusia yang ingin bersamaku orang biasa
Tuk satukan rasa
Kurasa saat ini, sudahi perih ini
Tak ingin kuberlarut dalam pilunya hati
Andai tak ada lagi, yang ingin menemani
Ikhlasku melepaskan, ku ucapkan sampai nanti
Terbangun di malam hari, sejenak nafasku terhenti
Kulihat ia datang kembali, memeluk tubuh kecil ini
Tak mungkin seakan tak percaya, dan tersadar itu hanya mimpi
( Terbiasa sendiri )
Waktu berlalu begitu saja. Satu minggu sudah, aku tidak melihat keberadaan sosok perempuan yang selalu mendukungku perihal apapun. Tidak ada lagi suara tepuk tangan di saat orang lain menyoraki ku saat aku tampil kurang baik. Tidak ada lagi pesan yang selalu menyemangatiku, atau sekadar mengingatkanku agar segera makan. Aku benar-benar merasa kehilangan. Aku benci harus mengatakannya, Endah, aku rindu.
"jangan lama-lama marahnya!"
Tidak, aku mengurungkan niat untuk mengirimkan pesan berbahasa absurd ini, kemudian menghapusnya.
"Tidak baik loh kalau marah sampai lewat tiga hari."
Untuk kedua kalinya, aku kembali menghapus pesan yang hampir saja aku layangkan, kalau-kalau aku tidak membacanya berulang-ulang. Ini bukanlah kalimat yang cocok untuk digunakan sebagai permintaan maaf.
"Sekali lagi aku minta maaf. Oh iya, apa kabar kamu?"
Tanpa ragu lagi, aku menekan tombol send yang berada di pojok bawah kanan layar ponselku. Aku rasa, ini lebih baik dari dua kalimat sebelumnya.
Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, hingga tak terasa satu jam berlalu. Balasan yang aku tunggu tak kunjung datang. Bahkan setelah itu, tak henti-hentinya layar ponsel aku nyalakan. Tapi tetap saja, nihil.
Ritual dini hari, aku rasa hanya itu pilihanku untuk saat ini. Dari bawah kasur, aku kembali mengambilnya. Kebetulan besok waktuku senggang, aku berniat memakainya sampai pagi.
Benar saja apa yang dikatakan pepatah, gelap adalah teman setia, dari waktu-waktu yang hilang. Lagi dan lagi, aku dipaksa harus dapat menikmati kesendirian. Dan pelakunya, tak lain adalah keadaan. Untuk itu, aku menggugatnya. Ah, pikiran rasionalku benar-benar sudah hilang.
Menjelang adzan subuh berkumandang, aku masih terjaga. Tapi tidak dengan efek itu. Otak dan pikiranku masih termanipulasi mimpi yang kubangun tanpa harus tertidur. Gemercik gerimis seperti terdengar bernyanyi di dalam keheningan. Setenang itu. Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu hal yang aneh. Tidak seperti biasanya, meskipun efeknya masih bereaksi, tapi separuh pemikiranku seolah menolak rangsangan yang ingin masuk ke beberapa syaraf imajinatif di dalam otakku. Jelasnya, tubuhku seolah melawan, tidak bisa lagi di ajak bermimpi. Fake dream bertabrakan dengan real life. Sunyi, hampa, hanya itu yang kini aku rasakan. Tepat di belakang pintu kamar, tubuhku tersandar. Aku memejamkan mata dengan menundukkan kepala, di apit kedua lutut yang kini di dekap sepasang lengan kurusku. Dengan sekejap, sekelebat kenangan masa lampau terlihat. Bagai time traveler, aku kembali ke masa itu. Di dalam sebuah rumah sederhana, aku melihat anak kecil terbangun dari tidurnya. Usianya sekitar delapan tahun. Ia kemudian bergegas mengalungkan sarung hitam yang Ia ambil di atas meja belajar kumuhnya. Pintu kamarnya Ia buka, lalu kembali masuk ke dalam kamar yang ada di sebelahnya. Dengan sedikit menggoyang-goyangkan kaki pria paruh baya yang sedang khidmat memeluk guling nya. Tepat membelakangiku. Disusul suara anak ini yang berniat membangunkan pria itu. "Kek, Kakek, bangun!" kini aku tahu, pria paruh baya itu adalah Kakeknya anak itu. Tak lama berselang, Kakek itu akhirnya terjaga. Sembari menggeliat, tubuhnya bertolak ke arah anak itu, termasuk kepadaku. Aku terkesiap, "Kakek. Ya Tuhan, aku ada di mana? Ini pasti mimpi." Sulit di percaya, tapi aku yakin pria itu adalah Kakekku. Kemudian, aku menyadari sesuatu. Anak ini, ya Dia. Itu aku, benar-benar aku sendiri, aku semasa kecil. Kini aku ingat, malam itu memang nyata. Dulu, aku selalu bangun di waktu subuh, kemudian membangunkan Kakekku untuk shalat berjamaah ke masjid. Dan ini, rumah Kakekku. Memang dari kecil aku hampir tidak pernah tidur di rumah orang tuaku sendiri, karena aku belum berani kalau harus berangkat shalat subuh sendirian ke masjid. Jaraknya sekitar lima ratus meter dari rumahku. Dan untuk Ibu dan Bapakku, aku rasa bukan pilihan yang baik kalau aku harus membangunkan mereka sedini itu. Memang, Bapak juga sesekali bersedia mengantarku ke masjid, benar-benar hanya sesekali. Itu pun hanya di saat Bapak bergadang saja. Aku pun memakluminya. Karena aku tahu betul, Bapak adalah seorang pekerja keras. Bahkan sering, aku melihat Bapak tertidur pulas bukan di kamarnya. Kadang di pertengahan rumah, tidak beralaskan apapun. Biasanya, aku selalu mendekatinya lebih dekat, melihat guratan raut mukanya yang kian lusuh, dan sepertinya telah dipaksa tertidur oleh keadaan, tidak peduli di mana pun itu. karena letihnya bekerja seharian penuh, menunaikan kewajibannya menafkahi keluarga kecilnya. Terutama untuk aku sendiri, anak satu-satunya.
...,Brukk. Tiba-tiba saja penglihatanku tak berfungsi, hanya kegelapan yang terpancar. Sangat pekat. Di sini hanya aku seorang, bulu kudukku berdiri spontan. "ada di mana aku? Ibu.. Bapak.. Kakek.." aku berteriak sekencang-kencangnya, sekuat tenaga. Degup jantungku seperti sedang mengejar sesuatu, sangat kencang. Aku ketakutan. "tolong, siapa saja." Aku menangis sejadi-jadinya. Lalu, sesaat kemudian aku benar-benar menghilang, entah ke mana.
,.,.,.,
Kali ini, dan untuk kapan pun itu. Garis tangan Tuhan sangat benar adanya, gelap dan sunyi yang menjawabnya. Ketakutan ini membawaku pada saat di mana penyesalan itu datang. Karena sebaik apa pun yang kita pikirkan, kita tetaplah kesalahan. Mungkin memang ini yang harus kita cari, sebab atas kehidupan kita selama ini, adalah untuk menanggung berjuta sesal yang memukul setiap saat. Akhir yang memang bukan Tuhan yang menciptakan, tapi tangan kita sendiri.
"ya Tuhan, ada di mana lagi aku sekarang?" perlahan aku buka kedua mataku, tapi tetap tidak bisa. Seperti dihalangi ketakutan yang menyeruak di kepalaku. Aku benar-benar takut kejadian itu akan terulang, berada di suatu tempat yang sangat gelap. Hanya sendirian.
"Bil, bangun nak!"
Remang-remang, aku mendengar suara yang tidak lagi asing ditelingaku. Aku coba menerkanya beberapa saat. Ya, tidak salah lagi, itu Ibu. Sesegera mungkin, aku membuka kedua mataku. "alhamdulillah." Aku bergeming. Tepat di hadapanku, Ibuku mematung dengan tatapan matanya yang terlihat sembab. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Tapi aku masih tidak mengerti, ini membingungkan, ada apa ini. Layaknya bayi yang baru saja dilahirkan, aku dikerumuni banyak orang, hampir seluruh keluargaku ada di sini. Tidak, ini bukan di rumahku. Ranjang dengan sprei putih biru ini bukanlah kamar tidurku. Sepintas, aku mencium bau obat-obatan yang menyengat menabrak hidungku. Astaga, sekarang aku sadar, aku sedang berada di Rumah Sakit. Sejurus kemudian, ingatanku telah pulih. Aku ingat, dini hari tadi aku masih berada di kamarku. Aku benar-benar terkejut, barang itu, ya Tuhan, kenapa harus dengan cara yang seperti ini. Aku tahu satu hal lagi, ternyata akulah penyebab wajah Ibuku menjadi sembab. Aku benci pada diriku sendiri.
"Bu, Pak, aku minta maaf." air mataku benar-benar mengalir, sangat deras.
,.,.,.,
Dua malam setelah itu berlalu. Beberapa pertanyaan terpaksa aku telan bulat-bulat. Mengapa, ada apa dan kenapa harus seperti ini, telah menjadi makanan harian yang mengenyangkan belakangan ini. Tak terkecuali teman-temanku di dunia musik, terutama Bagas, Akbar, Nanda dan Dafa, mereka masih tak percaya kalau aku adalah seorang junkies. Tapi lagi-lagi aku berdalih semata-mata hanya karena musik.
"Gua paham kenapa Lo kaya gini. Tapi ayolah, itu bukanlah solusi, justru nambahin masalah." Seru Bagas
"maaf Bang, saya perlu berpikir."
"Oke baiklah."
Setelah beberapa saat mereka pamit, Abil memilih untuk menenggelamkan pikirannya kembali. Semuanya berkecamuk rumit dalam relung, mengharuskannya untuk kembali mempertimbangkan bahwa tak ada lagi jalan keluar selain harus berhenti. Selain rasa trauma dan dorongan motivasi dari teman-temannya, air mata yang tumpah dari pelupuk mata ibunya menjadi alasan paling kuat agar Ia membulatkan tekad untuk segera berhenti dari dunia hitam yang kelam. Hingga tak terasa bulan pertama telah Ia lewati. Seperti biasanya, rutinitas malam minggu yang Abil habiskan dengan mengisi live musik di beberapa cafe bersama bandnya. Tepat pada minggu ke empat, hal aneh kembali tiba di pikirannya. Abil seperti tidak menemukan dirinya, kosong, hampa, seolah hidup dengan jiwa yang mati. Dan untuk pertama kalinya, Ia merasa bosan akan rutinitasnya bermusik, yang padahal itulah tujuan yang ingin Ia capai dari dulu. Lalu akhirnya, pendiriannya kembali runtuh, seolah amnesia perihal tekad yang Ia bangun sejak satu bulan terakhir. Kalau dulu Abil menyimpannya di bawah kasur, lain halnya kini, Ia kerap membawanya di kantong celana jeansnya, di manapun dan kemanapun. Lebih efisien dari sebelumnya. Tidak kurang dari empat sampai lima butir setiap harinya. Dengan mengkonsumsinya, Ia dapat lebih khidmat menikmati lamunannya, membuat pikirannya menjadi lebih fleksibel, dalihnya. Permainan sugesti ini benar-benar di jadikan sebuah prioritas. Berbulan-bulan Abil menjalani hidup dengan cara seperti itu. Entah sudah berapa ratus butir yang masuk kedalam perutnya. Tubuhnya yang ringkih kian kerempeng, sayup mata berlebih, pipi yang semakin menirus. Sekilas, Ia tampak seperti zombie, hanya saja ini bernyawa. Bahkan, Abil sudah lupa, kapan terakhir kali Ia merasakan hangatnya mentari pagi.
,.,.,.,