Rupanya, tidak perlu susah-susah menjadi Astronot, kalau ingin bepergian keluar angkasa atau pun ke bulan.
Einstein pernah berkata; "Orang lemah akan balas dendam, orang kuat akan memaafkan, orang pintar akan mengabaikan."
Dari ketiga poin yang di uraikan pencetus teori relativitas itu, apa yang aku rasakan kini, berbanding terbalik dengan semua kata sifat yang telah beliau sebutkan. Aku memang orang lemah, se-lemah itu, bahkan tak kuasa kalau harus balas dendam terhadapnya. Justru, aku melampiaskannya pada diriku sendiri. Yang kedua, seburuk apa pun kesalahan yang telah Ia lakukan, aku tetap akan selalu memaafkannya, bahkan sebelum Ia memintanya. Meskipun aku tidak sekuat orang yang selalu berbesar hati melapangkan dadanya. Dan terakhir, aku memang tidak begitu bodoh, tapi bukan juga orang yang sangat pintar, sampai dapat begitu saja mengabaikan semua yang berkaitan tentangnya. Tidak seperti biasanya, pemikiran lelaki tua yang sering aku lihat dari poster berpose menjulurkan lidahnya seperti menakuti anak-anak yang melihatnya, tidak begitu selaras dengan apa yang aku rasakan kali ini.
"kacamataku kian memburam, entah karena pandanganku kabur disela perjalanan, atau mungkin masa depan yang semakin terlihat suram. Aku tidak ingin menjadi 'apa' ketika hiruk pikuk menjelma lelah, lebih tepatnya aku menyerah, aku kalah. Angan tinggallah angan, bahkan aku semakin tersesat di dalam pelarian yang sebenarnya bukanlah tujuan. Ya, aku memang payah, kalau harus dihadapkan pada kejujuran yang kusembunyikan dibalik ucapan yang menjurus pada kemunafikan."
Kejadian malam itu masih membenak, aku benar-benar telah dibutakan khayalan tentang itu. Tentang ingin terlihat dapat melupakanmu, langsung dari matamu. Aku pun telah berbohong pada diriku sendiri, mengatasnamakan inspirasi sebagai alasan aku menjadi seburuk ini. Sama sekali tidak ada untungnya, jika aku harus berkata jujur.
Tentang musik sendiri, aku telah salah menjadikannya kambing hitam. Meskipun, tidak sedikit masyarakat yang mengamini stigma buruk tentang itu. Tapi kini, dari sekian banyaknya pelaku musik yang berperilaku tidak begitu baik, justru kali ini, aku pun tercatat menjadi salah satu penyebab hal negatif itu mencuat. Imajinasi, inspirasi, apa pun itu alasannya, tetap tidak benar, tidak masuk akal. Lucunya, patah hati lah yang menjadi alasanku melakukan hal itu.
,.,.,.,
Bagas_
"eeeh, ada apa Daf jam segini lu telepon gua?" Bagas menggeliat, tanpa berniat bangun dari tempat tidurnya, Ia terpaksa menjawab telepon dari drumernya itu setengah tersadar.
"Novan ketangkep!"
"Hah?" Bagas terkesiap mendengarnya. Sontak, leader band yang dinamainya "The Stubborn Child" itu meloncat dari kasurnya, kantuknya pun hilang dalam sekejap.
"Anak-anak udah pada tahu semua?" Bagas memastikan dari balik telepon.
"Belum, ini baru mau gua kasih tahu Gas." Jawab Dafa, sesaat sebelum menutup teleponnya.
Kemudian, pria berusia dua puluh empat tahun ini segera bergegas menuju kamar mandi. Dinginnya fajar tidak lagi menjadi penghambat laki-laki kumal ini akan berkutat dengan air, se-pagi itu. Memecahkan rekor setelah kurang lebih satu bulan Ia sama sekali tidak pernah bangun dan mandi pagi.
Saat di tengah perjalanan menuju rumah Akbar dan Nanda, Bagas melayangkan ingatannya tentang vokalis sekaligus sahabatnya itu. Meskipun sudah berteman sejak SMA, tapi Bagas tidak pernah tahu perihal Novan sering memakai narkoba. Memang, Ia tahu betul, kalau musik dan narkoba tidak dapat dipisahkan. Tapi, sebagai salah satu orang yang juga menggantungkan mimpinya dalam musik, Bagas tidak ingin terjerumus dalam keterkaitan zat-zat adiktif tersebut. Meski sesekali Ia pernah mencobanya, jauh sebelum Ia tahu akibatnya, beralasan sekadar hanya ingin tahu. Baginya, cukup minuman beralkohol saja yang merusak dirinya saat bermusik, walaupun Ia tahu itu sama saja tidak baik. Tapi setidaknya tidak dilarang Negara, meskipun tetap dilarang menurut Agama. "Selagi tidak merugikan orang lain, apa salahnya." Pikirnya.
Tepat pukul enam pagi, Bagas tiba di rumah Nanda. "assalamualaikum, permisi, Nanda." Bagas mengetuk pintu yang tak lama kemudian dibukakan oleh seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan. Ibunya Nanda.
"Nanda ada Bu?" tanya Bagas setelah mencium punggung lengan telapak kaki Surga sahabatnya dengan penuh khidmat.
"Masih tidur Gas." Balas perempuan paruh baya itu. "ngga harus ibu suruh dulu kan, kalau kamu mau masuk" lanjutnya.
Kemudian Bagas mengiyakan. Memang, circle yang sudah mereka bangun, tidak hanya sekadar pertemanan atau seputar pekerjaan saja. Tapi para orang tua mereka yang juga selalu membukakan pintu lebar-lebar satu sama lain, juga dapat merangkap menjadi orang tua kedua ketika di antara mereka menyambangi salah satu dari rumah yang lainnya. Atau hanya sekadar ingin bermain.
Beberapa menit kemudian. "tumben Lo pagi-pagi udah ada di sini." Ujar Nanda sembari menggosok-gosokan handuk ke rambutnya yang masih basah, tak lama setelah keluar dari kamar mandi.
"Akbar ada kan di rumahnya?" tanya Bagas.
"iya ada, semalaman Dia di sini."
Lalu, Bagas berbisik mendekati telinga Nanda, berharap agar tidak terdengar Ibu Nanda. "Novan ketangkep gara-gara make."
"Hah? Kata siapa Lo?" sontak Nanda pun kaget mendengarnya.
"Dafa nelpon gua pas subuh."
"sejak kapan Novan make?" Nanda masih tidak percaya.
"Gua juga enggak tahu sama sekali." Jawab Bagas. "yaudah buruan kita langsung ke rumah Akbar!" timpalnya.
"Nanda, sarapan dulu. Ajak Bagas!" dari dapur, Ibunya setengah berteriak.
Kemudian Nanda menghampiri Ibunya, disusul Bagas membuntutinya. "kita buru-buru Bu, nanti saja deh." Ucap Nanda sembari berpamitan, lalu meminta diri mencium punggung lengan Ibunya, juga Bagas mengikuti setelahnya.
"oh yasudah."
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Akbar. Jarak rumah Nanda dan Akbar memang tidak begitu jauh, cukup dengan berjalan selama belasan menit saja.
"ayo langsung berangkat saja, orang tua gua lagi enggak di rumah." Ujar Akbar seolah dapat menebak maksud kedatangan kedua sahabatnya itu.
"Lo udah tahu Bar?" tanya Bagas yang tadinya berniat ingin sekalian bersilaturahmi dengan kedua orang tua Akbar, atau sekadar bersalaman. Dan ternyata sedang tidak ada di rumah.
"iya dari Dafa, tadi nelpon gua. Katanya, Dia nunggu di Polres." Akbar menjelaskan.
Tanpa pikir panjang, kemudian mereka bergegas untuk menyusul Dafa yang sudah berada di tempat tujuan.
"Ah, Novan. Kok Lo bisa, make begituan. Tanpa sepengetahuan gua pula?" gundah Bagas, seolah masih tidak percaya, kalau sahabat dari SMA nya itu di tangkap polisi perkara memakai narkoba.
Tepat empat puluh menit kemudian, mereka bertiga sampai di tempat tujuan. Dafa yang sudah berada di sana sejak satu jam terakhir, masih menunggu kepastian perihal Novan yang tak kunjung dapat ditemui, karena sedang dilakukan pengembangan lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Awalnya, Dafa diberi tahu kalau Novan hanya memakai narkotika jenis Ganja saja. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan pada urinenya, pihak kepolisian menemukan kalau Novan juga positif terkait zat amphetamine dalam waktu dekat ini. "kacau, kacau, udah enggak ada lagi harapan." Dengus Dafa.
"Novan sabu juga?" Bagas, Akbar dan Nanda serentak menyambar Dafa.
"sekurang-kurangya empat tahun." Timpal Dafa.
Mereka semua terpekur mendengarnya. Hening, mereka benar-benar terpukul, ruang tunggu ini menjadi saksi untuk pertama kalinya, mereka akan kehilangan satu sahabat sekaligus vokalisnya dalam beberapa tahun ke depan. Mereka akhirnya menyerah, harapan dapat membebaskan Novan sangatlah kecil kemungkinannya. Bahkan sekadar ingin menemuinya saja, sangat sulit.
"satu minggu lagi." Tiba-tiba Bagas teringat kontrak yang sudah Ia setujui, menjadi pengisi acara live music di salah satu kafetria sekitar daerahnya. "Ah, persetan dengan itu semua. Meskipun Novan menjadi vokalis band yang aku bangun sejak lama, tapi aku lebih menganggapnya sebagai sahabat, bahkan lebih dari itu." Gumamnya.
"gua mau bicara!" sergah Bagas.
Ketiga sahabatnya itu serentak menyetujuinya, kemudian mereka beranjak.
Di sebuah warung kopi yang tidak begitu jauh dari kantor kepolisian, mereka berdiskusi perihal band yang baru saja kehilangan salah satu personilnya, berposisi sangat vital.
"Udah enggak ada pilihan lagi, kita tetap harus menggantinya!" timpal Akbar. "toh tinggal beberapa hari lagi." Lanjutnya.
"gila Lo, gua enggak setuju." Sanggah Dafa.
"Lo enggak inget, perjanjian yang dulu kita sepakati?" potong Nanda.
"apa pun alasannya, kalau salah satu dari kita keluar, berarti band ini bubar." Dafa mengutarakan perjanjian itu, sembari menoleh ke arah leader bandnya.
"Ini emang salah gua, karena kurang tegas perkara narkoba." Ucap Bagas lusuh.
"ini temen kita Gas. Doi lagi kesusahan. Se-enggaknya kita ikut merasakan, kalau sama sekali enggak ada yang bisa kita bantu!" Dafa menyeringai.
"masalahnya kan kita udah setuju main di kafetaria itu. Udah di DP pula." Akbar tetap pada pendiriannya. "gua juga paham, Novan temen gua juga, bahkan udah gua anggap saudara sendiri."
Seketika hening untuk beberapa saat. Hanya lalu lalang kendaraan yang kini terdengar.
Nanda menyibak rambut klimisnya. "gua mau usul. Gimana kalau kita nyari vokalis baru, tapi Novan tetap di posisinya sampai permasalahannya kelar. Intinya, Novan enggak keluar dari band ini, masih vokalis kita. Anggap saja Doi lagi break untuk beberapa tahun." Nanda memecah hening.
"maksud gua kaya gitu." Potong Akbar.
Dafa yang paling menentang pergantian Novan, akhirnya menyetujui pendapat yang dikatakan Nanda. "tidak begitu buruk, gua setuju." Ucapnya.
"Menurut Lo Gas?" tanya Nanda.
"ok, gua juga setuju." Jawabnya.
"Gua juga mau usul. Gua bakalan lebih setuju, kalau Bagas yang nyari vokalisnya. Secara kan, Dia lebih banyak kenalan musiknya ketimbang kita." Ujar Akbar.
Nanda dan Dafa mengangguk setuju. Mereka percaya pada leadernya itu. Akhirnya, mereka bertiga menyerahkan tugas ini ke Bagas sepenuhnya.
"Ok. Gua usahakan secepatnya." Bagas menyanggupi.
Belum genap satu hari Novan ditangkap, Bagas mulai mencari orang yang akan menggantikan posisi sahabatnya untuk beberapa tahun ke depan. Tapi ternyata, tidak semudah apa yang dibayangkannya. Sebenarnya, sudah ada hampir sepuluh orang yang menyatakan diri ingin menjadi vokalisnya, bahkan beberapa di antaranya terdaftar di salah satu forum musik yang Bagas ikuti sejak masih SMA. Tapi nihil, tidak ada satu pun yang dirasa akan cocok bergabung dengan bandnya tersebut. Ternyata, menjadi anggota di forum musik tidaklah menjamin seseorang akan berhasil di musik pula. Sebenarnya, Bagas masih mempunyai pilihan, tanpa harus repot-repot mencari orang baru. Drumernya sendiri, ya Dafa. Selain sebagai seorang penabuh drum, Dafa juga mempunyai karakter suara yang khas, melengking hampir persis seperti suara Novan. Tapi sayangnya, Dafa lemah di bahasa Inggris. Akan sangat merepotkan pula, kalau Ia harus bernyanyi sekaligus menabuh drumnya. Akhirnya, untuk malam ini Bagas menyerah. Tepat pukul dua pagi, Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, tidak ada lagi alasan yang mengharuskannya untuk begadang. Hari ini, Ia sudah cukup merasa penat dengan segala permasalahannya. Tapi seperti biasanya, ritual sebelum tidur, Bagas selalu membuka akun Instagram miliknya, sekadar ingin mengetahui kegiatan teman-teman di dunia mayanya, sembari merebahkan tubuhnya. Satu dua story yang melayang Ia scroll perlahan, hingga pada akun bernama Endahlestari_, adik kelasnya semasa SMA. Bagas sedikit penasaran saat melihat hanya background hitam yang ditampilkan di akun itu. "Oh, ini video rupanya." Pikirnya. Kemudian Ia membesarkan volume ponselnya sembari mendekatkan lubang speaker ke arah telinganya. Video berdurasi lima belas detik itu Ia dengarkan penuh telisik. Tiba-tiba saja, kantuknya hilang dalam sekejap. Suara laki-laki yang ada di story adik kelasnya itu membuatnya lupa akan rasa penat yang hari ini Ia rasakan. Tanpa pikir panjang, Bagas langsung men-direct message Endah saat itu juga, yang kebetulan masih aktif. "Lo masih inget gua kan? Itu siapa yang nyanyi di story Lo?"
Tak lama kemudian, Endah membalasnya. "Masa iya aku lupa sama gitaris terbaik di sekolahku wkwk. Kalau yang nyanyi, itu temanku Bang. Dia juga lumayan jago main gitarnya." Balasnya.
"bisa enggak Lo kenalin sama gua?" Bagas mulai menemukan titik terang perihal permasalahannya ini. Suara serak laki-laki itu telah menarik minatnya saat menyanyikan lagu dari Iris, Go Go Dolls. Meskipun hanya berdurasi lima belas detik saja. Mendengar itu, Bagas seperti diingatkan pada "The King of Grunge," Kurt Donald Cobain. Musisi Grunge favoritnya.
"bisa banget Bang. Kalau mau, besok sore bang Bagas ke rumahku saja. Nanti aku share lokasinya."
"Ok siap. Thanks Endah."
"sama-sama Bang."
Entah karena apa, Bagas menjadi sangat yakin kalau laki-laki itu adalah pilihan yang tepat untuk mengisi posisi yang Novan tinggalkan secara mendadak. Bagas benar-benar menggantungkan harapannya pada laki-laki itu.
,.,.,.,
Abil merogoh kantong celana jeansnya. Satu bungkus rokok ditemani satu buah korek berwarna hitam, berhasil Ia keluarkan. Sejak kejadian itu, Abil kini menjadi perokok aktif. Memang, malam itu bukanlah pertama kalinya Ia mencoba merokok, terhitung sejak kelas VIII Ia menjadi perokok pemula, kurang lebih selama dua tahun sampai memasuki masa SMA. Karena itu Ia berdalih, asap rokoklah yang membuat suaranya bisa menjadi serak.
Kurang lebih setelah satu bulan Abil bergabung dengan "The Stubborn Child" band yang didirikan Bagas, Abil sudah dapat merasakan hasil dari hobinya itu. Memang tidak begitu besar, tapi apa yang lebih membanggakan selain hobi yang dapat menghasilkan. Bagas pernah berkata, "ini hobi gua, bukan kerjaan gua. Kalau-kalau bisa menghasilkan, itu bonus bagi gua." Kata-kata leadernya itu akan selalu Abil terapkan dalam hidupnya. Tapi sayangnya, selain Ia sudah dapat merasakan hal positifnya lewat musik, Abil terpaksa harus pula merasakan hal negatifnya. Bahkan, cukup hanya dengan satu bulan saja, Ia sudah mendapat julukan sebagai peminum, satu tingkat di atas pemabuk. Hanya dengan satu bulan pula, Ia sudah pernah merasakan efek manipulatif dari barang-barang terlarang, hampir semua jenis. Bodohnya, Abil merasa sugesti yang dipaksa meningkat karena itu, sangat begitu sinkron dengan apa yang Ia ingin capai di musik. Abil benar-benar terjerumus black hole nya dunia. Permainannya sama sekali tidak terlihat, Ia tutup sangat rapi, sampai-sampai Bagas, Akbar, Nanda dan Dafa pun tidak sedikit pun merasa curiga akan gelagat vokalisnya itu. Mereka hanya mengetahui kalau Abil adalah seorang peminum, tidak lebih dari itu. Entah karena apa, Ia mendapatkan barang-barang haram itu dengan mudahnya, yang pasti Ia mengetahuinya dari teman musik di luar teman-teman Bandnya.
Tepat pukul setengah satu pagi, gemercik air hujan terdengar. Abil mengunci pintu kamarnya, tidak ada lagi suara yang terdengar selain air hujan. Kini Ia yakin, Bapak dan Ibunya telah pulas tertidur. Di dalam kamar yang tidak begitu luas, Ia mengambil sesuatu dari bawah kasurnya. Satu linting yang sudah Abil bakar sepertiga bagiannya kemarin malam. Tanpa basa-basi, Ia menyulutnya penuh hati-hati. Satu dua hisapan tak terelakkan, hingga pada hisapan kedelapan, Ia mematikannya. Sisa puntung itu Abil bakar sampai tak tersisa. Tiba-tiba, "deg-deg-deg." Seketika jantungnya berdegup kencang, psikotropika yang mengandung zat Tetrahydocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD) itu mulai bekerja memanipulasi otaknya. Tubuh kecilnya Ia sandarkan dibalik dinding, merasakan setiap detik keindahan yang sedang dirasakannya. Imajinasinya melonjak seketika, kemudian Abil mengambil gitar dan buku beserta pulpennya, tak akan Ia biarkan imajinasinya terbuang percuma tanpa sedikit pun menghasilkan. Akan sangat mudah baginya, untuk menemukan apa pun yang ingin Ia cari melalui pikirannya. Inilah alasan Abil sangat menyukai barang terlarang jenis ini. Sepintas, Dira berlalu lalang di pikirannya. Dengan spontan, Ia menorehkan tinta di atas kertas putih sangat begitu cepat, tanpa harus menggunakan pikirannya lebih dalam lagi. Hanya dalam hitungan menit, Abil merampungkan beberapa bait sajak yang telah dirangkai begitu indah. Sesekali Ia menggosok-gosokkan punggung telunjuknya ke bagian hidung. Dengan sangat pelan, Abil mulai memetik gitar kesayangannya. Hebatnya, tidak sedikit pun Ia merasa kesulitan ketika harus mencari nada untuk sajak yang baru saja Ia tulis. Ini memang abnormal. Tidak sampai dua puluh menit, Abil sudah menciptakan satu lagu tentangnya, tentang Dira. Tak jarang pula, Ia tersenyum karena menahan tawa yang ingin membeludak terbahak. Tapi masih dapat Ia tahan agar tidak terdengar kedua orang tuanya. "Rupanya, tidak harus susah-susah menjadi Astronot, kalau ingin bepergian keluar angkasa atau pun ke bulan." Cekikikannya hampir tidak terdengar, karena Ia tahan dengan telapak tangannya. Pemikiran rasionalnya benar-benar hilang seketika.
Satu jam lebih berikutnya, Abil terjaga dari euforia itu. Zat THC itu mulai memudar perlahan, Ia kembali dipaksa harus merasakan pahitnya kenyataan. Tentang perempuan itu, masih mendominasi seluruh pikirannya. Abil terpekur, kalau saja Ia dapat memilih, Ia tidak ingin euforia itu menghilang, ingin terus merasakannya. Karena dengan begitu, Ia dapat melupakan segala permasalahan hidupnya dengan mudah. Tapi sayangnya, itu menjadi satu batang terakhir yang Abil dapatkan tiga hari lalu. Akhirnya, Ia memutuskan untuk tidak memaksakan mencarinya lagi, karena tidak ingin Bapak dan Ibunya merasa curiga.
"Ekspektasi berlebih adalah satu hal yang dapat menyusutkan semangat ketika kita sedang berusaha merealisasikannya. Pencapaian dan tujuan yang selama ini aku angankan, seketika hanyut terseret kenyataan yang dibangun dengan segelintir harapan. Pada akhirnya, bagian yang aku lakukan kemarin hanyalah terbang, melupakan bahwa terjatuh dan dijatuhkan akan menyisakan getir yang mendalam."
,.,.,.,
,.,.,.,
Enough, and don't say anymore
Whenever and wherever I think
It's always you who is seen
Don't ask me, this is going to be hard
I am just trying,
Trying to get used to without you
I'm willing to get drunk every day
So that I don't lose you in my dreams
I don't even let the smoke go away
And so I can dance with you in my world
I found you in some dark part of life
So I can lie to myself that you're still around
I'm so weak to realize everything
And so I'm getting lost in the silence
Cause you are like a cigarette
And i love you so much, but I have to burn it
( Bitter )