Chereads / The story En-junk / Chapter 4 - Serpihan Luka

Chapter 4 - Serpihan Luka

Pernah salah jatuhi rasa

Pada bintang nun jauh di angkasa

Pilukan asa yang kudamba bersama

Deraskan rintih di tepian nestapa

"Rindu yang baik adalah pertemuan, tapi rindu yang lebih baik adalah melepaskan. Seseorang pernah berkata, carilah orang yang mencarimu. Cintailah orang yang mencintaimu. Dan, rindukanlah orang yang juga merindukanmu. Jangan pernah mengejar cinta, karena cinta bukan perihal kejar mengejar. Sekuat dan secepat apa pun kau mengejar, akan tetap menjadi omong kosong jika yang kau kejar tidak menunggumu. Cinta adalah penantian, menanti seseorang yang juga mencari. Bukan dikejar kemudian berlari. Dan ingatlah, semulus apa pun jalan yang akan kau tempuh, tetap saja suatu saat kau pasti akan terjatuh. Itulah yang dinamakan cinta, jatuh cinta."

Aku bukanlah seorang ahli, ketika harus menyambutmu pergi. Sekeras apa pun aku meminta agar kau ada di sini, tetap saja kau tak akan kembali. Kini aku tahu, hal yang menyakitkan tidak hanya karena panggilan Tuhan kepada salah satu hamba-Nya saja. Kau juga, seorang hamba yang telah digariskan, dapat menggores hati yang tulus memberikan kepercayaan terhadapmu sepenuhnya. Kau memang hebat, dengan sangat mudahnya mengajarkanku cara berbahagia. Tapi tolong, jangan pernah kau ajarkan aku cara melupakanmu, itu hanya akan membuatku semakin tenggelam ke dalam jurang nestapa yang aku buat sendiri. Sampai kapan pun kau tidak akan bisa. Guratan tentangmu masih sangat utuh, menari beriringan bersama di sela lamunan yang entah dari mana datangnya, aku tak tahu itu. Aku selalu senang melewati malam-malam yang dingin, meski hanya bertemankan sunyi. Tapi tidak untuk malam ini, terlampau dingin. Kau ada di setiap sudut yang aku lihat, membuatku semakin tersiksa. Aku kedinginan, tidak ada lagi kehangatan dari tebalnya selimut yang membungkus tubuhku. Semua yang aku lakukan, apa pun yang aku pikirkan, kau akan selalu ada di sana. Menjelma kenangan, menghantam pikiran dan menghancurkan seluruh harapan.

Aku merindukan aksara yang bersuara, berbalut harmoni diiringi petikan sebuah wacana. Justru, kau malah semakin terlihat jelas. Ini tidak masuk di akal, apa pun yang aku dengar, bayangmu selalu bisa membuatku terbuai dalam nanar.

Semua janji-janji yang kita buat, akan kau kemanakan. Aku masih tidak habis pikir, mengapa dulu tidak kau bicarakan, kalau aku bukanlah lelaki yang pantas untukmu. Aku pun memang bodoh, terlambat menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa, bukan pula dari keluarga yang mempunyai apa-apa. Tidak seperti Dia dan keluarganya.

,.,.,.,

Kesederhanaan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan siapa aku dan keluargaku. Dulu, saat aku masih kecil, kakek pernah berkata. "Akan selalu ada air yang tumpah dari dalam gelas yang ingin kita isi tanpa menyisakan sedikit pun ruang. Tidak ada kekurangan yang bisa kita lebihkan, termasuk kelebihan yang tidak seharusnya kita kurangkan." Ya Tuhan, andai saja Kakek masih ada. Aku selalu merindukan wejangan-wejangannya tentang hidup. Aku sangat ingin memberi tahu beliau, tentang telah patahnya hati cucu laki-laki pertamanya ini. Kek, aku sekarang sudah besar, sudah bisa merasakan sakitnya jatuh cinta. Aku rindu berpikir denganmu, aku rindu memikirkan teka-teki dari jawaban yang Kakek katakan. Aku rindu nasihat-nasihatmu, nasihat yang selalu mengajarkanku untuk terus menjadi manusia yang berbahagia, tanpa ada sedikit pun ambisi untuk dapat menjadi manusia hebat ataupun kaya. Tapi kini, keyakinan yang sudah Kakek tanamkan, tergoyahkan hanya karena cinta. Cinta yang ditemboki status sosial, cinta yang dibatasi antara kesederhanaan dengan kemewahan. Kek, aku ingin memelukmu, kemudian menumpahruahkan seluruh pikiranku, yang di bebani segudang pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawabannya. Dan sayangnya, hanya kau satu-satunya manusia yang seketika bisa membuatku menjadi banyak bicara, tidak seperti sekarang, menjadi pemendam, dan selalu memilih lamunan untuk dijadikan sebuah jawaban.

Langkah yang telah aku pijakan, kini tergontai serpihan luka yang masih aku rindukan. Aku terjerembap ke dalam jurang lembah pilu, diseret kenangan demi kenangan yang melumpuhkan, menjadi penyebab kemurungan yang semakin melanda. Aku sudah tidak tahan lagi menelan pahitnya ingatan tentangmu. Dan tanpa aku sadari, air mata ini berhasil keluar dari pelupuknya. Tidak ada lagi alasan aku dapat membendungnya. Aku menganga, pandanganku tertuju pada langit nun jauh di sana, berharap setidaknya dapat segera mengikhlaskan, kalau memang kau tidak ditakdirkan untuk dapat aku lupakan. Tak apa, panggil saja aku lelaki lemah, jika itu akan membuatmu senang. Aku tidak keberatan, jika suatu saat kita dipertemukan kembali sebagai dua orang asing, lalu kau bicara pada teman-temanmu bahwa dulu, aku adalah lelaki yang mengejarmu sangat keras, sangat menggilaimu. Aku rela, memang itu kenyataannya. Tapi ingatlah, ada sesuatu dalam diriku yang tidak dimiliki orang lain, termasuk Dia yang kau dan keluargamu pilih.

Aku terlalu berlebihan, sempat menganggapmu sebagai rumah tempat aku pulang. Tapi nyatanya, tidak ada sepetak pun tanah yang berhasil aku bangun di sana, di hatimu. Aku memang keliru, ternyata melupakanmu benar-benar tidak mudah, sangat melelahkan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan beban yang kutelan sendirian. Aku harus segera memuntahkannya, atau sekadar mencurahkannya.

,.,.,.,

"Mungkinkah Abil sudah dapat melupakan aku?" Gundah Dira. Pikirannya berkecamuk rumit, rasa bersalah, perasaan yang tepat namun tak sampai satu atap, telah dipaksa berhenti oleh keadaan.

Randi yang berada dibalik kemudi setir, terus memperhatikan perempuan yang duduk di sampingnya. Ia bingung, harus memulainya dari mana. Calon istrinya ini terlihat tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"kamu kenapa Dira?" Randi mencoba memecah hening.

Dira tetap diam, seolah tidak mendengarkan pertanyaan Randi.

"Dir?" Randi kembali mencoba.

Tetap tidak ada balasan dari Dira untuk beberapa saat. Lalu tiba-tiba, bukannya menjawab, Ia justru melontarkan pertanyaan, namun tetap dengan pandangan yang masih mengarah keluar jendela mobil. "Apa alasanmu bisa begitu cepat mempercayaiku untuk dijadikan seorang istri, sedangkan kita baru saja kenal?"

Randi tersenyum, "tidak sedikit pun aku meragukan pilihan orang tuaku. Bahkan, saat pertama melihatmu, aku menjadi semakin yakin bahwa kau memang pantas menjadi wanita yang ada di sampingku saat aku hendak dan usai terlelap dari tidur."

Decak kagum terpancar di raut Dira, setelah mendengar apa yang Randi katakan. Cerminan seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Tapi Ia masih teguh pada pendiriannya, tetap tidak ada yang dapat mengetuk pintu hatinya, apalagi membukanya selain Abil.

"Lagi pula, aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Hanya aku yang mereka harapkan, setelah kedua kakakku gagal menjadi apa yang orang tuaku inginkan. Mereka lebih memilih bekerja keluar negeri." Tanpa menunggu Dira menjawab, Randi kembali menjelaskan. Meskipun takdir mereka digariskan melalui perjodohan, Randi tidak sama sekali keberatan menerimanya. Ia selalu percaya, tidak akan ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, selalu memberikan yang terbaik, dan bukan tanpa alasan. "jika kau adalah wanita yang orang tuaku pilih, sudah barang pasti aku akan mencintaimu, mencoba mencintaimu." Lanjutnya.

Seketika Dira menjadi pendengar yang baik, bagi lelaki kekar berambut cepak yang ada di sampingnya ini. Hingga mereka sampai di tempat tujuan, salah satu kafetaria tempat biasa Randi makan atau sekedar meminum kopi.

"Selamat sore mas Randi." Sapa pelayan yang sudah tidak lagi asing dengan wajah Randi.

"Sore mas, biasa mas hot americano," Ujarnya ramah. "Dir, kamu mau pesan apa?"

"Aku mau lemon tea hangat saja mas."

Setelah mencatat pesanan, mas pelayan ini segera beranjak dari mereka.

"kamu enggak mau langsung makan?" tanya Randi

"nanti saja, aku belum lapar."

Randi hanya mengangguk, kemudian menjelaskan tentang kafetaria langganannya ini dengan penuh semangat. Meskipun Dira tidak begitu antusias menanggapinya. "Kamu baik-baik saja kan Dir?"

Lagi-lagi Dira kembali tidak menggubris pertanyaan Randi. Pikirannya melayang kembali tentang Abil, setelah melihat gitar coklat berdiri tidak jauh dari tempat duduknya. Hanya saja gitar ini terlihat bersih, mengkilap, tidak kusam seperti milik Abil.

Randi melihat pandangan Dira yang sedari tadi tertuju pada satu tempat yang di penuhi beberapa alat musik. "oh itu, di sini juga memang ada live music. Kalau kamu mau lihat, nanti malam minggu kita kesini lagi." Ucap Randi. Seolah bisa menebak apa yang Dira pikirkan.

"eh iya." Dira terjaga. "boleh." Mungkin memang bukan pilihan yang buruk. Pikirnya.

Tak lama setelah itu, mas pelayan pun kembali, membawakan apa yang sudah mereka pesan. "terima kasih."

Sepintas, Dira sudah dapat menyimpulkan siapa Randi ini sebenarnya. Dia memang seorang polisi, tapi Dia cukup baik, tidak seperti kebanyakan polisi yang Dira dengar dari stigma buruk masyarakat. Randi orang yang ramah kepada siapa pun, termasuk kepada mas pelayan. Bahkan, Dira sudah dapat mengklaim bahwa Randi adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Mungkin memang ini alasan papa memilihnya. Pikirannya terngiang kalimat yang Randi ucapkan. "orang tua tahu yang terbaik untuk anaknya, tidak mungkin menjerumuskan." Kedekatan mereka semakin tak terhindarkan, berkat keramahan yang Randi perlihatkan. Dira memutuskan untuk kembali mempertimbangkannya. Kurang lebih selama satu tahun sebelum hari itu tiba. Lagi pula, Randi bukanlah orang yang jahat. Sedikit demi sedikit, Abil menghilang dari pikirannya, meskipun tidak sepenuhnya.

,.,.,.,

Acap kali Abil merenungi diri bersama lamunan, Ia masih mencari cara untuk segera memuntahkan segala beban yang terus menghujam. Kelaraan tentangnya masih membenak, bukan tak mungkin akan terus ada. Sedikit pun Ia tak pernah terpikirkan untuk mencurahkannya pada siapa pun. Bukannya Ia tidak percaya, hanya saja keberaniannya telah dipatahkan takdir yang kian menikam. Hati kecilnya masih berharap Ia kembali, meskipun pikirannya terus memberontak ingin segera menghapusnya. Hingga pada suatu malam yang menggigil. Entah karena apa tiba-tiba Ia menjadi sangat mencintai sajak yang Ia rangkai sedemikian rupa. Juga beberapa bait puisi yang berhasil Abil satukan dengan nada yang Ia buat sendiri, hingga tercipta satu lagu berdasarkan curahan hatinya. Secara tak sadar, Abil sudah sedikit dapat meringankan beban pikirannya. Beberapa hari belakangan ini, Abil memang lebih intim dengan gitar coklat kusamnya, sembari membaca apa yang sudah Ia tulis. Kini Ia tahu cara menumpahkan beban yang masih Ia pikul, meski tidak sepenuhnya. Dengan menulis, Ia dapat belajar menghargai waktu, terutama dirinya sendiri, belajar menghargai diri sendiri.

"Kamu di mana Bil? Aku ingin bicara." Satu pesan dari Endah yang seketika membuat Abil berhenti menyanyikan lagu dari Kodaline yang berjudul All I Want.

Sesegera mungkin Abil membalasnya. "kamu tahu kan kalau aku mau main gitar ada di mana?"

"oh iya kebetulan, aku langsung ke sana." Tutup Endah.

Abil memilih menyimpan gitarnya di atas rumput dekat pesisir pantai, tidak berniat melanjutkan lagu yang tadi terhenti karena pesan dari Endah. Kini Ia terbenak apa yang akan di katakan Endah padanya. Jangan-jangan, perihal status lagi yang Ia akan bicarakan. Ah, aku sedang tidak ingin berdebat perihal itu. Pikirnya.

Beberapa menit kemudian, Endah tiba dengan motor matic putih hadiah ulang tahun pemberian Bapaknya. Tapi ada sesuatu yang aneh di sini, Endah tidak sendirian, Ia bersama seorang lelaki berambut gondrong, sedikit kumal bercelana robek di kedua lututnya. Dari tempat duduknya, Abil memicingkan matanya. Apa mungkin Ia pacarnya, atau bahkan calon suaminya? Tapi tak apalah, aku akan ikut senang mendengarnya. Pikir Abil.

"Ada yang ingin bicara sama kamu Bil." Endah memulai.

Abil tersenyum, seolah tidak sedang terjadi apa-apa di hidupnya. "Ada apa yah?" Balasnya

"Eh iya aku lupa, kenalin ini bang Bagas!" potong Endah. Lalu laki-laki itu menjulurkan tangannya ke arah Abil yang kemudian menjabatnya. "Bagas."

"Abil bang."

"Jadi gini bang, gua lagi nyari orang buat gantiin vokalis gua yang kemaren ketangkep gara-gara narkoba. Kebetulan, kata Endah, kalau suara lu cocok buat di klasik rock." Jelas Bagas.

"Iya Bil, bang Bagas ini kakak kelasku waktu di SMA." Endah menambahkan.

Abil mengangguk. Ia langsung bisa menyimpulkan kalau laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah anak band. Penampilan dan cara berbicaranya yang seolah memperlihatkan.

"Udah mepet bang, dua hari lagi tepatnya malam minggu, kita tampil di salah satu Cafe yang udah kita tanda tangan kontrak belum lama ini." Lanjut Bagas.

Abil melihat ke arah Endah meminta pendapat, tapi perempuan itu hanya mengangguk, mengisyaratkan agar Abil menyetujuinya. "Baik bang, akan saya coba." Abil menyetujuinya.

"yaudah, nanti gua kirim list lagu yang bakalan kita bawain ke nomor yang Endah kasih, ke nomor telepon lu." Tutup Bagas, kemudian beranjak pamit.

"Endah, terima kasih." ucap Abil setengah berteriak. Dari kejauhan, sembari mengendarai motornya, perempuan itu hanya menoleh lalu tersenyum ke arah Abil. Kemudian menghilang di telan senyap.

Andai saja cinta dapat memilih siapa tuannya. Mungkin dulu, tidak akan kuberikan sepenuhnya pada Dira. Akan aku sisakan untuk Ia yang tulus, Ia yang rela memberikan waktunya, Ia yang senang membantuku untuk kesekian kalinya. Tapi nyatanya, aku masih tetap tidak bisa memberikannya. Rasa ini sepenuhnya masih miliknya, meski mungkin Ia sama sekali tidak merasa memilikinya. Endah, kau orang yang baik. Jujur, aku memang masih meragukanmu, tapi kuharap aku salah tentang itu. Biarkanlah waktu yang akan menjawabnya. Kita lihat saja nanti, apakah kau memang alasan dari doa yang selama ini aku langitkan. Aku hanya berharap, agar kau tidak meminta yang terbaik pada Tuhan. Karena jika itu adalah doamu, maka jawabannya bukanlah aku. Jauh dari itu, tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Aku bukan siapa-siapa, pula tidak mempunyai apa-apa.

,.,.,.,

Masih tak bisa melupakanmu

Meski kucoba tetap tak mampu

Kau beranjak tinggalkan lara

Seakan langkahku tak lagi bermakna

Dalam kebisuan kau tetaplah alasan

Aku terkapar sesal yang tak terucapkan

Dalam ruangan harum indah kenangan

Satu pelukan berbekas menghujam ingatan

Takan mampu menyambutmu untuk pulang

Merelakan jadi kata yang enggan

Meski kembali tak kuharapkan

(Masih tak bisa)