Akan selalu ada alasan untuk pergi menjauhimu, tapi tak pernah ada alasan untuk dapat berhenti mencintaimu
Wajah-wajah baru telah datang, mungkinkah ini alasan cinta lama akan menghilang. Tidak, aku tidak ingin menjadi se-egois itu, sampai harus menggunakan orang lain, hanya untuk melupakan orang lain. Kemudian kau berkata, aku datang bukan untuk menggantikan yang telah menghilang. Layaknya bulan, selalu ada kala hari tak lagi terang. Aku tertegun, aku merasa ini terlalu cepat. Tentu saja aku berbohong, jika harus mengatakan cukup hanya dengan beberapa minggu saja untuk dapat melewati rasa berkabung atas kepergiannya. Ya, berkabung. Karena yang aku rasa hampir persis seperti saat aku ditinggal Alm. Kakek semasa aku kelas X SMA.
"Tolonglah, jika kau ingin dimengerti, maka mengertilah keadaanku sekarang! Aku hanya tidak ingin kau menyesal atas keputusanmu. Aku bisa saja memulainya sekarang denganmu. Tapi aku tidak ingin menjadi sejahat itu, menggunakanmu hanya untuk melupakannya. Mengertilah." Abil mendengus
"apa salah jika aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya?" sanggah perempuan yang kini kembali dekat dengan Abil
Abil memilih untuk tidak kembali menghiraukan pembicaraan yang selalu saja berarah pada tuntutan kepastian terhadapnya. Ia hanya ingin menjadi lelaki yang baik, berusaha untuk tidak menyakiti hati seorang perempuan, terkait perasaan yang tidak bisa Ia paksakan. Karena ia tahu betul, tentang sakitnya mengandung dan melahirkan dari cerita Neneknya.
Endah Lestari, perempuan yang mengagumi Abil sedari SD. Baginya, Abil berbeda, tidak banyak bicara, seperlunya saja, selalu bisa membuat semua wanita penasaran akan sikapnya. Entah dari mana kabar yang Ia dengar, bahwa Abil sudah tidak lagi berhubungan dengan kekasihnya. Ia sendiri cukup senang dengan kabar itu. Spontan, perempuan berjilbab itu kembali mendekati Abil, seminggu setelah Abil putus. Abil sendiri sudah cukup lama mengenal perempuan berhidung mancung ini. Baginya, Endah adalah perempuan cantik yang cerdas. Hanya saja, Abil tidak begitu suka dengan sikapnya yang berlebihan terhadapnya sewaktu SMP. Menelpon setiap saat, mengirim pesan berlebihan layaknya surat kabar. Bahkan, sebagai perempuan, Endah pernah menyatakan perasaannya sewaktu mereka kelas XI SMA, meskipun mereka tidak di Sekolah yang sama. Sayangnya, saat itu Abil sedang sangat dekat dengan seorang perempuan satu sekolahnya. Dira Sugandi, perempuan yang menjadi kekasihnya di kemudian hari. Tapi, keteguhan Endah untuk mendapatkan Abil masih belum surut, meskipun jika Ia tahu Abil sudah mempunyai kekasih. Endah berjanji, tidak akan ada laki-laki lain di hatinya selain Abil, sampai kapan pun.
,.,.,.,
Abil kembali memilih mengasingkan diri dari keramaian. Baginya, pesisir pantai selalu menjadi tempat perenungan terbaik. Nahas, ingatan tentangnya kembali, tentang Dira. Terlalu kuat untuk dapat melawan ingatan tentangnya. Ia kembali, menjelma kenangan, menghantam titik pilu yang bersarang dalam dasar lamunan. Abil pasrah, tubuhnya Ia biarkan terbaring di atas pasir, lengan kanan menutupi dua pasang matanya. Tubuh ringkih ini, kini tenggelam bersama cakrawala yang terbakar matahari sore.
"Selain hidup, semua tentangmu masih belum meredup. Tetap tak bisa menolak bayangan yang kembali bertamu, meskipun aku tahu, itu semu. Jalan hidup tidak menentu, langkah yang kian buntu, asa tak lagi bergemuruh, sedang masa lalu, tetap masih dirimu. Sebelum benar-benar pulih dari kisah lama, aku tidak ingin membuat kisah baru, dengan alasan hanya ingin lupa."
Tentang rindu, masih pantaskah jika aku merindukanmu, merindukan seseorang yang sudah hilang. Genggaman yang dulu aku cengkeram sangat kuat, tidak bisa merubah pilihanmu untuk tetap pulang. Apa kau tahu, rindu ini masih tentangmu. Kapan pun dan di mana pun aku berpikir, selalu saja kau yang terlihat. Aku ingin terlihat sepertimu, terlihat seolah biasa saja setelah berakhir denganku, mungkin memang itu kenyataannya. Dan sampai saat ini, aku masih saja tidak mengerti mengapa kau memilih pergi. Terkadang, aku sangat ingin berprasangka buruk padamu terhadapku. Ya, mungkin saja karena aku tidak punya apa-apa, mungkin juga diam-diam kau sudah mendapatkan lelaki yang mempunyai apa yang tidak aku punya, atau mungkin lebih buruk dari itu. Tapi nyatanya, aku tidak bisa melakukan dan berpikir seperti itu. Mungkin karena, cinta adalah prasangka baik yang selalu bisa memaafkan segala kesalahan cinta itu sendiri. Karena cinta, aku tidak bisa membencimu, karena cinta pula, aku membenci diriku sendiri, karena tidak dapat memilih tempat yang tepat untuk cinta ini bersarang.
,.,.,.,
Catatan Endah di 2016
Dear Abil,
Di mulai ketika kita bersekolah di SD yang sama, kelas yang sama. Aku tahu, rasa itu masih sangat belum pantas untuk dapat aku katakan. Tapi, saat pertama aku melihatmu, aku tidak pernah melihatnya dalam diri orang lain. Ya, aku pun sadar, usia kita saat itu masih sangat belia. Jujur, saat itu kau menjadi pacuan semangat aku bersekolah. Giat belajar, aktif di sekolah, bahkan penghargaan-penghargaan yang aku dapatkan, itu karenamu. Dan jika tidak berlebihan, aku menganggap kau adalah alasan aku hidup.
Ingat tidak, saat kenaikan kelas empat, saat aku kembali berhasil mendapatkan peringkat satu? Dengan lembutnya kau mengucapkan selamat padaku, yang saat itu kau sendiri berada di peringkat tiga. Kau tahu, itu adalah harapan yang selalu aku langitkan. Kau bicara padaku, pujian itu hanya untukku. Aku terlampau senang bukan kepalang, kau mengatakan jika aku pintar tak tergantikan di peringkat yang pertama sejak masuk SD. Ah, aku serasa ingin terbang, lelaki yang diam-diam aku kagumi sudah menyanjungku sangat tinggi. Aku pun mengira, sanjungan itu hanya kau katakan padaku saja. Karena yang aku tahu, kau adalah manusia yang sangat-sangat irit bicara, seperlunya saja. Entah karena apa, aku tidak pernah tahu alasannya. Tapi itu bukan urusanku, yang penting aku senang, manusia kutu buku yang dijuluki si bisu oleh guru sudah menyanjungku.
Menginjak kelas lima, entah karena apa aku jadi sangat berani, berani bicara padamu. Aku malu, saat pertama menawarkan seplastik es teh manis yang sengaja aku beli untukmu, tapi kau tolak hanya dengan gelengan kepala saja. Sebenarnya aku sudah tahu, kau tidak akan menerimanya, tapi aku hanya berusaha untuk bisa lebih dekat denganmu. Di hadapan teman-teman, bahkan di hadapan guru sekalipun, aku sudah berani memperlihatkan bahwa aku sangat ingin dekat denganmu. Meskipun selalu saja penolakan yang aku dapatkan.
Hingga tiba pada kelulusan. Aku sedih, karena bapak sudah mendaftarkanku ke SMPN 1 Teluknaga yang lumayan jauh dari rumah. Bapak juga sudah memutuskan agar aku tinggal di pondok pesantren. Tapi bukan itu yang membuatku sedih, bukan karena aku akan jauh dari rumah. Tapi karena kita akan bersekolah di sekolah yang berbeda, ya, kita.
Tanpa kau tahu, aku sudah mencuri kabar tentang kau akan bersekolah di mana. Tidak begitu jauh dari rumah, masih kecamatan yang sama, meskipun harus tetap kos atau tinggal di pondok juga, aku tidak akan keberatan, asal kau juga di sana. Ini memang konyol, tapi itulah kenyataannya.
Tak lama setelah itu, aku mulai mencari siasat agar bisa di izinkan bapak untuk bersekolah di SMP Swasta Al Gina yang akan menjadi sekolahmu.
"Pak, Bu, maaf, karena aku sudah berbohong, mengatakan keinginan agar bisa belajar tiga bahasa sekaligus. Dan kebetulan, satu dari tiga bahasa yang aku buat-buat itu tidak ada di SMP Negeri pilihan Bapak. Lalu menyatakan diri untuk sekolah di SMP Swasta yang padahal tidak ada kaitannya dengan pembelajaran ketiga bahasa yang aku katakan itu. Sekali lagi, aku minta maaf Pak, Bu. Dan terima kasih sudah di izinkan untuk bersekolah di tempat pilihanku."
Kau memang hebat, karenamu aku sudah berani berbohong pada orang tuaku. Dan pada kenyataannya, ternyata itu bukan karenamu, murni kesalahanku sendiri, telah menghalalkan segala cara agar aku selalu dekat denganmu.
"Aku mencintaimu seperti mentari yang tak pernah habis sepanjang masa. Walau jiwa akan tiada, namun cinta akan selalu ada menjelma doa."
"Apa pun tentangmu, hanya ada satu kata terbesit di beranda ingatanku, rindu. Jika kau sebut itu dosa, dengan senang hati aku akan melanggarnya. Dan jika kau sebut perihal itu pahala, tentu saja surga adalah jawabannya."
"Karena mendoakan, adalah cara mencintai paling terpendam. Ketidakmampuanku mengungkapkan, menjadi alasan keterpaksaanku merelakan. Entah kau yang terlalu dingin, atau aku yang selalu berharap pada angin, membawakan pesan bahwa kaulah satu-satunya apa yang akan selalu aku ingin."
"Aku datang bukan untuk menggantikan yang telah hilang. Layaknya bulan, selalu ada kala hari tak lagi terang."
,.,.,.,
"Terhanyut dalam ombak yang menjelma rasa. Nafasku tersengal, derasnya arus kini membawaku pada dua pilihan, tenggelam atau kembali ke tepian. Tapi, rasa ini terlalu redup, keberanian ini memilih untuk menunduk. Bahkan untuk memulainya saja, aku pun tak sanggup."
Untuk kesekian kalinya, aku kembali mencoba mengirim pesan dan menelpon. Bodohnya, aku masih bertanya tentang kita. Tentang kepergian tak beralasan. Namun tetap tak ada balasan darimu. Pemilik pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawabannya.
Kau tahu, rindu ini masih milikmu. Tolong, aku hanya ingin kau menjelaskan semuanya, tentang kepergianmu. Mungkin, aku akan dapat melupakanmu, kalau saja aku tahu alasan yang mengharuskanmu pergi. Meskipun tidak dengan kenangannya. Satu bulan tanpa kepastian, itu sangat melelahkan.
Tiba-tiba, kantong celanaku bergetar. Setelah kubuka, aku bingung, antara harus senang atau sedih. Aku bergeming, mungkin Tuhan mendengarkan doaku kali ini, notif pesan itu tiba, darinya. Ya, dari Dira.
"Bil, baiklah. Aku akan menjelaskan tentang semuanya. Temui aku besok sore di tempat biasa kita mendengarkan lagu semesta."
Di sini, ya di tempat aku berdiri sekarang. Tentang lagu semesta, tempat kita mendengarkannya, aku masih melakukannya, menjalankannya setiap hari. Meskipun keadaannya telah berbeda, tidak lagi denganmu.
,.,.,.,
Malam yang hening kembali tiba, masih tetap sunyi. Hanya saja, malam ini agak sedikit berbeda. Lamunanku tidak sepenuhnya tentangmu dan hidup. Ada misteri di balik itu, misteri kepastian yang akan aku dapatkan setelah satu bulan aku menantinya. Besok sore tepatnya.
Bagaimana lagi caraku menuju arah tanpa sesat
Aku tersiksa, terjebak dalam kerinduan yang teramat sangat
Kau sudah menancap erat jauh ke dalam sanubari
Dan untuk mencabutmu, aku seperti melukai diri sendiri
Kucoba meniadakanmu dengan menghadirkan benci
Justru yang aku rasa hanya rindu, rindu setengah mati