Afi berpikir keras cara menyatukan Fai dan Zia kembali. Meski kebingungan karena dua cewek ini sama-sama tidak mau bertemu apalagi berbicara kepadanya. Maka satu-satunya cara, harus meminta bantuan teman sekelas untuk mendamaikan
Afi menyusun rencana supaya Fai dan Zia tertinggal di kelas hanya berdua saja, mereka mengunci pintu kelas dari luar. Tujuan dari rencana ini agar mereka segera bisa bicara kembali.
"Ok siap" Ucap Davit dari balik pintu berbisik kepada Afi yang jongkok di sebelah kursi pinggir pintu kelas
"Zia.." Ucap Galih memanggil Zia yang keluar kelas mengalihkan perhatian Zia untuk mengurungkan niat keluar kelas
"Belum Galih. Kau bantu dong jangan tanya saja" Ucap Zia kesal dan mendekat ke arah Galih yang duduk di kursinya
"Iya aku bantu, kamu kerjakan makalah kita disini. Aku mau ke kantin dulu, habis dari kantin aku bantu" Ucap Galih meyakinkan Zia
"Kenapa disini? Kan enak di luar dapat udara segar?" Tanya Zia menatap curiga
"Ah sebentar saja, aku cuma beli gorengan. Nanti kalo tempat lain kejauhan" Elak Galih memberi alasan
"Ya sudah cepat ya" Ucap Zia menatap Galih mengancam
"Oke oke" Jawab Galih
Rencana menjebak Zia berhasil, setelah Galih keluar kelas langsung Davit menutup pintu kelas dari luar dan menguncinya meninggalkan 2 orang dalam ruangan.
"Hey.... apa ini? Kenapa pintunya ditutup, buka..." Teriak Zia menuju arah pintu dan mencoba membuka
Fai yang sudah selesai menata buku juga terkejut mendengar teriakan Zia.
"Hei Galih, siapa pun tolong.... jangan iseng deh" Teriak Zia terus menerus
"Gak lucu bercandanya, kalian nanti awas ya kalo aku keluar" Gerutu Zia dengan tangan terus menggedor pintu
Fai hanya bisa duduk kembali ke tempatnya, melihat kejadian penguncian itu Fai tidak bisa melakukan apa pun. Dia tahu semua ini rencana seseorang, jadi hanya tinggal menunggu mereka bosan pasti pintu akan dibuka kembali.
Sedang di luar Afi, Davit dan Galih masih mendengarkan pembicaraan dan menunggu hingga Fai dan Zia berbaikan. Dari luar ada Dosen yang mendengar teriakan Zia dan bertanya pada 3 orang di luar.
"Ada apa itu? Bapak dengar ada ag berteriak?" Tanya Pak Hamdan menanyai Afi yang sudah menghadang 5 meter dai pintu kelas
"Itu maaf Pak ada acara kecil-kecilan dikelas. Mohon maaf jika mengganggu" Ucap Afi mencoba menahan Pak Hamdan menuju pintu kelas
"Oh begitu. Ya sudah Mas, tolong dikondisikan ya. Jangan terlalu keras suaranya" Ucap Pak Hamdan
"Nggeh pak" Ucap Afi senang berhasil menghalau Dosen mengecek ke kelas
Dari luar Davit, Galih dan Afi kompak melakukan tos karena rencana berhasil, sekarang tinggal tugas menjaga ruangan memastikan tidak ada yang akan membukakan pintu hingga Zia dan Fai berbaikan.
Dalam Kelas...
Baik Zia maupun Fai hanya saling menatap tanpa berbicara. Karena sudah hampir satu jam Zia mulai berbicara dengan Fai.
"Fai kamu tidak berbuat apa pun? Kita dikunci lho ini" Ucap Zia pelan dan ragu namun tidak mendapat respons dari Fai
"Fai, maafkan aku. Kamu masih marah kepadaku masalah waktu itu?" Tanya Zia dengan wajah sedih dan mata berkaca hampir menangis
Fai hanya diam mendengar bestienya berbicara di bangkunya. Fai tahu perlu banyak keberanian untuk berbicara lagi, maka untuk itu Fai memilih mencoba menata hati untuk mendengar dulu penjelasan bestienya, baru nanti akan menjawab.
"Fai tolong maafkan sahabatmu yang bodoh ini. Kamu tahu aku kan, aku bodoh, tidak bisa diandalkan, mudah dibohongi. Maafkan aku" Menangis dan mendekati Fai dengan memegang tangannya erat
"Sudah Zia, jangan begini Zia. Semua sudah terjadi, aku sudah memaafkan kamu dari sebelum kamu minta maaf" Balas Fai dan mengusap air mata di wajah Zia
"Terima Kasih Fai. Terus kenapa kamu diam terus? Aku jadi bingung mau ajak kamu bicara" Ucap Zia menatap heran
"Aku hanya sedang menenangkan pikiran, juga memberi ruang kamu untuk sendiri. Aku juga bingung bagaimana memulai berbicara lagi denganmu setelah pertengkaran kita" Ucap Fai menjelaskan dengan mata mulai berkaca-kaca
"Hhheee... kita berdua koyok Fai. Saling diam hanya karena bingung mau bicara apa" Tawa Zia menertawakan kekonyolan diri sendiri dan suaranya terdengar hingga ke luar kelas
Terdengar keras suara sorak di luar kelas...
"Hore.... berhasil" Kompak Afi, Davit, dan Galih dari luar pintu kemudian membuka pintu kelas yang sebelumnya dikunci
"Gitu dong akur lagi" Ucap Davit mengawali bersamaan membuka pintu kelas
"Hehhheee... ini ide kamu Vit? Terima Kasih" Ucap Fai dan Zia kompak
"Hhh... iya tapi bukan aku saja ada Afi dan Galih juga" Jawab Davit kemudian menoleh ke arah Afi yang ternyata dari tadi sudah pergi
"Lho mana Afi?" Tanya Davit dengan mata bertanya melihat Galih
"Gak tahu, tadi disini" Jawab Galih kebibgungan
Afi sadar dia yang membuat kekacauan persahabatan Fai dan Zia, kini semua sudah diperbaiki. Sebaiknya dia tidak di sana untuk menjaga suasana, jika tetap di sana maka hanya akan membuat kecanggungan di antara semua orang.
******
"Jika memang tidak mengerti perasaan sendiri, coba belajar mengerti dengan bantuan orang lain"
~Gus Vir~
Di daerah Kediri Jawa Timur...
Gus Vir kembali ke Pesantren setelah dari kediaman Kh. Yusuf. Vir merasa lega karena berhasil mengundurkan Pernikahannya. Meski keinginannya sendiri untuk mengundur pernikahan, tapi Vir sendiri sebenarnya tidak yakin kenapa harus diundur. Toh sebenarnya tidak masalah juga jika pernikahan berlangsung, namun jauh di lubuk hati ada perasaan mengganjal tentang Fai.
"Kenapa aku bodoh sekali yakin dengan hal yang belum pasti. Seharusnya aku bertanya dulu, bukan langsung mengiyakan. Kini semuanya sudah terlanjur terjadi, kenapa hatiku terus gelisah menginginkan Fai" Suara hati Vir terus berteriak dan memprotes kesalahan bibirnya yang menjawab iya tentang perjodohan yang telah diatur Abahnya
Entah mengapa setiap membahas pernikahan hati Vir hanya bisa berharap bahwa calonya itu Fai. Alasan menerima perjodohan beberapa waktu lalu juga karena Vir berpikir bahwa calonnya itu Fai. Ternyata Vir salah, bukan putri dari Bapak Huda, tapi putri Abah Kh. Yusuf yang akan menjadi calon istrinya.
"Gus, dari mana tadi?" Tanya Baihaqi dengan menghampiri Vir yang baru saja memasuk ke kamar Ali bin Abi Tholib
"Ikut Abahku Qi, pergi ke kediaman Abah Yusuf" Ucap Vir dengan nada malas
"Kamu ada perlu apa ke rumah Abah Yusuf?" Tanya Baihaqi dengan wajah melongo kaget
"Aku sepertinya akan dijodohkan dengan putrinya Qi." Ucap Vir dengan kaki melangkah menuju lemarinya lalu melepas peci dan meletakkan di dalam lemari
"Anaknya Kyai Yusuf? Yang terkenal cantik dan cerdas itu Vir?" Sahut Gazali dari jauh dan ikut mendekat kearah Vir
"Aku tidak tahu, belum pernah bertemu" Ucap Vir santai dan tersenyum datar
"Wah beruntung kamu Vir. Aku dengar di usianya yang masih 16 tahun, dia sudah jadi Khafidzoh terus kecantikannya sudah banyak yang memuji. Sungguh sempurna baik perilaku maupun parasnya" Ucap Gazali dengan antusias dan mengikuti Vir yang melepas kemeja putihnya dan berganti kaos oblong
"Kamu ini, aku saja tidak tahu bagaimana wajahnya. Sudahlah aku juga tidak tahu bagaimana nantinya kami" Ucap Vir sedikit bernada pesimis
"Kamu kenapa? Kok kayak tidak semangat?" Tanya dua temannya kompak
"Aku itu tidak mengerti bagaimana menghadapi perjodohan ini. Terasa sangat mendadak" Ucap Vir dengan tangan memegang tongkat yang digunakan mengantung baju di dalam kamar dan menaruh bajunya di bagian atap kamar
"Ah kamu banyak mikir. Jalani saja Gus, ini keberuntungan lho buat kamu" Senyum Baihaqi bahagia dengan keberuntungan temannya
"Iya Gus. Jangan di pikir berat, jalani saja" Ucap Gazali menambahi kemudian berlalu bersama Baihaqi meninggalkan Vir
Mata Vir terlihat banyak berpikir, mengapa rasa mengganjal dihatinya itu berat untuk di hilangkan. Meski kini kenyataan sudah didepan mata, kenapa hati selalu berharap yang lain. Mengapa dia tidak bisa menerima calon istrinya sekarang, bahkan harus meminta waktu selama 5 tahun hanya untuk alasan belajar. Hatinya mengendalikan pikirannya sekarang, keinginan untuk menunda bertujuan lain.
"Bodoh, kenapa juga aku meminta waktu hingga 5 tahun? Apa sebenarnya aku pikirkan? Aku bingung dengan kata-kata yang aku ucapkan sendiri tadi" Gerutu Vir di masih menggenggam tongkat baju dan terus memikirkan kata-katanya pada Kh. Yusuf tadi
Vir merasa niatnya sebenarnya bukan hanya untuk belajar, tetapi untuk melupakan keinginannya yang masih mengharapkan Fai. Benarkah hatinya sudah tertawan oleh gadis mungil berparas cantik yang membuatnya tertawa, saat pertama bertemu. Semua karena wajah imut yang bertanduk es krim itu?
Universitas Kediri....
Presentasi sedang berlangsung, dan yabg bertugas hari itu adalah Gus Vir bersama Baihaqi, mereka berdiri di depan kelas.
"Baiklah untuk selanjutnya pembahasan akan dibawakan kawan saya Vir" Ucap Choliq mempersilahkan Vir melanjutkan dan menyodorkan mikrofon
Tetapi Vir hanya terdiam tampah suara
"Vir..." Ucap Choliq dengan tangan menyentuh pundak Vir
"Ah.. iya?" Ucap Vir keget
"Kamu yang bahas" Ucap Choliq menyerahkan mikrofon
Begitulah keadaan Vir setelah mengundurkan pernikahan, setiap hari ada saja keadaan dia seperti tidak berada di tempat yang ditempati. Dia terasa hanya duduk tapi berpikir ke tempat lain, raganya dihadapi teman-temannya tapi pikirannya ditempat lain.
"Kamu kenapa Gus? Akhir-akhir ini sering tidak bisa diajak serius?" Ucap Fadil dengan tangan memegang mendoan yang dibeli dari kantin kampus
"Tidak kok. Memang aku kenapa?" Ucap Vir bingung
" Kamu itu seperti orang hidup tapi nyawanya melayang-layang. Kau sering kalau diajak bicara tidak menjawab, seperti linglung. Kamu ada masalah apa? Kamu tidak begini sebelumnya" Penjelasan Fadil dengan wajah kesalnya yang berpipi besar nan gemuk
"Seperti itukah aku sekarang?" Ucap Vir merasa sedih
"Kenapa Gus?" Ucap Fadil memperhatikan saksama dan merasa sedih juga mendengar pertanyaan Vir
"Aku sepertinya sudah terpikat dengan seorang gadis. Tapi sekarang karena kebodohanku, aku menerima perjodohan yang tidak aku harapkan, huff..." Ucap Vir sangat pelan nan sedih dengan wajah menunduk dan menghela nafas panjang
"Wah berat ini. Kenapa tidak mengungkapkan sekarang Gus?" Saran Fadil dengan suara mantap dan keras
"Suttt.. jangan keras-keras" Vir mengisyaratkan Fadil diam dengan tangan menutup mulut Fadil
"Eh.. maaf. Jadi bagaimana Gus? Apa tidak ada keinginan merubah keadaan?" Timpal Fadil setelah menyingkirkan tangan Vir
"Sulit melakukannya Fadil. Aku akan menyakiti banyak orang, semua sudah terlanjur terjadi" Ucap Vir menyerah
"Tapi bukannya ini akan menyakiti Gus nantinya?" Ucap Fadil berwajah iba kepada Vir
"Aku akan mencoba melupakan perasaanku, lagi pula waktu yang aku minta sepertinya cukup untuk melupakannya" Ucap Vir mantap dan tersenyum
"Aku doakan yang terbaik untuk Gus. Semoga apa pun pilihannya itu akan membawa kebaikan dan kebahagiaan" Ucap Fadil dengan senyum cerah
"Terima Kasih Fadil" Merangkul pundak Fadil dan terus berjalan menuju kelas setelah usai makan siang di kantin tadi
Namun tetaplah manusia tidak pernah bisa mengatur hatinya, jika memang sudah di titipkan sebuah rasa. Maka yang terjadi hannyalah bisa pasrah, mau berbuat apa pun jika hati ditakdirkan mencintai seseorang. Maka sekuat tenaga menghalau perasaan cinta tetap tidak bisa hati ini membohongi dirinya lagi.
"Mencoba melupakan hanya makin menyakitkan untukku, bagaimana harus aku kendalikan hatiku ini? Bagaimana memaksanya untuk menurut padaku?" Setiap malam pertanyaan ini selalu berputar-putar di otak Vir.
Setiap akan tidur karena kegiatan Ponpes telah berakhir. Ketika tubuhnya berbaring dan mata menatap atap kamar, pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul dan belum memiliki jawaban apalagi solusi.
Pagi hari saat akan berangkat ke Kampus Vir...
"Gus, sarapan dulu" Ucap Fadil mengingatkan Vir yang sudah rapi padahal masih jam setengah 7 pagi
"Tidak Fadil. Aku harus berangkat sekarang" Ucap Vir dengan langkah terburu-buru
"Mau kemana? Masih pagi" Ucap Baihaqi dan menepuk punggung Vir yang sudah melangkah setengah jalan di tangga kamar
"Mau menenangkan pikiran dulu Qi. Assalamualaikum" Ucap Vir dengan berlalu melangkah cepat menuju tempat parkir sepeda
Di parkiran berjajar banyak sepeda, didominasi itu sepeda unta/ othel kuno. Tapi tidak luput juga terdapat sepeda modern umumnya. Vir juga memilih menggunakan sepeda jengki buatan Miyata yang disebut sepeda The Mister.
"Gus, mau ke mana pagi begini?" Ucap Gus Avis menanyai karena kebetulan lewat selepas membuang sampah
"Ke perpustakaan kampus Gus, mari" Ucap Vir sudah mulai mengayuh sepedanya cepat
Menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan menjadi pilihan Vir, ketika mendapat banyak kesulitan maupun sedang mendapat masalah. Kesenangannya yakni mencari buku membaca dan menemukan sesuatu untuk membuat moodnya lebih baik. Semakin tersiksa dengan bayangan yang tentang Fai, membuat pelampiasan membaca buku menyenangkan. Vir bisa seharian berada di perpustakaan jika tidak ada yang mengingatkan untuk istirahat.
"Gus, tuh kan di sini lagi. Sekarang kenapa lagi?" Ucap Fadi yang paham tentang kebiasaan Vir yang suka melampiaskan kesedihan dengan berdiam dan membaca banyak buku perpustakaan.
"Eh kamu Fadil. Sudah tahu saja alau aku akan kemari" Senyum Vir malu ketahuan lari ke perpustakaan saat dapat masalah
"Ini Gus. Makan dulu, kalau tidak mau aku suapi ya?" Ucap Fadil yang sanagt perhatian dengan Vir, mereka sahabat dari kecil. Jadi Fadil paham betul perasaan kebiasaan maupun kelakuan Vir yang banyak tidak diketahi orang-orang
"Eh di perpus tidak boleh makan Fadil. Sudahlah nanti aku makan" Ucap Vir kembali fokus menatap buku berjudul "Melepaskan"
"Gus, apa lagi ini? Apa yang buat Gus galau? Aku tidak bisa di bohongi, ini kebiasaanmu. Saat ada masalah kau akan seharian di perpustakaan hingga tutup" Timpal Fadil dan tangan menutup halaman yang sedang dibaca Vir
"Iya-iya. Sini biar aku makan di luar" Mengambil nasi bungkus ditangan Fadil dan beranjak dari kursi keluar perpustakaan untuk makan di kursi taman
Begitulah kebiasaan yang selalu dijaga, Fadil selalu menjadi sahabat yang membantu Gus Vir dalam menangani setiap masalahnya. Tumbuh bersama dari masih duduk di bangku SD membuat kedekatan keduanya tidak lagi bisa menyembunyikan apa pun.
"Gus, kamu masih memikirkan masalah perjodohan yang tidak ada solusinya?" Tanya Fadil serius yang berdiri dekat Vir yang makan di kursi taman depan perpustakaan
"Sudahlah Fadil. Ini hanya masalah waktu, lagi pula waktu yang aku punya masih panjang" Ucap Vir optimis meski matanya terlihat tidak yakin
"Cukup Gus. Untuk apa membohongi hati? Katakan saja kepada Abah Gus, saya yakin pasti akan mengerti. Jika terus begini nanti kesehatan Gus juga pasti akan terpengaruh" Ucap Fadil Khawatir dengan kesehatan Vir
"Hhh... kamu serius sekali. Aku ini masih muda, aku sehat Fadil. Abah memilihkan yang terbaik untukku. Jadi aku harus bisa menghargai dan menerimanya, menggagalkan sesuatu yang sudah disepakati seperti ini tidaklah benar Fadil" Ucap Vir panjang lebar
Kekhawatiran Fadil benar, kebiasaan Vir membaca buku terus berlanjut berhari-hari. Hingga beberapa kali harus dibangunkan penjaga perpustakaan saat tertidur karena perpustakaan harus tutup jam 5 sore. Keadaan itu berpengaruh pada kesehatan tubuh Vir, setiap ada waktu luang perkuliahan dan jam makan selalu saja Vir berada di perpustakaan sendiri. Ini membuat tubuhnya melemah dan terserang sakit kambuhan yakni maag. Membuat Gus Vir sakit hingga tidak bisa berdiri dari tempat tidur berhari-hari. Karena ini dia kemudian dibawa pulang ke Semarang.
Di Ponpes Al-Matshuriyah Semarang(Rumah Gus Vir)...
Gus Vir harus mendapat perawatan dokter selama 2 minggu. Kepanikan ibunya jelas sangat terlihat, terakhir kali melepas anaknya tidak dapat mengantar hingga Ponpes. Justru sekarang pulang dengan keadaan sakit.
"Kamu kenapa Vir? Seharusnya kamu tahu kalau penyakit maag itu mudah kambuh, seharusnya kamu menjaga pola makan" Ucap Ibunya khawatir duduk di samping Vir yang terbaring di kasur
"Nggeh Bu. Maaf Vir tidak hati-hati menjaga kesehatan" Senyum Vir meminta Ibunya tenang dan menggenggam tangan Ibunya
"Ya sudah kamu istirahat. Nanti ibu buatkan bubur" Ucap Ibu Adawiyah berwajah khawatir tetapi tetap penuh kasih sayang mengelus lengan putranya
Guz Vir meraih ponsel di atas meja belajar, tepat pinggir kasur. Dibukanya media sosial Instagram miliknya, mengecek DM berkali-kali. Menatap ponsel dengan wajah penuh harap, terlihat jelas banyak pesan di sana. Namun pesan dari orang yang diharapkan ternyata tidak ada. Vir memang hanya bisa menggunakan ponsel ketika berada dirumah, meski sebenarnya bisa meminjam ponsel Gus Avis sahabat baiknya, yang merupakan putra Abah Mahrus (Kyai dari Ponpes Lirboyo) tempat Vir menuntut ilmu. Tetap saja Vir selalu mengurungkan keinginannya bermain ponsel, untuk menjaga fokusnya dalam perkuliahan.
"Ah... kenapa tidak ada pesan satu pun dari Fai" Ucap Vir dalam hati dengan berwajah kecewa menatap ponsel dengan penuh harap
Fai memang menyudahi semua kontak dengan Gus Vir, semenjak mengetahui Gus Vir dijodohkan Fai mencoba segalanya untuk melupakan. Mulai dari menghapus pesan DM Gus Vir, hingga sangat keras menahan keinginan hati dan tangannya untuk membuka dan mengecek Ig Gus Vir lagi.
"Kenapa aku sangat mengharapkan pesannya?" Ucap Vir lirih dan mengubah posisi berbaringnya menghadap kearah kanan, tepat bagian jendela kamar yang menghadap balkon rumahnya yang berlantai 2
Kelakuan Gus Vir ini terus berulang beberapa hari. Mengecek ponsel berkali-kali hingga lelah sendiri. Akankah ada pihak yang akan merasakan sakit yang sulit ditanggung, hingga muncullah keinginan menyudahi saling membisu.
Ibu Adawiyah masuk kamar dan membawakan bubur hangat.
"Vir" Sapa Ibunya pada Vir yang menghadap ke sisi lain
"Iya Ibu" Ucap Vir dengan wajah sedih tapi coba ditutupi dengan senyuman
"Kamu kenapa? Makan dulu ya nak" Membantu menegakkan tubuh Vir yang terbaring di kasur agar bisa makan dengan nyaman
"Kmu mau cerita apa ke Ibu. Cerita saja, mengatakan kata hati akan menyudahi rasa sesak yang tersimpan, coba ceritakan apa masalahmu. Ibu bisa tahu kamu sedih Vir, kamu ada masalah apa?" Ucap Ibu Adawiyah dengan tangan menyuapi bubur hangat kepada Vir
"Tidak ada Ibu" Jawab Vir
"Kamu itu tidak pandai bohong dengan Ibu. Ibumu ini sudah merawatmu 21 tahun, mana bisa kamu bohong pada Ibumu ini" Senyum Ibu Adawiyah menggoda putra sulungnya berharap, Vir menceritakan kegundahannya
"Ibu, apakah kalau tidak bisa memahami perasaan perlu bantuan orang lain untuk mengetahuinya?" Ucap Vir bertanya dengan tatapan polos
"Iya, jika manusia sendiri sulit tahu kesalahannya dan butuh orang lain untuk menunjukkan kalau dirinya salah. Maka manusia juga butuh orang lain, saat dia tidak tahu cara memahami perasaannya Vir. Melihat pendapat orang lain kadang diperlukan untuk mengetahui kekurangan dan kesalahan kita, meski tetap harus pada porsi wajar. Jika berlebihan kamu nanti akan jadi orang yang terus memikirkan apa kata orang Vir" Senyum Ibunya tulus dan terlihat cantik sekali
"Iya Bu." Ucap Vir lega mendengar jawaban Ibunya
"Kamu kenapa bertanya begitu? Kamu ada sesuatu yang tidak dimengerti?" Tanya Ibunya Penasaran
"Tidak Bu, cuma ingin tahu perkataan temanku benar atau tidak Bu" Jawab Vir seadanya
"Hhh... kamu ini. Sudah jangan banyak berpikir, mendapat saran dari orang lain itu baik selagi membangun Vir. Tapi kalau sudah ke arah menjatuhkan jangan di dengar" Ucap Ibunya dan beranjak karena bubur di mangkuk telah habis
"Ibu, tentang perjodohan. Apa pendapat Ibu?" Ucap Vir menghentikan langkah kaki Ibunya yang membawa nampan yang di tasnya ada mangkuk bubur yang sudah kosong
"Hah, perjodohan? Ibu setuju saja Vir. Karena itu juga pilihan Abahmu, pasti itu baik. Sudah jangan kebanyakan mikir, sehatkan duku badanmu nanti kita ngobrol banyak. Ibu ke dapur duku" Menjawab dengan santai dan diselipkan senyum bahagia
Mendengar ucapan Ibunya, Vir yakin kalau kata Fadil benar. Mungkin memang sulit menanggung rasa sakit ini nantinya, tapi melihat bagaimana senyum bahagia Ibunya membuat Vir semakin sulit untuk menolak. Biar takdir Allah SWT berjalan sesuai kehendaknya, manusia hanya bisa menjalani. Jika memang Fai tidak pernah ada dalam catatan takdir Vir maka tidak akan pernah akan bersatu, tapi jika Fai itu tercipta untuk melengkapi Vir maka pasti akan dipersatukan.