Sebuah kamar terasa hangat, kamar dengan ornamen kayu memiliki desain yang minimalis dan klasik. Lantai kamar tidur yang terbuat dari kayu terlihat senada dengan warna dan model tempat tidur untuk meletakkan kasur. Kesan modern terlihat dari dinding warna abu-abu terlihat ciamik dan senada. Aksesoris lain cermin dan foto masa kecil yang menempel di dinding yang terdapat sentuhan lukisan bunga Seruni (krisantemum) kecil-kecil, terdapat meja dan lampu tidur di sisi kiri tempat tidur. Cahaya kamar masuk dengan baik karena bagian kanan didominasi kaca meski ada penutup gorden. Seorang Gadis muda duduk termenung menatap gorden kamar berwarna putih berhias pernak-pernik mutiara.
Wajah putih mungil, mata besar dengan lipatan kelopak dalam dan bibir dengan ketebalan yang pas menjadi poin spesial yang penuh daya tarik, mata indahnya menatap nanar membayangkan banyak masalah yang menimpanya.
Tok, tok, tok...
Suara orang mengetuk pintu kamar yang memang masih terbuka, membuat gadis itu seketika berbalik dan melihat seorang perempuan memakai baju kurung hijau tosca dan sarung batik mendekat.
"Ning kenapa?" Ucap perempuan itu masih berdiri di belakangan gadis
"Tidak ada Mbak, tolong keluar" Ucap gadis dengan sedikit emosi
"Ning Mbak Sufi temani ya? Umi bilang Ning Syla belum makan dari pagi. Mau Mbak ambilkan?"
"Tidak usah, aku tidak mau ditemani. Mbak keluar saja sana"
" Ning Syla tidak boleh begini nanti sakit. Ning itu sudah besar harus bisa berlaku adil pada diri sendiri maupun pada orang lain"
"Lalu mereka yang sudah dewasa bisa seenaknya mengadili aku Mbak? Mereka bisa sesukanya menentukan kehidupanku? Apa mereka adil kepadaku?" Mata Syla terlihat menahan isak tangisnya
"Ning Syla, istigfar Ning. Jangan berkata begitu, mereka orang tua Ning" Mbak Sufi duduk dan merangkul punggung Syla
"Lalu kalau mereka orang tua, apa mereka bisa mengambil hakku Mbak? Bukanya seharusnya setidaknya sekali menanyakan pendapatku?"
"Maksud Ning apa? Apa ini tentang perjodohan Ning?"
"Iya Mbak, seharusnya aku bisa berpendapat, yang menjalani nanti aku kan Mbak?"
"Iya Ning. Cepat maupun lambat seorang wanita memang harus menikah, Ning juga pasti mengalami. Apa salahnya jika orang tua Ning membantu mencarikan jodoh Ning" Senyum Mbak dalem yang sudah lama melayani dan dekat dengan keluarga Syla.
"Tapi buatku ini terlalu mendadak. Seharusnya aku bisa dapat hakku untuk menyuarakan keinginanku? Aku tidak kenal calonku, juga ini terlalu terburu-buru"
"Kenapa Ning? Tenang saja, Ning itu cantik sekali. Bahkan kalau Mbak lihat mirip sekali Lisa Balcpink. Pasti calon Ning orang yang tampan dan sudah pasti orang yang terpilih. Jadi tidak akan mengecewakan" Senyum Mbak Sufi mengembang
"Bukan itu Mbak, ah... aku belum siap menikah" Suara Syla mulai berteriak
"Suatu saat pasti, Mbak yakin Ning akan siap dengan berjalannya waktu"
Kata terakhir Mbak Sofi menenangkan Ning Syila dan kembali sibuk mengerjakan tugas membersihkan kamar. Mbak Sofi santri paling dekat dengan Syila. Mbak santri dalem yang sudah 6 tahun mondok di Pesantren Al Mubtadi'in Probolinggo itu.
Rumah besar yang dihuni hanya tiga orang yakni Ning Syila dan kedua orang tuanya. Memang tidak terlalu sulit membersihkan, hanya terdapat dua kamar dan beberapa ruang besar lain yang menjadi komponen penting rumah. Seperti ruang tamu dengan perpaduan warna apik antara krem, putih, dan juga coklat yang memiliki luas 49 Meter Persegi. Kemudian ruang tamu dan dapur yang tidak kalah luas sekitar 30 Meter Persegi, dapur yang luas Model dapur kontemporer yang disesuaikan perkembangan zaman. Dapur kontemporer ini memiliki kabinet dan meja dapur senada atau kitchen island. Untuk peralatan memasak, seperti wajan, spatula, saringan , atau panci disimpan di dalam lemari kabinet agar lebih tertata rapi. Enak dipandang dengan sentuhan warna putih dan peralatan memasak berwarna solid yang begitu menyatu.
Mbak Sofi selesai membersihkan kamar Syla dan keluar untuk lanjut membersihkan ruang lain. Sedang di kamar Syla mengubah posisi berbaring dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.
"Aku mencoba untuk meluapkan amarahku. Tapi, jika hanya aku di rumah ini yang peduli, apa gunanya? Ketika pagi tiba, aku takut untuk membuka mataku. Bahkan, aku sangat takut hanya untuk sekadar bernafas" Deru suara hati Syla meratapi nasibnya
"Mengapa setiap detik yang aku rasakan tidak ada perasaan lega. Hanya sesak yang terus mengikat tubuh ini" Ucap Syla menangis di dalam selimut yang menutupi wajahnya dan seluruh tubuh.
"Syla, kamu sedang apa Nduk?" Tanya Umi Salamah mendekati Ning Syila dan menyentuh selimut yang menutupi tubuh putrinya
Syla tidak menjawab terus diam, dia tidak ingin menatap Uminya dengan wajah penuh air mata itu. Jika begitu bisa jadi Uminya akan ikut sedih. Biar kesedihan itu menjadi dukanya, Uminya sebenarnya tahu putrinya sedih tapi untuk meredakan kesedihannya Syla butuh waktu sendiri.
"Umi tinggal ya Syla. Ini sudha mau sore, nanti kalau sudah waktu makan malam kamu makan ya Nduk. Dari pagi perutmu belum terisi, tidak baik menyiksa diri sendiri" Ucap Umi Salamah dengan senyuman tulus meski tidak dilihat putrinya.
******************************
Syla sudah selesai membersihkan diri, kini dia berpakaian rapi nan cantik. Memakai pakaian yang diberikan Uminya untuk hari kelahirannya ke 19 tahun. Pakaian syar'i berwarna salem berupa dress yang memiliki detail cape, kombinasi bahan brokat dan satin terlihat berbeda dan elegan. Sangat pas dengan kulit putih Ning Syla, dia keluar kamar dan menuju ke ruang makan untuk makan malam bersama Abah Yusuf dan Umi Salamah. Belum sempat sampai di ruang makan Ning Syla terjatuh tidak sadarkan diri, ini menghebohkan suasana di ruang makan terdapat beberapa Mbak Santri dalem juga.
"Astagfirullah Ning Syla" Ucap Mbak Sofi yang pertama melihat Syla terjatuh
Kemudian seluruh mata tertuju kearah Syla yang sudah terkapar di lantai.
"Ning..."Ucap beberapa Mbak Santri bersamaan
"Syla..." Ucap Umi Salamah bangkit dari kursi dan menuju ke arah Syla
Syla dipindahkan ke kamar, satu jam Umi Salamah menunggui di kamar Syla hingga sadar. Langsung memberi minum lalu menyuapi putrinya dan membiarkan waktu istirahat dengan tenang. Umi Salamah tahu putrinya tidak bisa bercerita untuk saat ini, lebih baik membiarkannya beristirahat.
"Syla Umi tinggal ya, istirahat dulu. Janagan bayak berpikir"
"Nggee Umi"
"Mbak Sofi hari ini tidur di kamar Syla nggeh. Biar Syla ada temannya malam nanti" Ucap Umi Salamah meminta Mbak Sofi tetap di Ndalem (Rumah Syla)
"Nggeh Bu Nyai" Ucap Mbak Sofi dan mengangguk hormat
Umi Salamah meninggalkan kamar Syla, sedang diluar Abah Yusuf sudah menunggu dengan wajah cemas di sofa samping pintu kamar Syla.
"Umi, gimana Syla?" Tanya Abah Yusuf dengan wajah penuh tanya
"Tidak apa-apa Abah. Cuma kecepekan, sudah Umi suapi makan malam. Biar Syla istirahat dulu"
"Tapi Syla kok sampai pingsan, bukannya dia tidak pernah begini. Apa tidak berbahaya Umi?"
"Tidak Abah, sudahlah jaga terlalu khawatir Abah, sekarang giliran Abah yang harus minum obat rutinnya" Tatap romantis Umi Salamah untuk menghilangkan kekhawatiran Abah Syla
"Iya Umi" Berjalan lebih dulu di depan Umi Salamah menuju ke kamar
Semua pengalihan Umi Salamah bertujuan agar Abah Yusuf tidak terlalu khawatir. Meski sebenarnya Umi Salamah juga khawatir, putrinya memiliki permasalahan yang tidak igin dibagi. Setahu Umi Syla, putrinya selalu bisa bercerita dengan leluasa terkait perasaannya. Namun sekarang terlihat menyembunyikan dan menjadi pendiam.
//////////////////////////////////////////////////////
Syla dikamar ditemani Mbak Sofi terus terdiam. Mbak Sofi melaksanakan tugas Ibu Nyai Salamah menemani Syla, duduk di samping Syila di kasur kemudian mencoba membuat suasana diam menjadi lebih akrab.
"Ning masakan Mbak enak kan? Tadi capcai Mbak yang buat, ada kemajuan kan, udah gak asin lagi lho" Senyum Mbak Sofi cerah
"Mbak Sofi, maafkan Syla ya. Tadi Syla marah-marah ke Mbak Sofi" Wajah penuh penyesalan Syla
"Iya Ning. Tidak apa-apa kok, Mbak Sofi tahu Ning tidak marah Cuma sedang kesal sendiri"
"Tapi Sya udah marah-marah keterlaluan ke Mbak Syla, maaf ya"
"Iya tidak apa, Mbak Cuma pengen Ning Syla normal lagi dan legowo menerima takdir"
"Syla cuma terkejut Mbak, Syila takut akan mengalami kejadian yang tidak bisa diterima"
"Apa Ning kejadian tidak bisa diterima? Pilihan orang tua itu yang terbaik, ketika memang sudah takdir pasti akan terjadi. Tenang saja jika memang jodoh maka Ning akan bersama calon dari Abah, jika bukan jodoh pasti akan dipertemukan dengan yang benar-benar jodoh Ning"
"Iya Mbak, tapi takdir masih bisa di usahakan untuk lebih baik kan mbak?
"Memang benar Ning. Tapi apa Ning tidak berpikir tentang keberlangsungan Pesantren Al Mubtadi'in?"
"Maksudnya apa Mbak?" Terbengong
"Ning Syla kan perempuan, anak tunggal Abah Yusuf dan Umi Salamah. Bukankah penting mendapatkan calon suami terbaik dan kalau bisa meneruskan dan memajukan Pesantren ini?"
"Iya Mbak terus kenapa?"
"Berarti Ning Syla harus benar-benar memikirkan perjodohan ini. Semua ini demi kelangsungan Pesantren Al Mubtadi'in Ning. Keputusan Orang tua Ning sudah yang terbaik"
"Pesantren lagi? Kenapa aku harus terus megalah untuk Pesantren Al Mubtadi'in, apa aku tidak penting? Kenapa semua orang hanya peduli tentang Pesantren ini?"
"Bukan begitu Ning. Sudah sepantasnya seorang Ning mendapatkan jodoh terbaik, jadi pilihan orang tua Ning ini pasti istimewa Ning"
"Terserah, aku tidak peduli. Aku masih banyak keinginan untuk belajar tapi selalu dihentikan Abah, aku hanya bisa sekolah sampai MA" Isak tangis Syla pecah dan sesenggukan meski bersuara pelan
"Ning jangan nangis. Kan selama ni Abah juga tidak melarang Ning sekolah, kewajiban sekolah 12 tahun juga sudah dilakukan Ning kan? Masuk perguruan tinggi bukan kewajiban Ning"
"Lalu aku hanya boleh mengenyam pendidikan hanya karena aku perempuan? Aku degar calonku itu akan menyelesaikan kuliahnya. Dia bahkan meminta waktu dan bebas berpendapat, tapi di sini satu pun orang tidak ada yang bertanya apa keinginanku" Masih terisak dan mata terlihat marah menatap tajam Mbak Sofi
"Tapi Ning, bukankah semua akan tetap baik-baik saja tanpa mengenyam pendidikan kuliah?" Ucap Mbak Sofi ragu-ragu
"Tidak bisa Mbak. Semua akan terasa berbeda, pengalaman yang dirasakan juga akan berbeda"
"Baik Ning, sudah tenang dulu. Minum dulu Ning" Menyodorkan gelas kaca yang tersedia di meja kecil samping tempat tidur
Syla menerima dan meminumnya, sesenggukannya reda. Tapi wajah terlihat penuh pikiran, hingga mengucap kembali.
"Apa menjadi anak perempuan akan membebani Pesantren atau Pesantren ini yang selalu membebaniku Mbak?" Ucap Syla lirih
"Ning jangan begitu. Semua sudah ada yang mengatur, pasrah diri saja dengan takdir Ning" Tersenyum manis Mbak Sofi yang berwajah bulat, berkulit sawo matang dan punya lesung pipi.
"Tapi kenapa selama ini langkahku selalu terhenti, aku harus terus memikirkan Pesantren ini. Aku dan Pesantren ini terlihat lebih penting Pesantren ini" Ucap Syla makin emosional
"Ning, semua di dunia sudah ada yang mengatur. Ning harus menerima takdir mengemban dan memajukan Pesantren ini, keberuntungan tidak di miliki setiap orang. Ning beruntung punya keluarga dengan keadaan baik dan kuat agama"
"Iya Mbak. Justru karena ini banyak mimpiku terhenti"
"Kalau Ning berbicara, pasti akan ada solusi. Berbicara saja dengan Umi Ning, nanti juga akan ada solusi" Wajah Mbak Sofi mulai iba dengan keadaan Syla
"Baik Mbak aku akan coba. Aku juga punya pilihan untuk diriku" Merasa lebih baik dan menutup muka dengan selimut lagi
******************************
Keesokan harinya Syla menuju ke taman samping rumah. Uminya duduk menikmati suasana taman penuh tumbuhan dan pohon yang menyegarkan pikiran.
Taman samping rumah yang terinspirasi dari gaya Jepang, hadirkan taman samping rumah bergaya zen garden yang adem. Didominasi dengan batu kerikil, condong pada kehadiran dekorasi menawan. Mulai dari patung miniatur, jembatan mini pelengkap, hingga beberapa tanaman ramping, termasuk bambu.
Syla mendekati Umi Salamah yang duduk santai setelah dari area asrama santri, usai jadwal mengajar setor hafalan Al-Qur'an. Syla merangkul dari belakang.
"Umi..." Merangkul Umi Salamah yang duduk satai di kursi taman dan bernada manja
"Iya Syla kenapa?" Tanya Umi Salamah dengan wajah menoleh memandang putri cantiknya
"Umi, Syla ingin bicar"
"Iya Syla duduk sini sebelah Umi"
Setelah duduk di samping Uminya Syla memulai berbicara
"Umi, Syla boleh membatalkan perjodohan Syla?"
"Loh, ada apa Syla? Kenapa dibatalkan?" Umi Salamah terkejut
"Syla belum siap, juga tidak kenal orang akan dijodohkan dengan Syla Umi" Mata Syla berkaca-kaca
"Jangan begini Nduk. Nanti kamu pasti akan kenal, nanti ada waktu kalian bertemu. Pilihan Abah ini baik untukmu Syla"
"Tapi Syla belum mau menikah Umi. Syla masih mau belajar, kuliah seperti teman Syla yang lain" Bernada kesal
"Loh Syla masih mau kuliah? Abah kan sudah jelaskan Syla sudah cukup belajar akademisnya..."
Tapi Syla masih mau belajar Umi, kenapa hanya laki-laki yang boleh. Syla dengar calon Syla sudah hampir sarjana" Mulai bersuara bergetar akan menangis
"Dia laki-laki Syla. Tidak terbatas, kamu perempuan terdapat banyak batasan yang harus dipertimbangkan" Nada Umi Salamah khawatir
"Lalu hanya laki-laki yang boleh mengejar cita-citanya Umi?"
"Apa hanya laki-laki yang bisa menuntut ilmu setinggi mungkin? Bukannya ini tidak adil Umi?" Ucap Syla dan mata sudah menitikkan air mata
"Syla jangan menangis. Hai, gini sayang... Umi akan coba bilang ke Abah. Semoga Abah izinkan ya" Umi Salamah panik melihat putrinya menangis dan memeluknya
"Umi janji akan bantu Syla berbicara dengan Abah?" Tanya Syla bersemangat
"Iya Syla, Umi akan tanyakan dulu. Tapi kalau perjodohan sepertinya tidak bisa dibatalkan"
"Kenapa Umi?"
"Ini untuk kelangsungan Pesantren, Abah memilih yang terbaik. Calonmu juga anak teman Abah, dan Umi sudah lihat orangnya"
"Kenapa tidak bisa? Syla yang menjalani Umi, kenapa harus mengalah dengan kepentingan Pesantren"
"Syla tidak boleh berkata begitu. Umi paham Syla, tapi Umi dan Abah juga harus memikirkan keberlangsungan Pesantren, kamu dan pesantren ini itu menjadi satu bagian penting jadi harus mendapat yang terbaik. Umi yakin kamu akan suka ketika sudah bertemu calonmu."
"Umi rasa dia cocok dengan kamu, sangat dewasa dan berwibawa meski masih muda. Bukan hanya Pesantren ini yang harus di atur sedemikian rupa agar maju Syla, tapi kehidupan yang akan kamu jalani juga harus diatur dan rencanakan dengan baik sayang" Ucap Umi Salamah dengan mengelus kepala putrinya yang berbalut kerudung putih
"Tetap saja kalau tidak cocok dengan Syla. Cocok untuk Umi dan Abah belum tentu cocok untukku" Gerutu Syla meski pelan
"Dia orangnya sangat tampan Syla, juga masih muda hanya berbeda beberapa tahun darimu. Sikapnya juga sopan, Umi yakin nanti kalau bertemu kalian pasti cocok"
"Tetap saja Syla tidak suka diatur bahkan hingga hampir seluruh kehidupan Syla, aku ini bukan instansi seperti Pesantren ini Umi. Syla itu manusia yang punya hati. Syla tidak mau dipaksa"
"Ya Syla, nanti kalau kamu sudah bertemu dan masih tidak cocok, kita bicarakan lagi sayang"
"Maaf ya Umi. Mungkin Syla salah, tapi apa mencari keadilan dan menyuarkan hak Syla itu salah?"
"Tidak sayang, sudah benar. Daripada kamu pendam dan sakit sendiri lebih baik kamu ungkapkan seperti ini pada Umi"
"Sudahlah Syla kita lihat saja nanti, kamu kan belum pernah bertemu" Senyum menawan Umi Salamah ditujukan menenangkan kegelisahan Putrinya
Memang selama ini Syla selalu bersekolah di tempat homogen(hanya satu jenis kelamin) yakni satu sekolah hanya perempuan, jadi ketika akan masuk perkuliahan akan ditentang Abahnya sebab pergaulan yang bebas. Tapi Umi Salamah merasa sedih dengan keadaan putrinya, dia yakin putrinya tertekan. Harus ada solusi untuk kegundahan ini atau akan berdampak memburuknya kesehatan fisik Syla seperti tadi malam.
Umi Salamah bertekat akan membujuk suaminya untuk mengizinkan putrinya berkuliah meski pasti aka sulit dan butuh waktu.