Tidak ada yang menyukai perang, karena menyusahkan rakyat jelata dan kehancuran sebuah negara dan peradaban. Perang saudara di Vietnam adalah menyatukan sebuah persatuan yang terbelah dua, walaupun niat nya baik tetapi tetap saja banyak yang di korbankan, Vietnam Selatan yang kalah perang terpaksa angkat kaki dari negeri yang mereka cintai untuk waktu yang lama. Papa ku seorang pejabat negara kemiliteran berpangkat Jendral Bintang dua. Beliau adalah Panglima Perang bagi Vietnam Selatan. Akibat desakan Vietnam Utara, jutaan rakyat meninggal dan mengungsi ke Negara tetangga atau negara kedua.
" Subuh nanti kita harus meninggalkan negeri ini untuk mengungsi, ke negara lain. Pasukan yang kita miliki tidak bisa lagi menahan serangan musuh yang bertubi tubi. Bawa apa yang bisa dibawa, untuk kebutuhan hidup kita di negara lain, nanti nya.
" Kenapa kita tidak ikut berperang sampai detik detik terakhir, papa." Apakah kita harus pergi dari negeri yang telah kita pertahankan selama ini.
" Ada saat nya kita harus bertahan dan saat sekarang ini, kita harus pergi untuk sementara waktu."
" Baiklah, papa." Kalau demikian keadaannya.
Jam empat subuh, kapal kayu yang cuma bisa menampung belasan orang termasuk anak buah kapal meninggal kan pantai Vietnam Selatan, tidak banyak barang yang bisa kami bawa, pakaian seperlunya, perhiasan dan emas batangan milik papa ku yang disemen di haluan dalam kapal. Itulah harta satu satu nya yang bisa kami bawa pergi. Kapal kayu yang kecepatannya lima mil perjam, seperti siput ditengah gurun pasir. Hanya sisi langit yang kelihatan tanpa ada nya pulau atau benua. Menjelang malam, sebuah kapal kecepatan tinggi mendekati kapal kayu yang membawa rombongan pengungsi kami.
Begitu kapal mereka merapat ke kapal kami, empat orang bersenjata lengkap menodongkan senjata nya.
" Kalau kalian ingin pergi dengan selamat, serahkan semua harta bawaan kalian kepada, kami.
Tidak ada yang mengerti apa yang mereka katakan. Papa ku Jendral bintang dua "Kun Cun Tum," mungkin memahami apa yang mereka inginkan. Beliau menyerah kan apa yang ada dia atas kapal kepada kelompok perampok atau keren nya Bajak Laut. Semua barang kami serahkan kepada mereka tanpa perlawanan. Papa ku lebih mengerti keadaan nya, beliau tidak melawan sama sekali dan merelakan para para perampok mengambil barang bawaan kami ke pengungsian.
" Biarkan mereka mengambil semua yang mereka lihat, dari pada kita harus bentrok dengan mereka yang bersenjata lengkap.
" Siap, Jendral." Mereka cuma mengambil barang barang kita yang imitasi dan tidak berharga saja jendral." Barang kita yang berharga masih tersimpan rapi di anjungan.
" Kamu tidak apa apa kan, Nivincu." Dan kamu Nivinli dan Nivinci.
" Kami tidak apa apa papa." Papa bagaimana?
" Papa baik baik saja, Nak." Itulah gunanya kalian papa suruh berpakaian kumal, bau dan coreng moreng oleh oli kotor. Biasa nya mereka bukan hanya merampok barang barang pengungsi saja, juga wanita wanita cantik seperti kalian bertiga.
Dua hari tiga malam kami terombang ambing ditengah lautan lepas, tanpa melihat penampakan sebuah daratan pun. Pagi hari yang ketika kami tersangkut disebuah batu karang yang luas dan dalam. Dengan bersusah payah anak buah papa ku mendorong kapal ke luar dari batu karang. Tuhan masih memberi kami kesempatan untuk menikmati matahari esok dan melanjutkan kehidupan dimasa depan. Sebuah pulau yang penuh dengan pohon kelapa terlihat jelas di haluan kapal.
" Pulau yang eksotis, indah nya pulau ini dengan taburan pohon kelapanya." apakah kita akan mampir di sana dulu papa.
" Betul Nivincu, kita mampir dulu buat mencari air minum dan makanan. Kita sudah tidak punya air minum dan makanan lagi.
Kapal kami sandar langsung ke pantai tanpa hambatan. Lega rasa nya sudah tiga hari tiga malam tanpa leluasa untuk bergerak, aku langsung nyebur ke laut dan berenang untuk membasahi tubuh ku yang terasa lengket dan bau ini. Kami adik kakak berlarian di pantai, bermain air dan bergulingan di pasir putih pulau yang belum kami ketahui apa namanya. Sedangkan para lelaki sibuk memetik buah kelapa muda untuk diminum airnya dan menjadi santapan isinya.
Diseberang nampak pulau besar dengan gunung nya yang tinggi menjulang, mungkin di sana ada kehidupan atau ada penduduk nya, sedangkan disini tidak ada siapa siapa. Malam ini kami tidak meninggalkan pulau ini, karena angin laut lagi kencang. Sebuah rumah singgah kosong menjadi tempat kami berteduh dari hujan dan dingin nya malam ini.
Baik pengungsi pria dan wanita dari keluarga ku, semua nya terlelap karena kecapean dan letih selama pelayaran, kami bertiga Aku Nivincu, Nivinlu dan Nivinci. Kami menikmati panjang nya pantai dan terang nya sinar rembulan malam. Tidak terasa kami sudah berjalan sangat jauh dari rumah tunggu tempat papa ku dan yang lain nya beristirahat.
" Lihat di sana itu, ada api yang menyala." kita lihat yuk! mana tau ada orang di sana.
" Jangan ah, Nivinci." Iya kalau orang baik baik, kalau perampok lagi gimana?
" Kita liat dulu, kakak." mana tau orang baik baik, kan kita bisa minta tolong.
" Boleh juga, tapi kita lihat dari kejauhan dulu." Kalau aman baru kita temui.
Kami bertiga berjalan menuju arah api yang menyala. Dari semak pohon kelapa di ujung pantai timur, kami melihat sepuluh tenda yang sedang berdiri dan sekolompok remaja sedang mengelilingi api unggun. Ada enam orang remaja cewek dan delapan orang remaja cowok dan seperti nya mereka lagi kemping. Setelah merasa keadaan aman dan mereka bukan orang jahat, kami bertiga pun menemui mereka. Seketika mereka kaget dan Berenti bernyanyi melihat kehadiran kami bertiga. Ada yang ketakutan dan kaget, melihat wajah kami bertiga. Mungkin mereka mengira kami hantu atau dedemit kali ya.