Mobil Papa memasuki parkiran rumah sakit. Gue keluar bersama Mama. Ditangan ada kantong makanan yang gue beli di jalan. Entah kenapa, akhir akhir ini nafsu makan meningkat drastis. Kata Mama, itu normal untuk anak seusia gue.
Papa dan Mama berjalan lebih dulu di depan, gue di belakang kini menghentikan langkah saat menangkap sesuatu yang menarik.
"Mama." Gue sedikit berteriak, otomatis dua orang di depan gue menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Ada apa, Yesa?"
"Ma, Yesa pengen beli buah. Itu di seberang ada yang jual."
"Iya, tapi lihat lihat kalo nyebrang, Yesa." Mama mengangguk dan mengambil kantong jajanan dari tangan gue.
Sedikit tergesa, gue berlari kecil menuju penjual buah. Kebetulan jalan di sekitar rumah sakit sedang lenggang, itu mempermudah gue.
Tidak tanggung-tanggung gue membeli 3kg buah apel merah, 3kg buah sunkist dan 3kg buah anggur. Setelahnya gue kembali menuju rumah sakit.
Di koridor, gue berpapasan dengan Suster Elly dan sedikit memberikan senyuman untuknya.
"Yesa?!"
Mendengar ada yang memanggil, gue menoleh dan langsung terkejut. Antara percaya dan tidak, seseorang yang memanggil gue adalah Diego.
Dia terlihat pucat dan di sampingnya berdiri gadis muda belia. "A - aku ingin berbicara padamu."
Ada rasa benci melihat pria ini lagi, tapi membuat banyak pertanyaan bermunculan, maka gue harus mengesampingkan perasaan itu. "Saya juga! terlalu banyak yang ingin saya tanyakan!"
Dia menunduk, gue melongos melihat itu.
Di mana sifat angkuhnya dulu? dan lagi, kenapa dia bersama gadis lain sedangkan Yesi, kekasihnya berbaring tidak sadarkan diri.
Kaki gue melangkah menuju taman rumah sakit. Dari sudut mata, gue menangkap Diego merangkul gadis itu. Dalam hati, gue berkali-kali mencibir kesal, seperti ini pria yang di cintai Yesi? sungguh buta sekali dia.
Di bangku bercat putih, gue duduk dan menatap lurus ke depan. Diego mengambil posisi duduk di samping gue. Gadis yang gue tahu bernama melisa memberikan privasi kepada kami. Sebelum beranjak dia mengusap punggung tangan Diego dan mengatakan,
"it's ok."
Dan itu menambah kebencian gue berkali-kali lipat. Apa yang ada di pikiran pria ini? Dia bermain dengan dua wanita.
Selama beberapa menit, tidak ada yang memulai bicara.
"B - bagaimana keadaan, Yesi?"
"Bagaimana katamu? seharusnya kamu sudah mengetahui jawabannya!"
"A - aku ...maafkan aku?"
Tangan gue terkepal erat dan enggan menjawab.
"Yesi seperti ini sekarang gara gara aku..."
Gue menelan ludah keluh. Sebegitu cintanya Yesi, sampai dia rela kecelakaan demi Diego?
Gue mengangguk mengerti, tanpa menunggu Yesi siuman dan mendengarkan penjelasannya. Gue tahu keputusan apa yang harus gue ambil.
Dengan cepat gue berdiri, karena merasa pertanyaan gue sudah terjawab. Bahkan jawabannya sangat memuaskan sebelum gue bertanya.
Belum sempat gue melangkah menjauh, pergelangan tangan gue di tahan. Tanpa menoleh gue tahu itu ulah Diego.
"Aku belum menjelaskan semuanya," katanya pelan.
"Apalagi yang perlu di jelaskan? semuanya bagi gue sudah jelas! Jelas kalau gue salah karena berada di antara kalian!"
"Tidak! aku yang salah! aku menjebak Yesi! Aku yang membuat dia datang ke club untuk menemuiku dan mengancam kalau dia tidak datang. Suara Diego bergetar. "Aku mengancam kalau dia tidak datang, aku akan mencelakai kamu! Dan Yesi sama sekali tidak tahu akan hal itu!"
Mata gue terbelalak kaget mendengarnya, secepat kilat gue berbalik menatap tajam Diego.
"Dasar....kamu laki laki brengsek!" Gue kehabisan kata-kata untuk menyerapahi pria ini.
"Aku tahu," katanya serak. "Aku terlalu terobsesi dengan Yesi, sampai hal apapun aku lakukan untuk mendapatkan cintanya! Dan sore itu, Yesi datang. Dia bahkan meminta bantuan, memohon untuk menjelaskan padamu kalau itu hanya kesalahpahaman. Dia memohon dengan setengah memaksa dan merendahkan dirinya kepadaku!"
"Kamu tahu, Yesa?" Dia tersenyum miris. Hatiku sakit melihatnya seperti itu, dia terlalu mencintaimu sampai melakukan hal-hal rendah! Egoku sangat tinggi, tentu saja aku tidak mau menuruti kemauan, Yesi. Bahkan aku memilih berlari di banding melihat hubungan kalian membaik."
Tubuh gue bergetar hebat mendengar penjelasan Diego. Lagi lagi gue terduduk lemas di rerumputan hijau. Sesak dada gue mendengar hal itu. Sangat sesak sampai gue benar benar sulit bernapas.
"Seharusnya.... seharusnya aku yang tertabrak, tapi Yesi menyelamatku. Yesi memilih mendorongku. Sebagai ganti tubuhnya yang tertabrak mobil. Dan sebelum kesadarannya benar benar hilang, dia memohon padaku untuk menjelaskan padamu kalau aku dan Yesi tidak memiliki hubungan seperti yang kamu kira, Yesa."
Diego meremas rambutnya dan tubuhnya semakin bergetar. "A - aku bersalah pada kalian, maafkan aku."
*****
"Tidak Diego! sampai kapanpun gue nggak akan pernah memaafkan kamu! biar rasa bersalah menghantuimu sampai kapanpun! ingat itu Diego!" Telunjuk gue teracung di depan muka Diego.
Tanpa menunggu apa apa lagi, gue berlari pergi dari hadapan Diego. Tangan gue terkepal menahan rasa sakit bercampur sesak di dada karena sangat membenci Diego.
Membenci dia yang ada di tengah tengah gue dan Yesi, membenci dia yang menghancurkan hubungan kami, dan benci karena membuat gue tidak mempercayai Yesi.
Dengan kencang gue mendorong pintu ruang ICU dan mendekat ke tempat Yesi berbaring lalu duduk dan mengambil tangannya, gue mencium punggung tangan Yesi.
"Seharusnya gue mempercayai kamu, Yesi. Seharusnya gue mendengarkan penjelasan Yesi lebih dulu. Gue yang salah! seharusnya gue yang pantas di hukum!" Gue memukul mukul dada yang terasa semakin sesak.
Mama mendekap tubuh gue yang bergetar. "Yesa, ada apa?" tanyanya lembut sambil menggenggam tangan gue.
"Yesa bersalah, Mama. Yesa seharusnya mendengarkan penjelasan, Yesi. Seharusnya nurutin kata kata, Mama.
"Yesa, dengar!" Mama memegang kedua bahu gue. "Kamu tidak salah apa apa! Ini hanya musibah, bukan salah kamu."
"Tapi seandainya Yesa mendengarkan penjelasan Yesi dan lebih memilih mempercayainya, pasti Yesi nggak akan berbaring koma seperti ini." Suara gue serak dan melemah.
Badan gue terasa hampir tidak ada tenaga, bahkan kini lemas sambil menatap Yesi nanar.
"Tidak, sayang! Ini bukan salah kamu atau siapa siapa," kata Mama, dengan lembut dia mengusap punggung tangan gue.
Di ruangan ini hanya gue dan Mama. Papa sudah kembali ke kantor, Mama Siska pulang begitu juga Papa Roman dia sudah kembali ke kantornya.
"Mama bisa tinggalin Yesa sama Yesi?"
"Iya. Mama kasih waktu untuk kalian berdua. Tapi, janji! jangan sakiti dirimu, Yesa. Ingat!"
Mata gue mengerjap, dengan sesak gue mengangguk kearah Mama.
"Mama keluar dulu. Kalau ada apa-apa, langsung telpon ya, Yesa?" Mama beranjak keluar.
"Maafkan gue, Yesi. Maaf?" Gue menelungkup kepala. "Gue egois lebih memilih mendengarkan kebohongan daripada mempercayai Yesi."
Tangan gue menggenggam tangan Yesi erat dan mengusapnya pelan. Seandainya gue di posisi Yesi, gue nggak bakal tahu bagaimana sakitnya. Tidak di percayai oleh orang yang di sayangi itu sangat menakutkan. Bahkan untuk membayanginya saja gue nggak bakalan sanggup.