Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 46 - mengenang masa lalu

Chapter 46 - mengenang masa lalu

Satu setengah mingguan tahap pemulihan, Yesi sudah di perbolehkan pulang. Terakhir melakukan MRI, Dokter Anggi juga mengatakan cedera di kepala Yesi tidak terlalu fatal, jadi tidak ada hal hal yang perlu di khawatirkan. Untuk tangan kanan, gips nya pun sudah dilepas. Walaupun masih sulit memegang sesuatu, tapi Yesi sudah bisa menggerakkan jari jarinya.

Siang ini, mobil yang  membawa gue dan Yesi sudah memasuki halaman rumah. Tidak seperti hari biasa, rumah Yesi terlihat ramai karena Mama sama Papa, dan Papa Roman sama Mama Siska sudah lebih dulu menunggu kedatangan kami lebih dulu.

Mereka menyambut kami dengan penuh antusias. Ruang makan sudah di penuhi berbagai macam hidangan makanan, mereka mengadakan syukuran untuk kesembuhan Yesi.

Selama makan, derai canda tawa dari semua sanak famili yang menghadiri syukuran siang hari ini selalu terdengar. Begitu juga gue dan Yesi, sesekali gue dan Yesi ikut tersenyum dan terkekeh bersama.

Rasanya sudah lama sekali tidak seperti ini. Karena kejadian beberapa waktu lalu sangat menguras emosi, tenaga dan meninggalkan pelajaran yang berharga untuk gue.

Selesai makan, kami mengobrol bersama di ruang tamu selama 20 menit. Setelah itu, mereka berpamitan pulang menyisakan gue, Yesi, Mama Siska dan Papa Roman.

Sedangkan Mama dan Papa pulang lebih awal karena Oci masih belum bisa di tinggal sendirian terlalu lama di rumah.

Gue memeluk pinggang Yesi erat. Kami bersama-sama berjalan menuju ruang TV. Sesekali gue mengecup pipi dan mengusap lengan Yesi lembut.

Begitu sampai di ruang TV, kami duduk di sofa tanpa menguraikan pelukan. Tangan gue menarik sweater yang Yesi kenakan dan merapikannya agar sedikit keatas. Entah kenapa, rasanya sangat nyaman sekali berada di samping Yesi.

"Maafkan, gue sayang. Gue baru bisa menyapamu kembali." Yesi tersenyum manis mendengar itu. Dengan perlahan Yesi mengecup bibir gue singkat. "Miss you, Yesa. Miss you so much."

Gue membalas mengecup kening Yesi lama dan berbicara di sela selanya."I love you, Yesi." Kami sepakat untuk selalu bersama di kondisi apapun. Dan rasanya sangat bahagia sekali mendengarnya.

Yesi tersenyum di dada bidang gue sambil memejamkan mata. Elusan lembut yang gue berikan di kepala membuat Yesi mengantuk dan memejamkan mata.

Pagi-pagi sekali gue terbangun, di karenakan kedatangan Yesi yang tiba-tiba. Setelah membersihkan badan di kamar mandi gue langsung turun menuju lantai bawah.

Di dapur Yesi membantu Mama menyiapkan sarapan pagi. Dari belakang punggung badan Yesi gue melingkarkan tangan di perut Yesi. "I love You, Yesi?" Yesi membalikkan badan, gue melihat senyumnya terukir, dengan lembut gue mengusap punggung tangan Yesi. "I love you too, Yesa."

Tatapan gue terlihat khawatir dan cemas. "Apa masih pusing? Mau Yesa pijatkan?"

Yesi menggeleng dan mengulurkan tangan. "Yesi tidak apa-apa. Yesi hanya ingin di gendong sama Yesa?"

"Dengan senang hati, Nona Yesi." Gue mengangkat tubuh Yesi pelan dan hati hati. Kaki gue melangkah menuju ruang tamu.

Gue menatap lekat wajah Yesi, sesekali dia membalas tatapan gue sambil mengecup singkat di bibir Yesi yang sedikit terangkat.

Sampai di ruang tamu, gue mendudukkan Yesi di sofa, dan gue mengambil posisi tepat di samping Yesi.

Aroma nasi goreng menyeruak, Mama sedang sibuk menata sarapan untuk kami semua, setelahnya Mama membuatkan susu sebagai minuman pelengkap sarapan.

Di meja makan kami menikmati nasi goreng sebagai menu sarapan utama.  Kali ini gue mengambil dan menyodorkan segelas susu cokelat untuk Yesi.

Saat gelas mendekat, entah kenapa Yesi tidak menginginkannya. Padahal susu cokelat termasuk minuman favorit Yesi.

"Tapi tidak untuk sekarang, Yesa! Nanti saja." Kata Yesi sambil menyantap nasi goreng sesuap demi suap hingga tandas.

"Harus, sayang. Ini untuk kesehatan kamu agar lekas pulih dan tidak lemas lagi."

Yesi menutup mulut dengan kedua tangan.

"Jangan kekanak-kanakan, Yesi. Biasanya kamu minum susu juga. Kenapa sekarang susah seperti ini?!"

Nada suara gue terdengar tegas. Yesi tersentak kaget mendengarnya. Mata Yesi berkaca kaca dan menunduk. "A - aku tidak tau?"  isakan kecil mulai terdengar dengan sendirinya.

"Hei?" gue memegang kedua bahu Yesi, satu tangan gue membuat Yesi mendongak. "Kenapa menangis? Gue nggak bermaksud membentak Yesi." Dan membawa Yesi ke dalam pelukan.

Gue mengusap punggung Yesi dengan gerakan lembut. "Ssshhh..... tidak apa-apa, gue nggak bermaksud memaksa Yesi. Tapi perlahan saja minumnya, ini demi kesehatan dan kesembuhan Yesi."

Gue mengelus rambut Yesi dengan pelan, sesekali gue juga mencium kening dan bibir mungil Yesi bergantian. Kalau seperti ini, bagaimana Yesi nggak luluh coba?

Yesi menguraikan pelukannya dan mengangguk. Tangan kanannya meraih gelas yang berisikan susu cokelat dan tangan kirinya menjepit hidung. Merem melek Yesi meminum susu dengan susah payah. Sampai akhirnya tandas juga.

Tangan gue mengusap puncak kepala Yesi. "Good girl." Kata gue sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.

Ternyata senyum gue menular, Yesi juga ikut tersenyum. Setelahnya kami kembali di sibukkan dengan sarapan, dimana Yesi yang menyuapi gue. Tidak bisa di pungkiri, gue sangat senang karena perlakuannya.

Bermanja-manja seperti ini, apa termasuk pria manja?

*****

Malam ini gue terjaga, mata gue mengedar pada dinding dan berhenti di jam yang menggantung sempurna. Pukul setengah tiga pagi, gue mengusap wajah dengan kedua telapak tangan kemudian menyamping.

Karena rasa kantuk yang tidak kunjung datang, ingatan gue tiba-tiba berputar pada pertemuan pertama gue dengan Yesi. Bukan sebagai kakak kelas dengan adik kelas, tapi sebagai laki-laki dengan perempuan yang akan di jodohkan orang tua nya.

Awalnya gue juga terkejut mengetahui itu adalah Yesi. Tapi sebagai orang yang terlatih menyembunyikan ekspresi mimik wajah, gue bisa  menguasainya.

Di pikiran gue, nggak apa-apa di jodohkan. Toh gue juga belum mempunyai pacar, dan mungkin dengan seiringnya waktu gue juga bisa menyembuhkan luka hati karena masa lalu.

Setelah berpacaran, ternyata tidak buruk juga. Yesi menjadi penghibur ter istimewa di dalam hidup gue. Justru Yesi selalu sabar mampu mengimbangi kelakuan gue yang kadang kekanak-kanakan. Apalagi dengan sifat ajaib dan bandel, gue remaja yang menyebalkan dan hobi membuat masalah.

Tapi tidak bisa di pungkiri, gue mulai tertarik padanya. Entah itu di mulai sejak kapan, gue tidak ingat lagi.

Seiring berjalannya waktu, bukan hanya tertarik, tapi gue jatuh cinta. Hanya saja gue terlalu takut untuk mengatakannya di awal pertemuan kami.

Dan gue kira hanya gue yang jatuh cinta, tapi ternyata tidak. Yesi juga memiliki perasaan yang sama untuk gue. Bedanya, gue lebih memberanikan diri untuk mengatakan cinta, sedangkan Yesi tidak.

Melihat tatapan gugup dan pipi merah Yesi saat gue mengemukakan perasaan cinta gue adalah pemandangan paling luar biasa selama gue hidup.

Seolah ada kembang api yang meletup di dada saat dia juga memberi tahu kalau gue yang pertama dalam hidupnya.

Gue kelewat senang sampai tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya gue memutuskan untuk memeluk erat dan mengecup keningnya.

Opsi terakhir adalah melarikan diri berlari ke dalam kelas untuk menyelamatkan jantung gue. Dan tentu saja hal itu sangat terlihat amat bodoh.