Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 47 - happy wedding

Chapter 47 - happy wedding

Tiga tahun kemudian...

Gue melihat pantulan wajah Yesi di depan cermin dan nggak berhenti berdecak kagum. Yesi cantik banget di rias kaya gini. Polesan make-up nya nggak kelewat tebal dan terkesan alami, itu menambah kesan dewasa pada diri Yesi.

Penata rias yang disewa Mama tak lain Mama Siska. Tentu saja biaya yang dikeluarkan sangat mahal, tapi karena Yesi putri semata wayangnya semua free dengan hasil riasan yang memuaskan.

Nggak berapa lama, pintu kamar gue kembali di buka. Muncul Mama dengan gaun brokat krem yang panjangnya sampai mata kaki. Dia berjalan kearah gue dan menatap Yesi sambil berdecak kagum. "Subhanallah, Cantik sekali Yesi." Puji Mama.

"Sayang, ayo. Ijab kabul nya sudah akan di mulai," kata Mama.

Gue ngangguk dan langsung bangkit. Ijab kabul berlangsung khidmat dan lancar, sesudahnya Mama memegang tangan gue sambil mengusap pelan dan tersenyum, air mata mengalir di pipinya. "Aduh nggak berasa, ya, Yesa. Sekarang kamu sudah menjadi seorang suami. Perasaan dulu masih kecil banget, masih segede biji kacang, makan saja masih di suapin sama Mama."

Gue terharu sekaligus tertawa mendengar kata-kata Mama. Gue mengusap air mata di wajah Mama. "Udah dong, nanti make up Mama luntur."

Dengan cepat Mama menengadahkan kepalanya  ke atas. "Iya ya, Yesa. Mama sudah dandan cantik begini malah luntur kena air mata.

"Mama, ih. Giliran make up luntur aja langsung panik." Gue memajukan bibir.

Mama Siska tersenyum lalu geleng-geleng mendengarkan percakapan kami.

Setelahnya, kami berjalan menjemput Yesi yang mulai masuk ke tempat acara di mana di sana sudah banyak tamu undangan yang mulai berdatangan.

Semua tamu menatap ke arah kami. Begitu pula Papa dan Papa Roman. Di ujung anak tangga terakhir, Yesi berdiri dan mengulurkan tangannya dengan senyuman yang begitu manis.

Sebelum menerima uluran tangan Yesi, Mama Siska terlebih dahulu bicara, "jaga anak Mama satu satunya ya, Yesa?"

Gue mengangguk mantap barulah gue menyambut uluran tangan Yesi. Dia mengaitkan tangan kanannya ke lengan gue.

Kami berjalan menuju pelaminan dan di sepanjang jalannya ditaburi kelopak bunga mawar juga diiringi lagu Cristina Perry - A Thosand Years. Semua tamu undangan menatap kami dan bertepuk tangan.

Tamu yang datang kebanyakan teman relasi bisnis Papa dan rekan kerjanya.

Hampir dua jam kami berdua berdiri, tersenyum dan menyalami tamu satu persatu.

Sumpah kaki gue pegel banget, belum lagi pipi gue pegel akibat  kebanyakan senyam senyum menampilkan barisan gigi yang hampir kering.

Baru aja gue mau duduk, eh ada lagi tamu yang datang. Gue nggak terlalu kenal mereka semua, paling paling rekan bisnis Papa lagi, pikir gue.

"Selamat, ya?" Ucap pasangan suami istri itu bergantian. Kami berdua hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Beruntung itu tamu terakhir. Jadi, gue sudah bebas duduk bersandar, begitu juga dengan Yesi.

Gue melepaskan buket bunga lalu meletakkannya ke samping, "sungguh melelahkan pesta hari ini. Berasa nggak punya kaki lagi saking pegelnya."

Gue memijit mijit kaki kiri dan kanan dengan pelan, lalu menuju tempat Mama dan Papa yang sedang asik mengobrol dangan mertua gue.

"Loh, istri kamu mana, Yesa?" Tanya Mama Siska. "Mungkin udah ke kamar duluan, Ma,"  kata gue cuek sambil memakan kue brownies yang tersedia di meja makan.

"Kamu nggak ada niatan nyusul istri kamu?" Kini giliran Mama yang bertanya.

"Yesa udah lapar, Ma. Untung tadi nggak pingsan di pelaminan. Bisa bisa jadi berita viral nanti."

Mama terdiam tidak sama sekali menanggapi lelucon garing gue, dan lebih memilih mendesak menghabisi kue yang tinggal separo itu. Dia maksa gue langsung ke kamar untuk menyusul Yesi.

Ngapain coba si Mama nyuruh gue pake desak desakan segala?! akhirnya, tanpa menghabiskan kue, gue beranjak menuju kamar.

Gue memutar gagang pintu kamar dan langsung masuk, bertepatan dengan pintu kamar mandi di buka. Yesi keluar Dengan rambut basah dan handuk yang melilit tubuhnya.

"Astagfirullah!"  Pekik gue spontan menutup wajah dengan telapak tangan lalu mengintip dari sela sela jari.

Yesi yang awalnya kaget kini berjalan santai ke arah gue. Dia semakin mendekat, otomatis gue mundur. Alhasil, punggung gue kepentok pintu.

Dia bersidekap sambil mandangin gue. "Ngapain kamu nutup wajah seperti itu?"

Dengan cepat gue menjauh, kemudian nyengir canggung. "Nggak kok, Yesi."

Yesi mengikuti arah pandangan gue kemudian mensejajarkan langkahnya. "Menikmati pemandangan?" Tanpa sadar gue mengangguk.

"Pasti Yesa mikir kotor tentang Yesi," tuduhnya sambil menyeringai.

Gue berlari menuju kamar mandi, sambil berteriak. Ih, gue nggak mikir apa apa, kok!" Lalu memasuki kamar mandi dan menguncinya rapat rapat.

Gue menepuk pipi beberapa kali. Untung nggak lama jantung gue udah normal kembali.

Gue menatap cermin yang ada di kamar mandi banget.  "Astaga! gue sampe masuk pake jas pengantin pula. Ini gimana?"

Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya gue memutuskan untuk keluar lagi. Perlahan gue memutar kenop pintu dan melihat situasi kamar. Ternyata....aman. Nggak ada Yesi, syukurlah.

Gue melepaskan jas pengantin dan menggantinya dengan jubah mandi, kemudian bergegas untuk membersihkan badan.

Setelah selesai gue memakai piyama, kemudian keluar. Dikasur sudah ada Yesi yang telentang sambil memainkan hapenya.

Gue mendekati kasur ukuran king size lalu berdehem. Hal itu membuat Yesi mengalihkan tatapannya ke gue sambil mengeryitkan kening.

"Saya tidur di samping kamu ya, Yesi?" Gue minta izin sama Yesi. Busyet deh, mau tidur di kamar sendiri aja pake minta izin segala.

"Siapa yang melarang Yesa. Tidur aja bebas dimanapun tidak ada yang melarang kan?" Kata Yesi cuek menatap hapenya kembali.

Gue memunggungi Yesi lalu dengan cepat naik, ngambil guling untuk dijadikan pembatas dan langsung memejamkan mata. Nggak berapa lama langsung terlelap ke alam mimpi. Sungguh hari yang sangat melelahkan.

Cahaya matahari merembes masuk lewat tirai jendela. Gue mengerjap ngerjapin mata untuk memperjelas penglihatan. Perlahan gue  mengedarkan pandangan sekeliling kamar dan berakhir menatap samping.

Untuk beberapa saat gue terpaku, lalu ... "Aaaaaa ... Siapa, lo?!" teriak gue panik dan refleks nendang seseorang yang sedang tertidur lelap.

Semenit kemudian gue mamatung sambil menutup mulut. Anjir! itu Yesi. Istri gue! "Arghhh..." Terdengar erangan Yesi.

Astaga gue nendang Yesi kelewat kenceng sampai dia mengeram dan menjewer kuping gue. "Kenapa Yesa nendangin Yesi?"

"Aduduh... aduh, Yesi, ampun!" Gue meringis sambil megang kuping kiri yang dijewer.

Tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu, "Yesa, kenapa? kok pagi pagi sudah ribut?"

Ah, penyelamat datang. Yesi pengen berteriak, tapi saat ngebuka mulut, dengan cepat gue bungkam dengan tangan, sehingga teriakan Yesi tertahan begitu saja.

Dengan nada datar gue menjawab. "Tidak apa-apa, Ma."

"Kirain ada apa." Setelah mengatakan itu terdengar suara langkah kaki Mama menjauhi kamar.