Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 48 - jealous

Chapter 48 - jealous

"Yesi, diminum susunya. Setelah itu kita bergegas ke rumah sakit untuk cek kandungan."

Istri manisnya ini sedang duduk di ruang Tv. Dia makan roti panggang sambil menonton film kartun frozen. Gue duduk di samping menemaninya.

Matanya tidak lepas dari layar datar itu, Mulutnya tidak berhenti mengunyah, bahkan dia tidak menjawab kata kata gue.

Memasuki usia kandungan tujuh bulan, Yesi semakin manja. Bahkan dia tidak pernah lagi membantu Mama di dapur, karena setiap kali dia mencium  bau aroma masakan ataupun  bau sesuatu apapun dia akan muntah.

Sebenarnya gue kasihan, tapi nggak ada yang bisa gue lakukan selain memberikan kasih sayang yang luar biasa untuknya.

"Sayang, minum susunya?" Gue menarik dagu Yesi agar dia menoleh pada gue.

Matanya mengerjap lucu, pipinya mengembung karena mengunyah roti panggang. Pandangan gue bahkan tidak secentipun berpaling.

"Iya, Yesi minum. Tapi habisi roti panggang nya dulu, ya?" Setelah mengatakan itu, dia menoleh kembali ke arah televisi.

Gue hanya menghela napas, Yesi ini semakin membangkang saja. Bukannya menurut, dia malah berlama-lama mengunyah roti panggang,  kadang dia terpaku diam beberapa detik pada TV, setelah itu makan dalam gerakan lambat.

Dan gue memutuskan untuk kembali membaca novel. Beginilah pekerjaan kami, tidak mempunyai pekerjaan serius yang dilakukan. Bahkan beberapa bulan ini, gue menyerahkan restoran  sepenuhnya pada Rasya. Dia manager restoran yang ada di Jakarta. Dan Rizal, manager Restoran yang ada di Tangerang. Mereka adalah orang kepercayaan gue.

Biasanya gue akan melakukan kunjungan satu bulan sekali atau tiga bulan sekali, tapi di tahun ini sepertinya tidak bisa. Karena gue masih belum bisa meninggalkan Yesi.

Telapak tangan gue di tarik pelan, membuat gue mendongak dari novel yang gue baca. "Ada apa?"

Yesi menyerahkan roti panggangnya. "Yesi tidak habis Mas. Sudah kenyang sekali."

"Tentu saja kenyang, sudah dua roti panggang yang masuk ke dalam perut kamu, Yesi."

Dia hanya mengerucutkan bibir. "Ini permintaan, Baby. Mau tidak mau Mommy harus memenuhinya."

"Iya, sayang." Gue tersenyum dan mengacak puncak kepalanya. "Sekarang minum susunya."

Refleks dia menutup hidung. "Ugh, Mas tau kan Yesi itu nggak suka baunya."

"Tetap harus di minum, nggak boleh banyak alasan."

"Cih! Dasar pemaksaan." Yesi mencibir dan meraih gelas susu. Seperti biasa tangan kanan memegang gelas,  tangan kirinya menjepit hidung.

*****

Kami berada di ruang Dokter Vina untuk memeriksa kandungan Yesi. Dan tentu saja gue yang memilih dokter perempuan, gue nggak akan rela ada laki-laki lain menyentuh Yesi. Walaupun itu Dokter sekalipun!

Mulai dari mengukur berat badan, memeriksa tekanan darah, dan yang terakhir memeriksa denyut jantung. Gue bahkan terpaku menatap layar komputer, di sana menampilkan bayi kecil.

Detak jantungnya seolah terdengar nyaring di telinga gue. Tanpa sadar gue menggenggam erat tangan Yesi.

Selesai USG, kami kembali duduk. Dokter Vina terlihat sibuk mencatat di kertasnya. Gue sibuk tersenyum bahagia sambil mengecup punggung tangan Yesi.

Sungguh, dia memberikan kebahagiaan yang tak terkira untuk gue.

"Selamat, pak, Bu. Bayinya sehat dan berjenis kelamin perempuan." Kata Dokter Vina tersenyum, dia menyerahkan hasil USG pada kami.

Yesi memandang gue dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat sangat senang dan bahagia, gue mengusap punggungnya sambil mengangguk.

"Dan ini resep yang harus Bapak tebus." Dokter Vina menyerahkan secarik kertas resep pada gue.

"Tekanan darah Bu Yesi sedikit tinggi, jadi saya sarankan untuk mengontrol emosi dan pola makan, selain itu tidak ada yang perlu di khawatirkan."

"Terima kasih, Dok." Kami menjabat tangan dokter Vina. "Sama sama." Jawabnya.

*****

Setelah dari rumah sakit, kami berbelanja perlengkapan bayi. Yesi terlihat sangat antusias saat memilih baju, beberapa kali dia berdecak karena gemas dengan pakaian  mungil itu.

Kami hanya membeli beberapa baju dan pampers saja. Selebihnya sudah tersedia tanpa diminta.

Mama Yolanda dan Mama Siska sudah membeli dari awal kehamilan. Bahkan satu ruangan penuh dari antusiasnya dua orang tua itu.

Keringat menetes di pelipis Yesi, dia tanda kelelahan. Tanpa segan gue langsung menggendongnya setelah membayar belanjaan di kasir.

Tentu saja semua yang melihat memberi sorakan baik dari pegawai maupun dari pelanggan di toko, tapi gue nggak peduli.

Mendudukkannya di jok, gue memasang seat belt untuknya, setelah itu  duduk di belakang kemudi lalu memutar mobil.

Sebelum melajukan mobil, gue menoleh pada Yesi untuk mengusap keningnya. Ada yang membuat Yesi tidak nyaman.

Mata Yesi mulai berkaca kaca. "Kaki Yesi pegal dan kram."

"Berhenti menangis nya, nanti kalau sudah sampe di rumah, Mas pijitkan."

Dia mengangguk dan mengusap air matanya menggunakan punggung tangan.

Gue mulai memacu mobil dengan perlahan, selama perjalanan tidak terdengar suara Yesi. Gue memutuskan untuk menoleh dan menemukan dia tertidur.

Pandangan gue teralih kedepan, beruntung jalanan  lumayan lenggang, sehingga dengan mudah gue menepikan mobil. Sedikit menurunkan jok agar Yesi mendapat posisi yang nyaman.

Gue mengecup puncak kepalanya, setelah itu melajukan mobil kembali.

Saat memasuki gerbang rumah, gue menemukan ada beberapa mobil asing yang terparkir.

Gue menggendong Yesi dengan sangat hati-hati, tapi sebelum melangkah di teras, Yesi melenguh dan membuka matanya.

"Sudah sampai?"

"Sebentar lagi," jawab gue.

Gue mendekat pada pintu dan menekan nomor kombinasi password. Saat masuk gue terkejut dengan kehadiran Uli, Ryan, Ivan, Dea, Rika, Daffa, dan sial ada Jovan juga.

Mengeram, gue langsung menyembunyikan Yesi. Tapi terlambat dia sudah mengetahui ada teman temannya bertamu.

"Mas, turunin Yesi."

"Tidak! kamu lagi kecapean, katanya minta di pijit?"  Gue mengalihkan pandangan pada mereka. "Besok saja bertamunya, Yesi kecapean."

T - tapi Yesi kangen mereka." Yesi menundukkan pandangannya, lagi lagi matanya berkaca-kaca. Membuat gue nggak tega dan akhirnya menyerah.

"Baiklah...."

Seketika moodnya langsung berubah. "Terima kasih." Bahkan dia mencium pipi gue lama.

Dasar licik!  gue mendengus dan langsung menuruninya. Bahkan baru menginjak lantai, Yesi berlari buru buru menuju ruang tamu dan duduk di sebelah Jovan.

Kontan saja gue kesal dan menyusulnya, gue duduk di tengah tengah Yesi dan Jovan.

"Duile, bumil makin cantik aja." Kata Dea.

"Iya, Yesi." Rika ikut mengangguk."lo cantik banget."

Gue menunjuk mereka satu persatu kecuali Dea dan Rika. "Jangan pernah tertarik sama Yesi!"

Mereka semua terkekeh, kecuali Jovan, dia mengusap puncak kepalanya dengan canggung.

"Tenang, Yesa. Walaupun Yesi cantik, saya tidak suka istri orang," kata Jovan.

"Betul! Jovan benar." Ivan langsung terkekeh. Tapi gue nggak ambil pusing dengan jawaban mereka.

Sekarang gue sibuk dengan Yesi, entah kenapa dia selalu menatap Jovan. Beberapa kali gue menemukan dia mencuri curi pandang pada Jovan.

Gue langsung panas di buatnya, tapi mencoba mempertahankan nada bicara, karena Yesi mudah tersinggung saat ini.