Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 49 - ketakutanmu : ketakutanku

Chapter 49 - ketakutanmu : ketakutanku

"Yesi."

Dia tersentak, dengan cepat Yesi mengalihkan pandangannya pada gue.

"I-iya, Mas."

"Sekarang kita masuk ke kamar! Kata Yesi kelelahan dan minta di pijat?"

"Ta - tapi Yesi mau ngobrol, sama Jovan."

"Untuk apa?!" Tanpa sadar gue meninggikan suara. Mereka semua yang ada di ruangan ini jadi terperangah.

"Yesi nggak tau.....Yesi cuma mau ngobrol dengan Jovan."

Dia menangis sesegukan dan meremas kedua tangannya.

Astaga! Kenapa Yesiku ini? Gue langsung berdiri dan mengusap wajah dengan kasar.

"Yesa, mungkin Yesi lagi ngidam pengen dekat sama Jovan," kata Uli.

"Diam!" Gue menunjuk tepat wajah mereka satu persatu. "Kalian kan yang membawa dia ke sini?!"

"Saya hanya ingin bertamu." Jovan mengusap tengkuknya karena nggak enak. Gue menatap tajam padanya.

Tangis kencang Yesi membuat gue memutuskan kontak mata dengan Jovan, dan memilih menatap Yesi yang terisak.

"Jangan marahi mereka, Yesi yang salah, Mas."

Kalau seperti ini, gue nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan pelan gue berjongkok dan menenangkannya.

"Sshhh.....Mas, salah. Seharusnya Mas tidak perlu marah marah.

Berhenti menangis, Mas nggak akan melarang Yesi dekat dengan Jovan atau siapapun."

"Benarkah?" Matanya berbinar. "Apa nggak apa-apa?"

"Iya, nggak apa-apa."

Dia menguraikan pelukannya dan langsung mendekat pada Jovan. Seolah tidak terjadi apa-apa, Yesi sudah kembali tertawa dan hanyut dalam obrolan bersama teman temannya.

Dengan gontai gue menuju kamar dan merebahkan diri di sana.

Selama 30 menit gue memejamkan mata, tiba tiba gue merasakan pergerakan di kasur. Dan seseorang merebahkan kepalanya di dada gue.

"Maafkan Yesi, Mas?"

Mata gue sepenuhnya terbuka, dan menemukan Yesi dengan posisi menyamping. Belum sempat gue menjawab, dia sudah mendaratkan ciumannya di pipi gue. Dengan senyuman gue membalasnya.

*****

Beberapa malam ini, gue sering menemukan Yesi Terbangun dari tidurnya dan melamun.

Kadang gue mendengar dia terisak. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi gue seolah berpura-pura sedang tidur dan diam diam memeluknya.

Malam ini gue nggak tahan lagi, akhirnya gue memutuskan untuk mengajaknya berbicara. "Mimpi buruk lagi?"

Yesi yang awalnya membelakangi gue akhirnya berbalik dan langsung meringsek ke dalam pelukan.

Tapi dia tetap menyisakan jarak agar tidak menyakiti anak kami.

"Yesi hanya takut, Mas. Semakin dekat harinya, Yesi semakin takut. "Mau bercerita?" Dia kesulitan mengambil napas.

"Bagaimana.... Bagaimana kalo Yesi tidak selamat nanti."

Pertanyaan Yesi membuat gue menegang.

Seketika rasa takut ikut menyelinap, membayangkan gue kehilangan Yesi saja gue nggak sanggup, apalagi kalau benar benar terjadi.

"Hei, nggak boleh berpikir seperti itu. Kalau Mommy banyak pikiran Dady sama Baby ikut sedih." 

"Mommy sangat mencintai Dady," katanya.

"Iya, Dady tau." Gue menenggelamkan wajah Yesi di dada gue dan mengusap rambutnya. Tidak lama, deru napas teratur milik Yesi terdengar, gue mengecup keningnya dan memperbaiki posisi tidur agar dia nyaman.

Sekarang guelah yang nggak bisa memejamkan mata. Kata kata Yesi berputar di kepala gue, dan langsung menimbulkan bayangan bayangan buruk.

"Sial! Gue takut sekarang. Benar benar takut, bagaimana kalau itu benar terjadi? Hidup tanpa Yesi, apakah gue sanggup?" Shit! Seharusnya gue membenturkan kepala ke dinding. Bisa bisanya gue berpikir seperti itu?!

*****

Pagi ini,rumah kami ramai lagi. Karena kedatangan Mama sama Papa. Bahkan lagi lagi mereka membawa perlengkapan bayi untuk kami.

Yesi terlihat senang, dia ikut membuat kue bersama Mama. Beruntung mualnya nggak kambuh, jadi dia masuk ke dapur tanpa halangan.

Sedang gue duduk di ruang tamu mengobrol bersama Papa membicarakan masalah pekerjaan.

Pikiran gue kembali di kuasai perkataan Yesi beberapa malam lalu. Rasa takut itu datang lagi, bahkan rasanya lebih besar dan membuat tidak nyaman.

Gue benar benar tertekan karena hal itu, sungguh! Kalau gue saja tertekan, bagaimana Yesi? Rasanya gue menjadi laki laki yang menyedihkan.

Tepukan di punggung membuat lamunan gue buyar, dengan cepat gue menoleh dan menatap Papa dengan penuh tanda tanya.

"Ada rencana bekerja di perusahaan Papa, Yesa?"

"Untuk saat ini tidak ada, Yesa hanya ingin bersama Yesi sampai dia melahirkan."

"Kamu kan punya dua restoran, apa saat ini berjalan lancar?" Tanya Papa.

"Untuk beberapa bulan ini, restoran  Yesa serahkan pada Rasya dan Rizal. Meraka berdua orang kepercayaan, Yesa." Papa mengangguk mendengar jawaban gue.

Tidak lama, seruan Yesi membuat kami mengalihkan pandangan. Dia dengan maternity gaun musim dingin renda lengan berwarna pink terlihat cantik sekali.

Gue sampai tidak berkedip saat Yesi datang membawa nampan berisi cake red velvet.

Di wajah manisnya ada sedikit tepung, gue tersenyum dan langsung membersihkannya.

Yesi bergelayut manja di lengan gue dan mengendus endus. "Rasanya capek Yesi langsung hilang kalo mencium aroma, Mas."

Papa sampai terbatuk mendengarnya. "Yesi, kamu nggak malu di dengar kami?"

"Ngapain malu? kan anak Papa sudah sama-sama dewasa?"

Derai tawa terdengar memenuhi  ruang tamu. Mama juga baru ikut bergabung sambil membawakan kami minuman dan kue kering.

Kami mengobrol dan juga di selingi tawa, untuk saat ini gue bernapas lega, setidaknya Yesi bisa lupa sejenak akan rasa takutnya.

*****

Pukul dua pagi, gue bangun dan langsung melaksanakan sholat tahajjud. Dengan segenap hati gue berdoa untuk keselamatan dan kesehatan anak istri gue.

Tidak terasa air mata menetes begitu saja. Hal ini wajar, karena lelaki seperti gue juga manusia, gue juga mudah menangis kalau menyangkut seseorang yang teramat gue sayang.

Yesi terbangun dari tidurnya. Dia turun dari kasur dan melingkarkan kedua tangannya di perut dan bersandar di pundak gue. Tubuhnya bergetar karena ikut menangis.

Gue manarik tubuhnya agar duduk di pangkuan gue. "Maaf karena sudah mengganggu tidur Yesi?"

Dia menggeleng. "Maaf karena mengganggu beban pikiran, Mas?"

"Tidak apa-apa. Kalau ada yang mengganjal di hati dan pikiran, keluarkan saja. Jadikan Mas tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah."

Yesi terisak, dia semakin mengeratkan pelukannya. Gue ikut sedih melihat kerapuhan istri gue ini. "Mas sangat mencintaimu, Yesi."

Tidak ada jawaban, badannya yang tadi ikut bergetar kini rileks kembali. Gue tersenyum saat mengetahui kalau Yesi sudah tertidur.

Dengan pelan pelan gue mengangkat tubuhnya dan menurunkan di kasur. Gue pandangi lama wajahnya yang sembab dengan hidung memerah. Gue kecup bergantian mata, hidung, dan bibirnya. Terakhir, gue turun pada bagian perut.

"Apa kabar, Baby? Tolong bantu Dady untuk menghibur, Mommy. "Dia lagi banyak pikiran, sayang." Gue bahkan nggak berhenti mengecup perut Yesi.

Gue kaget, ternyata dia nggak tidur, dia bahkan merespon ucapan gue dengan tendangan kecil. Ini kali pertamanya gue merasakan malaikat kecil gue menendang, rasanya luar biasa bahagia.

"Kamu ikut sedih juga?" Tanya gue. Lagi lagi dia menendang, dan itu membuat gue semangat mengajaknya berbicara.

Ketakutan yang dirasa beberapa saat lalu langsung hilang begitu saja, bahkan gue nggak sadar kalau cahaya pagi mulai mengintip dari balik celah jendela gorden kamar.

Lenguhan kecil dari Yesi membuat gue langsung duduk. Dia terlihat mengusap kedua matanya untuk memperjelas penglihatan.

"Jam berapa?" Mata gue langsung tertuju pada jam dinding. "Jam lima lewat empat puluh lima menit."

"Mas." Yesi terlihat malu-malu, bahkan pipinya memerah.

"Mau mandi bareng, Yesi?"

Jadi hal ini yang membuat dia seperti itu. Gue tersenyum, kemudian bangkit lebih dulu untuk mengganti baju tidur dengan piyama yang gue kenakan tadi malam.

Lalu gue kembali menggendong Yesi dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi.

"Yesi kira, Mas nggak mau?"

"Apa yang nggak untuk, Nyonya Yesa?"

Yesi memukul kecil dada gue. "Cih! Gombal!" Tapi bertolak belakang dengan pipinya yang bersemu merah.