Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 50 - kebahagiaan luar biasa

Chapter 50 - kebahagiaan luar biasa

Untuk sementara, gue mendudukkan Yesi di closet. Gue mengisi air hangat di bathub. Sementara gue sibuk, Yesi mengusap perut buncitnya dan terus memandangi gue. Gue menoleh. "Ada apa, Yesi?" Dia langsung geleng-geleng dan tersenyum malu-malu. "I love you, Dady."

Gue langsung tersenyum dan menuju padanya. Perlahan gue melepaskan pakaian Yesi satu persatu di tubuh Yesi dan membawanya berendam di bathub. Dengan pelan gue memijit dan mengusap tubuhnya.

Dia ikut membasahi tangannya dengan air sabun dan menggosok bagian perutnya.

"Astaga?!"

Gue terkejut saat mendengar Yesi berteriak. Dengan panik, gue yang awalnya di samping kini beralih ke depan. "Ada apa, Yesi?"

"Dia menendang, Mas?!" Gue langsung menghela napas lega.

"Iya, sayang. Mas juga baru tau tadi malam."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

Gue kembali membersihkan tubuh Yesi. Dengan cepat gue melingkarkan handuk di tubuhnya. Takut kalo Yesi kedinginan dan masuk angin.

Kaki gue melangkah keluar dari kamar mandi dan langsung ke dalam walk in closet. Memilihkan pakaian dalam dan dress untuk Yesi.

Dia terkekeh geli saat gue memakaikan itu semua di tubuhnya. Tangan Yesi bertengger manis di pinggang gue, saat gue mengancing satu persatu dress nya.

"Mas, lucu."

"Bagian mananya yang lucu?" Gue masih fokus dengan kegiatan baru gue.

"Semuanya," jawab Yesi. Tapi Yesi suka. Thank you, i love you, Dady ."

*****

Memasuki bulan ke sembilan kandungan,Yesi. Mama Yolanda dan Mama Siska mulai bermalam di rumah kami. Bahkan mereka sudah menyiapkan tetek - bengek untuk persiapan persalinan.

Sebagai seorang suami, gue selalu siaga di samping Yesi. Bahkan ketika malampun gue langsung otomatis terbangun kalo merasakan pergerakan dari Yesi.

Semakin tua usia kandungan, kaki Yesi semakin bengkak, bahkan dia susah tidur dan sering buang air kecil. Tapi tidak sedikitpun gue mendengar keluhannya, malah Yesi sering tersenyum sambil mengelus perut buncitnya, matanya selalu berbinar-binar.

Seperti pagi hari ini, kami duduk santai berdua di taman belakang rumah. Mama Yolanda dan Mama Siska sedang mengobrol di ruang tamu.

Gue duduk sambil memangku laptop karena sedang memeriksa laporan sales dan laporan pengeluaran restoran yang baru saja di kirim Rasya lewat email.

Yesi sedang mendengarkan musik, dia juga memasang earphone di telinganya kemudian dia pindah mengelus bagian perutnya.

Sesekali dia terkekeh dan berbicara sendiri. Melihat itu, gue sedikit menaikan sudut bibir, karena gemas melihat kelakuannya.

Dengan teliti gue melihat jumlah yang tertera  di layar laptop. Tapi itu semua tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja laptop yang berada di pangkuan gue kini beralih ke meja dan berganti Yesi yang duduk di sana.

"Ada apa?"

Bukan menjawab, Yesi malah menghujani gue dengan ciuman bertubi-tubi. Dia juga tertawa geli, mungkin dia sedang menertawakan kelakuan liarnya ini.

Tangan gue terulur untuk menjumput anak rambut yang menutupi wajahnya. "Mommy sedang merayu, Dady?"

"Ummm...."Yesi terlihat berpikir. "Nggak tau, katanya, lalu terkekeh lagi.

"Kenapa sering sekali tertawa?"

"Tidak tahu, Yesi hanya merasa bahagia saja."

Gue melumat bibirnya, sedikit lama, kemudian melepaskannya. Mata gue memandang lekat wajah Yesi, pipinya sedikit memerah dan bibirnya membengkak.

"Apa Mas sudah pernah bilang kalau Yesi sangat cantik?" Bola matanya sedikit membesar, pipi Yesi bertambah merah.

"Jangan berbicara seperti itu, jangan menatap Yesi juga seperti itu."

"Kenapa?"

"Ish.... Dia memukul pelan dada gue. "Yesi kan malu."

Panggilan dari Mama membuat gue dan Yesi menoleh bersamaan. "Yesa, bawa istri kamu masuk. Ibu hamil pamali terlalu lama main di luar rumah."

Gue mengangguk tanpa ragu lagi,  gue gendong Yesi dengan hati hati. Walau badannya berat gue nggak mempermasalahkannya, selama Yesi gue nggak apa-apa.

*****

Selesai makan malam, gue melanjutkan memeriksa laporan restoran di dalam kamar, sedang Yesi berbaring di samping gue. Dia menonton film disney Frozen dan ikut bernyanyi saat lagu let it go berputar di televisi.

Saat sedang serius, gue mendengar Yesi sedikit meringis. Kontan saja gue langsung menoleh.

"Apa ada yang sakit?"

Dia menggeleng sambil mengerutkan kening, "tidak apa-apa."

Walau ragu, gue kembali menatap layar laptop dan bergegas meninjau isi laporan agar cepat selesai.

Beruntung nggak membutuhkan waktu lama, gue langsung mematikan laptop dan membawanya ke ruang kerja.

Ruang kerja berada di samping kamar kami, ada pintu penghubung di dalam kamar sehingga gue tidak perlu  repot-repot harus keluar kamar. Baru saja meletakkan laptop di atas meja, gue mendengar teriakkan Yesi, dengan segera gue kembali menemukan Yesi sambil memegang perutnya.

"M-Mas, perut Yesi...." Suaranya terputus putus  seiring dengan peluh membanjiri pelipisnya.

Rasanya dada gue seperti di remas, dengan panik luar biasa, gue langsung menggendong tubuhnya dan sedikit mempercepat langkah.

"Tahan, Yesi. mas akan bawa kamu ke rumah sakit."

"Yesi tidak menjawab, matanya terpejam dan terbuka. Mulutnya nggak berhenti merintih sambil memegang perut, bahkan warna bibirnya mulai memucat.

Melewati ruang tamu, Mama Yolanda dan Mama Siska terkejut. Keduanya kompak berdiri bersamaan.

"Ada apa, Yesa?" Tanya Mama Yolanda.

"Yesi, kesakitan, Yesa harus membawanya ke rumah sakit sekarang!"

Tanpa menoleh, gue langsung keluar dan mendudukkan Yesi di jok belakang.

Mama ikut masuk ke dalam mobil. "Mama ikut kalian, biar Mama Siska menyusul nanti, dia sedang menghubungi Papa kamu sama Papa Roman dan membawa perlengkapan untuk Yesi."

Detak jantung gue berdebar berkali-kali lipat dari biasa, gue mengangguk sebagai jawaban untuk Mama dan langsung melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Beberapa kali gue memukul setir kemudi mobil dan mengumpati jalanan yang begitu macet, karena malam nanti bertepatan dengan malam minggu.

Setiba di rumah sakit ada beberapa petugas berlarian mendorong brangkar mendekati mobil, gue mengendong Yesi dan membaringkannya.

Gue langsung memasuki ruang persalinan bersamaan dengan Dokter Vina dan beberapa perawat, sedang Mama menunggu di luar.

Mata Yesi sayu menatap gue, dia juga menggenggam erat tangan gue sembari tersenyum.

Lihat, bahkan di saat-saat seperti ini, Yesi masih sempat sempatnya tersenyum seperti tidak ada beban, sedang gue yang nggak merasakannya ketar ketir dan sangat ketakutan.

Setelah selesai mempersiapkan persalinan, Dokter Vina menginstruksikan Yesi untuk mengejan.

Gue menggenggam tangan Yesi semakin erat dan mengusap peluh di pelipisnya. Seiring dengan perjuangan antara hidup dan mati, gue membisikkan kata-kata cinta, sebagai bentuk penyemangat untuknya.

Dua setengah jam berlalu, suara tangis menggema terdengar. Rasanya jantung gue seperti akan meledak saat melihat bayi mungil berlumuran darah dalam gendongan Dokter Vina, suara pertama malaikat kecil gue begitu kencang sekali.

Gue mengalihkan tatapan pada Yesi, cairan bening keluar di kedua sudut mata, bahkan rambutnya basah bermandi keringat. Gue mencium puncak kepalanya berkali-kali.

I love you, i love you, i love you..."

I love you, too, Dady." Setelah mengatakan itu mata Yesi terpejam.

*****

Ruang rawat inap ini begitu penuh. Karena kedatangan teman teman alumni sekolah dan kampus gue, bahkan beberapa guru dan dosen juga ikut menjenguk.

Mereka menyampaikan ucapan turut berbahagia atas kelahiran putri pertama kami.

Setelah itu, satu persatu dari mereka pulang, menyisakan Uli, Ryan, Ivan, Jovan, Dea dan Rika.

Mereka berenam mengerumuni Yesi, sehingga gue tersisih dan duduk di sofa bersama orang tua.

Mereka terlihat gemas, sesekali mencium dan mencubit pipi anak gue. Tentu saja hal itu membuat gue menggeram. Gue yang Dady nya saja belum menciumnya. Malam tadi, setelah dibersihkan, gue  hanya sebatas mengazaninnya saja.

Tanpa menunggu lagi, gue langsung mendekat. "Sudah sudah, sekarang kalian bisa pulang. Anak sama istri gue mau istirahat!"

"Sebentar dong, Yesa." Saya betah mandangin ponakan saya." Dea menoel noel pipi anak gue yang sedang tertidur lelap, beberapa kali dia mengecap ngecap bibirnya karena ternganggu.

"Sekarang juga kalian harus pergi!" Gue mendorong mereka satu persatu.