"Huuu...pelit amat, sih!" Mending Jovan aja yang jadi bapaknya."
Kata - kata Ryan membuat darah gue mendidih, hampir saja gue melempar satu keranjang buah ke arah mereka kalau saja mereka tidak buru-buru keluar.
Saat menoleh kembali, gue menemukan gelak tawa dari Yesi, dan para orang tua.
"Kamu kebangetan banget pelitnya, Yesa," kata Papa dia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Gue hanya mendengus, kalau tadi teman-teman gue, sekarang semua orang tua yang menguasai anak gue. Akhirnya gue kembali memutuskan duduk di sofa sambil memandangi mereka.
"Pa, mending kita keluar aja. Tuh liat, mukanya nggak enak banget." Mama mengarahkan pandangannya ke arah gue, mereka semua kompak dan terkekeh lagi.
"Ya, silahkan saja tertawa sepuas kalian!" Kata gue datar.
Saking gelinya, Mama sampai mengeluarkan air mata. Dia yang menggendong anak gue sampai menyerahkan pada Papa. Gue berkali-kali di buat kesal sama mereka.
"Ayo, keluar sekarang saja." Papa kembali membaringkan malaikat mungil gue di samping Yesi.
Mereka menuju pintu, sebelum keluar, Papa menepuk punggung gue. "Anakmu nggak akan kami ambil, tenang saja."
Mendengar itu, gue mendengus kencang beruntung para orang tua sudah keluar kamar.
Walau dengan perasaan kesal, gue mendekat dan duduk di dekat brangkar Yesi. Dia sedang memberi ASI untuk malaikat kecil kami.
"Kamu kenapa sih, Mas. Marah-marah mulu?"
"Mas, cemburu." Tangan gue sibuk mencubit pipi si mungil yang sedang kehausan. Daddy-nya saja belum mencium sama sekali, tapi mereka sudah ngelangkahi."
Mendengar itu Yesi tertawa dan mencubit hidung gue. "Kekanakan sekali, tapi Mas lucu."
Tangannya terulur lalu mengusap kening gue pelan. "Oh iya, apa Mas sudah siapkan nama untuk buah hati kita?"
"Hmmm."
"Siapa?"
"Raisa Sahla makayla" Yesi tersenyum mendengarnya. "Cantik sekali."
Gue yang sedari tadi memandangi malaikat mungil gue kini menoleh. Untuk sepersekian menit, gue hanya memandangi wajah Yesi.
Perlahan gue mendekat dan mendaratkan kecupan sedikit lama di bibir, kemudian berbicara di sela-selanya. "Iya, cantik seperti Yesi." Bibir gue beralih ke puncak kepala Yesi.
"Terima kasih telah memberikan kebahagiaan yang sangat luar biasa. Gue sangat mencintai kalian."
"Sama-sama, Daddy." Yesi tersenyum sambil menggerakkan tangan, Isa.
Sinar matahari pagi merembes lewat cela gorden, gue sedikit mengeryit sebelum membuka mata. Pemandangan pertama yang gue lihat adalah wajah Yesi.
Dia masih terlihat nyenyak dalam tidurnya, tangan gue terulur untuk menghalau sinar cahaya matahari pagi yang mengenai wajahnya.
Dalam diam, gue terus memandangi Yesi. Sudut bibir gue terangkat saat mendengar dia menggumam. Perlahan gue mendekat dan mencium puncak kepalanya.
Karena kelakuan gue, Yesi meleguh dalam tidurnya. Tidak lama, matanya terbuka penuh menampilkan iris berwarna coklat. Dia terdiam beberapa menit, kemudian menyunggingkan senyuman yang menemani di setiap pagi gue.
"Selamat Pagi."
"Pagi juga, Mas?"
Yesi menggeliatkan tubuhnya dan bersiap untuk bangkit, tapi lebih dulu tangannya gue tarik sehingga kembali berbaring di samping gue.
Tanpa menunggu apa-apa lagi, gue langsung memberikan kecupan di bibirnya beberapa kali dan lumatan panjang terakhir.
Dalam ciuman, gue merasa Yesi tersenyum. Suara tangis disertai pukulan kecil di kaki gue membuat ciuman kami terlepas. Tatapan gue beralih untuk mengetahui siapa pelakunya.
Gue terkejut saat menemukan Isa nggak berhenti memukuli gue, hidung mungil dan pipi bulatnya memerah karena tangis.
"Daddy, jahat! Daddy makan mulut Mommy!"
Mendengar itu, kontan saja Yesi langsung tertawa kencang. Sedang gue, terdiam sesaat untuk mencerna kata-kata Isa.
"Dia kira, kamu nyakitin aku, Mas."
Gue menoleh ke arah Yesi kemudian menepuk kening. "Astaga!" Bergegas gue mendekati Isa dan mendudukkannya di pangkuan gue.
"Bukan, Nak. Daddy bukan menyakiti Mommy, itu tanda sayang Daddy pada Mommy.
Bohong! Isa pelnah nyentuh bibil kucing, tapi Isa digigit. Pasti Daddy juga gigit bibil Mommy."
"Raisa, kucing itu hewan, sedangkan kita manusia. Tentu saja berbeda."
Raisa masih bertahan dengan tangisnya, sedangkan Yesi masih tertawa. Dia hanya memandangi gue yang kerepotan.
"Sayang, Daddy tidak menyakiti Mommy. Coba tanyakan saja padanya, apakah Mommy kesakitan? Kalo iya, Daddy tidak keberatan di hukum Raisa."
Seketika Raisa mengusap air matanya, dia memandangi gue. "Apa boleh?"
"Tentu saja boleh."
Tatapannya berpindah pada Yesi. "Mommy, apa bibil Mommy sakit? Apa Daddy gigit bibil Mommy?"
"Tidak, sayang." Yesi mengelus kepala Raisa. "Daddy menyayangi kita, tentu saja, Daddy nggak akan menyakiti kita.
Benalkah?" Mommy nggak bohong, kan?"
"Isa kan tau kalau bohong itu dosa."
Mata bulat Isa mengerjap ngerjap, kemudian dia menganggukkan kepala.
"Iya, Isa pelcaya."
Dengan takut dia menatap gue. "Daddy, Isa minta maaf?"
"Tidak apa-apa." Gue langsung menggendong Isa di atas pundak gue.
"Sekarang saatnya kita sarapan."
Kami keluar dari kamar bersama-sama menuju ruang makan. Sesekali Isa berceloteh tentang sekolah dan tentang teman-teman sekolahnya. Gue dan Yesi hanya jadi pendengar setianya saja.
Setelah gue memutuskan bekerja di perusahaan Papa tiga tahun yang lalu. Quality time kami tidak banyak. Jadi saat weekend, sebisa mungkin gue memanfaatkan waktu bersama anak dan istri gue.
Yesi sendiri juga sibuk, dia mengurus Isa dan juga mengelola restoran. Tiga tahun yang lalu, dia mengatakan ingin membantu mengelola restoran milik kami.
Awalnya gue ragu karena dia pasti kerepotan. Tapi karena dia terus terusan membujuk, akhirnya gue menyetujuinya.
"Daddy.... Daddy..." Tarikan Isa di lengan piyama membuat gue mengalihkan pandangan dari koran.
"Ada apa, sayang?"
Dia menerima sendok bihun goreng dari Yesi.
Terlebih dahulu Isa mengunyah makanan di dalam mulutnya, setelah menelan makanan baru dia melanjutkan bicara. "Isa kangen Oma sama Opa."
"Habisin dulu makanannya, setelah mandi baru kita kerumah Oma sama Opa."
"Yeeee..." Dia bersorak dengan kedua tangannya, kontan gue langsung tersenyum melihat itu.
"Kamu juga, Mas. Makan dulu, baca korannya nanti saja."
Gue mengangguk, setelah itu melipat koran dan meletakkannya di atas meja. Dalam diam, gue memandangi Yesi dan Isa bergantian. Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat senyum mereka.
***END***