Terasa berat ujian hidup yang kini gue alami, dada gue terasa sesak karena perasaan bersalah yang besar terhadap Yesi.
Entah berapa lama, mata gue terpejam. Belum sempat tertidur, gue merasakan ada yang bergerak dalam ngenggaman. Awalnya gue hanya membiarkannya saja dan terus memejamkan mata karena lelah dan mengantuk.
Untuk sepersekian menit, gue hanya mematung. Mata gue mengerjap berkali-kali untuk memastikan kalau penglihatan gue tidak salah. Setelah benar benar percaya, gue langsung bangkit dan memencet tombol hijau dengan cepat.
Jari Yesi bergerak dalam ngenggaman gue. Apa itu pertanda bagus atau buruk, yang pasti gue harus memanggil dokter.
Tidak lama, pintu dibuka. Di balik pintu muncul dokter Anggi yang sibuk berkutat dengan snelinya.
"Ada apa, Yesa?" dia mendekat dan memasang stetoskop.
"Jarinya bergerak, dokter. Jari Yesi, bergerak!"
Belum sempat dokter Anggi menjawab, kami berdua langsung menoleh saat mendengar leguhan kecil, dan itu berasal dari Yesi.
Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini, bahkan saking bahagianya gue berteriak menutup mulut dan berlari ke samping Yesi. "Syukurlah, syukurlah." Kebahagiaan menyeruak begitu saja. "Syukurlah..."
Dokter Anggi memeriksa kondisi Yesi.
Dia terlihat serius untuk sesaat, setelah itu mendongak menatap Yesi." Selamat anda sudah berjuang melewati koma. Walaupun saat ini kondisi anda masih lemah, pasti saya pastikan, anda baik baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."
Yesi menjawab dengan kedipan mata pada dokter Anggi. Pandangannya beralih pada gue, dia menitikkan air mata, dengan susah payah dia mengangkat tangannya untuk menggapai gue, dengan tergesa gue mendekat.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Pamit dokter Anggi, dia memberikan senyumnya untuk Yesi dan gue.
*****
Seminggu pasca koma, keadaan Yesi berangsur angsur pulih. Dia sudah di pindah ke ruang perawatan, bahkan dia sudah bisa bersandar dan berbicara, walau masih sedikit pucat. Perban di kepalanya juga sudah di lepas, hanya menyisakan luka kecil di sekitar wajahnya saja.
Gue tengah menyuapi Yesi makan, karena dia masih kesulitan. Tangan kanannya masih di gips.
Sejak sadar sampai saat ini, Yesi selalu menatap gue dalam diam. Pandangannya tidak sedikitpun lepas, kemana gue pergi, maka begitu juga matanya mengikuti gerak langkah gue. Walau sejauh ini, kami belum terlibat pembicaraan serius.
Hanya pembicaraan ringan dan berkaitan dengan kesembuhan Yesi saja.
Satu suapan terakhir untuk Yesi, setelah menyerahkan gelas berisi air putih, gue beranjak dari duduk, tapi tangan gue di tahan.
"Yesa, berita itu-"
Dengan cepat gue menggeleng, mengisyaratkan pada Yesi untuk membicarakan ini nanti saja.
Tapi rupanya dia salah mengerti, Yesi melepaskan cekalan tangannya, lalu menghembuskan napas dan menunduk.
Gerak gerik kami tidak luput dari pandangan orang tua. Papa sama Mama hanya menggeleng, sedangkan Papa Roman sama Mama Siska hanya menghela napas. Lewat kedua ekor mata, gue melihat mereka berpandangan dan saling mengangguk satu sama lain.
"Papa, Mama hari ini ada janji temu dengan teman-teman arisan komplek." Tiba tiba Mama bangkit dan menyeret Papa keluar.
"Ah! Papa lupa mencuci mobil! Ayo, Ma? Kita pulang." Begitu juga dengan Mama Siska dan Papa Roman, mereka menyusul Mama sama Papa keluar.
Gue hanya menghela napas berat. Sangat ketahuan sekali jika mereka memberi waktu gue dan Yesi berbicara satu sama lain.
Mereka saling memberikan kami waktu untuk saling menjelaskan dan menguraikan benang yang kusut.
Kaki gue melangkah keluar, tapi lagi-lagi di cegah oleh Yesi.
Gue menoleh. "Gue mau beli buah, Yesi. Kayaknya Yesi pengen makan buah."
Seolah teringat sesuatu, Yesi bergegas turun dari ranjang. Dia membawa tiang infus dan berjalan tertatih menghampiri gue.
Melihat dia yang kesusahan, gue membantu dan mendudukkan Yesi di sofa. Di ruangan Yesi di rawat nggak mengherankan ada Sofa, karena kamar VIP.
"Duduklah," kata Yesi.
Gue menurut dan ikut duduk di sampingnya.
"Gue, rindu, Yesi. Sangat rindu, rasanya tidak tahu seperti apalagi." Mendengar curahan hati gue Yesi langsung menangis di dalam dekapan, gue mengelus rambut Yesi pelan. "Maaf karena selalu memberi rasa sakit."
*****
"Tidak! Yesi yang seharusnya minta maaf sama kamu, Yesa. Yesi bersalah, dan Yesi paling egois!" Kepala gue menggeleng dan semakin memeluk erat tubuh, Yesi.
Yesi menguraikan pelukan dan menatap mata gue lurus. Mata kami berdua sama-sama ada jejak air mata. Gue mengusap air mata di pipi Yesi dengan lembut. Seperti yang pernah gue lakukan, Yesi juga melakukannya. Mengecup kedua mata gue bergantian.
"Gue sudah tau semuanya, Yesi. Gue tau Yesi datang ke club itu karena ancaman Diego, gue juga tau kalo berita itu palsu. Semua palsu! Yesi hanya dijebak, dan gue dengan bodohnya mempercayai itu!"
"Aku...Aku..." Yesi terisak karena tidak sanggup mendengarkan penjelasan gue lagi.
"Ssshhh..." Kening gue dan Yesi saling menempel. "Tidak apa-apa, Yesa. Tidak apa-apa, asal Yesa sudah tau semuanya. Yesi lega, rasanya beban yang menghimpit dada sekarang terangkat.
Yesi tidak takut Yesa meninggalkan, Yesi. Tidak takut kalau, Yesa membenci Yesi. Rasanya tidak ada yang lebih lega daripada ini."
"A - apa Yesi benar-benar tidak marah lagi sama gue? Gue nggak mempercayai, Yesi. Dan memilih bersembunyi. Gue egois dan keras kepala! Gue benar benar minta maaf, karena membuat Yesi melewati masa-masa ini tanpa mendengarkan penjelasan Yesi terlebih dulu."
"Dengarkan Yesi, sekarang Yesa sudah mengetahui kebenaran semuanya, Yesi sangat bahagia sekali, Yesa. Tidak ada yang perlu di permasalahkan lagi, asal Yesa percaya, itu yang lebih penting untuk, Yesi."
"Tapi, gue..."
"Yesa, lupakan yang telah berlalu! Sekarang yang terpenting adalah, kita. Mari saling memaafkan satu sama lain dan memaafkan juga orang yang sudah menyakiti kita."
Karena tidak sanggup menjawab, gue mengangguk sambil memeluk tubuh Yesi erat.
Benar kata Yesi! Kami hanya, perlu saling memaafkan semua yang sudah lewat dan melupakan hal yang menyakitkan.
Walau gue bodoh dan egois, gue pria yang paling beruntung karena memiliki Yesi.