Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 43 - kebenaran

Chapter 43 - kebenaran

Suster Elly melaksanakan tugasnya. Begitu juga Dokter Anggi, dia mulai melakukan pemeriksaan dari memeriksa pola napas, mengetahui ukuran pupil mata, refleks gerakan sampai yang terakhir kepekaan reaksi Yesi terhadap rasa sakit.

Setelah selesai, dia melingkarkan stetoskop di lehernya. "Kondisi pasien sedikit lebih baik dari hari kemarin. Tapi tetap belum bisa di pastikan kapan pasien akan sadar."

"Apa membutuhkan waktu lama, Dok?"

"Itu juga masih belum bisa di pastikan."

Gue hanya bisa mengangguk lesu mendengar penjelasan Dokter Anggi.

"Oh iya, sudah hampir seminggu, tapi saya masih belum tahu nama kamu." Dokter Anggi mengulurkan tangannya.

"Pasti kamu sudah tahu nama saya?"

"Iya." Gue tersenyum dan menyambut uluran tangannya. "Saya, Yesa, Dok."

"Oke, Yesa. Seperti biasa, kalau ada apa-apa langsung pencet saja tombol berwarna hijaunya."

"Iya, terima kasih Dokter Anggi, Suster Elly."

Gue mengangguk kepada mereka satu persatu.

Dokter Anggi dan Suster Elly keluar.

Tidak lama setelahnya, gue menyusul karena tiba-tiba saja gue kepengen makan sop buntut di kantin rumah sakit.

Dengan langkah lebar dan sedikit tergesa gue berjalan, rasanya lamban sedikit saja, air liur meleleh.

Sedikit mengusap peluh di pelipis, gue mengambil napas sebanyak banyaknya saat tiba di kantin gue mulai memilih menu. Seperti keinginan tadi, gue memesan sop buntut dalam mangkok besar dan memilih tempat duduk di dekat kaca lalu menikmati sop buntut dengan perasan air jeruk nipis.

Satu suapan pertama masuk ke dalam mulut, dan rasanya sangat nikmat sekali. Rasa asam yang mendominasi membuat gue betah berlama-lama menghirup kuah sop buntut yang segar.

Tidak terasa satu mangkok besar sop buntut telah tandas. Gue meneguk es jeruk kelapa, sambil tersenyum dan mengusap perut yang sudah tidak terasa lapar lagi. "Lapar, ya, Yesa? maaf Mama lagi lagi lupa beri kamu makan. Pasti kamu ikut menderita."

Mendengar ada yang bertanya, gue mendongak dan menemukan Mama dengan nampan di tangannya. Dan ikut makan siang bersama.

Gue mengerjap. "Eh, i - iya, Ma."

Mama mengambil tempat duduk di depan gue dan menyuap satu sendok spaghetti dengan santai.

Dering hape membuat gue mengalihkan pandangan. Nama Mama Siska muncul di layar, dengan cepat gue menempelkannya ke telinga sambil menggeser tombol hijau.

"Halo, Ma?"

"Mama Siska sama Papa Roman sudah berada di ruang ICU."

"Iya, nanti Yesa menyusul kesana."  Gue memutuskan sambungan telepon. Gue dan Mama bangkit, menuju kasir dan membayar total harga makanan dan minuman.

Dengan pelan, gue mendorong pintu menemui Mama Siska dan Papa Roman. Mereka bersamaan menoleh kearah gue dan Mama sambil tersenyum.

"Darimana, Yesa?"

Mengambil posisi duduk di samping Mama Siska, gue mengusapnya pelan dan menatap Yesi. "Dari kantin, Ma."

"Maafkan Yesi, Yesa. Dia sudah membuat kamu repot. Dan Mama tidak tahu harus mesti bilang apalagi ke kamu."

"Yesa tidak apa-apa, Ma. Sebaiknya kita fokus dulu dengan, Yesi."

"Maaf." Mama Siska terisak dan memeluk gue.

Perasaan sedih menjalar sampai sesak di dada, gue menyunggingkan senyum dengan pelan mengusap punggung Mama Siska.

"Yesa, sebaiknya kamu istirahat di rumah. Biar Mama Siska dan Papa Roman yang menjaga, Yesi."

Gue menguraikan pelukan dan menoleh pada Papa Roman. "Tidak apa-apa, Pa. Yesa ingin menemani, Yesi."

"Benar kata Papa Roman, Yesa. Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat."

Gue kembali menatap Mama Siska. Akhirnya, mau tidak mau gue mengabulkan permohonan mereka.

Papa Roman bangkit, dia siap mengantar gue sampai parkiran rumah sakit.

Sebelumnya itu, gue pamit sama Mama Siska dan menatap Yesi lebih lama lalu mencium punggung tangannya. "Gue pulang dulu, Yesi." Cepat bangun, kami menunggu kamu bisik gue lirih.

*****

Hari ini, gue, Mama sama Papa datang ke sekolah untuk memenuhi panggilan Pak Harry. Saat melangkahkan kaki menuju sekolah, lagi lagi gue menemukan tatapan tajam dan rasa penasaran mereka.

Tapi gue nggak ambil pusing dan acuh terus melangkah menuju ruang BK.

"Yesaaaaa?!"

Teriakan dari belakang membuat gue menoleh. Disana gue menemukan Uli, Ryan, dan Ivan berlari menuju gue.

Mama menyentuh pelan punggung gue. "Kami masuk dulu, Yesa. Kamu menyusul, ya?" Gue mengangguk. Setelah Mama dan Papa menghilang di balik pintu, gue menghampiri mereka.

"Kangen kalian?" Gue memeluk mereka satu persatu.

"Gue juga," jawab Uli. Sumpah, Yesa. Gue stres ngadepin ujian tanpa lo." Terkekeh pelan, gue menguraikan pelukan. "Kasian."

"Bagaimana kabar Yesi, Yesa?"

Pandangan gue beralih ke Ryan. "Masih belum banyak kemajuan." Dia mengangguk tanda mengerti.

"Kelanjutan hubungan kalian bagaimana?" kali ini pertanyaan di lontarkan Ivan.

"Tidak tau." Gue mengalihkan pandangan ke lapangan. "Menunggu Yesi sadar dan mendengarkan penjelasan dari dia. Setelah itu gue akan menentukan keputusan yang tepat."

Dia mengusap pelan punggung tangan gue. "Semoga itu keputusan yang terbaik buat lo."

"Thanks, Van."  "Sama sama, Yesa."

"Eh, gue masuk dulu, sudah di tunggu."

"Oke. Semangat, Yesa!" kata mereka bersamaan.

"Harus, dong,"  jawab gue. Setelahnya berbalik dan memandang sejenak pintu berwarna coklat muda itu, mengetuknya tiga kali dan masuk.

Mama sama Papa duduk di sofa, sedang Pak Harry duduk di sofa single. Gue memilih duduk diantara Mama dan Papa, terakhir melontarkan senyum pada Pak Harry.

Sedikit banyaknya, mereka sudah bicara.

Kedatangan gue hanya untuk mendengarkan lanjutan dari pembahasan mereka yang tertunda.

"Begini, Pak Zain. Sebelumnya, maaf kepada keluarga anda, terutama pada, Yesa. Karena kami, khususnya para guru sudah menganggap dia anak yang paling nakal di sekolah ini. Sekali lagi, maaf, Pak. Saya mewakilkan guru guru di sini untuk meminta maaf."

"Tidak apa-apa. Seandainya saya di posisi, Bapak. Saya juga berpikir demikian. Papa mengangguk maklum.

Mama ikut mengangguk dan mengusap punggung tangan gue.

"Selepas saya mengetahui fakta kenakalan Yesa. Saya sulit mengubah pandangan para murid terhadap, Yesa. Dan tentunya sekolah di pandang tidak baik. Seandainya teman teman Yesa waktu itu tidak ikut ke rumah sakit, pasti berita ini hanya di dengar oleh saya saja. Sekali lagi kami minta maaf."

"Sebagai orang tua, kami yang harus meminta maaf pada, Bapak. Kami yang memulainya maka kami yang akan menanggungnya. Apapun yang di pikirkan orang lain, kami tidak berhak melarang mereka. Terima kasih, Pak. Terima kasih selama dua tahun ini memberikan ilmu pada anak saya."  Papa mengulurkan tangan pada Pak Harry.

"Sama sama, Pak." Pak Harry menyambut dengan senyumnya. "Hari ini, saya kembalikan baik baik Yesa kepada orang tuanya."

Papa berdiri, begitu juga gue dan Mama. Sekali lagi, Papa berjabat tangan dengan Pak Harry begitupun Mama.

Terakhir gue mencium tangan Pak Harry sambil menahan kesedihan dan gue mampu membendungnya. "Maaf dan terima kasih, Pak." Sedikit lama gue mencium tangan Pak Harry.

Dia mengusap kepala gue pelan. "Sama sama, Yesa. Sama sama. Sekali lagi Bapak mewakili mereka semua untuk meminta maaf pada kamu."

Pak Harry mengantar keluar sampai gerbang sekolah, dan tentu saja itu mengundang tanda tanya dari murid lain.

Setelah kami masuk ke dalam mobil, barulah beliau pergi. Papa menghidupkan mesin mobil  dan perlahan meninggalkan parkiran sekolah.

Gue memandang dari balik jendela. Mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kali dalam hati. Tidak sedikit pun menyesal karena di keluarkan dari sekolah. Apapun itu, gue yakin pasti yang terbaik untuk gue.