Beruntung Bu Ana masuk kelas. Mereka yang tadi berkerumun di meja gue, kini membubarkan diri kembali ke tempat duduknya masing-masing.
"Selamat pagi?"
"Pagi, Bu!" jawab kami serempak.
Tatapan Bu Ana menatap tajam wajah gue. "Yesa, kemana kamu dua hari tidak ada kabar sama sekali?"
"Saya sakit, Bu."
"Seharusnya kamu mengirim surat keterangan dari dokter ke sekolah, atau menelpon pihak sekolah."
"Maaf, Bu." Gue menunduk.
Terdengar helaan napas dari Bu Ana. "Sebaiknya kamu ke ruang BK. Silahkan minta surat permintaan maaf dan tidak akan mengulanginya kembali, diruang Pak Harry."
Mengeryitkan kening sejenak, gue langsung berdiri. "Baik, Bu." Lalu gue melangkah keluar kelas.
"Bu?"
Gue menoleh ke ruang kelas sejenak dan menemukan Daffa mengacungkan tangannya.
"Saya izin mau ke toilet," lanjutnya dan langsung di jawab anggukan dari Bu Ana.
Daffa sedikit berlari mengejar gue. Setelah mensejajarkan langkah, dia menyenggol lengan gue.
"Sedikit berbohong tidak apa-apa kan, Yesa?"
"Serah, lo!' jawab gue terkekeh.
*****
"Gue tunggu di bangku depan laboratorium kimia." Tunjuk Daffa ke bangku yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Gue hanya mengangguk.
Gue menoleh kearah pintu ruang BK, menghembuskan napas berat, gue memutuskan mengetuk pintu dan langsung masuk menemui Pak Harry.
Setelah insiden melarikan diri ke rumah Uli, gue pulang karena di jemput Mama sama Papa. Mereka membujuk gue agar beristirahat di rumah saja. Papa yang biasanya tenang, kini terlihat lelah. Keriput di wajahnya kini semakin terlihat jelas. Begitu juga dengan Mama, matanya terlihat sembab.
Gue mengurung diri di kamar tidak ingin keluar. Diruang tamu kedatangan Mama Siska dan Papa Roman. Alasan gue tidak ingin disana karena di tengah mereka ada Yesi.
Beberapa kali terdengar suara keributan di lantai bawah. Gue teramat rindu Yesi, sangat rindu. Tapi itu semua tertahan karena hubungan skandalnya dengan Diego.
Seharusnya Yesi bahagia karena gue sudah tahu hubungan mereka, tapi kenapa dia terlihat sedih? Seperti tidak mempunyai semangat hidup. Menggeleng pelan, gue berubah untuk tidak memikirkan itu lagi.
Gue berada dalam situasi tak mampu bertahan, tapi tidak sanggup untuk melepaskan. Setelah yang kami lewati, tentu kalian akan merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan.
Karena tidak ingin berlarut larut dalam kesedihan, gue bangkit dan memilih untuk belajar.
Besok UTS di mulai, dan nilai adalah satu satunya prioritas gue sekarang.
Saat sibuk berkutat dengan buku pelajaran, terdengar pintu kamar di ketuk dan di susul suara Mama.
"Yesa, bisa keluar, Nak?" Suara Mama lembut. "Mama sudah dengar semua penjelasan dari Yesi. Kamu hanya salah paham, Nak. Mama sangat percaya Yesi setelah Mama lihat kondisinya.
Yesi jauh menyedihkan dan jauh lebih sakit dari kamu."
Salah paham? Kalau salah paham, kenapa mau maunya Yesi mau diajak makan bareng ke restoran bersama laki laki itu tanpa seizin Yesa. Mama tidak tahu, tapi Yesa tahu semuanya.
"Yesa belajar, Ma. Besok UTS."
"Setidaknya berbicara sebentar saja, biarkan dia menjelaskan. Beri Yesi kesempatan, Yesa."
Gue enggan menjawab Mama dan enggan membukakan pintu kamar.
Gue sudah mengambil keputusan untuk tidak mempercayai Yesi.
Bukankah sudah pernah gue katakan, sekali saja menghianati, maka serpihan kaca yang pecah tidak akan pernah kembali lagi.
"Ya sudah. Kalau memang tidak mau bicara sekarang, nanti saja bicaranya. Pikirkan baik-baik, seharusnya kamu tahu seperti apa orang yang sudah merusak hubungan kalian. Dan pertimbangkan untuk memilih mempercayai Yesi atau pria itu." Mama menjeda kata katanya sejenak. Hanya karena punya visualisasi yang cakap bukan berarti hatinya cakap."
Tangan gue yang sibuk mengotak gatik rumus matematika akhirnya terhenti. Ada sedikit kata kata Mama yang menyentil gue. Memilih mempercayai Yesi atau Diego?
Menggelengkan kepala, gue mengambil keputusan tidak keduanya. Gue lebih percaya dengan diri gue sendiri, tidak ada pilihan yang tepat selain hati gue.
*****
UTS hari pertama adalah praktek olahraga. Kelas XII A IPA di gabung dengan kelas XII C IPA, untuk pengambilan nilai. Dimulai dari kelas gue lebih dulu. Kami memulai memasukkan bola basket ke dalam ring.
Berdasarkan urutan abjad, maka nama gue yang terakhir. Hampir semua murid sudah mendapat giliran. Uli, Ryan, Ivan berdiri disamping gue sambil memperhatikan Daffa yang memasukkan bola ke dalam ring.
Tiba saat giliran gue memasukkan bola basket ke dalam ring, dengan postur tubuh gue yang tinggi sama sekali tidak mendapatkan kesulitan memasukkan bola basket yang berat itu ke dalam ring.
Di kamar gue memilih memejamkan mata. Mengingat ingat perkataan Yesi kalau dia bisa membuktikan. Membuktikan apa? membuktikan kalau dia benar-benar menjalin hubungan dengan Diego. Mengingat itu, dada gue kembali sesak.
Maaf, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk Yesi.
*****
Gue terjaga saat rasa haus mendera. Pelan pelan bangun, sedikit menurunkan kaki ke lantai, rasa dingin marmer langsung menjalar ke kaki.
Gue membuka kulkas, mengambil air mineral dan meneguknya sampai rasa haus gue hilang. Sebelum gue benar benar berbaring, gue mengambil hape di meja kecil sebelah ranjang. Jam menunjukkan pukul empat pagi, gue menghela napas berat sambil menerawang. Padahal Dalam hati kecil gue menunggu Yesi, menunggu dia membuktikan kata katanya kalau memang benar tidak ada jalinan asmara diantara mereka.
Bahkan sampai saat ini gue tidak bisa berbohong kalau gue sebenarnya menunggu kedatangan dia. Lagi lagi perasaan tidak enak itu menelusup, bersamaan dengan itu, dering hape menyentak lamunan gue.
Mengeryitkan kening sejenak, nomer tidak dikenal lagi.
Dengan pelan gue memencet tombol hijau dan menggesernya. "Halo."
Tidak ada jawaban.
"Halo."
Tetap tidak ada jawaban. Karena kesal, gue langsung memutuskan panggilan dan memilih untuk tidur kembali. Tapi lagi-lagi dering hape mengurungkan niat gue. Masih dengan nomer yang sama.
"Kalau tidak ada yang dibicarakan, sebaiknya anda tidak perlu menelpon saya!" Napas gue memburu.
"Sungguh meng-"
"Ha-halo....?"
Kata-ka gue terpotong begitu saja, tubuh gue mendadak tidak bergeming. Suara ini...Gue kenal sekali dengan suara ini. Sangat kenal.
"Y-Yesa....?" kalimatnya terputus putus dan suaranya bergetar seolah dia tidak sanggup mengeluarkan banyak kata. "Yesi....." suara itu terisak..."Yesi.... kecelakaan."