Bagai mendengar petir di siang hari bolong, seperti itu yang gue rasakan. Dan selalu ada perasaan tidak nyaman, dan inilah jawabannya ternyata firasat buruk.
"Maafkan, Aku. Maafkan, Aku...." Nada suara penyesalan itu semakin pilu dan sarat akan permohonan.
"DIMANA, YESI?!"
rasa sesak membuat gue berteriak. Gue hanya ingin meluapkan kemarahan yang menggumpal, marah sekali sampai sesak yang berlomba ingin keluar.
Mama dan Papa sampai terbangun dengan tergesa mereka menghampiri dan menatap gue khawatir, terutama Mama.
"Ada apa, Yesa?" Mama mengusap punggung tangan gue, lalu mengambil air dan menuangkannya di gelas.
"Minum, Yesa, kamu pasti terlalu lelah."
Tanpa mengubris mereka berdua, gue semakin mengeratkan hape yang gue pegang. "Kasih tahu dimana Yesi, Diego?"
Dengan terbata bata suara Diego dari kejauhan, mengatakan alamat rumah sakit Yesi di rawat.
Gue langsung memutuskan panggilan sepihak, tanpa menoleh gue langsung bergegas mengambil kunci mobil dan menuju pintu. Bagaimana pun itu gue harus menyusul Yesi. Dia sakit, dia butuh gue di sampingnya.
"Yesa, ada apa?" tangan gue di cekal dengan kencang dan menemukan raut wajah cemas di wajah Mama.
"Lepasin Yesa, Ma. Lepas! Yesi sakit, Ma!"
Gue meronta sambil meracau tidak jelas. "Yesi nungguin, Yesa, Ma." Dan terakhir suara gue terdengar amat pelan.
Tubuh Mama bergetar, dia menarik gue masuk ke dalam pelukannya.
"Katakan dimana, Yesa? kita kesana sekarang!"
Gue mengangguk pelan dan mengatakan alamat rumah sakit yang diberitahukan Diego. Setelah itu Mama bergegas Menelpon Mama Siska.
*****
Berlari memasuki lorong rumah sakit, menuju IGD. Di sana gue menemukan tiga orang, satu diantaranya polisi sedang berbicara dengan seorang laki laki, dan Diego yang meringkuk di kursi. Tangannya bersimbah darah, badannya gemetar.
Gue menghampiri Diego.
"Kenapa? kenapa dengan, Yesi?!" Gue berteriak pada Diego.
"Maafkan, aku... Maafkan, aku..." Hanya itu yang bisa di dengar dari mulut Diego. Tubuhnya semakin bergetar dan mengerut di posisi duduk.
Suara berteriak keras membuat gue terkesiap dan menoleh.
"Kamu pria berhati jahat! kamu apakan anak saya?!" Aura kebencian kental di raut wajah Mama Siska, Napasnya memburu.
Papa Roman memegang punggung tangan Mama Siska dan mengusapnya pelan. "Ma, sabar, Ma."
"Tidak!" Diego berdiri, dia berteriak sambil mengacak rambutnya. "Bukan salahku, itu salah, Yesi! itu salah, Yesi!" Diego berlari begitu saja.
Laki laki yang berbicara dengan polisi tadi kini mendekat menghampiri kami. "Maaf, nanti akan saya jelaskan. Saat ini, Diego syok." Dia menyerahkan kartu nama pada Papa Roman. "Hubungi saya di nomer ini." Setelah itu dia pergi.
Tiga orang Dokter terlihat berlari.
"Ada apa, ini?" tanya salah seorang dari mereka. Gue berdiri di samping Mama, menggenggam tangannya erat.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Tanya Mama Siska dengan suara bergetar.
Dokter yang bernama Anggi itu menoleh ke ruang ICU sebentar dan mengangguk paham. "Sebaiknya, saya akan memeriksa kondisi pasien kembali."
Dokter Anggi dan satu Dokter lagi melewati kami masuk ke ruang ICU. Gue menuntun Mama Siska masuk, begitu juga dengan Mama.
Sedangkan Papa dan Papa Roman berbicara dengan polisi terlebih dulu untuk mengetahui kronologi kejadiannya.
Sambil melihat Dokter Anggi memeriksa Yesi, dada gue seperti di iris melihat keadaannya. Kepala Yesi di perban dan tangan kanannya di gips. Ada juga beberapa luka kecil di pipi manis Yesi.
Isakan Mama Siska sedikit mengeras, gue juga sedih sambil mengusap tangannya. Mama memeluk kami berdua dan menenangkan.
"Pasien ini mengalami cedera kepala dan patah tulang tangan." Dokter Anggi menghela napas. Dan dari hasil CT-Scan, benturan keras yang dialami menimbulkan sedikit memar otak. Saat ini, pasien dalam kondisi koma."
Rasanya seperti ada benda yang berkali kali menghantam jantung. Kepala gue geleng-geleng, ini tidak mungkin, kan? tadi siang Yesi masih bisa berlari untuk gue. Bahkan dia berjanji untuk membuktikan ke gue kalau berita itu hanya salah paham.
Dengan langkah kaki bergetar, gue mendekat pada Yesi. Tapi baru mengambil beberapa langkah saja, pekikan Mama Siska membuat gue menoleh dengan cepat, Mama Siska pingsan karena syok.
Dengan tergesa gue duduk di bangku tepat di depan tubuh Yesi berbaring, dan memegang tangan dinginnya.
"Rini, bantu angkat ibu ini." Dokter Anggi berbicara dengan Dokter yang lain disampingnya.
Dengan tergesa Dokter yang bernama Rini itu membopong tubuh Mama Siska keluar dari ruang ICU bersama dengan Mama.
"Kalau ada apa apa, kamu pencet saja tombolnya. Nanti saya, suster, atau Dokter lain akan bergegas ke sini."
Gue mengangguk dengan instruksi yang diberikan Doker Anggi tadi.
"Terima kasih, Dok."
"Sama sama." Sambil melontarkan senyum, Dokter Anggi langsung ke luar ruangan ICU.
Pandangan gue kembali pada Yesi, pelan pelan gue duduk dan menggenggam tangannya.
"Siang tadi, Yesi nyuruh gue nunggu, kan? walau nggak jawab, sampai sekarang gue nungguin, Yesi. Ayo buka mata, sudah cukup tidurnya." Gue menggoyang goyangkan lengan Yesi.
"Ayo, Yesi. Bangun dan bicaralah sekarang. Kali ini gue mau mendengarkan penjelasan, Yesi. Gue akan mendengarkan sampai selesai."
gue hanya mendengar suara monitor. Dada gue terasa sesak dan menahan rasa sakit yang nggak bisa gue gambarkan.
Gue menelungkupkan kepala dan menjadikan tangan Yesi sebagai bantal. "Gue memang bodoh, kan Yesi?" Mata gue terpejam dan kepala gue pening karena menahan beratnya beban yang gue rasakan saat ini.
"Seandainya, Yesi lebih memilih Diego di banding gue. Gue nggak tahu lagi, kebodohan besar apa yang bakal gue lakukan."
*****
Sudah lewat tiga hari ini Yesi masih memejamkan mata. Dia masih betah dengan tidurnya dan senang melihat yang menunggunya khawatir.
Papa Roman dan Papa mendapat info dari pihak kepolisian kalau Yesi di tabrak mobil dan si pengemudi dalam kondisi mengantuk. Beruntung si pengemudi mau bertanggungjawab dan kasusnya di proses lewat jalur hukum sebagaimana mestinya.
Yang masih menjadi pertanyaan di kepala gue, kenapa Yesi sampai tertabrak mobil dan kenapa juga Diego ada di tempat yang sama? Itu pertanyaan terbesar gue.
Semenjak Diego melarikan diri, kabarnya bagai di telan bumi, dia tidak ada kabar sama sekali.
Sore ini, gue duduk di samping Yesi sambil tidak berhenti memandanginya. Di ruangan Yesi mendapat perawatan intensif. Gue hanya sendirian, papa kerja, sedangkan Mama masih di rumah. Dia sudah ngabarin gue kalau malam nanti akan ke rumah sakit.
Di rumah sakit kadang gue menyibukkan diri berbicara dengan Yesi seperti saat ini.
"Ini sudah lebih hampir empat hari, dan Yesi tidak mau menjelaskan apa apa sama gue. Kamu itu nyebelin tahu, nggak? Tapi sebenci apapun gue sama Yesi, gue nggak bisa berhenti cinta sama kamu, Yesi?" Gue menunduk lesu sambil mengusap jari tangan Yesi.
"Ehmmm....?"
Seseorang berdehem dan gue menoleh. Ternyata itu Dokter Anggi dan Suster Elly.
"Eh, iya, Dok? Maaf saya tidak mendengar Dokter dan Suster masuk."
"Tidak apa-apa." Dokter Anggi tersenyum ramah. "Saya hanya memeriksa kondisi pasien, dan Suster Elly akan mengganti tabung infus.
"Silahkan, Dokter." Gue memberi cela untuk Dokter Anggi.
*****