Mulut gue langsung terbungkam. "Sekarang istirahatlah, kasih teleponnya sama Uli. Mama mau bicara sama dia."
Gue mendongak menyerahkan hape pada Uli. Dia mengangguk dan sedikit menjauh dari gue. Entah apa yang mereka bicarakan, gue tidak terlalu menyimak.
Terdengar langkah kaki mendekat. sepertinya Uli sudah selesai berbicara dengan Mama.
Saat ini dia membantu gue berdiri dan menopang tubuh gue dan berjalan pelan menuju tempat tidur.
Dengan pelan gue berbaring. Uli menutup tubuh gue dengan selimut sampai dada.
"Gue ambil makan dulu,ya?"
"Nanti saja, Uli. Gue nggak lapar." Gue menggeleng pelan dan memegang tangan Uli saat dia akan beranjak.
Tapi dengan pelan dia melepaskan genggaman gue dan tersenyum hangat. "Muka lo pucat, Yesa. Gue tau lo belum makan apa-apa sejak dari pagi."
Lagi lagi gue tidak bisa membantah Uli. Dia keluar dari kamar dan tidak berapa lama muncul lagi dari balik pintu dengan nampan di kedua tangannya.
Tidak heran Uli cepat kembali karena rumah mereka hanya satu lantai saja, tapi rumahnya luas dan mewah.
Uli membantu gue bangkit dan bersandar di punggung ranjang. Dia meletakkan mangkok bubur yang entah di masak oleh siapa. Dan satu gelas air putih hangat di letakkan di meja kecil samping ranjang.
Dalam diam gue memakannya. Menyuap sendok demi sendok ke dalam mulut. Hanya sanggup tiga suapan saja, selebihnya gue bergegas bangkit.
Tatapan protes Uli terlihat, tapi gue cegah dengan uluran tangan. Gue meminta tolong dia untuk menopang tubuh gue karena kaki gue lemah dan tidak bisa digunakan untuk melangkah lagi.
Uli kewalahan karena bobot tubuh dan tinggi badan gue yang melampaui dia. Uli memutuskan untuk meminta bantuan Bang Igho, beruntung gue sudah akrab dengan abangnya Uli.
Saat dia memapah gue, tatapannya terlihat khawatir layaknya seorang Abang pada Adeknya.
"Mau Abang anter ke rumah sakit?"
"Yesa hanya butuh istirahat saja, Bang. Nanti bangun tidur pasti sembuh, kok."
Terlihat ragu tapi Bang Igho mengangguk. Dia mengusap sekilas kepala gue dan Uli bergantian.
"Kalau ada apa-apa panggil Abang saja, Abang ada di ruang TV."
Dan anggukkan gue berikan sebagai jawaban.
Bang Igho langsung keluar dari kamar. Tidak lama kemudian Uli langsung menyusul keluar, dia membiarkan gue istirahat di kamar sendiri.
*****
Samar samar gue mendengar suara keributan, sedikit mengeryitkan kening sebelum membuka mata.
"Yesa?!"
Teriakan dari luar menggema dan gue mengenali suara ini.
"Kak Yesi cari siapa? Yesa tidak ada disini!"
Gue juga mendengar jawaban dari Uli. Sedikit menarik sudut bibir karena bersyukur memiliki sahabat seperti dia.
"Tidak! Yesa pasti ada di sini! Yesa, keluar. Ayo pulang, berita itu tidak benar, semuanya tidak benar. Ayo pulang Mama Yolanda sudah rindu dan menunggu kamu sekarang di rumah."
"Kak Yesi gila, ya? teriak-teriak di rumah kami. Apa perlu saya memanggil satpam buat ngusir Kak Yesi."
"Saya tidak kenal dengan, Kakak. Tapi alangkah baiknya Kakak pulang, perbuatan Kakak bisa saya laporkan ke polisi karena menggangu ketentraman."
Dan ini suara Bang Igho.
Mata gue terpejam kembali. Dan menulikan telinga, dan tidak akan luluh lagi dengan permohonan air mata putus asa Yesi. Tidak akan pernah lagi!
*****
Dua hari gue bersembunyi di rumah Uli, selama itu juga gue nggak masuk sekolah. Dan selama itu juga Yesi terus datang membujuk gue.
Karena permintaan gue,Uli dan Bang Igho kompak berbohong. Mereka terus berdalih pada Yesi bahwa gue tidak menginap di rumah mereka.
Beruntung Papa Uli sedang liburan di Seoul bersama Mamanya. Jadi gue nggak perlu mendapatkan interogasi macam macam dari mereka. Bang Igho sendiri tidak mempermasalahkan keberadaan gue di rumahnya. Baginya, gue sama seperti Uli.
Awalnya dia heran kenapa gue bersembunyi di sini dan bertanya perihal Yesi. Dengan keahliannya, Uli berbohong, kalau Mama ikut Papa perjalanan dinas, sedang Yesi cewek gue.
Dan dari Uli, gue tahu kalau rapat komite sudah dilaksanakan sejak sehari yang lalu. Dari hasil rapat itu, kami berempat hanya diberikan peringatan dan tentu saja poin tambahan. Ucapan Pak Harry tempo hari hanya ancaman saja agar kami tidak lagi membuat masalah dan kami di suruh fokus untuk menghadapi UAS dan UN.
Setelah berpikir, gue memutuskan untuk kembali ke sekolah. Buat apa gue terpuruk sedih untuk orang yang menyakiti gue. Sungguh itu hal yang bodoh, dan gue mengakui itu, kalau gue memang bodoh banget.
Menjadi kuat dan tidak akan lemah, gue harus berani menghadapi Yesi. Harus!
*****
Mobil Uli terparkir sempurna di parkiran sekolah. Gue dan Uli bergegas turun, gue datang dengan kekuatan baru setelah dua hari tidak masuk sekolah.
Dengan langkah pasti, gue bergegas keluar dengan Uli. Kebetulan Jovan juga baru datang dengan motornya. saat melepas helm, Jovan memandang dengan raut wajah khawatir. Gue membalas dengan senyuman.
"Yesa, gue duluan." Uli menyenggol lengan gue dan bergegas berlari menuju kelas begitu saja.
Jovan mendekat, dia di samping gue menoleh dan menatap gue dalam diam.
"Jangan melihat gue seperti itu, Jo."
Dia terkekeh. "Yesa sepertinya jauh lebih mengkhawatirkan hari ini daripada Yesa hari kemarin."
"Banyak orang menjadi lebih keras untuk melindungi hatinya yang pernah terluka. Dan gue dalam tahap itu."
Terdengar helaan napas dari Jovan. Selebihnya kami melanjutkan langkah menuju kelas dalam diam.
Mulai menaiki tangga lantai pertama, sampai langkah tangga lantai kedua, gue sedikit mencengkram pegangan karena lelah luar biasa.
Belakangan ini gue sering pening, badan gue lemas, dan bergerak sedikit saja akan terasa luar biasa lelahnya. Mungkin ini titik terendah keterpurukan dalam masalah percintaan yang gue alami.
Saat gue sampai di kelas, gue seperti merasakan dejavu. Anak anak di kelas khususnya cewek berhamburan mengerumuni gue, bertanya tentang keadaan gue. Terakhir Daffa menarik tangan gue keluar dari kerumunan dan berujung dia mendapatkan dengusan sinis dari anak cewek di kelas.
Belum pas mengambil posisi duduk, Daffa, Ryan dan Ivan mengelilingi tempat meja gue dan Uli.
"Yesa, berita itu benar?" Tanya Ryan, wajahnya terlihat serius menatap gue. Seolah sedang menunggu jawaban dari gue Daffa dan Ivan kompak menatap gue. Mereka menuntut jawaban.
"Lo nggak pa-pa, Yesa?" Kali ini Daffa yang bertanya. Dan diantara lingkar persahabatan kami, Daffa lah yang paling dewasa dan bijaksana.
Kepala gue tertoleh ke arah Daffa. "Seperti yang lo lihat." Gue baik saja sambil menyunggingkan senyum, Senyuman pahit.