Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 38 - rasa malu yang menyelinap

Chapter 38 - rasa malu yang menyelinap

Ruangan begitu hening, ingin menjawab? Jawaban apa yang harus di katakan? Ingin membela tapi kami tahu benar benar salah. Sungguh tidak menyangka sekali kalau keisengan ini membawa petaka besar. Gue kira hukumannya

paling sebatas membersihkan toilet, halaman, gudang dan perpustakaan.

"Surat peringatan akan langsung dikirim ke orang tua kalian. Sabtu ini, saya berharap mereka akan datang. Kalau tidak, maka dengan berat hati saya meminta kepala sekolah langsung mengeluarkan kalian dari sekolah ini. Dan tentu di pertimbangkan dari rapat komite dan poin poin pelanggaran yang sudah kalian lakukan sebelumnya.

Pak Harry mengetuk getukkan  bolpoin ke meja, sikap badannya sangat santai sekali. Tapi bertolak belakang dengan kata katanya. Orang ini tidak pernah main main, walau tidak pernah menyakiti secara fisik Tapi dari segi perkataan langsung menancap di jantung bagi siapa saja yang mendengarnya.

"ada pertanyaan?!"

Kami semua menggeleng sambil menunduk.

Tidak berani mendongak sama sekali.

"Silahkan keluar!"

Dan masih dalam keadaan menunduk kami semua berjalan beriringan keluar dari ruang BK.

Setelah menginjakkan kaki di koridor, gue menghirup napas sebanyak banyaknya.

Saking gugupnya tadi, ruang udara di ruang BK serasa menyempit. Apalagi aura yang serasa dingin dengan ac menyala memperparah keadaan.

"Bagaimana ini?" tanya Uli lemas. Dia berjongkok di dekat ruang koridor. Gue nggak mau di d.o. Cita cita gue masih panjang."

Ryan dan Ivan melamun dengan tangan bersidekap di depan dada. Tatapan mereka lurus menatap kearah panggung yang sudah selesai di dekorasi.

"Gue nggak bakal nyangka jadi begini." Diantara kami berempat, Ivan yang paling santai. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berdiri tepat di sebelah gue.

Ryan acuh tidak peduli. Dia hanya bersiul sambil menatap anak kelas 10 dan 11 yang bermain basket.

Gue mendaratkan bokong di kursi. "Kalo ada yang lebih bermasalah, seharusnya itu gue. Sudah tidak terhitung berapa kali gue masuk ruang BK, dan tentu saja itu yang memberatkan gue di rapat komite nanti."

Mereka bertiga kompak menatap ke arah gue. Gue balas dengan menyunggingkan senyum.

" Tenang saja, kalaupun gue keluar dari sekolah ini. Gue nggak bakalan nyesel karena gue bisa mencari sekolah terbaik lainnya di jakarta.

*****

Suara musik memekakkan telinga. Hari ini sedang berlangsung acara pergelaran pentas seni tahunan SMA Mahardhika Internasional School. Beberapa sekolah menjadi tamu undangan, termasuk group band terkenal. Gue berada di paling depan kerumunan. semua terlihat menikmati acara dengan  melambai lambaikan tangan dan berteriak histeris, khususnya dari kaum cewek.

Dari kejauhan gue melihat Daffa. Dia benar benar serius menangani keberlangsungan acara ini agar berjalan dengan lancar. Aura ke pemimpinan Daffa begitu kental, jabatan ketua OSIS ini sangat cocok di tugaskan kepadanya. Dan gue manaruh rasa kagum dan hormat pada Daffa.

Di samping gue ada Uli, dia terlihat hanyut mendengarkan lagu yang dibawakan anak anak band SMA Mahardhika Internasional School. Badan gue sedikit terdorong dorong oleh kerumunan murid yang saling berdesakan.

Di antara ramainya acara, hanya gue yang tidak dapat menikmati. Tatapan gue ke depan, tapi pikiran gue tidak di tempatnya. Tiba tiba gue kangen Yesi, pengen meluk dia, dan bermanja manja.

Astaga?! kok gue jadi mesum, ya? dengan cepat gue menggelengkan kepala, mengusir setan mesum yang menguasai pikiran gue.

Tiba tiba ada yang menarik tangan gue dan sedikit menyeret. Karena terkejut, spontan saja langsung gue tepis. Dan gue mendapati seseorang itu adalah Yesi.

Dia menempelkan jari telunjuk di bibir gue. Kemudian memberikan isyarat pada gue untuk mengikuti langkahnya. Tentu saja gue menurut, beruntung sebagian penghuni sekolah hanya terfocus pada acara saja, sehingga dengan mudah gue mengikuti Yesi ke kantin.

Di kantin suasana sepi hanya gue dan Yesi. Gue memeluk tubuh Yesi yang mungil.

"Yesi, rasanya gue akan gila." Gue semakin mengeratkan pelukan.

"Ummm...Yesa, ada apa?"

Sepertinya Yesi kesulitan bernapas karena pelukan gue yang kelewat erat. "Yesa, kenapa sih?" gue menatap Yesi tajam setelah gue melepas pelukan.

"Yesi mencintai, Yesa kan?"

"Heh, pertanyaan macam apa itu?" bibir Yesi sedikit mencibir."  tentu saja! Bahkan rasa cinta Yesi tumpah saking banyaknya ke Yesa."

Gue membuka mulut seolah olah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Kepala gue gelengkan dan berakhir menghela napas panjang.

"Ada,apa Yesa?"

"Ini..." Dia terlihat ragu ragu."  sedikit gila."

"Iya? apanya yang gila?"

Yesi mengalihkan pandangannya dari wajah gue, pipinya terlihat merah.

"Mau melakukan itu di sini?"

"Itu..?" untuk beberapa saat Yesi berpikir. Setelah menangkap maksud gue seketika Yesi melotot. "Mesum! Yesa Mesum, mesum!" Yesi memukul mukul badan gue dengan geram. Astaga! Bisa bisanya dia berpikiran seperti itu.

Gue terlihat kewalahan.menahan pukulan Yesi, akhirnya gue menyerah dan membiarkan badan gue menjadi pelampiasan kejengkelan Yesi.

Yesi kelelahan, dia berhenti memukul gue dan menatap tajam lurus.

gue memeluk Yesi erat. Yesi sudah jadi candu buat gue. karena gue tidak tahan untuk hidup berjauhan terus dari Yesi."

"Uhm...Yesa boleh melakukan itu, tapi tidak disini. N - nanti malam saja."  saat mengatakan itu mata Yesi sepenuhnya terpejam. Malu banget! Mesum banget.

*****

Tidur siang gue terusik saat mendengar percakapan orang bicara. Untuk sesaat gue membuka mata dan mengerjap. Kamar hanya diterangi oleh masuknya sinar matahari dari balik jendela kamar. Gue menajamkan pendengaran tanpa bergerak sedikitpun. Itu suara Yesi, tapi  dengan siapa dia bicara?  gue berpikir Yesi sudah sedari tadi datang ke rumah tapi, Mama nggak ngabarin ke gue karena gue asik BOSI alias bobo siang.

"Jangan nganggu aku lagi!"

Dari nada suaranya, terdengar Yesi sangat marah pada lawan bicaranya. Gue jadi penasaran, hal apa yang dibahas sampai Yesi segitunya.

"Aku tidak mau! Aku sudah muak dengan tingkahmu! selama ini aku hanya menahan saja, tapi kali ini tidak lagi!"  Yesi menarik napas berat."kamu mengerti? aku sekarang sudah lebih bahagia dari yang kamu duga. Ternyata Tuhan itu adil, dia memberikan kebahagiaan lebih dari yang aku harapkan.

Ternyata yang berbicara dengan Yesi adalah pria.

Gue mendengar derap kaki beradu dengan keramik dan terakhir gue menangkap suara pintu kamar di buka  dan kembali di tutup.

Hening. Gue membalikan badan dan menemukan kekosongan. Gue melihat Yesi berpamitan ke Mama karena waktu  masih menunjukan pukul setengah dua siang, anehnya Yesi tidak menemui gue untuk berpamitan pulang.

Bi inah membuka pintu kamar gue dan menaruh segelas juice jeruk beserta buah potong di atas meja.

"Loh, kenapa, den Yesa?" gue menggeleng."Yesa mau lanjut tidur siang lagi, Bi. Boleh kan Yesa minta tolong tutup kembali pintu kamar."

Dengan tatapan yang masih bertanya tanya, Bi Inah mengangguk menurut. Gue langsung menghempaskan tubuh ke kasur dengan kencangnya.