Pagi pagi buta, gue udah berangkat ke sekolah karena menghindari macetnya Jakarta.
Notif hape tidak berhenti berbunyi, entah itu pesan, chat atau telepon.
Sendirian di kelas duduk termenung menatap ke depan dengan pandangan kosong. Bahkan gue tidak membawa tas dan satu pun buku pelajaran.
Tujuan gue datang pagi-pagi ke sekolah untuk mengalihkan kedatangan Yesi.
"Selamat pagi, Yesa? tumben datangnya lebih awal." Ria menyapa dengan senyuman .Dia tidak sendiri, di sampingnya ada Daffa. Mereka orang kedua setelah gue yang datang lebih awal pagi ini.
Hanya memandang mereka sejenak, gue mengalihkan tatapan lagi ke depan.
Daffa berlalu dari samping gue. Pandangannya tidak sedikitpun lepas, begitu juga Ria yang penasaran.
Perlahan gue menyunggingkan senyum. "Gue nggak pa pa." Setelahnya langsung menelungkupkan kepala di atas meja.
Kepala gue pusing. Gue sadar kalo belum sarapan, bahkan tadi malam gue nggak bisa tidur.
Tidak lama, suara ramai terdengar. Gue juga menangkap kehadiran Uli lewat suaranya yang ceria menyapa. Dan itu tidak berpengaruh buat gue sama sekali.
"Yesa, kenapa, lo?" Uli menyentuh pundak gue pelan.
"Nggak pa pa, gue cuma ngantuk." Suara gue teredam karena masih dalam posisi menelungkupkan kepala.
"Oh, oke. Tidur aja, gue nggak bakal ngangguin, lo."
Dan terakhir anggukan dari gue sebagai jawaban.
*****
Ternyata di sekolah sama saja. Tidak bisa mengalihkan pikiran gue.
Bel istirahat berbunyi, gue bergegas bangkit dan menoleh sejenak pada Uli.
"Uli, gue kebelakang sekolah. Kalo lo nyariin, datang saja ke sana."
"Muka lo pucat, ada apa, Yesa?"
Biasa, nggak enak badan." Sedikit menyunggingkan senyum, setelah mengatakan itu gue langsung melangkah keluar dengan pelan.
Rasanya tubuh gue lemah, tapi gue paksakan.
Melewati koridor sekolah yang entah kenapa tiba-tiba saja terasa panjang. Mengabaikan sekitar, gue sedikit mempercepat langkah agar cepat sampai. Gue tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
Sesampainya, gue mengambil posisi duduk dekat pohon beringin.
Ini lebih sakit dari yang gue kira. Hanya memikirkannya saja membuat dada gue sesak dan rasanya sangat sulit bernapas.
Bukankah Yesi mencintai gue? Apakah dia berbohong tentang cerita masa lalunya? Kalau benar berbohong dia sudah keterlaluan.
Dia nyakitin gue. Hanya karena dia yang pertama untuk gue, jadi dia bebas menyakiti.
Seperti orang linglung gue tidak bereaksi apa apa.
Lagi lagi notif hape berbunyi. Kepala gue tertunduk, dan menemukan puluhan pesan dan telpon dari Yesi. Tapi bukan itu yang menarik perhatian gue. Tangan gue tergerak membuka pesan dari nomer tidak di kenal.
Nomor itu lagi.
+6282555XXXXXX: kejutan yang pertama boleh gagal. Tidak dengan yang kedua.
+6282555XXXXXX: Kamu sudah melihatnya? Bagaimana menurutmu?
+6282555XXXXXX: Oh iya, sampai lupa memberitahumu.
+6282555XXXXXX: dua kejutan itu dariku. DIEGO.
Setelah membaca pesan itu, tangan gue gemetar.
Bagaimana bisa? ada pria selicik itu?
Yesi dengan Diego.
Mereka berdua sekongkol buat nyakitin gue. Sandiwara yang mereka mainkan bagus sekali.
Seharusnya gue nggak pernah tertipu dengan air mata palsu yang Yesi keluarkan tempo hari.
Seharusnya gue membangun benteng pertahanan yang kokoh di hati gue agar tidak jatuh ke pelukannya. Kalau sudah seperti ini, gue harus apa?
Selamat! mereka berhasil menyakiti gue teramat sangat.
Kepala gue tertunduk, tarikan kencang ditangan membuat gue tersentak. Gue menemukan wajah Uli yang terlihat lebih panik.
"Yesa, kita harus kelapangan sekarang! Jovan berantem sama Pak Harry!"
Gue nggak bisa berpikir apa-apa lagi dan langsung berlari kelapangan. Uli ikut mensejajarkan langkahnya di samping gue.
Di lapangan, gue membelah kerumunan dan langsung menemukan Jovan yang terkapar lemah dengan Pak Harry meninjunya brutal.
Sekuat tenaga gue melerai perkelahian diantara mereka lalu mendorong sekuat tenaga tubuh Pak Harry dan membantu Jovan untuk bangkit.
Mereka yang menyaksikan itu ikut tercengang, dan yang paling syok itu Pak Harry.
Tanpa mempedulikan situasi sekitar bahkan Pak Harry, gue memapah Jovan, mengantarnya ke UKS. Uli di sisi kiri Jovan, ikut membantu.
Sampai di dalam ruang UKS, kami menunggu Jovan di obati. Matanya menoleh ke gue dan Uli lalu menyunggingkan senyum.
Gue mengusap memar di punggung tangan Jovan. "Lo kenapa sih Jovan? kalau punya masalah lebih baik di selesaikan daripada harus berkelahi dengan Pak Harry."
"Lo, nggak harus melakukan ini, Jo. Biar masalah gue yang hadapi sendiri, soal gue di skors oleh Pak Harry itu lebih mending daripada gue harus di d.o. dari sekolah."
Jovan menggeleng. Gue teman lo. Sebagai teman harus saling melindungi. Uli di samping gue hanya menatap dalam dan terdiam.
Sesaat setelah Bu Aini mengobati luka Jovan lalu memberikannya perban. Mereka berdua keluar dari ruang UKS bersama. Menyisakan gue dan Jovan.
Bel pulang berbunyi. Gue sepakat untuk main ke rumah Uli. Gue hanya ingin menghindari Yesi bila dia datang ke rumah untuk mencari gue.
Tidak ada barang sebutir nasi pun yang bisa masuk ke dalam perut gue, otak gue hanya di paksa untuk membenci dan membenci Yesi.
Dikhianati oleh seseorang yang teramat kalian cintai sangat sakit rasanya. Bayangkan saja dia mengagung agungkan kata cinta untuk gue, dia meneteskan air mata dan bodohnya gue sangat mempercayainya.
Diego dan Yesi sudah pasti di belakang gue diam diam menjalin hubungan. Setelah skandal hubungan mereka terkuak, saat itulah mereka melempar bom buat gue. Mungkin saat ini mereka berdua tertawa puas melihat kesakitan yang gue rasakan.
Bagaimana bisa mereka berbuat seperti itu? seharusnya gue sadar sejak dulu, Diego bukan lawan yang sebanding. Tentu saja Yesi akan lebih memilih Diego dari pada gue. Gue hanya dijadikan tempat pelarian dan bersenang-senang.
Gue mengubah posisi untuk telentang dan menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Sengaja gue menonaktifkan hape untuk menenangkan pikiran gue sejenak.
Dengan lemah gue berjalan menuju kamar mandi, gue berkumur dan mencuci muka. Dari pantulan cermin dapat gue lihat penampakan wajah yang menyedihkan.
Pintu kamar terdengar di ketuk tiga kali, tidak lama Uli muncul dengan hape di telinganya. Setelahnya dia menyerahkan hape pada gue. "Ini dari Mama,lo."
Gue mengalihkan tatapan ke sembarang, enggan menatap Uli. "Untuk saat ini gue nggak mau ngomong sama mereka."
"Ayolah, Yesa. Mereka khawatir sama,lo."
Karena tidak ingin berdebat dengan Uli, gue memilih hape yang disodorkan Uli dan langsung mendekatkan ke telinga.
"Halo, Ma?"
Terdengar suara lirih dari seberang sana. "Syukurlah" kelegaan luar biasa gue dapati dari nada suara Mama. "Kamu tidak apa apa, Yesa? Hmmm? ngomong sama Mama, apa yang sakit, Nak?"
Tanpa bisa di cegah gue ingin mengadu pada Mama, seolah Mama mengetahui permasalahan yang gue hadapi.
"Sabar, Yesa. Ini adalah ujian kalian. Seberat apapun masalah yang menimpa. Mama yakin Yesa pasti bisa menyelesaikan masalah kalian dengan jalan terbaik. Mama memang tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang Yesa rasakan, tapi asal Yesa tau Mama sama Papa menyayangi Yesa. Bicaralah pada Yesi, Nak, walaupun menyakitkan, dan apapun itu, Mama sama Papa akan mendukung keputusanmu."