gue dan Yesi sepakat untuk tidak membahas ataupun mengingat kesalapahaman yang terjadi pada malam itu. Anggap saja tidak ada yang terjadi, tidak ada hal apa apa yang kami lewati. Melupakannya adalah hal yang paling baik.
*****
Sudah tiga hari ini gue nggak masuk sekolah. Bahkan untuk berjalan jalan di sekitar rumah sekalipun sedikit susah.
Mama menyuruh gue untuk beristirahat di rumah saja. Dan dengan senang hati gue menuruti kemauannya, karena semenjak gue sering absen, timbul rasa malas yang kian hari semakin menjadi.
Mama sudah berangkat mengantar Oci ke sekolah pagi tadi. Di rumah sedang kedatangan Mama Siska dan Yesi. Entah ada angin apa, Mama Siska dan Yesi datang berbarengan.
Gue duduk selonjoran sambil asik membaca novel, Mama baru saja pulang sehabis mengantar Oci ke sekolah.Dia sibuk memotong buah sedangkan Mama Siska lagi di dapur membuat minuman.
Sedikit mendongak dari novel yang gue baca, gue mendapati Mama yang tidak berhenti menatap gue.
Matanya menyipit dan ke dua tangannya masih bekerja mengupas kulit buah pear.
"Bilang sama Yesi, mengapa Yesa tidak sekolah?"
Berdehem, gue berusaha fokus ke novel yang gue baca dan pura pura tidak mendengar pertanyaan yang di lontarkan Yesi.
"Ada apa ini?" Mama Siska datang dengan membawa dua gelas jus alpukat dingin dan meletakkan di atas meja.
"Ini, ada yang tidak beres pada Yesa," jawab Yesi.
"Loh, dimananya?" Mama Yolanda sedikit terkejut.
Lalu kedua orang tua rempong itu mendekat ke tempat gue duduk. Sedikit panik, gue menyembunyikan wajah dari balik novel agar terhindar dari introgasi. Tapi itu sia sia, dengan jahatnya Yesi menarik novel dari tangan gue dan melemparkannya ke sofa lain.
Wajah Yesi mendekat.
"Y - Yesi, ngapain?" gue meneguk ludah dan tergagap. Tangannya terulur meraih kerah baju gue, sedang Mama Yolanda dan Mama Siska hanya memandang sarat keingintahuan.
Tangan gue menyilang di depan dada. Yesi seolah olah sedang mencari sesuatu.
Kini giliran Mama yang terlihat sibuk dengan hapenya dan mendekatkan ketelinga.
Dengan seksama gue memperhatikan, apa yang akan dilakukan dengan Mama Yolanda dan Mama Siska.
"Halo, Papa? kamu pulang saat ini juga!" terlihat gerak tangan Mama mematikan panggilan telepon.
Seakan tidak terjadi apa apa, Mama kembali ke rutinitas awalnya, melanjutkan mengupas kulit pear dengan santai. Sedangkan Mama Siska ikut menuang nuangkan jus alpukat ke dalam gelas.
Tiba tiba perasaan tidak enak melingkupi gue, apa yang sedang mereka rencanakan? kok gue deg degan,ya?
Terdengar suara deru mesin mobil dari luar rumah, dan tidak lama suara bunyi pintu terdengar di buka kencang.
Papa berjalan tergesa gesa.
"Ada apa? Yesa baik baik saja?"
Kontan saja hal itu menjadi pusat perhatian.
Gue,Yesi, Mama dan Mama Siska menatap kearah Papa.
"Oh, Papa sudah datang?" tanya Mama terkagum karena Papa datang begitu cepat.
Papa duduk di sebelah gue dan Yesi. Kali ini kaki gue tidak lagi selonjoran. Gue sudah memperbaiki cara duduk, kayaknya pembicaraan kali ini akan serius.
Mama dan Mama Siska mengambil posisi duduk tepat di seberang kami. Tangan mereka kompak terlipat di dada, khas emak emak kepo akut.
"Ehmmm...jelaskan apa yang terjadi?" Mama membuka sidangnya.
Dengan cepat gue menjawab."Tidak ada kok. Hanya sedikit masuk angin karena kemaren malam saat pesta ulang tahun Yesi, belum sempat tidur sama sekali karena mata gue yang susah di pejamkan."
Menghembuskan napas, Papa mengusap wajahnya perlahan."di kira ada hal penting apa Mama nyuruh Papa segera pulang, ternyata cuma bahas Yesa yang kena masuk angin?"
"Kalau hanya masuk angin, makan yang banyak Yesa. Kamu pasti memerlukan banyak tenaga. Yesa itu kuat."
Dengan senyum lebar Mama menyodorkan buah buahan yang sudah dikupas kulitnya.
Apanya yang kuat? kok gue ngebayangin hal yang iya iya.
Mama Siska kalau ngomong frontal banget. Tapi gue tetap menurut memakan buah dan jus yang mereka sodorkan.
****
Karena absen, gue ketinggalan beberapa info. Sekolah akan mengadakan pentas seni tahunan. Dan setiap kelas wajib berpartisipasi. Acara ini sekaligus tugas terakhir Daffa sebagai ketua OSIS dan dilanjutkan pelantikan ketua OSIS baru.
Kelas kami ikut berpartisipasi dengan menampilkan team dance campuran antara anak cewek dan anak cowok. Gue nggak ikut berpartisipasi karena memang tidak mau. Dan juga pemilihan team dance campuran sudah dipilih saat gue absen.
Gue, Uli, Ryan dan Ivan berdiri nongkrong di depan kelas, kami menatap ke bawah melihat anak anak OSIS yang tengah sibuk menata panggung. Beberapa guru juga ikut membantu termasuk Pak Harry.
"Lo kemana tiga hari ini? absen mulu, mentang mentang masuk angin, semaunya nggak sekolah," cibir Uli.
"Serah gue, dong. Kok lo yang sewot?"
"Sudah sudah." Ryan menengahi kami. "Gimana kita melakukan sesuatu. Sumpah gue bosan banget. Anak anak lain pada kumpul di aula, mereka latihan."
"Setuju!" Ivan ikut mengacungkan tangannya." pokoknya siapa yang kalah, harus menurut sama teman yang menang."
"Boleh," juga Uli ikut tertarik. "Gue ada ide." Ivan menjentikkan tangannya."
"Ide apa?!"
"Bikin kehebohan aja, kita berempat ke ruang penyiaran, terus nyetel musik. Dijamin bakal rame."
Seakan mendapatkan ilham. Kami langsung menyetujui ide gila Ivan.
Di mulai gue dan Uli dulu turun ke lantai bawah menuju ruang penyiaran. Di belakang ada Ryan dan Ivan yang ikut membuntuti.
Mengendap endap dan memantau suasana sekitar, kemudian secepat kilat mungkin berlari dan masuk menuju ruang penyiaran. Ryan menghidupkan komputer di ruang penyiaran, dia menyalin lagu di hapenya ke komputer.
Gue dan Uli menatap Ryan dengan cemas kemudian bergantian menatap ke arah pintu. Takut ada seseorang yang tiba tiba masuk. Kan rugi, musik belum keputar kena hukum iya.
"Sudah, Ryan?" tanya Ivan nggak sabaran.
Ryan mengangguk."Lo pada keluar, gue yang mutar nih lagu dan langsung menyusul kalian keluar." Ucap Ryan.
"Oke. Tapi lagu apa yang lo putar?" Uli penasaran, dari tadi dia mencuri curi pandang ke komputer namun nggak bisa. Karena seluruh badan Ryan yang menutupinya.
"Dengar nanti saja Ryan menyeringai. Udah buruan kalian pada keluar!" perintah Ryan.
Kami bertiga mengangguk. seperti masuk yang sembunyi sembunyi, keluarnya juga seperti itu. Sedikit berlari kecil, kami bertiga menuju kantin dan langsung duduk.
Ivan tertawa ngakak. "Kalian gila!"
"Iya," jawab Uli. "Lo lebih gila, itu ide gila milik otak lo."
"Sama sama gila jangan meledek." Gue tertawa lebih ngakak.
Lalu terdengar lagu di putar. Dan sumpah, kami langsung ngakak kenceng banget.
Wik wik wik wik wik wik wik wikkk...
Ah ah ah ah ah ah ah ah ah ah ahhh...
Demi apa? Lagu ini yang di putar Ryan? Bahkan sekolah jadi gempar. Derai tawa terdengar dari berbagai sudut ruang sekolah.
Terlihat dari kejauhan Ryan berlari tergopoh gopoh.
Anjrit!" Ryan!" Uli tertawa sambil memegang perutnya.
"Aduduh...aduh...mulut gue sampe keram." Gue nggak berhenti ngakak. Bahkan sampe keluar air mata.
Ryan langsung duduk di samping Ivan, napasnya terdengar putus putus. "Gimana lagu gue?" Ivan langsung menampol Ryan. Kalau ada yang paling gila di antara kita, sudah pasti itu lo."
Kompak kami tertawa. Menertawai tingkah gila oleh sekumpulan murid gila.
Tiba tiba terdengar bunyi dari pengeras suara sekolah. Dan lagu wikwik yang berputar berganti suara horor.
"Panggilan kepada Yesa, Uli, Ryan Ivan agar segera ke ruang BK. Terima kasih!"
*****
Gue, Ryan, Uli dan Ivan bergerombol mengelilingi Pak Harry. Dengan penuh cermat kami memandangi cctv yang berputar di komputer.
"Ryan, kok cowok yang ada di komputer itu mirip sama lo?" tanya Uli yang terus mengamati layar komputer.
"Eh, geblek!" bukan mirip lagi, itu benar benar gue." Ryan menggeplak kepala Uli. "Noh! lo juga ada, malahan wajah lo paling jelas ketangkap."
"Kok bisa?" Ivan sok terkejut. "Apa ini keluar di youtube juga? kalo iya, gue bakalan nelpon Mami dulu, ngasih tau kalo anaknya masuk youtube."
"Kok? lo pura pura bego, atau bego beneran, sih?" gregetan banget gue, ni anak pengen di tampol kayaknya. Padahal dia loh yang punya ide super gila ini.
"Jangan ngegas,Yesa."
Kan? kan? si Ivan ini tipe yang spontan. Apa aja yang ada dipikirannya langsung keluar gitu aja. Tanpa di saring. Kalau kumat begonya, dia berkali kali lipat menyebalkan. Gue aja pengen banget nyakar wajah tanpa dosanya itu.
"Kalian bisa diam?!" bentak Pak Harry. "Apa tidak malu berdebat, sedangkan guru berada tepat di depan. Mana sopan santun yang diajarkan pada kalian selama ini?!" Pak Harry berbicara membelakangi kami, tapi dari nada suaranya yang dingin dan tajam langsung menusuk bagi siapa saja yang mendengar.
Ryan menyenggol tangan gue, dia memberi isyarat agar gue berbicara untuk mewakili mereka.
Jari jemari gue saling menggenggam satu sama lain, setelah menghembuskan napas, gue mendongak tepat menatap pundak Pak Harry.
"Maafkan kami." hanya nada suara lirih yang bisa gue keluarkan. Sementara Uli, Ryan, Ivan diam menunduk.
"Saya heran, ruang BK ini sangat jarang dikunjungi kelas lain. Tapi kalian dari kelas XII - A IPA selalu ada saja membuat kekacauan. Seharusnya sebagai senior di kelas ini, kalian memberikan contoh yang baik untuk adik kelas kalian, bukan bertingkah ke kanak kanakan."
Pak Harry berbalik, mata tajamnya bergantian menatap kami satu persatu. "Jujur, saya sangat muak dengan ulah kalian ini! boleh saja kalian jahil, tapi tahu batasnya. Dan yang tadi kalian lakukan itu sangat keterlaluan!"
"Kalau kalian melakukan hal itu atas dasar rasa bosan dan ingin bermain main, saya katakan dengan tegas! kalian itu hanya membuat malu nama sekolah dan orang tua kalian!"
Selama kami berada di ruangan BK, tentu sudah tidak asing mendengar kata kata tajam Pak Harry. Tapi kali ini keterlaluan. Seandainya kata kata Pak Harry itu berbentuk pedang, bisa di kategorikan pedang bermata empat yang bisa menusuk kami dengan mengenaskan.