Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 35 - luka yang membekas

Chapter 35 - luka yang membekas

Kepala gue tertoleh ke samping. "Jangan tatap siapapun, Yesi. Mata Yesi hanya untuk gue saja."

Ah, cemburu. Dengan senyum lebar Yesi mengangguk.

Selama Jelita tidak mendekat, perasaan gue baik baik saja. Gue hanya menahannya, ya menahannya.

Tapi semua tidak berjalan mulus, Jelita dan Erick menghampiri kami. Lagi lagi terlihat sorot ketidaksukaan Yesi dengan kehadiran mereka, terlebih pada Erick. Begitu juga tatapan Erick, dia terlihat erat merangkul Jelita.

Dengan bodohnya Jelita melepas paksa rangkulan posesif Erick dan mendekat pada gue. "Kamu menikmatinya, Yesa?"

Sentakan kasar gue membuat Jelita terkejut. Terlebih Erick yang selangkah maju melindungi wanita liciknya.

"Sedikit saja kamu menyakiti Jelita, gue tidak akan segan segan lagi!"

Om Andrew bergerak menengahi kami. "Wes jangan berantem, Bro. Banyak tamu."

Berdecih,  Erick menarik tangan Jelita dan menyeretnya pergi.

Terlepas dari keterkejutan, gue ikut menarik tangan Yesi menuju lift. Gue membawa Yesi pergi dari acara ini.

Gue dan Yesi kembali ke kamar hotel. Yesi terlihat  lelah sekali dari raut wajah cantiknya dan mata sayu Yesi terlihat beban sendiri.

Tak urung, setelah memasuki kamar, Yesi menanggalkan dress floral dan menggantinya dengan lingerie satin berwarna ungu. Dia merebahkan tubuh diatas kasur dan langsung memejamkan mata.

"Yesa, Yesi capek. Yesi tinggal tidur lebih dulu, tidak apa apa?"  tanya Yesi dengan mata terpejam.

"Iya, Yesi tidur saja. Gue masih belum mengantuk."

Tidak ada sahutan setelahnya. Gue melangkahkan kaki untuk memasuki kamar mandi. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, gue keluar menuju lemari. Melepaskan Jas dan meletakkannya di sofa. Gue memutuskan untuk merebahkan diri di samping Yesi.

Rupanya Yesi sudah benar-benar pulas, bahkan pergerakan dari gue tidak sedikitpun dirasakannya. Sedikit lengan gue bersentuhan dengan tangan Yesi, tetap tidak ada respon.

Gue mencoba ikut memejamkan mata, tapi rasa kantuk sama sekali belum menghampiri. Bergerak gelisah, akhirnya gue memutuskan untuk berjalan jalan.

Menatap wajah Yesi sebentar, setelah itu gue keluar dari kamar. Hanya berbekal membawa hape, gue menuju kolam renang. Dan memilih duduk di salah satu kursi.

Di kolam ini bukan hanya gue sendiri, tapi ada beberapa pasangan hanya sekedar mengobrol bahkan sampai bermesraan menyaksikan pemandangan itu membuat gue panas dan malu sendiri.

Mencoba mengalihkan mata ke hape, tapi pikiran tetap saja terganggu. Memilih kolam renang ternyata sangat salah! Gue memutuskan untuk beranjak dari sana ketimbang bintitan.

Saat melewati lobi, gue berpapasan dengan Erick.  Sedikit menyunggingkan senyum dan mengangguk, Erick berlalu begitu saja. Raut wajahnya terlihat kebingungan, kepalanya menoleh kesana kemari. Seolah sedang mencari seseorang.

Mengabaikan rasa penasaran, gue kembali menuju kamar. Untuk sesaat gue bingung karena menemukan pintu kamar sedikit terbuka. Setau gue, saat keluar sudah gue pastikan pintu terkunci dengan aman.

Perlahan gue mendorong pintu agar terbuka lebih lebar, gue melangkah masuk dengan pelan.

Pemandangan yang membuat gue kesal. Bagaimana tidak kesal, Yesi membiarkan kamarnya kosong dengan keadaan pintu tak terkunci.

Gue memutuskan untuk melemaskan otot-otot tubuh gue dan mengambil posisi tidur di atas kasur hotel.

Saat ingin menggerakkan tubuh, gue merasakan seolah ada benda berat yang menindih tubuh gue. Dengan rasa kaget sampai mata gue melotot keluar.

Bagaimana bisa, gue menemukan fakta bahwa Jelita berada di atas tubuh gue dari posisi yang membelakangi, dapat gue tangkap dengan jelas kalau Jelita mencium gue.

Perlahan gue menangkap suara pintu di dorong dan terbuka semakin lebar.

Yesi berdiri mematung di depan pintu kamar. Pemandangan yang membuat hati berdenyut dan menimbulkan efek luar biasa.

Gue melihat tangan Yesi bergetar, bahkan hape yang berada di genggamannya kini terlepas dan jatuh ke lantai begitu saja.

"SHIT!"   Dengan reflek gue mendorong tubuh Jelita kasar, dia terkaget dan menatap ke arah gue dan Yesi yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar.

Tapi itu hanya sesaat karena rasa kaget Jelita berganti dengan senyuman licik.

Tatapan gue kembali ke arah Yesi, terlihat matanya  merah ada buliran bening mulai keluar begitu saja. Dengan terisak Yesi menangis dan berlari keluar dari kamar.

Gue bangkit untuk berlari mengejar Yesi, karena panik baru saja gue menabrak pintu tepat di depan gue.

Kepala gue sakit, tapi ada yang lebih sakit lagi.

Hati Yesi.

Gue terus berlari mengejar Yesi melewati loby yang mulai sepi karena hampir pukul tiga pagi.

Karena rasa yang campur aduk, gue berlari keluar dari hotel tidak tentu arah dan mengabaikan rasa dingin yang menusuk tulang. Gue berteriak.

"YESI! TUNGGU! DENGARKAN PENJELASAN, GUE!"

Menjelaskan? Rasanya percuma. Gue menyeka keringat dengan kasar dan mempercepat ritme langkah. Sampai tiba di jalan yang gelap, gue terus meneriaki nama Yesi namun nggak gue temukan jejak Yesi.

"Yesi,"   desis gue lirih sambil berjongkok untuk menormalkan pernapasan. "Dengarkan gue, sayang. Keluarlah."  suara gue bergetar terus membujuk Yesi.

"Sayang, keluarlah. Jangan bersembunyi seperti ini. Gue mohon." gue memundurkan langkah.

"Kamu marah, silahkan pukul gue saja. Sakiti gue sampai Yesi puas. Asalkan jangan bersembunyi seperti ini."

Saat gue temukan kaki Yesi yang sedang bersembunyi di belakang sebuah tong tepat di depan gue berdiri, tanpa pikir panjang lagi, gue membungkukkan wajah memastikan di sana ada Yesi.

Dengan cepat Yesi bangkit berlari, gue nggak akan mensia-siakan ini. Gue menarik tubuh Yesi kuat sampai menabrak badannya.

"LEPAS!  LEPASIN YESI!" dengan brutal Yesi memukul dada gue, meronta sekuat tenaga sambil terisak.

Semakin Yesi memberontak, semakin gue mengeratkan pelukan gue. Gue membisikkan kata maaf berkali-kali, dan ikut menitikkan air mata mana kala mendengar isak tangis Yesi didalam dekapan.

Tapi gue nggak peduli, yang gue inginkan sekarang Yesi memaafkan gue.

"Lepas!"

Suara lemah dari Yesi, hanya tersisa desisan lemah yang terdengar di telinga gue.

Tenaganya terkuras, hanya tersisa pukulan - pukulan kecil di dada gue.

Gue menggenggam kedua tangan Yesi lembut dan mengecupnya bergantian. Setelah itu gue menggendongnya dan membawa Yesi menuju bangku yang hanya di terangi lampu pinggir jalan.

Gue mendudukan Yesi, gue berlutut di depannya.

Tangan gue terulur mengusap bulir air mata, di pipi Yesi. Lalu gue membawa tangan Yesi bertumpu ke lutut.

Gue hanya bisa menatap tangan yang ada dalam genggaman gue, tidak bisa berontak lagi, Yesi terlalu lemah dan sakit.

Gue mengambil tangan Yesi dan meletakkannya di wajah gue.

Lalu mulai menampar namparkan telapak tangan Yesi ke wajah gue sendiri.

"Tampar gue, Yesi! Sakiti saja sepuas kamu. Gue salah, Gue berengsek!"  racau gue ke Yesi.

Yesi sakit, tapi Yesi tidak ingin Yesa menyakiti diri Yesa sendiri. Bodoh memang! Dengan sekuat tenaga Yesi menarik tangan yang digunakan gue untuk menyakiti diri gue sendiri.

" Bodoh!"  teriak gue. "Yesi kira dengan seperti ini gue dengan mudah, memaafkan diri gue sendiri?" Gue tertawa. Tidak!"

Gue memeluk kaki dan mengecup kedua lutut Yesi bergantian.

"Gue tau,"   "Gue memang bajingan! Gue memang berengsek! Bahkan gue juga nggak menyangka kalau Jelita berani berbuat seperti itu?"

Menelungkupkan kepala, tubuh gue makin bergetar.

"Dan, sumpah, Yesi! Saat itu, gue masih tidur. Gue nggak tau sejak kapan Jelita masuk ke dalam kamar. Percayalah...."

"Gue mencintai Yesi, gue terlalu mencintai Yesi sampai rasanya hampir gila!"

Air mata  gue dan Yesi yang turun menjadi pengiring malam ini.

Perlahan tanpa ragu, tangan gue bergerak menuju wajah Yesi dan mengusap jejak air mata di pipinya, begitupun sebaliknya Yesi memperlakukan hal yang sama tangan mungil nya yang lembut dengan ragu, mengusap air mata di pipi gue.

Sambil memejamkan mata, Yesi menikmati setiap sentuhan gue. Dia membuka mata kembali dan menatap gue lurus.

"Kamu tidak sendiri, Yesa. Yesi juga mencintai Yesa,  hanya saja Yesi terlalu takut untuk mengungkapkannya.

Lagi-lagi gue hanya bisa terdiam. Sambil menerka apa yang hati Yesi mau. Walaupun seperti katanya, kesalahpahaman, tetap saja sakit dan meninggalkan bekas luka yang mendalam.

Tanpa banyak bicara, gue membalikkan badan. Gue membawa tangan Yesi untuk dilingkarkan di leher gue. Lantas gue bangkit dan menggendong Yesi. Dengan berteman malam yang bisu, kami kembali ke hotel tanpa satu kata yang keluar mengiringi langkah.