Seakan tidak sudi kembali ke kamar itu, gue memilih mengetuk kamar Om Dio dan Mba Wulan.
Kedua pasangan suami istri itu membukakan pintu kamar. Awalnya mereka akan memarahi gue dan Yesi, namun rupanya Om Dio menangkap raut ketidakberesan dengan kami berdua.
"Ada apa?" tanya Om Dio yang pertama kali membuka suara.
Menghela napas, gue menjawab. "Boleh bertukar kamar?"
"Umm...silahkan," jawab Mba Wulan. Sebelum itu mereka berdua masuk ke kamar terlebih dahulu. Setelah berpakaian rapi, mereka berdua keluar dan bertukar kunci kamar.
Gue langsung masuk dan menutup pintu. Dalam keadaan lelah Yesi hanya bersandar di punggung gue. Masih terlihat dengan bekas mata yang masih sembab bekas buliran bening yang turun seiring dengan sisa sisa rasa sakitnya yang masih ada.
Lembut gue membaringkan tubuh Yesi dan menarik selimut sampai bagian dada. Gue pun bersandar di punggung ranjang.
Kami sama sama lelah, gue pamit ke Yesi untuk kembali ke kamar gue.
Sesampai di kamar, gue langsung menjatuhkan badan gue yang teramat lelah di atas kasur. Berusaha untuk memejamkan mata namun nggak bisa. Seolah rasa kantuk ingin menyiksa gue lebih lama malam ini.
Beberapa kali gue menghela napas berat, gue hanya bisa bungkam, kilasan pemandangan menyakitkan tadi seolah masih berputar di kepala. Hati gue seperti di remas mengingat itu.
Kenyataan kesalahpahaman ini tidak sesimpel dengan permintaan maaf saja.
Pandangan gue teralih ketika kehadiran Yesi sudah berada di dalam kamar gue, tangan gue meraih tangan kiri Yesi dan mengusapnya dengan lembut tepat di jari manis. Dimana tersemat cincin yang gue berikan.
Seolah memberikan isyarat untuk ikut memandang tangannya.
"Mau mendengar cerita?" tanya gue.
Tangan gue masih tidak berhenti mengelus jari manis Yesi.
Yesi bertahan dengan kebisuan. Bahkan untuk membuka bibir saja terlalu berat, seolah kali ini tubuh Yesi menolak untuk bereaksi dengan sentuhan dan suara milik gue.
Gue menghela napas dan membuka suara lagi. "Dulu, dulu sekali, ada anak laki-laki berusia lima belas tahun, lebih tepatnya kelas 1X SMP anak laki-laki itu mempunyai tiga sahabat. Dua anak laki-laki dan satu perempuan. Tapi dia juga memiliki rasa yang lebih pada sahabat perempuannya itu. Dia memberanikan diri untuk mengungkapkan, rupanya si gadis yang merupakan sahabat karibnya memiliki perasaan yang sama. Mereka berdua memutuskan untuk berpacaran."
"Selama masa pacaran, kadang di bumbui yang namanya pertengkaran, tapi mereka bisa menyelesaikan dan melewatkan kerikil kecil itu. Si anak laki-laki juga mengenalkan si gadis kepada kedua orang tuanya bukan sebagai sahabat lagi, melainkan sebagai pacar. Respon kedua orang tua si anak laki-laki juga positif, bahkan mereka merancang perjodohan ini sesudah selesai menamatkan SMA nanti."
Gue berhenti sejenak untuk mengambil napas. Gue menarik tangan Yesi dan masuk dalam pelukan gue. Yesi membenamkan wajahnya di dada bidang gue. Gue pejamkan mata seolah-olah tidak ingin melanjutkan cerita.
Memasuki tahun pertama gue berpacaran kedua orangtuanya pindah tugas di suatu perkotaan daerah lain. Komunikasi yang terjalinpun mulai jarang, bahkan bertemu saja sulit. Sejak saat itu lost contact kehilangan cinta pertama gue.
"Satu tahun ini, gue lewati dengan berat. Sampai skenario Tuhan mempertemukan kita, dan luka itu perlahan sembuh."
Kalau sampai ada laki-laki menangis, maka permasalahan yang dia miliki begitu besar. Sampai mereka yang biasanya terlihat kuat, bisa begitu rapuh.
Malam ini, gue membiarkan dua kali Yesi melihat sisi terdalam gue.
Yesi memang tidak akan pernah tahu seperti apa di posisi gue, tapi gue seolah merasakan kesakitan yang sama.
Kesalahpahaman tidak ada apa apanya di banding kehilangan orang yang sangat kita cintai.
Akhirnya pertahanan Yesi runtuh seketika. Yesi menangis di pelukan gue. Malam ini kami sama-sama menumpahkan air mata, mengeluarkan sesak yang berderu di dada. Gue dan Yesi ingin meleburkan rasa sakit itu bersama air mata, khusus malam ini saja.
Menghirup udara sebanyak-banyaknya, pernapasan gue terganggu mendadak rasa sesak akibat terlalu banyak menangis.
"Yesi tahu nggak mudah menceritakan Sumber luka yang Yesa simpan. Yesa sudah melakukan yang terbaik. Yesa sudah tidak sendiri lagi, ada Yesi yang selalu akan berada di samping Yesa.
Yesa sudah merasakan kesakitan begitu lama, mulai hari ini Yesa pantas bahagia."
Dengan rasa sayang yang di miliki, Yesi mengusap buliran air mata di pipi gue. Seperti seolah olah suami istri, saat ada masalah di bicarakan baik baik dan saling menguatkan satu sama lain. Gue dan Yesi hanya dua orang yang rapuh, yang sama-sama tersakiti oleh keadaan.
"Makasih, Yesi. Makasih, sayang." suara lirih gue bersamaan kecupan berat di puncak kepala Yesi.
Luruh sudah gumpalan sesak di dada, yang tersisa hanyalah kelegaan luar biasa. Air mata yang tumpah malam ini membawa serta luka yang di toreh.
"Berjanjilah Yesi, seberat apapun masalah kita jangan pernah melepas ikatan cinta kita." Ucap gue pada Yesi dengan nada yang bergetar sambil menatap manik matanya.
Kembali buliran air mata Yesi mengalir, tak kuasa mengeluarkan suara, dan mengangguk sebagai jawaban.
Tuhan mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui rasa yang gue punya untuk Yesi, walau harus dengan cara seperti ini.
"Gue ingin memiliki Yesi. Memiliki jiwa dan hidup, Yesi. Apapun itu, gue nggak ingin Yesi pergi dari hidup gue. Tidak akan pernah hal itu terjadi." sorot kebahagiaan itu terpancar di mata Yesi.
Perasaan asing sekaligus ingin sesuatu yang lebih dari Yesi. Gue terlena seperti tidak menginjak bumi. Perlakuan lembut membuktikan seolah betapa besar cinta yang di miliki Yesi untuk gue.
Gue mengecup puncak kepala Yesi disertai bulir air mata jatuh di pipi Yesi. I love you, Yesenia. I love you."
*****