Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 34 - pesta ulang tahun Yesi ke 19

Chapter 34 - pesta ulang tahun Yesi ke 19

Setelah dua setengah jam perjalanan menggunakan kapal, kami sudah tiba di pulau Macan. Rupanya tamu pestanya bukan main ramainya, gue lihat Yesi mengundang teman dan sahabat karibnya dan beberapa keluarga.

Rombongan keluarga Yesi terdiri dari empat pasangan. Diantaranya Om Fery dan Mbak Jani, Mbak Wulan dan Om Dio, dan yang terakhir Mba Inayah dan Om Andrew.

Perkenalan singkat di Dermaga Marina Ancol tadi membuat gue mengenal singkat keluarga Yesi.

Kalau di lihat, gue anak cowok yang nyasar di perkumpulan orang dewasa. Setelah insiden baju sekolah, gue berganti pakaian pesta di dalam kapal begitu juga dengan Yesi. Kami memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu sejak dari rumah.

Kedatangan kami di sambut dengan kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajah ke dua orangtua Yesi dan sepupunya yang datang jauh-jauh dari Paris yaitu Jelita.

Dia yang tadi mengobrol dengan cewek bule kini berlari ke tempat di mana kami berada. Rupanya Jelita tidak sendiri, di belakangnya ada seorang laki-laki berdiri.

Jelita mulai memeluk satu persatu laki-laki yang ada di sini kecuali Om Dio. Dan pelukan terakhirnya di peruntukan pada gue.

Wajah ceria Jelita mendekat, gue sedikit mendorong kasar Jelita agar tidak mendekat. Pegangan gue ke Yesi semakin mengencang.

Tidak menyerah begitu saja, kini wajah Jelita mendekat. Seolah-olah akan mencium gue.

"Aku senang di undang ke pesta ulang tahun sepupuku Yesi." ucap Jelita.

Tarikan lelaki di belakangnya membuat Jelita mundur kebelakang beberapa langkah.

"Jelita..." Geram laki-laki itu sambil menggenggam erat tangan Jelita.

"Apaan sih, Rik?" katanya terlihat tidak suka, setelah itu menoleh lagi. "Eummm, sorry, gue baru sadar ada kalian."  Jelita dengan senyum liciknya menatap gue, Yesi, Mba Jani, Mba Wulan dan Mba Inayah bergantian.

Wajah Mba Inayah langsung masam. Dia merangkul Jelita, setelah itu melepaskannya. "Ternyata sifat kamu nggak ada ubah-ubahnya, ya?"

Lingkar persaudaraan mereka ini rupanya sudah tahu sifat asli Jelita, jadi mereka sudah memakluminya.

"Ya seperti itulah. Perasaan gue juga."  Mata Jelita menatap nyalang ke gue sambil menyunggingkan senyum ke arah gue. "Oke. sekarang mari gue antar ke kamar kalian masing-masing."

Semua berjalan mengikuti gue yang tengah di rangkul Om Andrew. Sepertinya Om Andrew ini sangat dekat dengan Yesi.

Lantai empat hotel ini gue peruntukkan khusus keluarga Yesi. Terbukti dari enam kamar berjajar diisi dari keluarga Yesi.

"Pestanya di mulai dari jam sembilan malam. Saat itu, pastikan kalian hadir semua."  Setelah gue mengatakan itu akhirnya Jelita dan Erick pergi.

Gue nggak pernah merasa selega ini, apalagi Yesi yang berulang tahun.

"Yesa, jangan di masukin ke dalam hati, ya? Jelita sudah segila itu semenjak menetap di Paris."  Mba Wulan mengusap lengan gue pelan begitu pula dengan Mba Inayah.

Gue mengusap punggung tangan Yesi. Lalu menuntun tangan Yesi ke balkon dan berdiri di dekat pagar pembatas balkon. Di sana gue menyerahkan cincin palladium bermata satu dan memasuki cincin itu di jari manis kiri Yesi.

"Bagus sekali Yesa cincinnya, pasti Yesa seminggu nggak jajan di sekolah, karena uangnya buat beli hadiah cincin sebagus ini." Gurau Yesi.  "Terima kasih, ya, hadiah cincin indahnya, Yesa?"  ucap Yesi di hari bahagianya.

Terkekeh. Gue mengacak rambut Yesi gemas. Sambil menganggukkan kepala dan mendaratkan bibir gue mengecup pipi kanannya. Gue berdiri tepat dibelakang Yesi sambil kedua tangan gue mengurung tubuhnya.

"Kamu tidak nyaman berada disini Yesi?"  Gue merasa bersalah. "Maafkan, gue."

Memandangi wajah manis Yesi. Dia tidak punya keinginan membuka mulut untuk menjawab. Bukan tidak nyaman lagi, tapi sangat tidak nyaman saat melihat Jelita yang selalu seenaknya pada gue dan Yesi.

Yang punya acara itu Yesi yang sudah di rencana jauh-jauh hari sama Mama dan Papa hadiah spesial dari mereka untuk Yesi.

Tapi tidak bisa di pungkiri kalau gue lega karena ada seseorang seperti Erick. Di lihat dari tingkah dan tatapan Erick, gue dapat melihat cinta luar biasa Erick untuk Jelita. Tapi bodohnya wanita licik itu tidak menyadarinya. Dia terlalu tidak memperdulikannya.

"Kamu tahu? sesungguhnya tidak mudah bertemu keluarga yang jarang kita temui."  Yesi menyandarkan kepalanya di pundak gue.

"Di sini."  gue membawa tangan Yesi tepat di dada gue.  "Di sini rasa marah itu tertanam."  perlahan gue membalikkan tubuh gue agar saling berhadapan. Tapi saat gue menatap mata sendu Yesi otomatis mata itu terpejam.

"Gue tahu."  Mata gue terbuka dan menyunggingkan senyum.  Jantung ini sekarang berdebar. Telapak tangan Yesi terbentang di dada kiri gue, mendengar detak yang tidak menentu, dan itu membuat efek getar pada tubuh gue.

Gue mendekat, dan mengecup lama kening Yesi. Setelah itu memberi jarak sedikit, helaan napasnya terasa di puncak kepala.

"Terima kasih sudah mengerti."

Gue mengangguk dan mendekap tubuh Yesi. Rasa hangat dan debaran jantung terdengar indah di telinga gue. Sapuan lembut di surai terasa nyaman. Selama beberapa menit kami terdiam tanpa kata, sampai terdengar suara langkah kaki dari kejauhan mendekat membuat gue mengurai pelukan.

"Yesi buka pintu dulu."  Gue ingin melangkah tapi di tahan Yesi.

Yesi menggeleng, "berdua."

Seperti permintaannya, gue dan Yesi berjalan menuju pintu. Ternyata si pengetuk adalah Mama dan Mama Siska.

"Hai, maaf Mama sudah mengganggu." Sapa Mama terdengar riang.

"Nggak pa pa, Mah. Ada apa?" tanya gue, sedangkan Yesi terdiam mendengar interaksi kami.

"Kamu sudah mandi, Yesa?" kali ini pertanyaan keluar dari mulut Mama Siska.

"Belum, Mah. Acaranya jam sembilan malam, kan? Ini baru jam setengah delapan."

"Berdandan itu membutuhkan waktu lama, sekarang kalian lebih baik siap-siap, kalau sudah Yesa telpon Papa. Kami berdua yang akan merias Yesi."

Yesi tersenyum dan menggeleng pelan. "Yesi nggak usah dandan, Mah. Nggak biasa."

"Tidak boleh menolak. Pokoknya kamu mandi."

Bergegas Mama menyeret Yesi pindah ke kamarnya dan menyuruh Yesi segera Mandi.

*****

Gue melihat Mama Siska menyeret Yesi ke meja hias. Kata Mama Yolanda, Mama Siska lengkap membawa alat-alat make up, terlebih juga yang pekerjaannya sebagai make up artis. Mama Siska itu pendiam kecantikannya menurun pada Yesi. Terlihat cara bicaranya, semua anggun dan terkendali.

Selama 30 menit di make up, sekarang Yesi sudah siap keluar kamar. Sebagai yang punya acara, di sisi kanan dan kiri Yesi diapit oleh Mama Yolanda dan Mama Siska sedang Papa Roman dan Papa Zain berjalan memimpin di depan.

Terlihat Om Fery, Om Dio dan Om Andrew sudah menunggu di lorong hotel. Saat tatapan gue jatuh pada Yesi, selama beberapa menit kami terpaku saling mengagumi. Malam ini just two piece berwarna hitam senada dengan dress floral milik Yesi membungkus tubuh gue. Yesi terlihat semakin dewasa dan cantik.

Deheman dari Om Fery serta kekehan mereka menyentak gue dan Yesi. Tiba-tiba gue melihat wajah Yesi bersemu malu karena hal itu.

"Acara sudah di mulai, kalau kalian ingin bertatapan lebih lama, lebih baik masuk kamar saja." Dengan ringan Om Fery mengatakan itu.

Setelah bercanda beberapa menit, kami menuju lift yang akan membawa ke lantai 10. Tepat di ballroom hotel acara ulang tahun Yesi di laksanakan. Denting lift terbuka menampilkan betapa ramainya acara ini.

Kami berdiri di depan panggung yang di sulap dengan megah. Kue besar dan beberapa orang berpengaruh teman kantor Papa berdiri disamping kiri kanan kami.

Deru tepuk tangan bergemuruh di ballroom hotel saat MC menyebutkan serangkaian acara. Sampai tiba di acara inti dengan Yesi meniup lilin dengan angka 19.

Dari sang MC sekaligus orang kepercayaan Papa menjelaskan kalau ulang tahun Yesi ini Papa juga mengundang wartawan.

Beberapa wartawan memotret momen yang berisi Yesi. Begitu juga dengan gue yang sedari tadi menempel pada Yesi.

Gaun merah marun Yesi terlihat sangat pas di tubuhnya, sampai gue terganga melihat dia saking cantiknya.