Semenjak di jam pelajaran kedua sampai sekarang bel istirahat berbunyi, gue senyum-senyum nggak jelas sambil melihat sekeliling kelas lalu menatap kembali ke sebuah cincin palladium putih dengan satu permata kecil di tengah-tengahnya. Sudah kebayangkan buat siapa cincin manis ini yang masih terus gue tatap benda berbentuk lingkaran ini, Yesi pasti senang mendapatkan surprise kecil-kecilan dari gue.
Ribuan Kupu-kupu seperti beterbangan mengelitik perut gue. Rasa bahagia membuncah tanpa bisa di tahan. Bagaimana bisa hari ini Yesi berulang tahun yang ke 19 gue ingat betul hari ulang tahunnya. Jadi gue terus ngebayangin betapa Yesi bahagia di hari jadinya ini.
Tiba-tiba dering hape berbunyi. Dengan segera gue meraba saku celana dan mengeluarkan benda tipis itu. Ada dua pesan dari nomer tidak di kenal. Gue mengeryitkan kening bingung, siapa?
+6282555XXXXXX: Hai, Yesa?
+6282555XXXXXX: Benar kamu pacar Yesi? Aku sudah menyiapkan kejutan, tunggu saja.
Aneh, kok dia tahu? Dan yang lebih aneh lagi, pesan yang dikirim nomer baru ini via SMS bukan via Whatsapp.
Tiba-tiba pertanyaan Uli mengagetkan gue.
"Ngapain sih, Yesa? Gue geli melihat tingkah lo. Dari tadi senyum-senyum nggak jelas gitu."
Dengan cepat gue memasukkan kembali hape ke dalam saku celana gue dan menatap Uli sambil tersenyum lebar. Ah, rupanya, khusus hari ini, apa yang gue lihat merupakan sumber kebahagiaan.
"Bahagia dunia akherat gue, Uli."
"Dih, Kata-kata, lo, kayak udah pernah ke akherat aja."
Tidak sedikitpun senyum surut dari bibir gue. Kali ini gue celingak celinguk ke samping lalu mendekat pada Uli.
"Lo tahu 'kan Yesi hari ini ulang tahun?"
"Tau, kok, tadi malam Dea bercerita ke gue kalo Yesi hari ini ulang tahun."
Guys! Masih ingat nggak sama kak Yesi pacarnya Yesa teman kita hari ini berulang tahun. Dan dia mau ntraktir kita satu kelas makan di kantin, tahu sendiri kan kalian uang jajan Yesa nggak kaleng-kaleng cukuplah buat bayarin kita jajan hari ini." teriak Uli.
Mata gue melotot seketika, what the...
"Serius, Yesa? Ah, lo mah sahabat paling baik," seru Ryan.
"Kebetulan gue laper, Yesa." Ivan juga ikut-ikutan berseru.
"Eh... Eh..." gue melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, tapi malangnya tidak satupun yang menggubris. Malah mereka berbondong-bondong keluar kelas untuk menuju kantin.
Ryan dan Ivan mendekat ke tempat di mana gue duduk. Uli sudah menghilang bersama rombongan tadi. Yang tersisa hanya kami bertiga.
"Gue tahu itu kerjaan Uli." Ryan mengusap bahu gue pelan. "Tapi alangkah baiknya lagi, kita langsung ke kantin. Gue juga lapar."
Gue yang awalnya tadi mengangguk-angguk kepala kini langsung melotot dan mencubit tangan berlemak milik Ryan sampai dia mengadu kesakitan.
"Lo suka gitu sama Yesa, Ryan." Ivan ikut menampol Ryan. Cafe depan lebih enak deh, Yesa." Tapi ujung-ujungnya dia sama saja.
Mendengus, gue menendang lutut mereka satu persatu. "Dasar! Teman macam apa kalian itu?!
Ivan terkekeh sambil mengusap-usap lututnya. Seolah kompak, setelahnya Ryan dan Ivan merangkul gue dan menyeret keluar kelas. Masih dengan mode nggak ikhlas, dengan langkah kaki berat gue di seret mereka berdua.
Saat memasuki kantin, Ryan melepaskan rangkulannya lalu berteriak. "Khusus hari ini, Yesa dari kelas XI-A IPA akan mentraktir kalian semua. Jadi silahkan makan sepuasnya!"
Darah gue mendidih sampe ke ubun-ubun. Nggak tanggung-tanggung, gue mencubit kencang perutnya. "Gila! Lo semua gila!" gue berteriak keras. Malangnya suara gue teredam sorakan seisi kantin.
"Makasih, kak!"
"Baik banget!"
"Kenyang gue hari ini."
"Rezeki anak sholeh."
Seolah tidak ada apa-apa, Ryan dan Ivan melenggang ringan. Mereka menuju tempat di mana anak 11-A IPA yang sudah nangkring lebih dulu.
Gue mematung di tempat, perut gue mulas seketika. Rasanya pengen berteriak, pengen manjat genteng, terus jatuhin diri dan langsung mendadak amnesia.
Dengan lunglai gue berjalan menuju meja pojok dan menelungkupkan kepala di sana. Seketika kekesalan gue menumpuk dan nggak bisa di umbar kalo di rasa udah nggak bisa di ungkapin dengan kata-kata.
Tepukan-tepukan halus di punggung gue selalu ada, kadang juga di sertai dengan ucapan Terima kasih mereka semua pada gue karena sudah memberikan traktiran.
"Yesa, kami ke kelas duluan, ya? Makasih traktirannya." sampai tiba suara Daffa yang terakhir menutup kegaduhan di kantin dari suara ramai kini berganti senyap.
"Yesa, jumlah semuanya tiga juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu. Alhamdulillah jualan mbok hari ini laris manis, habis semua. Makasih, Yesa."
Gue yang sedari tadi ingin meluapkan amarah gue kini tertahan dengan kata-kata yang sarat kebahagiaan itu.
"I-iya, Mbok. Yesa nanti bayar, saat ini Yesa capek. Pengen istirahat dulu,"ucap gue pelan.
" Inggih, Mbok di tempat cuci piring kalau mau bayar, ke sana saja."
Pendengaran gue menangkap jelas langkah sendal menjauh. Melemaskan bahu, rasa kesal nggak bisa di ungkapkan lagi.
Setelah gue membayar semua total jumlah tagihan, gue melangkah kembali menuju kelas.
Suasana koridor dan lapangan terlihat sepi karena jam pelajaran siang berlangsung.
"Pak manshur, buka pintu ini!" Pak Harry memanggil satpam sekolah yang kebetulan sedang berpatroli di bagian gerbang belakang sekolah. Karena waktu siang rawan murid bolos.
Dengan sigap Pak Manshur berjalan dan membuka gembok gerbang. Setelah itu tatapannya kembali tertuju pada Pak Harry.
Bel pulang berbunyi, gue langsung melajukan mobil ke arah rumah Yesi. Beberapa kali berhenti di lampu merah.
Sesampai di rumah Yesi kedatangan gue di sambut Mama Siska, dengan raut wajah yang gembira dia segera menawari gue masuk lalu berbalik badan masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan gue ke Yesi.
"Yesa, aku sudah siap nih emang Yesa mau ngajak Yesi jalan kemana?" tanyanya penasaran.
"Ada, deh! Ayo sekarang aja berangkatnya."
Yesi mengeryitkan keningnya. "Kita mau kemana Yesa?" pertanyaan Yesi berbarengan dengan berhentinya mobil gue.
" Dermaga Marina Ancol." gue melepaskan sabuk pengaman sambil menarik tangan Yesi keluar dari dalam mobil.
"Kamu masih ingat dengan pesta ulang tahun kamu yang sudah gue janjikan?"
Mendengar itu, seketika wajah Yesi memucat. Jadi.... Maksudnya? Kita jadi merayakan pesta ulang tahun Yesi secara besar-besaran?
"Ayo, tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Selama pesta, Yesa akan selalu di samping Yesi," kata gue sambil mengulurkan tangan.
Dengan tanpa ragu-ragu Yesi menyambutnya. Saat kami sepenuhnya berdiri tegak, tidak jauh dari sana ada satu rombongan yang dari beberapa mereka tidak asing.
Mereka melambai ke arah gue dan Yesi.
"Demi apa? Yesa lo masih pakai seragam?"
Seruan itu membuat gue sedikit tersentak, kontan saja. Langsung menatap pakaian yang gue kenakan. Aih... Yang benar saja?
*****