Gue membawa Yesi ke taman suropati. Setelah beberapa menit berjalan untuk mencari spot yang bagus menurut Yesi. Akhirnya kami berhenti tepat di rumah burung merpati. Gue memerintah Yesi untuk berdiri di dekat burung-burung cantik itu, dia menentukan pose gaya tubuhnya sendiri lalu gue yang memotret.
Setelah beberapa kali memotret, kami berpindah tempat lagi untuk mencari angel yang bagus. Kata Yesi, dia harus memilih yang terbaik, jadi jangan heran kalau foto yang diambil banyak.
Saat di rasa cukup, Yesi mengajak gue duduk di kursi taman ber cat warna hitam dekat pohon.
"Thank's, Yesa."
"Sama-sama sayang," jawab gue tersenyum. "boleh lihat hasilnya, Yesa?"
Dengan cepat gue menggeleng. "Nanti. Gue kasih pas sudah di cetak saja."
"Iya deh.....tapi kalau nggak menang, jangan salahin Yesi, loh?"
"Yesi. Menang atau kalah, bukan masalah. Gue ikut buat menyalurkan hobi saja," kata gue tersenyum. "Eh, kita makan dulu, gue lapar."
"Tapi traktir ya?" Yesa yang bayarin Yesi.
"Gampang," kata gue sambil memasukkan kamera kembali ke dalam tas dan langsung bangkit.
Khusus hari ini, gue serahkan semua pada Yesi. Dia yang menentukan tempat mana saja yang akan kami tuju. Dengan satu syarat, jangan sampai lewat jam enam magrib. Nanti kalau pulang kemalaman bisa runyam urusannya.
Mobil gue berhenti tepat di depan rumah makan padang.
"Nggak masalah makan disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Yesi mengeryitkan kening. "Emang ada apa?"
"Ya kali aja lidah Yesi nggak cocok."
"Elah, Yesa. Tenang Yesi ini pemakan segala."
Terkekeh, gue mengacak rambut Yesi gemas. Tiba-tiba Yesi jadi canggung. gue mah masa bodo, dengan langkah ringan kami masuk ke dalam rumah makan itu.
. Setelah puas mengisi perut, kami duduk-duduk sejenak. Kenyang banget. Bahkan gue tadi terkejut melihat selera makan Yesi yang melebihi kadar cewek rata-rata. Tapi gue nggak peduli.
"Langsung pulang atau gimana nih?" tanya gue yang berdiri di samping Yesi.
"Pulang, deh, Yesa. Capek Yesi"
Mengangguk pelan akhirnya. Gue memacu mobil membelah jalanan.
Wajah gue memberengut dan mencibir sebal menatap layar hape. Bagaimana tidak dengan santainya Mama mem video call dan memberitahukan kalau malam ini dia nggak bisa pulang. Gue menolak menatap layar hape.
"Yesa....Mama tidak tahu kalau telat nggak sesuai jadwal untuk pulang ke jakarta. Maaf, Mama sama Papa juga Oci tidak bisa pulang cepat?"
"Terus gue di rumah sendirian aja gitu, kalau ada apa-apa gimana?"
Terdengar kekehan dari Papa, gue kembali menatap layar hape dengan sebal.
"Tenang Yesa, Papa sudah menitipkan kamu dengan satpam kompleks. Sebentar lagi Mama sama Papa juga sampai. Tunggu saja."
"Hemmm." Gue berdehem. "Tapi Yesa tetap marah ya sama, Mama Papa," mendengus sebentar, lalu gue melanjutkan bicara lagi. Janjinya Mama sama Papa berlibur hanya dua hari, nggak tahunya malah di tambah liburannya.
"Kamu sudah makan Yesa?"
"Belum soalnya lagi nunggu Mama sama Papa pulang, eh nggak tahunya malah nggak jadi pulang.
" jangan seperti itu, Papa matikan panggilan Videonya. Kamu makan dulu, Papa sama Mama juga mau makan. Kalau sudah, kita lanjutkan nanti."
"Iya," jawab gue malas.
Tanpa pamit atau salam semacamnya, Papa langsung mematikan panggilan.
Melihat itu, gue hanya mendengus dan menelungkupkan kepala di sofa.
Tidak lama, bel rumah berbunyi. Lalu terdengar suara pintu di buka. Saat gue nengok, Mama Papa datang.
Kamu ngapain Yesa di situ, kayak ayam nggak semangat hidup?" kata Mama sambil mendekat ke sofa tempat gue duduk.
"Mama, kayak Mama tidak pernah muda saja." Papa mengusap pelan kepala gue.
"Mau dengar cerita?"
Dan itu membuat gue tertarik. Dengan cepat gue memperbaiki posisi duduk gue. "Cerita apa, Pa!?"
"Dulu waktu Papa sama Mama kamu baru menikah, Papa juga pernah ninggalin dia sendiri karena perjalanan bisnis. Tahu bagaimana reaksi Mama kamu? Dia nangis-nangis, terus nelpon Papa dari malam sampai pagi." setelah menjelaskan itu derai gelak tawa Papa terdengar.
Wajah Mama terlihat masam. "Penjelasan Papa berlebihan. Mama nggak nangis, kok."
Rupanya sifat berlebihan gue emang nurun dari Papa.
Sedikit demi sedikit rasa bete gue hilang. Notif hape membuat perhatian gue teralihkan.
Yesi : Yesa sudah makan?
Me : belum. Papa sama Mama sudah datang. aku makan dulu.
Me: nggak usah video call, nanti malu di dengar mereka.
Yesi: Ya sudah, makan dulu. Nanti kalau selesai puas-puas saja. Merajuknya.
Setelah mematikan hape. Gue bergerak bangkit menuju stop kontak yang berada di dekat televisi untuk mengisi daya baterai.
"Mama sama Papa sudah makan?"
Dengan kompak mereka menggeleng.
"Mama ingin menyiapkan makan Oci dulu." kata Mama santai.
"Yaudah. kebetulan makanan sudah siap di meja makan. Yuuk, Yesa sudah lapar."
Kami bertiga berjalan menuju ruang makan. Sedari tadi, Mama sudah masak dan menyiapkannya.
Sayangnya malam ini Yesi tidak jadi datang, untung makanan tidak mubazir.
Makan malam di selingi obrolan benar-benar membuat gue tidak terbiasa. Saat Mama tanya-tanya sama gue, jujur sedikit risih karena berbicara sambil makan.
Pertanyaan Papa hanya seputar sekolah. Sedangkan Mama beda lagi, itulah sifat Mama. Dia bertanya secara gamblang dan blak-blakan tentang hubungan gue dengan Yesi. Ya gue jawab dengan jujur kalau hubungan kami tahap serius. Mama mengangguk senang.
Selesai makan malam, gue mencuci piring di temani Mama. Papa lebih dulu masuk ke kamar, katanya capek banget karena perjalanan jauh, dan melelahkan.
Setelah mencuci piring, kami langsung masuk ke kamar. Gue merebahkan diri di kasur dan mengambil posisi telentang. Gue mengambil hape yang tadi gue taruh di samping badan gue. Ada notif dari Yesi dan segera gue balas. Kegiatan saling bertukar pesan hanya berlangsung 30 menit saja.
****