"Jo, mending kita cari tempat lain aja, deh. Gue nggak masalah sama hapenya, yang gue permasalahin itu data-datanya, dan itu penting semua."
"Iya, Jo," kata Bagas menimpali ucapan Fajri.
Jovan mendengkus. Akhirnya, dia bangkit, di ikuti oleh Fajri dan Bagas. Mereka berjalan mendekat pada Daffa.
Satu tangan jovan bersidekap, sedangkan satu tangannya yang lain terulur. "Sini, balikin?"
"Dari tadi kali, gue udah pegal megangnya." Uli berdecih. setelah menyerahkan hape mereka, dia berjalan ke arah kami dengan senyum kemenangan lalu ikut duduk.
"Awas lo semua!" ancam mereka, setelah itu mereka pergi ke kerumunan cowok-cowok berada.
"Dasar, Jovan and the geng" cibir Ivan sambil menyuap gudegnya.
Mereka bertiga makan sambil ngoceh, sedang gue hanya fokus pada kegiatan makan saja, dan kalian pasti tahu alasannya.
Masing-masing gudeg yang ada di piring kami tandas, kemudian sesi selanjutnya adalah ngobrol ala anak lain. Para guru sudah masuk ke kamar mereka masing-masing, mereka memilih untuk beristirahat. Sedangkan para murid diberikan kebebasan untuk bersantai atau bercengkerama satu sama lain dengan syarat jangan keluar dari wilayah hotel.
Saat asik ngobrol, Tiba-tiba kami di kagetkan dengan kedatangan Yesi. Spontan gue langsung menyeret tangan Yesi dan membawanya ke tempat yang sepi agar yang lain tidak mendengar obrolan kami.
"Yesi, gue mau nanya. kenapa bisa sampai kemari dalam waktu belum 24 jam, dan sekarang Yesi sudah ada di hadapan gue? Apa Yesi bisa berteleportasi, atau bisa seperti kim shin ahjussi di drama goblin itu?"
Jari tangan Yesi menekan hidung mancung gue. "Tet tot, jawaban kamu salah. Sebenarnya waktu Yesi telepon kamu, Yesi sudah berada di Jogja dan sudah memasuki kawasan Gunung Kidul."
"Loh, jadi Yesi nggak pergi pulang?"
"Itu salah juga. Yesi sebenarnya sudah bersiap pergi ke Jogja selepas mengantar kamu. Sepanjang perjalanan chat Yesi tidak Yesa balas, bahkan telepon Yesi tidak kamu angkat. Dan pikiran Yesi mengatakan keputusan tepat untuk mengikuti Yesa ke Jogja."
Gue hanya tertegun mendengarkan penjelasan dari Yesi.
Pagi harinya gue izin ke semua teman-teman gue juga ke para guru yang ikut study tour bareng gue. Gue kasih tahu ke mereka kalau gue pulang lebih awal.
Di perjalanan menuju hotel tempat Yesi menginap, kami bersenda gurau dan bercerita. Sesampai di hotel tempat yang pertama kami kunjungi adalah restoran. Satu tangan Yesi membuka kenop pintu, lalu kami berdua bersama-sama menuju restoran hotel. Rencananya jam satu siang ini kami baru akan check out dan pulang ke Jakarta.
Setelah sarapan pagi yang di gabung menjadi makan siang, gue dan Yesi ke lobby hotel. Yesi mengubah rencananya untuk check out lebih dulu. Beruntung dia tidak suka meladeni basa basi dari sang resepsionis. Saat prosedur check out selesai, dengan sigap gue menggandeng tangan Yesi dan keluar bersama-sama.
Sang petugas hotel sudah siap memarkirkan mobil gue di depan hotel. Dia menyerahkan kunci mobil pada gue. Tak lupa gue mengeluarkan uang ratusan tiga lembar dan memberikannya kepada petugas hotel tersebut.
Sambil membungkuk, petugas hotel itu menerima uang gue dan mengucapkan terima kasih. Kami berdua sudah memasuki mobil, gue bergumam sambil memasang sabuk pengaman.
"Begitulah uang membuat seseorang jadi sangat di hormati."
Yesi pun mengangguk setuju. Manusia sekarang hanya di nilai dari uang. Seberapa banyak uang yang kamu miliki, maka segitu juga kamu akan di nilai oleh manusia lain.
Mobil gue membelah jalanan Jogja. Satu tangan untuk menyetir, satunya lagi di gunakan untuk mengusap punggung tangan Yesi.
"Kita beli baju dulu, setelahnya kita membeli oleh-oleh." sambil menatap Yesi kembali, Yesi, mari perbaiki tata bahasa kita. Jangan gunakan kata saya lagi. Gue nggak suka mendengarnya. Terkadang gue berpikir, Yesi itu menganggap gue bukan sebagai pacar. Tetapi lebih dianggap sebagai adik kelas."
Sontak tawa Yesi pecah. "Kayanya Yesa amat sensitif kalau menyangkut usia. Yasudah, aku dengan senang hati menuruti perintah, Yesa."
Mendengar itu, gue senang lalu melepaskan genggaman tangan Yesi dan mengacak pelan rambut Yesi gemas. "Good girl."
Tangan Yesi berpindah ke pemutar musik. Jarinya memencet tombol yang ada di situ, setelah menemukan apa yang dia mau, tangannya kembali sibuk memegang hape.
"Kamu masih ingat lagu ini?" tanya gue tanpa mengalihkan pandangan.
Lagu Cristina Perri. Mengalun dengan merdu.
Yesi mengangguk dan langsung ikut menyenandungkan bait-bait lagu A thousand Years itu. Gue nggak pernah lupa, dan tidak akan pernah lupa lagu yang paling bersejarah dalam hidup gue. Lagu nostalgia di awal-awal kami resmi jadian.
Pukul 05.00 pagi kami sudah sampai di rumah. Sungguh perjalanan yang amat sangat melelahkan, bahkan gue beberapa kali untuk berhenti di pinggir jalan untuk beristirahat dan sekedar memejamkan mata sebentar.
Rombongan study tour hari ini baru dalam perjalanan pulang, jadi hari libur satu hari di hari jumat ini gue pergunakan untuk istirahat. Setelah mengantarkan Yesi pulang, gue menghabiskan waktu setengah hari digunakan untuk tidur.
Setelah cukup istirahat, gue makan siang di temani Mama dan Oci kemudian nonton kartun bersama di ruang tamu. Gue berbaring di atas karpet putih, sedang Mama dan Oci bersandar di sofa. Kami menonton kartun Spongebob di temani keripik kentang dan sepiring brownies coklat juga minuman sirup orange dingin.
Malamnya, gue mengajak Yesi makan di luar. Sebelum tiba di restoran yang sudah lebih dahulu di reservasi di malam sebelumnya. Kami ke butik Tante mayang terlebih dahulu, namun sayangnya butik Tante Mayang itu sudah tutup.
Gue berputar menuju arah sebaliknya.
"Kita kerumah tante Mayang dahulu, Yesi."
Yesi mengangguk. "Yesa, harus ya kita merayakan pesta ulang tahun Yesi?"
Gue yang lagi fokus menyetir kini menoleh ke samping, menatap Yesi beberapa detik, setelah itu kembali gue menatap depan. "Kita sudah membicarakan ini, Yesi. Pesta Yesi itu sebagai reuni antar sahabat Yesi sendiri kan? Yesi tidak perlu berpikir macam-macam, karena semua yang kamu pikirkan itu sama sekali tidak benar!"
Mobil berhenti di pinggir jalan. Tepat pada saat gue mematikan mesin mobil. Tiba-tiba kaca jendela di ketuk, ternyata itu Tante Mayang yang sudah menunggu kedatangan kami.
Dia menyerahkan dua kantong tas yang berlabel butiknya. "Maaf, ya? Bukannya aku nggak mau mempersilahkan kalian masuk, tapi di rumah aku lagi banyak tamu.
"tidak apa-apa. Kami juga ada acara lain," jawab gue yang di ikuti anggukan Yesi.
"Sukur, deh. Sekali lagi, maaf ya, Yesa, Yesi?"
"Nggak pa pa, Tante."
Lalu mobil gue perlahan menjauh keluar dari komplek perumahan Tante Mayang.