Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 31 - di temani Yesi

Chapter 31 - di temani Yesi

Gue duduk di meja makan, gue melihat Mama masih sibuk menyiapkan beberapa makanan untuk makan malam kami malam ini. Sengaja gue mengundang Yesi untuk makan malam bersama kami. Yesi duduk tepat di salah satu kursi sebelah gue dengan wajah datar dan tidak menunjukkan ketidaksukaannya. Hal ini sudah berlangsung sejak Yesi datang tadi sore. Matanya menatap tajam sejak gue turun dari motor Jovan.

Dengan congkaknya dia menarik tangan gue cepat dan menarik pintu gerbang dengan kasar di depan Jovan.

Maklum Yesi tidak suka bila gue berteman dengan Jovan, karena sifat Jovan yang egois dan sombong. Karena itu Yesi suka marah bila melihat gue main bersama Jovan.

Dasar tukang ngambek!

Rupanya marah Yesi masih bertahan sampai detik ini. Dan hebatnya gue nggak ada niatan untuk minta maaf. Gue nggak salah, iya kan? Orang gue cuma main sama teman kok, nggak lebih. Dianya aja yang berlebihan.

Setelah menyendok nasi lengkap dengan sayur dan lauknya, gue menyerahkan piring kosong tepat di depan Yesi. Yesi menyendok nasi untuk dirinya sendiri.

Mulai menyuap satu sendok nasi ke dalam mulut, gue melirik Yesi yang masih belum ada pergerakan.

"Sayang, tidak makan?"

Tidak ada jawaban. Gue kembali memasukan sendok yang sudah ketiga, dilanjutkan sendok keempat dan seterusnya. Nasi di piring gue hampir habis, tapi Yesi tidak ada tanda-tanda melepas mode patungnya.

Bosan-bosan, gue tarik piring yang ada di depannya. Untuk mengembalikan piring kosong ke tempatnya asalnya.

Pergelangan gue di tahan Yesi.

"Apa yang Yesa lakukan?"

Dia mendengus. "Yesi diam bukan berarti tidak makan, Yesa."

"Terus apa? Mengheningkan cipta?"

Yesi mencubit bibir gue dengan tangan kanannya. "Pahamlah,

Yesi mau kamu meminta maaf. Kamu tahu 'kan kesalahan kamu?"

"Tidak! Gue menjawab di sertai gelengan."emang apa?"

Menggeram, Yesi melepaskan tangannya. "Kamu. pulang. Sama. Jovan. Dan Pacar. Kamu. ini. Tidak suka liat kamu main sama Jovan!" tekannya.

Dalam hati gue terkekeh geli. "Terus. Yesi mau aku seperti apa?"

"Suapin," katanya mengedipkan mata ke arah piring yang penuh makanan.

"Dih...Kaya bocah. Suap sendiri saja!"

Yesi menggeleng tegas, menunjukkan jarinya ke arah piring dan bergantian ke arah mulutnya. Seolah berkata, 'suapin sekarang!

Mencibir kan bibir, gue menyendok nasi beserta lauknya. Lalu membawa ke mulut Yesi. "Makan yang banyak, ya, sayang, biar badannya makin gede."

*****

Hari minggu. Cuaca cerah, secerah suasana hati gue. Kami berdua janjian bangun pagi sekali untuk jogging di taman depan komplek gue.

Baru kali pertama jogging bareng Yesi, bukan hanya cuma gue dan Yesi saja yang ada di taman. Tapi, masih banyak lagi. Mayoritasnya pasangan suami istri yang usianya hampir setengah abad. Mungkin mereka ingin sehat di usianya yang tidak lagi muda.

Puas berlari selama 40 menit. Gue dan Yesi duduk di salah satu taman. Gue meneguk air mineral yang tadi kami bawa dari rumah kemudian menyerahkannya pada Yesi.

"Yesi, lihat, deh! Tampang mantan gue ada di mana-mana." tunjuk gue random pada segerombolan gadis yang lewat di pinggiran dekat taman.

"Itu hal yang wajar  bila taman di jadikan tempat favorit anak muda." Kata-kata terakhir sangat kecil sekali. Tapi pendengaran gue dengan jelas menangkapnya.

Tiba-tiba gue di kaget kan para ibu-ibu berkumpul mengelilingi Yesi. Bukan, lebih tepatnya mengelilingi gue.

"Mas ini rumahnya dengan gerbang berwarna hitam itu, ya?" tanya ibu yang memakai t-shirt berwarna biru muda.

Mengerjap, gue jadi terlihat bingung.

"Mas olahraga juga?" tanya ibu-ibu yang lainnya.

"Istri masnya mana?" pertanyaan yang terakhir ini membuat tensi gue naik.

Gue tersisih oleh kerumunan ibu-ibu ini. Kesal, dan rasanya gue pengen teriak, 'ini gue anak Pak Zain. Oy!"

*****

Menjelang hari H - ulang tahun Yesi, semua orangtua kami kompak mengingatkan prosesi ulang tahun Yesi yang besar-besaran di pulau macan yang terletak di kepulauan seribu. Sampai bosan gue mendengarnya.

Hari ini, gue di rumah sendirian, Mama dan Papa juga Oci  sedang liburan ke Bali. Tujuannya untuk mengisi weekend yang sudah di janjikan sejak lama untuk si kecil Oci. Sebenarnya gue juga di paksa ikut, tapi gue tolak mentah-mentah. Bepergian itu melelahkan.

Berguling-guling di sofa sambil memainkan hape. Seperti itu saja kegiatan gue selama dua jam lebih sampe gue eneg banget. Akhirnya, gue memutuskan untuk bangkit.

Gue melangkah menaiki tangga menuju kamar untuk mengambil jaket berwarna coklat agar menutupi badan gue yang kekar atletis.

Setelah memastikan pintu rumah benar-benar terkunci, barulah gue perlahan berjalan kaki menuju mini market yang berjarak 200 meter dari rumah. Alasan gue yang mager-an ini keluar rumah membeli makanan dan minuman ringan.

Dengan sekuat tenaga gue mendorong pintu mini market dan langsung menuju rak pajangan snack dan minuman ringan nggak ketinggalan gue juga membeli ice cream magnum, cornetto dan langsung menuju kasir.

Kebetulan mengantri tidak terlalu panjang, sang pegawai sedang menghitung belanjaan pelanggan lain, berlanjut dengan menghitung belanjaan gue dan menyebutkan jumlah yang harus gue bayar.

Setelah mengucapkan Terima kasih, gue beranjak keluar dari mini market. Saat hampir sampai di depan pintu, gue berpapasan dengan Bagas. Gue melirik kaget, dia dengan pakaian santainya berlalu begitu saja setelah memberi tatapan sinis.

Menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak peduli. Gue memutuskan untuk kembali ke rumah. Di komplek tempat lingkungan gue tinggal, tidak ada satupun tetangga yang deket sama gue, bahkan untuk sekedar bertegur sapa saja tidak pernah. Bukan karena gue sombong, tapi karena mereka semua tidak memiliki anak seusia gue.

Rata-rata komplek di sini berisi pasangan yang berusia 20-40 tahun ke atas. Kalo kebetulan mereka menyapa Sok Kenal Sok Akrab. Gue hanya dianggap penghuni komplek ghaib sama mereka. Ada keberadaannya, tapi tidak terlihat di mata mereka.

Dari kejauhan, gue melihat cewek bersandar di mobilnya. Yang terparkir tepat di depan rumah gue. Siapa?

Saat berjarak sejengkal, akhirnya gue mengenali cewek pemilik mobil yaris putih itu.

"Yesi?!"

Sang empunya nama berbalik dan langsung menyunggingkan senyum. "Yesi kira nggak ada orang," katanya mengendikkan kepala ke arah rumah.

"Ada, kok. Ini di depan kamu."

Terkekeh, Yesi berjalan menjauh dari mobilnya dan berhenti tepat di depan gue.

"Mama sama Papa, ada?"

"Lagi ke Bali."

Gue mempersilahkan Yesi masuk ke dalam rumah. Saat gue tinggal di ruang tamu, Yesi terlihat menyusuri ruangan.

Sekembali gue dari dapur kemudian kami duduk di sofa. Dengan Yesi berada duduk di samping gue.

"Yesi, kamu mau ikut gue?"

"Kemana?" tawaran gue menarik perhatian Yesi, dari pada di rumah nggak ada kerjaan mending kita jalan-jalan.

"Gue lagi ikut lomba fotografer, dan kebetulan tema nya bebas. Jadi, gue pengen ngajakin kamu ke suatu tempat dan jadiin kamu sekaligus modelnya. Mau nggak? Kalau nggak mau nggak pa-pa, kok?"

Sesaat Yesi berpikir, kemudian mengangguk. "Boleh, deh!"

Sebelum pergi, gue mengganti baju. Barulah setelah itu, gue dan Yesi keluar dari rumah dimana mobil terparkir. Mengeryit bingung saat Bu Wati yang berdiri di samping mobil Yesi sambil melongokan kepala ke arah rumah.

Saat melihat kami Bu Wati pura-pura berdeham. Lalu dia menangkap kehadiran Yesi, dengan cepat memandangi kami dengan intens.

"Orangtua nggak ada di rumah langsung bawa cewek. Dasar anak jaman sekarang," katanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berlalu menuju rumahnya. Untung stok kesabaran gue banyak. Kalau tidak langsung gue geplak tuh janda haus belaian. Suka banget cari masalah sama gue.

"Siapa?" tanya Yesi.

"Biasa, tetangga sirik. Hidup gue di kelilingi orang-orang yang sangat sayang sama gue, dia jadi iri juga."

Menggeleng-gelengkan kepala, Yesi menyerahkan kunci mobil ke gue dan menyuruh gue masuk, setelah itu dia menyuruh gue yang pegang kemudi mobil.

********