Gue melangkah dengan cepat ke tempat duduk nomer tiga dari belakang.
"Loh, Daffa? " gue kaget. Ternyata orang yang melambaikan tadi si ketos.
"Hai, Yesa? Lo mau duduk di mana?" tanyanya yang kini bangkit. Dia memberikan pilihan duduk ke gue yang pojok dekat jendela atau yang pinggir.
Dengan senang hati gue menyuruh Daffa memilih, dan akhirnya pilihan Daffa duduk di pinggir sementara gue duduk di pojok dekat jendela. Setelah gue duduk, baru Daffa duduk di samping gue.
"Eh, Daffa. Tolong panggilin Uli, dong! Tas gue sama dia."
Daffa mengangguk, dia bangkit dari duduknya menuju tempat di mana Uli duduk. Setelah dua menit, dia kembali membawa satu buah ransel kepunyaan gue.
"Terima kasih," Ucap gue menerima tas dan tersenyum pada Daffa.
"No problem," jawabnya.
Bus mulai melaju. Awalnya kecepatan sedang, tapi saat memasuki jalan tol bebas hambatan, kecepatannya bertambah.
"Daffa si ketos memberikan aba-aba daripada tidak ada kerjaan mending kita bernyanyi." Usulnya Tiba-tiba di sambut antusias dari anak lain.
Dan mulailah bus kami ramai dengan suara yang terdengar ke segala penjuru. Gue hanya ikut bertepuk tangan saja. Rupanya, ada juga beberapa murid yang membawa gitar sedangkan yang lain bernyanyi sambil bertepuk tangan.
Hanya tiga lagu yang mereka nyanyikan,
Setelah itu suasana dalam bus hening kembali. Mungkin akibat kecapaian, gue yang cuma ikut tepuk tangan aja juga capek. Pandangan gue kini beralih ke kaca jendela bus untuk menikmati pemandangan.
Sesuatu jatuh menimpa badan gue, dengan cepat gue menoleh. Rupanya Daffa yang tengah tertidur. Pelan-pelan gue mengangkat kepala Daffa yang tertidur lelap. Setelah itu gue ikut memejamkan mata.
Mata gue terbuka saat merasakan pegal di sekitar leher. Gue kaget saat inilah gue yang tengah bersandar di bahu Daffa, sedangkan Daffa masih tidur. Dia tidur bertumpu di kepala gue.
Gue berpikir, bagaimana caranya supaya gue enak dan nggak ngebuat Daffa terbangun. Gue mendorong kepala Daffa perlahan.
Tiba-tiba tangan gue di tepisnya, setelah matanya terbuka sepenuhnya dan mencerna situasi ini, dengan cepat dia menegakkan tubuhnya dan berdehem.
"M-maaf," ucapnya canggung sambil menggaruk kepala.
"Gue juga," jawab gue yang sama-sama kikuk.
Sampai tiba Uli yang datang menghampiri kami.
"Kenapa kalian?" tanyanya dengan penuh selidik.
"Nggak pa pa, kok. Iya kan?" tanya gue pada Daffa. Dia jawab dengan anggukan. "Lo juga ngapain kesini?" tanya gue kembali pada Uli.
Uli mendengkus. "Ya ngajakin lo beli jajan, lah!"
Pantas dari tadi gue ngerasa busnya tidak bergerak, di rest area, toh? Kami keluar sama-sama. Begitu juga Daffa yang memilih ikut gue dan Uli keluar.
Ternyata anak-anak lain sudah pada nongkrong di antara bangku yang tersedia di situ.
Gue dan Uli masuk ke dalam mini market, sedang Daffa memilih ke toilet.
Setelah membeli yang kami butuhkan, gue dan Uli keluar dan mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Gue merogoh kantong celana dan menemukan banyak notif chat dan panggilan dari Yesi. Gue meringis karena lupa kalau hape dalam mode silent.
Baru ingin menelpon Yesi balik tapi instruksi dari Bu Ana yang kini mengarahkan kami untuk segera memasuki bus. Karena perjalanan yang di tempuh masih jauh. Dengan cepat gue memasukkan hape kembali ke dalam kantong celana, lalu menuju bus bersama dengan Uli.
Saat duduk kembali di kursi, gue hanya makan setangkep roti tawar isi coklat keju yang Mama bikinin buat gue dari rumah. Gue menawarkan beberapa snack pada Daffa dan dia Terima dengan senang hati.
Sepanjang perjalanan, gue dan Daffa sibuk bercengkrama. Bahkan sesekali kami bercanda.
Tepat pukul 20.00 kami sudah tiba di Queen of the south resort. Villa yang terletak di kawasan Gunung Kidul ini memiliki pemandangan ke arah samudera Hindia sehingga memanjakan mata.
Villa ini khusus di booking pihak sekolah untuk dua malam ke depan. Kamar tidur untuk anak cowok dan cewek terpisah. Area depan khusus wanita sedang area belakang khusus laki-laki.
Satu bungalow diisi oleh satu kelompok yang terdiri dari empat orang.
Gue, Uli, Ryan dan Ivan khusus di bungalow anak cowok satu bungalow yang sama. Fasilitas bungalow ini terdiri dari empat buah kasur, AC, kamar mandi, dan lengkap dengan balkonnya.
Saat memasuki bungalow, kami berempat meletakkan ransel di samping kasur yang menjadi pilihan masing-masing.
Ryan terlihat membongkar isi ranselnya, dia mengeluarkan satu handuk dari sana. "Eh, ga pa pa kan gue yang duluan mandi?"
"Oh, silahkan." jawab gue, Uli dan Ivan berbarengan. Selepas Ryan memasuki kamar mandi. Kami kembali ke kegiatan masing-masing.
Uli dan Ivan terlihat masing-masing membongkar ransel mereka, sedangkan gue sibuk membongkar mini bag.
Tatapan gue jatuh ke hape, ingatan gue berputar. Gue baru sadar kalau gue belum ngabarin Yesi sama sekali. Saat ingin menelponYesi, Lagi-lagi tidak bisa, karena hape gue low-batt. Pagi tadi, gue nge charger nggak sampe full. Dengan cepat gue mengeluarkan charge-an dan memasangnya di stop kontak tepat di samping kasur gue.
Ryan keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, setelah itu gue selanjutnya membersihkan badan. Sekitar 20 menitan sesi mandi selesai.
Setelah semua terlihat segar, kamar kami di ketuk oleh Pak Harry. Beliau menyuruh kami ke resto untuk makan malam.
Kami berempat bersama-sama ke arah resto yang terletak di area terbuka.
Kami memilih meja di dekat pojok.
Sebelumnya, kami terlebih dahulu ikut mengantri untuk memesan makanan. Menu yang ada di resto ini tradisional khas Jogja, dan yang terutama khas Gunung Kidul.
Karena makanan khas Gunung Kidul aneh semua, jadi kami berempat memesan nasi gudeg saja.
Saat kembali, meja yang tadi kami tandai dengan adanya jaket Uli di atas kursi kini jatuh di lantai. Terlebih lagi, kini di tempati oleh komplotan Fajri, Bagas, dan Jovan.
Kami berempat berpandangan satu sama lain,
Lalu Ryan mengambil langkah terlebih dulu.
"Kalian nggak liat? Meja ini sudah ada yang menempati?"
Kompak mereka bertiga dan menghujami kami dengan pandangan tidak suka.
"Lalu kenapa? Salah, gitu? Ini 'kan bukan punya nenek moyang lo, apalagi punya lo!" kata Ivan
Dengan kesal Uli meletakkan piring gudeg dan juice mangganya ke atas meja, lalu dia merebut paksa hape mereka bertiga. Dia berjalan ke dekat kolam renang.
"Kalo lo bertiga nggak mau pergi, gue bakalan lempar nih hape," ancamnya. Dilihat dari wajah, Uli sama sekali tidak bercanda.
"Buang aja, gue bisa beli kalo lo tahu," ujar Jovan angkuh. Berbeda dengan Fajri dan Bagas, mereka terlihat khawatir.
*****