Gue, Uli, Ryan dan Ivan duduk di bangku depan taman sekolah. Kami semua sibuk memandangi murid baru yang mendapatkan arahan dari anggota OSIS di lapangan.
Sesekali Daffa melirik ke arah kami, dia menyunggingkan senyuman, di ikuti para murid cewek yang melihat kami ber empat jejeritan.
"Gue merasa populasi cewek genit di sekolah ini akan bertambah, deh," keluh Uli yang tidak suka mendengar kealayan itu.
"Emang kenapa? Gue nggak peduli, tuh!"
"Ye..lo kira gue bakal peduli juga? Nggak sama sekali! Gue ngerasa risih aja, mereka ngehebohin yang nggak penting."
"Emang apa yang lebih cocok di hebohin menurut lo?" Uli mengerucutkan bibirnya. Tapi sedetik kemudian Uli berbicara lagi." Eh, kalian. Mau ikut nggak? sekolah kita ngadain study tour ke Jogja, loh. Yang wajib ikut kelas X sama anggota OSIS, karena hari terakhir penutupan MOS akan dilaksanakan di sana. Kelas XI sama kelas XII bebas.
"Mau ikut boleh, mau nggak ikut juga boleh."
"Terus, lo ikut juga?"
"Ya ikut, dong. Sesekali keluar kota. Bosan gue sekolah mulu."
"Emmm... pokoknya harus ikut! Ya, ya, ya?"
"Yaudah, gue ikut."
"Kalian bagaimana bertiga, ikut juga kan?"
"Oke kita semua ikut ke Jogja." Kata Ryan dengan penuh semangat.
Kami berempat menuju ruang OSIS karena pendaftaran diadakan di sana. Saat melewati lapangan, ada seorang anak cewek yang berteriak menyuruh kami berempat berhenti. Kami bingung, tapi menurut saja.
Dengan napas yang masih ngos-ngosan dia berjongkok untuk menormalkan detak jantung. Di menit ke 2 dia sudah bisa berdiri dengan tegak.
"Maaf, ya, Kak?" Mohonnya, lalu tanpa aba-aba menarik tangan gue, dia menyeret tangan gue sedikit ke depan. Kemudian, satu tangannya menyodorkan buket yang berisi coklat dan snack.
"Saya tahu ini kali pertama saya bertemu Kakak. Tapi, senyum manis Kakak yang membuat saya terpesona. Awalnya saya nggak percaya kalau ada cinta pada pandangan pertama. Setelah mengalaminya sendiri, saya baru percaya. Jadi... maukah Kakak jadi pacar saya? Kalau Kakak terima, ambil buket ini. Kalau tidak di terima, buang saja!"
Gue kaget! Tapi gue yakin yang lebih kaget lagi adalah ketiga teman gue yang dari tadi menyaksikan adegan bagai sinetron. Semua yang melihat bersorak histeris. Bahkan ada beberapa guru yang ikut menonton sambil geleng-geleng kepala.
Lalu semua orang meneriakkan kata. "Terima! Terima! Terima!" Dan di iringi oleh tepuk tangan termasuk Uli, Ryan, dan Ivan juga mulai ikut-ikutan. Seru juga ternyata.
Gue menarik napas beberapa kali, suasana seketika hening. Gue mematung di tempat, gue lihat buket yang dia pegang tiba-tiba terlepas dan jatuh begitu saja hingga isinya berhamburan. Dengan cepat gue menangkap tubuhnya dan menggoyang-goyangkan bahunya pelan.
"Lo nggak pa pa?" Nggak ada sahutan. Gue membalikkan badannya agar menatap gue.
Pemandangan yang pertama kali gue liat matanya yang memerah. Wajah kaku dan terlihat merah dari sebelumnya. Gue mendengkus dan kemudian bangkit, siswi baru yang ternyata bernama Alea ikut bangkit dan berlalu pergi ninggalin kami. Mungkin karena siswi baru jadi masih malu-malu dan canggung.
Kami berjalan berangkulan, saat melewati koridor dan lapangan, banyak anak baru yang memandangi kami. Beruntung ruang OSIS sudah di depan mata, jadi kami tidak perlu berjalan terlalu lama.
Setelah mengetuk pintu tiga kali, kami berempat masuk. Ryan dan Ivan duduk di kursi dekat pintu, sedang gue dan Uli duduk di kursi yang berada di dekat meja Pak Harry. Dia terlihat sibuk, setelah gue duduk sepenuhnya, barulah Pak Harry menghentikan aktivitasnya.
"Ada apa?" Tanyanya menatap gue dan melirik Uli sekilas.
"Pak, kami mau mendaftar study tour ke Jogja?"
Tanpa berpikir, Pak Harry langsung menjawab "boleh!" Lalu terdiam kembali berkutat dengan pekerjaannya. Setelah beberapa menit kami mendaftarkan diri. Gue memutuskan untuk keluar ruangan ini. Melihat gue bangkit, Uli, Ryan dan Ivan yang sedari tadi diam kini ikut berbalik keluar dari ruang OSIS.
Pagi ini, semua murid berkumpul di depan gerbang sekolah. Di pinggiran jalan dekat trotoar telah terparkir tujuh bus yang akan membawa kami ke Jogja.
Tiga bus diisi oleh rombongan murid baru di dampingi masing-masing dengan tiga anggota OSIS dan satu guru yang akan membimbing di dalam perjalanan, dan tentunya dengan si sopir bus. Tiga bus lagi diisi rombongan murid campuran dari kelas XI dan XII, serta para anggota OSIS yang tersisa. Satu bus terakhir hanya diisi oleh para dewan guru.
Dari kejauhan, Yesi bersandar di mobil. Dia memakai dress yang di lapisi jaket. Bahkan muka bantal Yesi masih terlihat jelas. Padahal gue udah suruh dia pulang saja. Tapi, dasar Yesi dia malah bersikeras untuk mengantar gue sampai bus berangkat.
Uli di samping gue dengan membawa satu tas besar, sedang Ryan dan Ivan duduk di kursi paling depan masing-masing membawa satu tas yang terlihat agak besar. Padahal study tour-nya hanya tiga hari dua malam, tapi mereka kayak orang yang mau pergi satu bulan.
"Yesa, samperin gih, Yesi. Dia natap lo kaya takut lo diambil orang gitu."
"Tau ah, Uli." Dia mah lebay, tadi malam aja bujuk gue berkali-kali supaya nggak jadi ikut. Yesi itu labil, kemaren diizinin, sekarang kayak nggak ikhlas gitu."
"Yah...lo berdua emang pasangan lebay. Sumpah, ya, Yesa. Gue nggak nyangka sifat Yesi kayak gitu. Dulu di pikiran gue, dia itu orang yang paling dewasa banget."
Gue juga berpikir kayak gitu. Tapi makin kesini, semua sifat manjanya itu keluar semua. Bahkan dia suka membanggakan dirinya juga."
"Emang, ya. Jodoh itu cerminan diri sendiri. Lo berdua sama-sama bocah."
Percakapan kami terhenti karena Pak Harry dengan toanya menginstruksikan agar para murid masuk ke dalam bus yang sudah di tentukan di daftar penumpang.
Uli gue suruh masuk duluan bersama tas yang gue titip sama dia. Dengan cepat gue berlari menuju Yesi yang masih bersandar di mobil. Saat jarak gue dekat Yesi menarik gue masuk ke dalam mobil.
Belum sempat gue duduk dengan benar, dia merangkul dan memeluk gue.
"Gue pergi nggak lama, kok. Nanti kita bisa video call, oke." Sebelum benar-benar pergi, gue mengecup singkat pipinya untuk menggodanya. Setelah itu, dengan cepat gue lari keluar dari mobil sambil ngakak.
Saat gue berbalik untuk menengok Yesi, gue dapati dia tersenyum manis sambil melambai-lambaikan tangannya.
Gue masuk ke dalam bus sambil mencari-cari di mana Uli duduk. Setelah ketemu, ternyata bangku di sampingnya sudah ada yang menempati.
"Lo sih kelamaan," ucap Uli sambil mengerucutkan bibirnya.
"Yah...mau gimana lagi?" Dengan terpaksa gue mengedarkan pandangan sekeliling. Ada satu orang yang mengacungkan tangan, gue nggak tahu itu siapa karena badannya terlindungi oleh kursi.
*****