Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 24 - akhirnya jatuh sakit

Chapter 24 - akhirnya jatuh sakit

Setelah 30 menit akhirnya, mobil gue berenti tepat di depan pagar rumah Uli. Rintik hujan masih setia menemani.

Uli keluar dari mobil, dia menawarkan gue untuk mampir ke rumahnya.

"Nanti aja, deh. Gue takut orang rumah pada khawatir. Next time, ya?" Setelah berpamitan dengan Uli, akhirnya gue melanjutkan  perjalanan pulang.

Sesampai di garasi rumah gue, hujan masih belum berenti. Gue keluar dari garasi sambil gue peluk tas dengan erat, untuk melindungi dari tetesan air hujan. Sampai di teras rumah, gue mengusap pakaian sekolah yang basah kuyup karena kehujanan.

Gue memutar kenop pintu. Badan gue sepenuhnya masuk, perlahan gue berbalik dan melangkah dengan santai. Di langkah yang ke sepuluh langkah gue terhenti, pandangan gue kaku.

Rasanya kaki gue seperti di paku dan nggak bisa bergerak buat melanjutkan lagi.

Tamu yang tidak pernah terlindas sedikitpun di benak gue. Dia..Yesi sudah ada di ruang tengah TV di sampingnya ada Mama yang menemani.

Pandangan Yesi dan Mama sama-sama terarah pada gue. Di tatap seperti itu membuat gue nggak tahu harus melakukan apa.

Selama beberapa menit tidak ada percakapan. Gue masih terpaku di tempat gue berpijak. Tidak melangkah, tidak juga mundur.

Sampai sapaan Yesi terlebih dahulu memecah keheningan malam.

"Hai...baru pulang?" Kami sudah sedari tadi menunggumu loh, sapa Yesi.

Lama gue mencerna. Lalu kepala gue mengangguk ikhlas menjawab sapaannya. Tatapan gue beralih ke Yesi. Dia balik menatap gue dengan tatapan datar sambil menggelengkan kepalanya. Lalu suasana hening kembali.

Mama bangkit. Lalu dia berjalan ke arah gue.

"Dari mana? Mama cemas menunggu kamu belum pulang," tanya Mama sambil mengusap pelipis kepala gue karena ada tetesan air dari rambut gue yang basah.

"Kan sudah Yesa bilang dari mall habis nyari novel."

"Mama tahu. tapi, Mama sudah kasih tau kamu jangan pulang kesorean. Bahkan ini sudah malam, Yesa?"

Gue mengaruk pipi, tidak tahu harus menjawab apa dalam situasi seperti ini. Mama sangat memperhatikan gue di depan Yesi.

Deheman pelan Yesi membuat pandangan kami teralihkan.

"Aku kemari hanya membicarakan tentang pesta ulang tahunku sekaligus ingin bertemu Oci. Tidak apa-apa 'kan Yesa?"  Tanya Yesi sambil bangkit dari duduknya.

Dia mendekat ke arah gue dan Mama. Lagi-lagi gue nggak tahu harus jawab apa? Gue menatap Mama dan Yesi bergantian. Lalu mengangguk ikhlas.

Tangan Yesi mendarat di pundak gue. "Aku pulang dulu, pamitnya."

Baru beberapa langkah, Yesi berbalik lagi. Oh, Iya. Kapan-kapan kita shopping bareng lagi. Yesi yang akan traktir Yesa sebagai ucapan terima kasih atas suguhan tehnya." kalimat itu Yesi tujukan ke gue sambil tersenyum dan mengedipkan matanya.

Pandangan gue sepenuhnya jatuh pada Yesi. Dia mengeryitkan kening, seolah tidak tahu, dan bertanya ada apa, Yesa?

"Sakit, Yesa. Ada apa?" Sambil mengusap lengan bekas cubitan gue. "Genit ya sekarang, Yesi udah mulai berani menggoda bikin jantung gue kebat kebit di bikinnya.

Yesi pamit karena malam makin larut, dia  datang sendiri dan pulang sendiri. Gue dan Mama sama-sama mengantar kepulangan Yesi sampai depan teras.

Setelah itu gue berlalu masuk. Rasanya tiba-tiba sekujur badan gue menggigil dan kepala gue pusing. Mungkin ini efek kehujanan dan baju sekolah yang setengah basah.

Baru beberapa anak tangga gue pijak, tiba-tiba mata gue terasa kabur, gue mempercepat langkah menuju kamar.

Sesampai di kamar gue cepat rebahan di kasur kepala gue berat dan nyut-nyutan. Lalu gue berusaha mencari kenyamanan di kamar, gue mengedarkan pandangan gue sekeliling.

Di kamar sudah ada Mama dan Papa. Raut wajah lelah terlihat jelas di muka mereka semua. Mama yang pertama kali bergegas mengambilkan air dan menyodorkan pada gue.

Gue mencoba untuk bangun dan berbaring saja. Gue hanya mengangguk patuh dan meraih gelas yang Mama berikan.

"Malam ini kamu demam tinggi Yesa, Mama telpon Papa karena badan kamu panas banget. Beruntung Papa kamu cepat pulang dan langsung telpon dokter dan nyuruh datang kemari untuk memeriksa kamu."

"Katanya kamu kecapean, ditambah tadi kehujanan juga." Mama menghela napas, kemudian melanjutkan bicaranya. "Kenapa sih, Yesa? daya tahan tubuh kamu itu lemah. Jadi cowok itu jangan terlalu lemah. Kan kamu sendiri yang susah!"

Mama ngomel panjang lebar dan itu semua membuat kepala gue tambah pening. Tenggorokan gue kering, bahkan gue ngerasa bibir gue pecah-pecah saking dehidrasinya.

A-air". Susah payah gue mengeluarkan suara. Dengan cepat Mama mengarahkan gelas ke mulut gue.

Sambil tergesa gue minum. Baru gue merasakan kalau air putih senikmat ini. Tenggorokan gue tidak kering lagi. Rasanya perlahan tenaga gue terkumpul dan mulai berangsur pulih.

Papa mengusap pelan punggung Mama."Namanya juga penyakit. Kita tidak tahu kapan dia datang. Yesa juga tidak mengharapkan dia sakit, Ma."

Papa itu paling bijak sedunia. Dan itu membuat gue di sanjung. Melihat senyuman teduhnya itu membuat Mama perlahan tenang. Mereka berdua memang pasangan yang saling melengkapi.

"Iya, Yolanda. kamu itu paniknya berlebihan, Ucap Papa yang duduk di tepian kasur sambil merangkul Mama yang juga duduk disebelahnya.

Lagi-lagi gue menyusahkan banyak orang. Pasti mereka nggak tidur gara-gara nungguin gue.

"Maafin Yesa sudah bikin Mama dan Papa khawatir." Gue nggak berani menatap wajah mereka satu-persatu karena merasa bersalah. Selalu saja gue buat kehebohan dan berakhir kepanikan yang merepotkan Mama dan Papa.

"Itu, sudah tahu," jawab Mama dan itu menambah rasa bersalah gue.

"Sudah-sudah lebih baik kita biarkan Yesa beristirahat, ini sudah jam 7.00 pagi Papa ada meeting pagi ini.

Mama juga harus mengantar Oci ke sekolah kan?" Tanya Papa mengalihkan topik pembicaraan. Dengan helaan nafas panjang, Mama bangkit. Sebelum itu dia memeluk dan mencium pipi gue terlebih dahulu.

"Mama sama Papa berangkat dulu, ingat minum obat jangan lupa!"

Gue mengangguk dengan cepat. Lalu bergantian Papa memeluk gue. Masih dengan memakai pakaian tidur gue mengantar mereka ke depan.

Pagi ini Yesi datang menjenguk, maklum saja jadwal kuliah Yesi belum di mulai jadi seharian ini otomatis gue di temani Yesi. Dia membawa nampan yang berisi semangkok bubur dan segelas air. Di taruhnya nampan itu terlebih dahulu di meja belajar.

"Kamu bisa makan sendiri? atau Yesi bantu suapin?" Gue menggeleng sambil berkata "Gue makan sendiri saja." Yesi menyerahkan semangkok bubur ayam yang baru dia beli di tukang bubur ayam depan komplek.

"Yesi mandi dulu. Obat Yesa di atas meja belajar jangan lupa diminum," Ucapnya lalu menuju kamar mandi.