Gue menikmati bubur ayam menu sarapan pagi ini, hanya separo saja bubur ayam itu sudah masuk dalam perut gue, karena gue nggak bisa menghabiskan semuanya. Perut gue menolak. belum sepenuhnya indera perasa gue bisa menikmati lezatnya bubur ayam karena mulut gue belum bisa merasakan apa-apa kecuali rasa pahit.
Lalu gue mengambil obat di atas meja belajar dan meminumnya. Setelah itu, gue kembali berbaring mencoba untuk memejamkan mata, tapi tidak bisa.
Mata gue kembali terjaga saat mendengar pintu kamar di buka. Yesi masuk dengan pakaian yang sudah rapi.
"Yesi tinggal pulang ya. Ada beberapa berkas yang harus di persiapkan untuk mendaftar di kampus. Yesa ga pa pa kan, Yesi tinggal?"
"Iya, ga pa pa. Yesi pulang saja. Gue sudah merasa mendingan."
"Ya, sudah. Di sekolah Yesi tahu masih ada orientasi murid baru, jadi tidak ada pelajaran. Nanti Yesi telpon teman-teman Yesa. buat menemani Yesa, biar Yesi saja yang izin ke Mama Yolanda" Ucap Yesi yang gue jawab dengan anggukan.
"Cepat sembuh. Yesi tidak bisa melihat Yesa jadi pendiam seperti ini."
Lagi-lagi gue mengangguk. Rasanya melelahkan hanya untuk mengeluarkan suara. setelah berpamitan Yesi benar-benar menghilang dari balik pintu kamar.
Gue nggak tahu harus melakukan apa? pergi ke kamar mandi pun hanya bertopang dinding dan perlahan berjalan pelan. Pandangan gue rasanya berputar-putar akibat pusing yang nggak kunjung sembuh.
Gue putuskan untuk tidur kembali dan berharap setelah terbangun nanti keadaan lebih baik. Karena sakit itu sama sekali nggak enak.
Suara ribut tiba-tiba membuat gue terbangun. Kamar gue di penuhi camilan ada novel di atas kasur dan di lantai yang berserakan.
Ryan dan Ivan sedang duduk di sofa sambil bermain game. Keributan keluar dari mulut mereka. Uli sedang menonton televisi sambil makan camilan. Sesekali dia tersenyum dan berteriak nggak jelas. Yang gue tahu dia sedang menonton crazy rich asian.
Gue hanya menghela napas berat. begini kalo udah di serang team rusuh, dari kelas gue sangat merepotkan sekali.
Gue mencoba bangkit pelan-pelan, untung rasa pusing itu sudah hilang di kepala gue. Hanya rasa lemas yang tersisa.
"Sudah bangun? Mau kemana lo?' tanya Ryan yang pertama kali melihat gerak-gerik gue.
"Belum, gue lagi ngigo," ucap gue malas.
Kayak dia nggak lihat aja, gue udah terbangun dari tadi. Dia menanyakan hal yang jelas-jelas sudah tahu jawabannya.
Uli terkekeh. "Yesa yang gue kenal sudah baik lagi," ucapnya, setelah itu kembali menonton TV.
Lalu Ivan bicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hape. "Lo kalo mau makan, makan aja.
Ke kamar mandi, ke kamar mandi aja. Anggap ini rumah sendiri."
Dengan sebal gue melemparkan guling pada Ivan sampe hapenya jatuh ke lantai. Dia terlihat kesal dan ingin menggerutu, tapi tidak jadi karena tatapan tajam gue.
"Apa? Mau apa lo? Ini rumah gue?"
Untung lo masih sakit, kalo sehat sudah gue...?
"Kalau sehat apa?" Tanya gue sambil menatap sinis.
"Kalau lo sehat, ya Alhamdulillah," jawab Ivan cuek, kemudian kembali bermain game.
"Berisik!" Teriak Uli yang masih asik menonton televisi.
Dasar teman tidak berguna! tujuan Yesi menyuruh mereka datang buat ngerawat gue, bukan nambahin pekerjaan. Lihat saja....astaga, bahkan camilan dan kulit kacang sudah berceceran di sana sini akibat ulah mereka. Dan lagi, ya ampun, beberapa novel yang diambil dari perpustakaan gue?
Dengan penuh kesal gue menimpuk mereka dengan bantal satu satu. Kalau bunuh teman itu nggak dosa, sudah gue lakuin dari tadi. Kesal banget, sumpah!
Beruntung Mama pulang lebih awal. Dia yang baru memasuki kamar kini terpaku di depan pintu. Sedangkan gue hanya bersandar di tempat tidur sambil menatap Mama balik. Uli, Ryan dan Ivan masih belum sadar atas ke datangan Mama di kamar gue.
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Mama dengan suara bergetar.
Mereka bertiga menoleh ke asal suara. Ivan menoleh kaget dan melemparkan hapenya ke sembarang tempat. Uli gelagapan dan langsung berdiri. Ryan menggaruk pelipisnya. Anu..main, Tante," jawab Ryan canggung.
"Saya suruh Yesi mengundang kalian kemari bukan untuk mengotori rumah. Saya suruh kalian untuk menemani Yesa, bukan menyampah!"
Wajah Uli terlihat pias di samping gue. Dalam hati gue tertawa ngakak, mampus kalian semua!
Makan tuh omelan Mama.
"Saya tidak mau tahu, pokoknya kalian harus membersihkan seluruh rumah ini! Sebagai hukuman karena rumah yang kalian kotori ini rumah saya, bukan rumah kalian!"
"Kepala kamu masih pusing Yesa?" Tanya Mama.
Gue menggeleng."Sudah mendingan, kok Mah."
Sebelum keluar dari kamar gue, Mama berbicara dahulu."satu jam saya beri kalian waktu. Kalau tidak selesai, entah hukuman apa yang kalian terima nantinya!"
Uli menyela,"Loh, Tante mau kemana?"
Sebelum Mama dan gue keluar dari kamar, gue memeletkan lidah, lalu tertawa tanpa suara untuk mengejek mereka bertiga. Dapat gue denger cibiran mereka, bahkan gue denger Ryan beberapa kali menyumpah.
Gue duduk di sofa. Mama mengeluarkan bungkusan yang isinya kemeja dan jas."lihat Yesa tadi Mama mampir ke mall teringat seminggu lagi pesta ulang tahun Yesi, Jadi Mama membelikan setelan kemeja dan jas ini buat Yesa." Ucap Mama sambil menempelkan kemeja di punggung belakang gue.
Ah, gue baru ingat, sebentar lagi perayaan ulang tahun Yesi. Tiba-tiba gue teringat akan nasib Uli, Ryan dan Ivan, gue hampir ngakak melihat mereka kelelahan sambil bersandar di sofa. Baju seragam Ryan sudah lepas, yang tersisa hanya baju kaosnya saja.
"Tante, ini sudah satu jam lebih," keluh Uli.
Mama meletakkan kantong plastik makanan di atas meja, dia ikut duduk di samping gue."tidak ada yang boleh protes!" Jawab Mama.
Ivan yang sibuk membongkar kantong plastik kini mengibas-ngibaskan tangannya,"sudah-sudah, pada mau makan nggak,lo?"
Uli dan Ryan mendekati meja. Masing-masing mereka mengambil sepaket satu kotak ayam goreng dan menikmatinya.