Chereads / AIMILIOS by Project Mentari / Chapter 7 - Kabar Buruk

Chapter 7 - Kabar Buruk

Debu mengepul membentuk polusi yang membuat hari terasa semakin panas. Lapar dan dahaga sedari tadi menggelayuti tubuh kecil Anggi yang menunggu kakak laki-lakinya menjemput dirinya dari sekolah. Bu guru yang sedari tadi menemani Anggi tak henti-hentinya tersenyum ke arah Anggi yang sesekali menoleh ke arah bu guru.

"Anggi mau minum?" tawar Bu Ami yang merupakan wali kelas Anggi.

Anggi hanya menggeleng menolak tawaran Bu Ami.

Raut wajah pucat dengan mata yang tak sepenuhnya sadar membuat Bu Ami merasa iba dengan kondisi Anggi. Beliau menghubungi Genta untuk segera datang ke sekolah untuk menjemput Anggi yang sempat tak sadarkan diri di lapangan setelah mengikuti upacara bendera. Untung saja minggu ini sekolah Genta sedang mengadakan Penilaian Tengah Semester dan membuat Genta bersama teman-teman seangkatannya pulang lebih awal dari pada adik kelas mereka. Selang beberapa jam, Genta datang dengan terengah-engah dan keringat membasahi dahinya.

"Mas Genta ya?" tanya BuAmi memastikan.

"Iya, bu. Saya Genta, ada apa ya bu? Apa Anggi buat masalah di sekolah?" tanya Genta.

"Silahkan duduk dulu, mas. Biar saya jelaskan."

"Begini, Anggi sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Sepertinya Anggi perlu diperiksakan ke klinik atau rumah sakit supaya tahu penyakitnya." Jelas Bu Ami dengan suara lembutnya.

"Iya, bu. Anggi memang punya anemia." Jawab Genta.

"Tapi kalau bisa, coba diperiksakan aja ya, mas. Barangkali ada penyakit apa yang nggak kita tahu dan supaya dapat obat yang jelas juga dari dokter." Jelas Bu Ami lagi.

"Oh, iya bu. Nanti saya sampaikan ke orang tua saya." Jawab Genta.

"Sudah, itu saja yang mau saya sampaikan."

"Baik, bu. Sebelumnya makasih ya bu atas perhatian ibu ke adik saya." Jawab Genta yang dilanjutkan dengan berpamitan pulang.

Genta dan Anggi telah sampai di rumah, mereka kemudian segera berganti pakaian dan siap menikmati makan siang yang disajikan ibunya. Ibu Genta yang seorang tukang jahit memang tidak bisa setiap saat menyambut anak-anaknya saat pulang sekolah. Cukup dengan sebakul nasi, lauk dan sayur yang di tutup dengan tudung sajilah yang menyambut kedatangan Genta dan Anggi. Keduanya yang terbiasa mandiri pun tidak merasa kaget dengan rutinitas yang biasa mereka lakukan. Seperti biasa, Genta dan Anggi masuk ke kamar masing-masing saat telah selesai makan dan mencuci piring bekas mereka makan. Bukan untuk tidur atau bermain hp, melainkan mempelajari materi yang diajarkan guru di sekolah siang tadi sembari mengerjakan tugas yang belum selesai. Keduanya terbiasa menghabiskan waktu dengan belajar, bukan karena mereka tak memiliki teman, namun karena keduanya paham betul jika ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus meraihnya dengan beasiswa. Genta yang terkenal jenius juga tak jarang dimintai tolong mengajari anak tetangga dan mendapatkan sedikit upah untuk dirinya membeli jajan atau peralatan sekolah yang habis.

Hari mulai petang dan matahari mulai kembali ke sarang, ibu dan bapak Genta yang seharian mencari uang pun kembali ke rumah dengan sisa tenaga yang mereka miliki. Waktu makan malam mereka memang selalu bersama, selain menikmati makanan yang disajikan, mereka juga saling menceritakan hal-hal yang masing-masing dari mereka lakukan. Genta teringat akan pesan Bu Ami, wali kelas Anggi siang tadi. Dirinya kemudian membuka percakapan dengan menyendok nasi dalam bakul ke dalam piringnya.

"Pak, bu. Tadi Genta di panggil sama gurunya Anggi." Kata Genta membuka percakapan.

"Loh, kenapa nang. Kamu nggak nakal kan nduk?" tanya ibu lembut.

"Nggak bu, tadi Anggi pingsan waktu upacara" jawab Anggi takut.

"Padahal setiap pagi kita selalu sarapan, trus kata bu gurunya Anggi gimana?" tanya bapak.

"Bu guru sih nyaranin Anggi buat periksa ke klinik atau rumah sakit, biar tau penyakit pastinya apa dan dapet obat dari dokter juga. Jadi nggak minum obat warung terus. Pak, bu." Jelas Genta sembari menyuap makanan ke mulutnya.

"Ya udah, besok bapak anterin ibu sama Anggi ke Rumah Sakit Medika, ya. Nanti pulangnya bisa naik angkot lain, atau kalo trayek bapak lewat situ ya sekalian." Tanggap bapak memberi solusi.

Keluarga kecil itu pun larut dalam perbincangan yang santai namun penuh keakraban, makanan yang sederhana pun terasa semakin nikmat ketika bersama orang-orang yang kita cintai.

Waktu berjalan begitu cepat hingga pagi kembali menghampiri, rotasi bumi yang menyebabkan terjadinya siang dan malam cukup membuat waktu istirahat di malam hari terasa begitu cepat. Genta yang sudah siap dengan perlengkapan sekolahnya berlalu begitu saja meninggalkan rumah setelah menghabiskan sarapan dan berpamitan dengan kedua orang tuanya, dia dan Kinan memang seperti anak kembar. Seperti sejoli yang sedang dimabuk asmara, namun bedanya mereka bukanlah sepasang kekasih. Seperti rencana tadi malam, ibu dan Anggi diantar bapak menuju rumah sakit medika, untung saja keluarga ini memiliki kartu layanan berobat gratis dari pemerintah dan hanya Rumah Sakit Medika yang mau menerima pembayaran menggunakan kartu tersebut.

Seperti tersengat listrik bertegangan tinggi, tubuh ibu tiba-tiba dingin dan sedikit bergetar dengan langkah kaki lemas keluar dari ruang pemeriksaan. Anggi yang peka akan hal itu mencoba mempersilahkan ibunya duduk di kursi kosong yang nampak sepi karena mereka merupakan pasien terakhir hari ini. Tatapan ibu ke arah Anggi menjadi sedih, matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar tipis. Anggi kecil masih belum paham akan hal yang dikatakan dokter, penyakit apa yang kini bersarang ditubuhnya yang membuat ibunya terlihat pucat pasi saat mendengar vonis itu. Ibu dan Anggi pun memutuskan menaiki becak untuk sampai ke rumah mereka, rupanya Genta yang sudah pulang sekolah pun sudah sampai di rumah. Genta heran melihat ibunya yang terlihat lemas memasuki rumah, keduanya tidak menjawab pertanyaan Genta. Genta yang kebingungan pun mengikuti keduanya masuk ke rumah dan membiarkan ibu serta Anggi istirahat.

Petang pun datang dan seperti biasa, keluarga Genta menyantap makan malam bersama. Suasana terasa berbeda, ibu lebih banyak diam dan tatapan matanya kosong. Bapak yang tau ada sesuatu yang sedang ibu sembunyikan pun menyuruh Anggi untuk pergi ke warung dan membeli obat sakit kepala. Jarak warung yang cukup jauh dan memakan banyak waktu saat berjalan di rasa cukup untuk mereka membicarakan hal yang sedang ditutupi ibu. Dengan polosnya Anggi menerima uang yang diberikan bapak dan bergegaslah ia menuju warung tanpa menaruh curiga sedikit pun.

"JadiAnggi sakit apa, bu?" tanya bapak yang telah memastikan Anggi jauh dari rumah.

Ibu hanya diam dan pergi menuju kamar hingga sesaat keluar membawa sebuah amplop besar dengan tulisan Rumah Sakit Medika, ya. Itu lah hasil pemeriksaan yang membuat ibu tak berselera makan seharian. Genta membuka amplop itu dan membacanya dengan sangat teliti dan seksama.

"Ini salah kita, pak. Kita yang bikin Anggi sakit." Kata ibu yang kemudian meneteskan air mata.

"Maksudnya apa, bu? Anggi sakit apa, Nta?" tanya bapak bingung.

"Thalasemia beta minor, kelainan yang diturunkan secara genetik yang menyebabkan rusak atau pendeknya umur hemoglobin dan memerlukan perawatan jangka panjang. Gejala yang dialami ialah sesak nafas, mudah lelah, lemas dan bahkan tak sadarkan diri. Pemeriksaannya menyatakan Anggi positif mengidap penyakit thalasemia dan harus melakukan transfusi darah sekurang-kurangnya satu bulan sekali." Jelas Genta membaca hasil pemeriksaan itu.

"Karna kita, Anggi jadi sakit kaya gini. Mungkin karna kita orang nggak punya jadi baru tau sekarang. Kasian dia, masih kecil. Trus kita dapat uang dari mana buat bayar transfusi darah, pak? Kartu ini cuma bisa bayar setengahnya dan biaya transfusi darah itu bukan seratus, dua ratus ribu." Jelas ibu yang tak henti-hentinya menangis sambil menujukkan kartu layanan kesehatan milik Anggi.

Bapak yang bingung hanya mencoba menenangkan ibu dengan memeluknya sembari terus menguatkan ibu.

"Bu, Anggi punya rejekinya sendiri. Kita bisa sembuhin Anggi. Nggak ada kata nggak mungkin di dunia ini." Kata bapak menenangkan ibu.

"Iya, bu. Bener kata bapak, kita harus semangat buat Anggi. Aku yakin, pasti ada jalan." Jawab Genta memeluk ibunya.

"Ibu kenapa? Kok nangis?" tanya Anggi membuka pintu.

Genta, bapak dan ibu terkejut dan seperti salah tingkah dibuatnya. Semuanya tidak sesuai dengan perhitungan bapak, rupanya warung yang dituju Anggi tutup dan dirinya bertemu Kinan di jalan. Kinan yang melihat adik sahabatnya berjalan sendiri pun memboncengkan Anggi sampai ke rumahnya dan berniat main kerumah Genta.

'Nggak papa, ibu kepedesan." Jawab ibu menghapus air matanya.

Anggi mengangguk bingung dan memutuskan masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas yang tadi siang ia kerjakan setelah sebelumnya memberikan uang yang tidak jadi ia belikan barang di warung kepada bapaknya. Genta pun mempersilahkan Kinan duduk di teras rumahnya sembari dirinya keluar membawa buku yang akan dipelajari untuk ulangan besok pagi.

Sejak saat itu, orang tua mereka bekerja dengan sangat giat hingga sering kali bapak jatuh sakit karena kelelahan. Genta yang merupakan anak pertama pun berusaha sebisa mungkin mencari pekerjaan dan tidak meminta uang kepada orang tuanya, ia memanfaatkan kepintarannya mengajari anak-anak tetangga yang mungkin saja akan memberinya imbalan. Tidak munafik, Genta juga sedikit berharap pada imbalan itu. Namun dirinya cukup tau diri untuk tidak mematok harga dan menerima upah seikhlasnya. Sebagai sahabatnya, Kinan mencoba mencari jalan lain dengan mencarikannya beberapa info lomba yang bisa membantu biaya berobat adikknya. Hal ini lah yang membuat Genta menjadi semangat untuk mengejar impiannya dengan terus memperjuangkan pendidikan yang nantinya bisa merubah dirinya menjadi orang yang bisa menyembuhkan adiknya nanti. Tentu mereka lakukan itu semua karena harus ada biaya yang di tabung perbulannya untuk Anggi melakukan transfusi darah.